Disusun oleh :
MBS 5F
Kelompok 11
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu
dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita
sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai
manusia.Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan
karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu
tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak
asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi.
Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil
oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat
kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau
berhubungan dengan sesama manusia.
Dalam hal hidup dan kebebasan inilah setiap orang seharusnya dapat
memperoleh HAM yang layak, sehingga hal ini akan membawa implikasi
pengembangan integritas setiap orang untuk hidup lebih baik dan bermartabat.
Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya
manusia memperlakukan sesama manusia sesuai dengan martabatnya sebagai
manusia. Tuntutan moral ini sesuai dengan ajaran Agama bahkan lebih dari itu dapat
dikatakan sebagai inti ajaran dari semua agama. Tuntutan moral tersebut diperlukan
untuk melindungi seseorang atau sekelompok orang yang lemah (al-mustad’afin) dari
tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari penguasa dan mereka
yang memiliki kekuasaan.
Kesadaran akan pentingnya penghormatan dan penghargaan terhadap sesama
manusia dan kesadaran akan pentingnya HAM muncul bersamaan dengan kesadaran
akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human
centred development). Konsep HAM berakar dari penghargaan terhadap martabat
manusia sehingga menempatkan manusia sebagai mahluk yang sangat berharga dan
menempatkan manusia sebagai subjek bukan objek, yang memandang manusia
sebagai makluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan jenis kelamin, ras,
ideologi, suku bangsa, bahasa dan agama. HAM mengajarkan prinsip-prinsip
universal persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,
eksploitasi, kekerasan terhadap sesama manusia, serta pembatasan dan pengekangan
terhadap kebebasan dasar manusia. Dari sinilah pentingnya mengelaborasi nilai-nilai
Universal HAM dalam perspektif Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hak Asasi Manusia dengan isu-isu nya?
2. Bagaimana Hak Asasi Manusia dalam tinjauan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
1
Pasal 103 ayat (2) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 TentangNarkotika
mengikat setiap lembaga untuk mematuhi amanat undang-undang untuk
merehabilitasi warga Negara pecandu atau penyalahgunaan Narkotika.
2. HAM untuk Gender
Dalam pandangan hukum HAM, setiap manusia di dunia tanpa melihat ras,
suku, wama kulit, agama, dan kebangsaan mempunyai hak-hak asasi yang sama.
Tidak ada yang lebih tinggi, pun tidak ada yang lebih rendah, semua dalam
kesejajaran, kesederajatan, tidak ada bentuk diskriminasi, baik hak berkumpul,
berpendapat, pelecehan, berprofesi, memerankan peran-peran publik dan ini berlaku
bagi jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Argumentasinya adalah, karena “semua
orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka
dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan” 2
Oleh sebab itu segala bentuk diskriminasi, pelecehan, dan penghambatan terhadap
peran-peran publik perempuan merupakan bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia.
termasuk di dalamnya adanya kecenderungan pereduksian makna dan interpretasi
yang kurang tepat akan istilah gender.
Pada perubahan kedua UUD 1945 pasal 281 ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Dalam konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (CEDAW), pasal I dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan diskriminasi
perempuan adalah pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin, yang berakibat dan bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya
oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan. Dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap
perempuan pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan
adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan
psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi.
2
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengantar HAM di Indonesia, (Bandung: Yayasan HAM,
Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2001) hal. 127.
Pemaknaan terhadap kekerasan dapat berupa fisik dan non fisik. Kekerasan
fisik dapat berupa pelecehan dan kekerasan seksual (sexual violence and harrasment),
pemukulan, pembunuhan dan lain-lain. Kekerasan yang berupa non fisik adalah
bentuk-bentuk intimidasi, pengucilan, subordinasi, marginalisasi, inferioritas dan hal-
hal yang dapat membuat harkat dan martabat perempuan jatuh. Perempuan dan laki-
laki adalah setara dalam martabat sebagai manusia, dan mempunyai hak yang
dinikmati ataupun kewajiban yang dilaksanakan, ia mempunyai kapasitas sipil dan
kemandirian keuangannya sendiri, dan hak untuk mempertahankan nama baik dan
keturunannya.
