Anda di halaman 1dari 10

Nama : Fitry Amalia

NIM : 1820310202
Kelas : MBS 6F
Prodi : Manajemen Bisnis Syariah

Makalah 3
Filosofi Manjemen Resiko (W-1)

A. Konsep Dasar Risiko


Menurut Herman Darmawi, risiko dihubungkan dengan kemungkinan
terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan, atau tak terduga. Dengan
kata lain “Kemungkinan” itu sudah merupakan kondisi yang menyebabkan
timbulnya risiko.1

Dalam sebuah pepatah bijak dikatakan:

“Kenali dirimu sendiri, dan kenali pula musuhmu. Niscaya dalam 100
pertempuran akan ada 100 kali kemenangan.”

Sebagaiman kata-kata bijak dia atas, kesuksesan mengelola risiko bisa


diraih dengan mengetahui secara benar apa itu risiko dan bagaimana kesiapan
kita dalam mengelola risiko. Risiko bisa muncul kapan saja yakni sebelum,
ketika, dan setelah pengambilan keputusan dilakukan. Sebagai ilustrasi, ketika
komite pembiayaan akan memutuskan untuk menyetujui atau menolok prosposal
pengajuan pembiayaan calon debitur. Tiap keputusan dari kedua pelihan tersebut
memiliki konsekuensinya masing-masing. Menolak proposal pengajuan bisa
mengakibatkan risiko hilangnya debitur sekaligus calon nasabah potensial.
Sementara, menyetujui proposal juga bukan berarti terjaminnya keselamatan
sampai akhir masa pembiayaan. Bisa saja debitur yang diputuskan untuk
dibiayai, belakangan baru ketahuan, bukanlah termasuk debitur idaman yang
bisa membayar cicilan murabahah dan istishna’ atau mengirimkan komoditas
salam dengan tepat waktu. Ilustrasi lainnya, misalnya dalam kasus pembiayaan
mudharabah atau mustarakah, debitur yang dibiayai bank ternyata baru

1
Herman Darmawi, Manajemen Risiko, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.21

1
ketahuan bukanlah debitur yang amanah dan professional dalam
mengembangkan usah syirkah yang dibentuk.2

Bentuk-Bentuk Risiko
Salah satu prasyarat untuk dapat mengelola risiko dengan baik adalah
dengan memahami bentuk risiko. Risiko dapat diklasifikasikan berdasarkan
penyebab terjadinya atau dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan penyebab
terjadinya, risiko dibagi menjadi dua, yakni risiko nonbisnis dan risiko bisnis.
Risiko nonbisnis muncul dari berbagai factor yang tidak terkait dengan bisnis
yang dijalankan, namun dampaknya akan memengaruhi bisnis, seperti
kebakaran, banjir, polusi, gempa bumi, dan sebaginya. Risiko jenis ini termasuk
dalam kelompok risiko murni. Umumnya, bank memitigasi dampak risiko ini
dengan mentransfer dan berbagai risiko ke perusahaan asuransi (takaful) atau
reasuransi (re-takaful) melalui skema ta’awun. Sedangkan risiko bisnis muncul
karena proses bisnis yang dilakukan bak, seperti kesalahan saat membuat
perencnaa, kurangnya informasi saat pengambilan keputusan atau kurang
optimalnya penglolaan asset bank. Kemudian, oleh Bank Indonesi amealalui PBI
Nomor 13/23/PBI/2011, risiko ini dibagi lagi menjadi beberapa jenis risiko,
yakni risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko
hukum, risiko reputasi, risiko strategis, risiko kepatuha, risiko imbal hasil, dan
risiko investasi.3
Sementara itu, berdasrakan dampaknya, risiko dibagi mejadi dua.
Pertama, risiko yang dampaknya hanya ditangguan oleh proyek atau bank atau
institusi tertentu, terisolasi dan tidak merembet pada proyek atau institusi lain.
Risiko ini disebut dengan risiko unik, risiko nonsitematis (unsystematic risk),
atau risiko nonsistematis (unsystematic risk). Karena terisolasi, lazimnya risiko
ini terjadi akibat factor-faktor yang hanya ada dan terjadi pada individu bank
ataun institusi ayau proyek tertenu, dan tidak pada selainnya. Dalam membetnuk
suatu portofolioinvestai, untuk meminimalkan total risiko yang dihadapi,
berdasarkan prinsip diversifikasi risiko, sering kali risiko unik uni akanmenjadi
objek risiko yang harus diminimalisasi, dan karenanya disebut juga risiko yang
dapat didiversifikasi (diversified risk). Karena sangat spesifik, risiko ini disebut
juga dengan istilah idiosyncratic risk. Kedua, risiko yang dampaknya
menyebabkan terjadinya efek domino, yakni mneyeret proyek atau institusi atau
sector atau bahkan Negara lain untuk terkena dampak risiko tersebut atau
berdampak pada keseluruhan pasar atau system yang ada. Lazimnya, risiko ini
muncul sebagai akibat adanya factor risiko bersama di pasar dan terjadinya
hubungan interdependensi antar-unit atau institusi atau sector ekonomi. Factor
risiko ini umumnya terkait degan variable makro-ekonomi atau kondisi sektoral

