Acute Kidney Injury Lapkas
Acute Kidney Injury Lapkas
Aditya Prakoso
Ridha Aryani
Stanley
2015
i
LEMBAR PENGESAHAN
Pimpinan Sidang
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Gagal Ginjal Akut”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Bambang Darmawan, Sp.PD yang telah meluangkan waktunya
dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
2.5. Pencegahan..................................................................................................18
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................19
Daftar Pustaka........................................................................................................20
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut
(GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang
nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens.1
Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9%
pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20%
pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka
kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.4 Penurunan tersebut dapat terjadi
pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute
on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut
dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas
parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepus-
takaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan
hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria
untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap
penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.5,6
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initia-tive (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
3
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
4
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
minggu
bulan
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE.
AKIN meng-upayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
5
> 12 jam
AKI Prarenal
I . Hipovolemia
- Kehilangan darah
- Aritmia
- Vasokonstriksi ginjal
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
AKI Renal/intrinsik
I . Obstruksi renovaskular
- Glomerulonefritis, vaskulitis
- Toksin
sulfonamida
AKI Pascarenal
I . Obstruksi ureter
Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun 2005-2006,
12
didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul dengan gagal
jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroen-teritis akut
(masing-masing 3%).11
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan
ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.4,9 Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
13
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stig-mata penyakit hati kronik dan
hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia
menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki
tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan
zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin,
asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan
tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau
hipertensi maligna.4,9,12 AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut
kostover tebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal,
atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal
menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi
maupun iritatif dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong
adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast
leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.4,13
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4).
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga
mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vaso-konstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x
Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari
35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang
yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan
reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama
juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami
adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa
keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi
vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus
ginjal yang masih baik sehingga FE Na dapat pula menunjukkan hasil kurang dari
1%.13
Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria di-agnosis AKI (Cr serum,
LFG dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain
(1) sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang
berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal
(iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomeru-lus atau tubulus); (3) tidak sensitif
karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan
tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan. Penghitungan LFG
menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk
pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan
kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat “ditangkap” oleh rumus-rumus yang
ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan
sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut
menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat
berpe-ngaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata laksanasehingga dapat
berpengaruh pada prognosis penderita. Dibutuhkan penanda biologis ideal yang
mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini sebelum terjadi peningkatan
17
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan
bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan
penyebab AKI; NGAL, IL-18, GST-π , dan γ-GST merupakan penanda potensial
diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial
prediksi kematian setelah AKI. Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis
yang ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda bio-logis.14,16 Sampai
saat ini belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia.9
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti-mal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya
ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi
sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng-
hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan
harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan
awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
18
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat
kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.
19
Katabolisme
kgBB/hari kgBB/hari
20
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien
Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-
oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal
tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik
menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun,
penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik
untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah
dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan peng-gunaan dosis
tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-
15,78).20,21 Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik
dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa
hal yang harus diperhatikan pada peng-gunaan diuretik sebagai bagian dari tata
laksana AKI adalah:17,21
21
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan
tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit.
Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-
22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas. 17,21
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.25
KOMPLIKASI TATALAKSANA
Kelebihan cairan - Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular
24
- Penggunaan diuretik
2.5. Pencegahan
BAB 3
KESIMPULAN
Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan
berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat penyakit
juga dapat menggambarkan prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi
pengganti ginjal. Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit,
dan komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata laksana AKI mencakup upaya tata
laksana etiologi, pencegahan penu-runan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan
nutrisi, serta tata laksana komplikasi.
28
Daftar Pustaka
29
1 . Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
3 . Waikar SS. Declining mortality in patients with acute renal fail-ure, 1988 to
2002. J Am Soc Nephrol. 2006;17:1143-50.
4 . Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi-tor. Harrison’s principle
of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
5 . Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas-sification:
time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87 .
30
6 . Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.
9 . Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli
RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan
gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.41-66.
2007;357:797-805.
14 . Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of
acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:844-861.
16 . Coca SG, Parikh CR. Urinary biomarkers for acute kidney injury:
perspectives on translation. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:481-490 .
18 . Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-ogy & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
19 . Gill N, Nally Jr JV, Fatica RA. Renal failure secondary to acute tubular
necrosis. Chest. 2005;128;2847-2863.
24 . Loekman JS. Vasoactive drugs and the kidney. Dalam: Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-ogy & hypertension
course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.13-17.
25 . Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol.
2000;16:175.
34
27 . O’Leary MJ, Bihari DJ. Preventing renal failure in the critically ill:There are
no magic bullets-just high quality intensive care. Br Med J. 2001;322:1437-9.