Pendiskriminasian dan apapun bentuknya adalah suatu pelanggaran HAM,
sebab kenyataan universal dalam hukum,' persamaan antara laki-laki dan perempuan
dijamin oleh undang-undang. Suatu misal penempatan kaum perempuan secara
ekslusif dan menganggap mereka lebih lemah daripada kaum laki-laki. Dalam
diskursus gender, persoalan ketidakadilan perlakuan terhadap wanita seringkali
dipandang dinomerduakan dari tingkat domestik atau rumah tangga, karena tidak
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban suami dan istri. Pada konteks ini,
pasal 51 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan secara rinci bahwa “seorang istri
selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan
suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya,
hubungan dengan anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.”3
3. HAM UNTUK ideologi komunis
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah dirumuskan oleh para
pendiri negara Indonesia menetapkan konsep negara hukum dalam pelaksanaan
negara, seperti persamaan hak-hak yang diatur berdasarkan ketetapan hukum.
Salah satu ciri negara hukum adalah dengan adanya perlindungan terhadap
hak-kak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan
tanggungjawab negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 28I ayat (4)
UUD NRI 1945. Dalam hal ini, Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme
mempunyai hak-hak dasarnya sebagai manusia yang wajib dilindungi oleh oleh
negara. Dilain sisi, negara juga mempunyai kewenangan untuk melakukan
pembatasan hak-hak asasi manusia dengan menuntut kewajiban kepada setiap orang
untuk tunduk terhadap pembatasan dengan peraturan perundang-undangan
sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Batu penghambat
3
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengantar HAM di Indonesia, hlm. 147.
Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah dengan adanya TAP
MPRS XXV/1966.4
Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai warga negara
telah dikesampingkan haknya dengan keberadaan TAP MPRS XXV/1966. Oleh
karena itu, pelarangan terhadap ideologi Komunisme atau Marxisme-Leninisme
kemudian membatasi hak-hak Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme
yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan partisipasinya
sebagai warga negara Republik Indonesia. Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-
Leninisme sebagai warga negara. Dalam konstitusi, Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945
merupakan salah satu dari sekian pasal yang tidak dilakukan perubahan mengenai
substansi maupun rumusannya tidak berubah pada saat amandemen tahun 1999-2000.
Walaupun bermunculan pendapat yang mengkritik pengaturan ganda yang berkaitan
dengan Pasal 27 ayat (1) dengan beberapa pasal yang terdapat didalam bab yang
berbeda, yakni Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945. Akan tetapi, pada
keputusan akhirnya tidak terdapat perubahan mengenai Pasal 27 (1) UUD NRI
1945.17 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan,
“Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan kecualinya.”5
Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 dapat ditelah bahwa setaip warga
negara mempunyai hak dan kewajiban. Yang dimana setiap warga negara mempunyai
hak untuk dianggap sama di dalam hukum dan pemerintahan. Kemudian, Penganut
Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme mempunyai kewajiban sebagai warga
negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan. Frasa “dengan tidak ada
kecualinya” mengandung makna bahwa setiap orang yang merupakan warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Dalam hal ini, tidak ada keseimbangan
antara hak dan kewajiban terhadap Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-
Leninisme sebagai warga negara. Penganut Ideologi Komunisme sebagai warga
negara tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Bahkan ia
tidak mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum sebagai warga negara.
Sebab, kedudukannya di dalam hukum telah dibatasi dengan TAP MPRS XXV/1966
yang menjadi tembok penghalang untuk mendapat hak yang sama sebagai manusia
dan warga negara. Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme diibaratkan
4
Mahkamah Konstitusi;, ‘Naskah Komperehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Buku III Jilid 1’, 2008.
5
Mahkamah Konstitusi and Republik Indonesia, Naskah Komperehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Nergara Republik Indoensia Tahun 1945-Buku VIII.
mempunyai kedua kaki yang dimana kaki kirinya (hak) telah dipotong kemudian
dituntut melaksanakan segala sesuatu hanya dengan kaki kanan (kewajiban).
Ketimpangan inilah yang dialami oleh Penganut Ideologi Komunisme/Marxisme-
Leninisme di Indonesia.
4. HAM untuk LGBT
Keberadaan LGBT di dunia sudah ada sejak lama, berawal dari waktu terawal
fenomena tersebut ditemukan yaitu abad ke-19an. Pada abad ke-19, American
Psychiatric Assosiation (APA) masih menganggap homoseksualitas sebagai mental
disorder. Seperti pada perkembangan diagnosis para pskiater di Amerika beserta
risetnya, pada tahun 1952 diagnosis asli dan Statistik Manual of Mental Health
(DSM) menetapkan bahwa homoksesual adalah gangguan kepribadian sosiopat.