2
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.3
3
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.4

2
atau geografis tertentu, risiko ini tidak mungkin dapat dihilangkan dengan
pendekatan diversifikasi portofolio investasi, kecuali jika keluar dari cakupan
tersebut. Karenanya, risiko pasar ini disebut juga dengan risiko yang tidak dapat
didiversifikasi (undiversified risk), risiko sistemis (systemic risk), atau risiko
sistematis (systematic risk). Klsifikasi risiko ini dapat ditunjukkan dalam
Gambar 1.1.4
Gambar 1.1. Klasifikasi Risiko yang dihadapi Bank Islam

Jenis-jenis Risiko

Berdasarkan Faktor Berdasarkan Faktor


Penyebabnya Dampaknya

Risiko Nonbisnis Risiko Bisnis Risiko Unik Risiko Pasar

Contoh: Disebut juga: Disebut juga:


Risiko akibat Contoh: risiko risiko yang tidak
kebakaran, Risiko keuangan, nonsistematis dapat
banjir, yakni risiko kredit, (unsystematic didiversifikasi
polusi, risiko pasar, risiko risk), risiko (undiversified
gempa likuiditas, risiko nonsistemis risk), risiko
bumi, dan operasional, risiko (unsystemic risk), sistemis (systemic
sebagainya. imbal hasil, dan risiko risiko yang dapat risk), risiko
investasi. didiversifikasi sistematis
Risiko nonkeuangan, (diversified risk), (systematic risk)
yakni risiko hukum, idiosyncratic risk.
risiko reputasi, risiko
strategis, dan risiko
kepatuhan.