Charles W. Socarides MD beranggapan bahwa gay itu bukan bawaan sejak
lahir atau genetik. Menurutnya mereka berubah karena wawasan dan berpikir secara
sadar. Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan sebelumnya mengenai beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dapat berubah menjadi LGBT. Faktor
biologis tidak begitu dominan dalam hal ini, karena nampaknya lebih ke arah
psikosial atau masa perkembangan yang dialami oleh seorang anak sejak ia lahir.
Namun ini bukan berarti seorang anak lahir dengan kelainan genetik dan membuatnya
menjadi memiliki orientasi seksual sesama jenis seperti yang di klaim kebanyakan
kaum LGBT saat ini. Terbukti dengan adanya faktor lingkungan yang juga dapat
berpengaruh terhadap seseorang untuk menjadi seorang LGBT. Seperti yang
Socarides katakan bahwa LGBT telah berkembang menjadi gaya hidup alternatif bagi
masyarakat. Artinya seseorang dapat menjadi LGBT dengan adanya informasi dan
wawasan yang membuat pola pikir seseorang berubah dan secara tidak langsung dapat
merubah orientasi seksualnya juga. Dengan demikian, LGBT dapat ditangani dengan
terapi untuk merubah pola pikir mereka.
Seiring berjalannya waktu, komunitas orang-orang LGBT mendapatkan
diskriminasi yang berat dari masyarakat. Mulai dari dikeluarkan dari pekerjaan,
dianggap sebagai orang gila, sebagai kriminal, dan isu-isu diskriminasi lainnya. Pada
tahun 1951, Donald Webster Cory menerbitkan The Homoseksual di Amerika (Cory,
1951), yang menyatakan bahwa laki-laki gay dan lesbian adalah kelompok minoritas
yang sah. Hingga tahun 1950-1970an komunitas pendukung LGBT memunculkan
gerakan meminta ditiadakannya diskriminasi terhadap komunitas LGBT.6
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang
dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Dan demokrasi
menepatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan berdasarkan pada teori kontrak
sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-
masing orang secara individual tetapi harus bersama-sama. 7 Hak menjadi tidak
bermakna jika tidak mempunyai dukungan hukum, karena tidak adanya kekuatan
yang memaksa manusia untuk menghormati hak orang lain, maka hak bisa saja
diabaikan. Hak dapat lebih bermakna jika dibicarakan secara legal, oleh karena itu
harus ada definisi legal dan sanksi hukumnya. Konsep hak asasi manusia menegaskan
bahwa, hak sudah melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Dan sistem
demokrasi menjadi sesuatu yang sangat cocok untuk merepresentasikan berbagai
macam kepentingan dari tiap-tiap anggota masyarakat dalam berkenegaraan.
Perkembangan sistem demokrasi saat ini oleh Letfort (1988) dipahami sebagai ruang
kosong, karena keinklusifannya sebagai kehendak bersama. Dalam hal ini demokrasi
memberikan peluang bagi narasi-narasi kecil seperti minoritas LGBT untuk
mempertanyakan norma heteroseksual yang terinstitusi dalam sosial, yang
menyebabkan keberadaan mereka dipinggirkan.8
Tuntutan LGBT terhadap pemenuhan hak asasi manusia, tentunya harus
disesuaikan dengan nilai-nilai dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. LGBT
adalah sebuah penyimpangan dari kodrat dan fitrah manusia. Manusia sejatinya
diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu pria dan wanita. Konsepsi itu
jelas dianut oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut
Pasal 1 undang-undang tersebut, hanya antara pria dan wanita. Dengan begitu,
perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia.
Adapun perlindungan, yang harus dijamin dan diberikan dalam konteks LGBT
ini dari perspektif HAM adalah perlindungan hak asasi mereka dalam bentuk jaminan
kesehatan untuk bisa sembuh dari penyakitnya, sebagaimana termaktub dalam Pasal
25 DUHAM.
6
Meilanny Budiarti Santoso, LGBT Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Social Work Jurnal, Vol. 6,No. 2, hlm.
222.
7
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm. 200
8
Windi warna Irawan, Negara dan Hak Asasi Kelompok Minoritas LGBT, 2010.hlm. 29
B. HAM Dalam Tinjauan Islam
HAM adalah berbagai fasilitas dasar yang diberikan oleh Tuhan kepada umat
manusia, yang diantara sesama manusia tersebut memiliki fasilitas yang sama. Hanya
pada level praktisnya, antara satu dengan yang lainnya akan ditemukan banyak
perbedaan. Hal ini tergantung sejauh mana manusia itu sendiri mampu mengusahakan
hak tersebut secara optimal.
9
Hak-hak yang pertama yang dapat disebut hak-hak legal, sedangkan yang
kedua yang disebut sebagai hak-hak moral. Perbedaan keduanya hanya terletak pada
masalah pertanggungjawaban didepan suatu negara islam. Adapun dalam masalah
sumber asal, filsafat dan pertanggung jawabannya didepan Allah SWT yang maha
Kuasa itu sama.
9
Jhon. L. Eposito, Ensiklopedia Oxford dunia Islam modern, ( Jilid II cet 1 ; Bandung : Mizan, Zoon) , hlm. 136
Dalam Islam keserasian kesucian HAM jauh lebih besar daripada hanya
sekedar ibadah-ibadah ritual. Jika seseorang tidak memenuhi kewajibannya di
hadapan Allah dia mungkin saja masih bisa diampuni. Namun tidak demikian dalam
kasus tidak memenuhi kewajiban kepada sesama manusia.
Aspek khas dalam konsep HAM Islam adalah tidak adanya orang lain yang
dapat memaafkan suatu pelanggaran hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas
seseorang yang harus dipenuhi haknya. Meskipun Allah sendiri telah
menganugerahkan hak-hak ini, dan secara asalnya adalah tetap baginya. Serta
didepannyalah semua manusia wajib mempertanggungjawabkan, Allah tidak akan
melaksanakan kekuasaannya untuk mengampuni pelanggaran hak-hak pada hari akhir
kelak. 10
Konsep HAM dalam Islam yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia dalam kehidupannya, pada aspek-aspek tertentu masih menimbulkan
beberapa dilema syari’ah (ketentuan) Islam dalam realitas negara-bangsa (nation-
state) dan masyarakat modern saat ini, antara lain dalam diskursus tentang prinsip
atau asas konstitusionalisme modern dalam negara-bangsa, diskriminasi kaum hawa
dan juga diskriminasi non-muslim.
Dalam konsep Islam sangat jelas bahwa masalah HAM dan bahkan semua
aspek kehidupan selalu menempatkan Tuhan (Allah SWT) pada posisi sentral
(theocentric), sedangkan dalam konsep sekuler berpandangan bahwa manusia yang
10
Syekh syaukhat hussain, Hak asasi manusia dalam islam, Diterjemahkan oleh Abdul Rahim C. H, (cet. I
Jakarta : Gema insani pers, 1996), hlm. 55
11
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan
Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LKiS,
1994) hlm. 147-165.
menempati posisi sentral (anthropocentric). Dengan demikian, nilai-nilai yang
terkandung dalam HAM Islam selalu didasarkan pada norma-norma hukum Tuhan.
BAB III
12
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap
Konsep Demokrasi (1966-1993), alih bahasa. Wahib Wahab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 101.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam Islam keserasian kesucian HAM jauh lebih besar daripada hanya
sekedar ibadah-ibadah ritual. Jika seseorang tidak memenuhi kewajibannya di
hadapan Allah dia mungkin saja masih bisa diampuni. Namun tidak demikian dalam
kasus tidak memenuhi kewajiban kepada sesama manusia. Aspek khas dalam konsep
HAM Islam adalah tidak adanya orang lain yang dapat memaafkan suatu pelanggaran
hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas seseorang yang harus dipenuhi haknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,Masykuri, 1999,Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), alih bahasa. Wahib Wahab, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.
An-Naim, Abdullah Ahmed, 1994, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi
Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, Yogyakarta: LKS.
Asshiddiqie, Jimly, 2012, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika.
Eposito, Jhon. L, Ensiklopedia Oxford dunia Islam modern, Jilid II cet 1 ; Bandung : Mizan,
Zoon.
Hussain, Syekh syaukhat, 1996, Hak asasi manusia dalam islam, Diterjemahkan oleh Abdul
Rahim C. H, cet. I Jakarta : Gema insani pers.
Irawan, Windi warna, 2010, Negara dan Hak Asasi Kelompok Minoritas LGBT.
Manan, Bagir, 2001,Perkembangan Pemikiran dan Pengantar HAM di Indonesia, Bandung:
Yayasan HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum.
Mahkamah Konstitusi and Republik Indonesia, Naskah Komperehensif Perubahan Undang-
Undang Dasar Nergara Republik Indoensia Tahun 1945-Buku VIII.
Mahkamah Konstitusi;, ‘Naskah Komperehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 1’, 2008.
Santoso, Meilanny Budiarti, LGBT Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Social Work Jurnal,
Vol. 6,No. 2.