B. Tahapan Manajemen Risiko


Manajemen Risiko sebagai Proses Berkelanjutan

4
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.4-5

3
Sebagaimana telah didiskusikan di atas, dalam menghadapi risiko, bank
Islam perlu memiliki berbagai amunisi pengelolaan risiko. Persiapan amunisi
sudah harus dimulai sejak tahap menetapkan tujuan dan strategi manajemen
risiko, mengidentifikasi, mengukur dan memitigasi risiko, melakukan
pengawasan, serta pelaporan implementasi manajemen risiko yang telah
dilakukan. Pengelolaan ini perlu dilakukan secara berkelanjutan, sebagaimana
juga risiko yang makin lama makin banyak jenis dan ragamnya. Misalkan,
awalnya pengelolaan risiko yang dibahas pada Basel I hanya mencakup risiko
kredit. Seiring waktu, banyak bank yang terekspos bahaya risiko pasar, maka
dibuatlan amandemen atas Basel I. kemudian, muncul Basel II menempurnakan
Basel I dengan memasukkan tiga risiko, yaitu: risiko kredit, risiko pasar, dan
risiko operasional. Ketiganya merupakan sumber risiko keuangan yang paling
penting, terutama bagi bank. Makin kompleksnya bisnis perbankan, muncullah
isu tentang risiko likuiditas. Melengkapi ketiga risiko keuangan sebelumnya.
Kemudian, berkembang kesadaran pentingnya mengelola risiko-risiko
nonkeuangan, seperti risiko hokum, reputasi, dan strategis. Sehingga, bank Islam
memerlukan suatu proses pembelajaran dan improvisasi berkelanjutan selama
siklus bisnis bank berjalan. Bagaimanapun, makin hari makin kompleks masalah
dan risiko yang dihadapi bank dan makin bervariasi risiko yang dihadapi seiring
dengan makin canggihnya sistem dan kompleksnya masalah itu sendiri.5
Membangun Filosofi Dan Budaya Organisasi
Proses menejemen risiko harus dimulai dengan membangun budaya organisasi,
menanamkan filosofi, dan mengintergrasikan visi dan misi ke dalam system
yang ada. Bukan hanya sekadar membangun system manajemen risiko secara
fisik, seperti jargon, system tekonologi informasi, prosedur standar operasi,
system reward dan punishment, dan sebagainya. Namun, lebih penting lagi
adalah membangun kesadaran dan budaya kerja berbasis pengendalian risiko.
Masing-masing elemen dalam bank Islam paham dan sadar bahwa risiko
senantiasa mengintai mereka. Bukan hanya dalam ruang kerja, namun juga saat
mereka berangkat dan pulan kerja. Mereka sadar bahwa sekecil apa pun risiko
yang menimpa mereka, bukan hanya akan berdampak pada diri mereka sendiri,
namun juga pada bank di mana mereka bekerja. Terganggunya kegiatan operasi
sehari-hari, meruginya bisnis bank, bahkan hingga terancamnya keberlangungan
bisnis.6
Membangun Komitmen Manajamen Puncak
Hal yang perlu diingat bahwa manajemen risiko pada perbankan Islam tidak
mungkin berjalan dengan efektif jika lingkungan di sekitarnya tidak memiliki
kesadaran tinggi akan risiko yang bisa muncul kapan dan di mana saja. Untuk
5
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.9
6
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h. 9-10

4
mencapai efektivitas tersebut, diperlukan satu system manjemen risiko yang
membudaya dari level komisaris dan direksi sampai ke lini terbawah pada
institusi perbankan Islam. Praktiknya, tahapan ini dimulai dari penetapan arah
dan tujuan, kebijakan, dan strategi menajemen risiko. Menetapkan cakupan dan
batasan diterminaya risiko, disepakati oleh pemegang saham, dan
pelaksanaannya langsung dikomandani oleh direksi. Seluruhnya ketetapan
tersebut harus dibuat terstandarisasi dan sejelas mungkin, serta dikomunikasikan
secara berkala kepada seluruh divisi terkai. Intinya, bank sebagai suatu
organisasi harus seiya sekata, satu arah, dan tujuan.
Menyiapkan Sistem Bank Data yang Memadai
Tujuan proses berkelanjutan manajemen risiko adalah untuk menjadi makin baik
dan sempurna dalam menghadapi tantangn zaman. Hal ini sangat bergantung
pada kesiapan system bank data, kecukupan system teknologi informasi,
perangkat lunak dan keras, kedisplinan dalam mencatat setiap kejadian risiko,
kecukupan standar peloporan, serta terbangunnya prosedur analisis dan evaluasi
secara berkala dan kontinu.
Semua temuan yang mengindikasikan adanya penyimpangan harus tercatat dan
segera di konfirmasikan, misalnya melalui rapat rutin komite manjemen risiko,
dan dicari jalan keluar, diambil lesson learned-nya, serta disosialisaikan kepada
bagaian-bagian terkait untuk mencegah terulangnya penyimpangan yang sama.
Berdasarkan data yagn terhimpun, dibangun meta data atas definisi risiko,
klasifikasi, dan identifikasi berbagai factor risiko. Semuanya didasarkan atas
kejadian empiris dan sesuai dengan konteks banknya. Mengingat bahwa
masing-masing bank adalah unik, sehingga tidak adil jika hanya merujuk pada
definisi umum yang ada di buku atau literature-literatur. Dengan meta data ini,
dapat dibangun kebijakan mitigasinya.
Mengukur dan Menyajikan Risiko
Setelah mengidentifikasi, risiko perlu diukur secara konsisten dan
disajian dalam bentuk yang mudah dipahami. Pengukuran risiko dapat dilakukan
dengan menyusun matriks risiko (lihat Tabel 1.1). Risiko perlu diukur, bukan
hanya untuk kepentingan mitigasi risiko bagi bank, namun juga dipersyaratkan
oleh regulator.7
Tabel 1.1. Penyusunan Matriks Risiko

Risiko
Informasi Terkait Risiko
A B C D
Frekuensi terjadinya
Dampak yang ditimbulkan
Upaya pencegahan atau pengendalian yang dilakukan
7
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.10-11

5
saat ini
Upaya pencegahan atau pengendalian yang disarnkan
de depan
Kemungkinan kerugian (Rp)
Biaya pencegahan dan pengendalian (Rp)
Nilai kerugian (Rp)
Sumber: Dikompilasi dari berbagai sumber
Pengukuran risiko dilakukan untuk mengetahui relatif tingkat pentingnya
risiko tersebut dan untuk memperoleh informasi guna menetapkan kombinasi
peralatan manajemen risiko yang cocok untuk menanganinya.8
Mitigasi Risiko
Setelah diidentifikasi dan diukur, diharapkan risiko dapat ditekan sebisa
mungkin. Namun bila ternyata risiko tetap terjadi, maka perlu dilakukan upaya-
upaya mitigasi agar dampak yang ditimbulkan risiko tersebut bisa
diminimalisasi sekecil mungkin. Setelah mitigasi dilakukan semua risiko perlu
didokumentasikan. Hal yang perlu masuk dalam dokumentasi tersebut antara
lain: penyebab, bentuk, dampak yang ditimbulkan, dan lesson learned yang
dapat diambil. Semua dokumentasi ini harus disirkulasikan ke bagian lain yang
terkait dan diarsip agar di masa depan risiko yang sama tidak terulang lagi.9
Pengawasan Praktik Manajemen Risiko
Pengawasan atas keseluruahan proses dan tahapan ini dilakukan secara
berkesinambungan dan terdokumentasi. Dengan demikian tahapan manajemen
risiko telah dilakukan sepenuhnya. Pengawasan praktik manajemen risiko.
Namun, seiring meluasnya potensi risiko yang mungkin “menyerang” bank
Islam, proses supervise risiko sebaiknya dilakukan oleh divisi atau departemen
tersendiri dan bertanggung jawab pada direksi. Bahkan, idealnya, sebagai bank
Islam, tanpa diawasi pun, apa yang telah menjadi kesepakatan bersama
seharunya dijalankan dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Terlebih lagi,
wajib diyakini bahwa setiap amanah yang diemban di dunia ini pasti akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di hari kiamat. 10

C. Pandangan Islam terhadap Risiko


Risiko sebagai Fitrah Bisnis
Islam merupakan agama fitrah yang komplit dan menyeluruh. Oleh
karena itu, tidak ada satu pun urusan fitrah manusia yang luput dari perhatian
syariat Islam. Tidak ada sesuatu pun, dalam urusan dunia maupun akhirat,
kecuali Islam telah menjelaskan perkaranya, Allah Ta’ala berfiman dalam sutat
8
Herman Darmawi, Manajemen Risiko, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 44
9
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.12
10
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.12-13

6
Al-Ana’am ayat 38 yang artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbagn dengan kedua sayapnya, malainkan
umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab
(al’Qur’an), kemudian kepada Tuhanlah mereka digimpunkan.”
Kegiatan perniagaan (bisnis) merupakan salah satu fitrah dari manusia
karena dengan berniaga manusia dapat memenuhi berbagai keperluannya. Setiap
bisnis yang dijalankan oleh manusia pasti akan menimbulkan dua konsekuensi di
masa depan, yaitu keuntungan dan kerugian. Keduanya merupakan dua hal yang
tidak terpisahkan dari kegitan bisnis. Tidak ada satu pun yang bisa menjamin
bahwa bisnis yang dijalankan oleh seseorang akan mengalami keuntungan atau
kerugian di masa depan. Dengan demikian, risiko itu sendiri merupakan fitrah
yang senantiasa melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, Islam tidak
mengenal adanya transaksi bisnis yang bebas risiko.11
Para ulama telah bersepakat bahwa terdapat dua kaidah penting yang
harus diperhatikan dalam menjalankan bisnis dan setia transaksi usaha, yaitu
kaidah al-kharaj bidh dhaman (pendapatan adalah imbalan atas tanggungan
yang diambil) dan al ghunmu bil ghurmi (keuntungan adalah imabalan atas
kesiapan menggung kerugian). Kedua kaidah tersebut bersumber dari hadis Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya
seorang lelaku membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut
tinggal bersamanya selam beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli
mendapatkan adanya cacat pada budah tersebut. Kemudian pembeli mengadukan
penjual kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan
agar budah tersebut dikemalikan. Maka penjual berkata, “Ya Rasulullah!
Sungguh ita telah memperkerjakan budakku?.” Maka RAsulullah bersabda:
“Keuntungan adalah imbahan atas kerugian.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Abu
Dawud, An-nasai dan dihasankan oleh Al-Bani). Maksud dari kedua kaidah
tersebut di atas adalah orang yang berhak mendapakan keuntungan ialah orang
yang punya kewajiban menanggung kerugian (jika hal itu terjadi). Keuntungan
merupakan konpensasi yang pantas atas kesediaan seseorang menganggung
potensi kerugian. Seorang pedagang berhak mengambil keuntungan atas barang
yang dijualnya karena ia telah menganggung seluruh risiko terkait barang
daganganya (kerusakan barang sebelum terjual, kehilangan barang dagang, tidak
laku, dan lain sebagainya). Seorang mudharib dan shahibul mal dalam transaksi
mudharabah masing-masing berhak atas pembagian keuntungan usaha karena
setiap pihak menanggung risiko atas sumber daya yang dimilikinya. Shahibul
maal menanggung risiko kehilangan modal dan mudharib menanggung risiko
hilangnya sumber daya usaha yang dimilikinya. Karena kedua pihak sama-sama
menanggung risiko, maka keduanya pun berhak atas bagian keuntungan usaha.

11
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.15

7
Dengan dua kaidah tersebut, Islam menghilangkan ketidakadilan dan melindungi
hak setiap pihak yang terlibat dam transaksi bisnis. 12
Konsekuensi logis lainnya dari kaidah “al’kharaju bidh dhamani” dan
“al’ghunmu bil ghurmi” adalah Islam melarang setiap jenis transaksi yang
didalamnya terjadi ketidak seimbangan antar risiko dan keuntungan. Dengan
kata lain. Islam melarang setiap jenis transaksi yang menghasilkan keuntungan
tanpa adanya kesediaan menganggung kerugian. Itulah mengapa Islam melarang
adanya tambahan (bunga) dalam transaksi utang seperti yang biasa terjadi.
Dalam system keuangan konvensional. Pemberi pinjaman tidak memiliki risiko
apa pun atas dana yang dipinjamkannya karena islam mewajibkan setiap
peminjam untuk melunasi utangnya. Oleh karena itu, setiap tambahan atas
pengembalian uang dianggap sebagai riba. Jika tambahan atas utang
diperbolehkan, maka ketidakadilan akan terjadi di mana-mana. Seorang pemberi
pinjaman tanpa melakukan usaha dapat memperoleh keuntungan yang besar
sementara si peminjam harus bersusah payah untuk melunasi utang beserta
bungayaya kepada pemilik dana. Inilah yang membuat juran pemisah anatr si
kaya dan si miskin makin lebar. Si miskin yang berutang tidak akan pernah bisa
bankit dari kemiskinan karena terus dililit oleh besanya bunga utang semertara si
kaya akan makin kaya karena uangnya dapat berlipat ganda tanpa harus bersusah
payah menjalankan usaha. 13
Perspektif Islam dalam Pengelolaan Risiko
Perspektif Islam dalam pengelolaan risiko suatu organisasi dapat dikaji
dari kisah Yusuf dalam mentakwilkan mimpi sang raja pada masa itu. Kisah ini
termaktub dalam Qur’an sebagai berikut.

(setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf Dia berseru): "Yusuf, Hai
orang yang Amat dipercaya, Terangkanlah kepada Kami tentang tujuh ekor
sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang
kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang
kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya."
Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana
biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali
12
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.15
13
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h. 15-16

8
sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang
Amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya
(tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian
setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan
cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."
Dari kisah tersebut, bisa dikatakan bahwa pada tujuh tahun kedua akan
timbul kekeringan yang dahsyat. Ini merupakan suatu risiko yang menimpa
negeri Yusuf tersebut. Namun dengan adanya mimpi sang raja yang kemudian
ditakwilkan oleh Yusuf maka kemudian Yusuf telah melakukan pengukuran
dan pengendalian atas risiko yang akan terjadi pada tujuh tahun kedua tersebut.
Hal ini dilakukan Yusuf dengan cara menyarankan kepada rakyat seluruh
negeri untuk menyimpan sebagian hasil panennya pada panenan tujuh tahun
pertama demi menghadapi paceklik pada tujuh tahun berikutnya. Dengan
demikian maka terhindarlah bahaya kelaparan yang mengancam negeri Yusuf
tersebut. Sungguh suatu pengelolaan risiko yang sempurna. Proses manajemen
risiko diterapkan Yusuf melalui tahapan pemahaman risiko, evaluasi dan
pengukuran, dan pengelolaan risiko.14

D. Berbagai Pendekatan dalam Mengakui Risiko


Ada berbagai macam respon bank atas risiko yang dihadapinya. Sebagian
mereka menjadi fobia dan semaksimal mungkin menghindari berbagai factor
pemicu risiko tersebut. Sebagian merasa tidak mungkin aman dari risiko.
Mereka hidup bersama risiko. Maksimal yang mereka bisa lakukan hanyalah
memitigasi keterjadian dan dampak yang ditimbulkannya. Berbagai pendekatan
dilakukan, mulai dari pencegahan, mitigasi dampak, mentransfer risiko,
membagi risiko, dan menerima risiko. Mencegah dan meminimalkan risiko
dapat dilakuan dengan memperbaiki system pengendalian internal, mengubah
proses bisnis, atau mengganti elemen yang berbahaya (termasuk melakuakan
rotasi pegawai). Bank bisa juga membagi dan mentransfer risiko dengan cara
melakukan diversifikasi, subkontrak, outsourcing, takaful, atau berbisnis dengan
musyarakah. Sekali memilih untuk menerima risiko, bank perlu segera
menetapkan cakupan risiko, batas toleransi, dan ukuran risiko yang digunakan
serta segera mengembangkan system pengawalan yang andal. Makin canggih
system mitigasi yang bank miliki, risiko bukan hanya diterima dan dikelola, tapi
bahkan dikonversi menjadi peluang bisnis.15

14
Fasiha Kamal, “Manajemen Resiko dan Resiko dalam Islam”, Jurnal Muamalah, Vol IV, No. 2 (2014),
h.97
15
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.17

9
E. Manfaat Mengelola Risiko

Jika bank Islam mampu mengelola risikonya dengan andal dan


profesional, banyak sekali manfaat yang bisa mereka peroleh, adalah sebagai
berikut. 16
1. Bank dapat terhindar dari berbagai kerugian yagn tidak diperlukan,
menghemat biaya, terjaminnya kestabilan laba yang diharapkan, dan
terhindarnya bank dari kegagalan bisnis dan kebangkrutan usaha.
2. Keberlangsungan bisnis banyak lebih terjamin, tercipatanya pertumbuhan
yang berkelanjutan pengguanaan terbaik (best use) atas sumber daya bank,
dan memungkinkan bank focus pada pemberian layanan terbaik dan inovasi.
3. Proses bisnis bank berjalan sesuai rencana, jika terjadi penyimpangan dan
gangguan operasi, bak dapat segera mengantisipasi dan memberikan solusi
tepat guna.
4. Terbangunnya reputasi (positif) bank di mata masyarakat. Bank dikenal
sebagai institusi yang amanah dan profesioanl. Reputasi ini akan mendorong
investor dan nasabah berlomba-lomba memercayakan dananya untuk
dikelola. Kalaupun suatu saat bank membutuhkan dana cepat, institusi lain
akan dengan senang hati meminjamkan dananya atau berkolaborasi dalam
berinvestasi pada bank tersebut. Pemasok akan merasa aman memberikan
barangnya, meskipun pembayarannya tertunda (muajjal).

DAFTAR PUSTAKA

Darmawi, Herman Manajemen Risiko, Jakarta; Bumi Aksara, 2006


Wahyudi, Imam, Manajemen Risiko Bank Islam, Jakarta; Salemba Empat, 2013
Kamal, Fasiha “Manajemen Resiko dan Resiko dalam Islam”, Jurnal Muamalah, Vol IV, No. 2
(2014), h.97

16
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h.18

10

Anda mungkin juga menyukai