Anda di halaman 1dari 3

BAB II Buku Prof Sunaryati

Sampai saat ini di Indonesia agaknya masih berlaku faham bahwa hukum hanya dapat
mengikuti perkembangan masayrakat, sebab biasanya dikatakan bahwa hukum itu selalu
hinktachter de feitenaan.
Cara berpikir semacam ini di kalangan sarjana hukum didasarkan pada dua ajaran yang telah
mendarah daging dan dianggap sebagai kebenaran yang mutlak
Pertama, ajaran mahzab sejarah yang dikemukakan oleh Von Savigny, bahwa hukum itu
tidak dibuat, akan tetapi tumbuh bersama-sama dengan masyarakat yang bersangkutan (Das
Recht wird nicht gemacht, aber ist und wird mit dem Volke). kKedua, ajaran Ter Haar yang
dikenal sebagai Teori Keputusan (Beslissingenleer), yang mengemukakan bahwa hanya
kebiasaan kebiasaan yang diakui oleh apra penguasa di dalam keputusannya itulah yang
merupakan kaidah hukum. Dengan demikian maka hanyalah kaidah-kaidah yang sudah
merupakan kebiasaan di dalam masyarakat saja yang mungkn akan menjadi kaidah hukum.
Karena surau kebiasaan hanya dapat tumbuh bila suatu peraturan terjadi secara berulang-
ulang, maka kaidah hukum yang dapat tumbuh, juga hanya menyangkut peristiwa yang
sudah biasa terjadi atau pernah dialami di dalam masyarakat tersebut. Karena itu tidak
mungkin dengan faham ini akan dapat timbul ata ada kaidah hukum yang belum pernah
terjadi dalam masyarakat kita. Dapat dikatakan bahwa hingga sekarangpun kebanyakan
sarjana hukum di Indonesia masih menganggap bahwa hukum itu selalu berorientasi ke masa
lampau.

Maka tidaklah mengherankan apabila di dalam suatu seminar hukum di Jakarta pada akhir
tahun 1972, seorang tokoh pendidikan hukum dengan penuh keyakinan mengmukakan:
“biarlah sarjana hukum berjalan dibelakang saja. memang itu tugas kita.

Untuk menilai, apakah sikap seperti ini masih tepat di dalam suasana pembangunan yang
berencana, baiklah kita teliti dahulu masalah masalah apa dan yang bagaimana yang kita
hadami dewasa ini dalam usaha pembentukan hukum, khususnya dalam bidang perencanaan
Undang-Undang .

Jika misalnya pada tahun 1075 ditugaskan untuk membuat suatu rancangan Undang-Undang,
RUU itu diperkirakan paling cepat akan mulai berlalku kira-kira tahun 1980. Kaena itu
apabila dikehendaki agar uu itu masa berlakunya dapat mencakup kurang lebih 20 tahun,
paka perancang Undang-Undang itu harus dapat memperkirakan kebutuhan-kebutuhan apa
yangakan timbul dalam masyarakat sekitar tahun 1980 sampai misalnya tahun 2000. Pada
waktu itu Indonesia sudah sampai pada akhir Repelita III dan memasuki Repelita IV.
Sehingga apabila RUU itu wajib memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Repelita IV dan
selanjutnya yang tergantung pada rencana pembangunan antara 1983-2000 itu. JAdi bukan
berdasarkan apa yang pernah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia sekitar tahun 1975
atau tahun 1950 atau lebih lampau lagi.
Dengan demikian, penyusunan suatu RUU berdasarkan penelitian historis, bukan berdasarkan
penelitian sosiologis sekalipun, kini tidak lagi memadai. Karena suatu RUU yang hanya
semata mata didasarkan pada penelitian sosiologis belaka, yaitu yang didasarkan pada apa
yang menjadi kebutuhan masyarakat masa kini, sudah ketinggalan jaman pada saat ia mulai
diberlakukan, apalagi tahun sesudah itu.

Kiranya hal ini membuktikan, bahwa sikap lama, yang berdasarkan ajaran Von Savigny, atau
Ter Haar yang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum harus terlebih dahulu diakui sebagai
suatu kebiasaan di dalam masyarakat, sehingga sudah sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat yang bersangkutan, kini tidak lagi dapat diandalkan dalam suasana pembagunan
nasional yang berencana menuju pembentukan sistem hukum nasional kita.
Sebab pembentuk hukum dan perencana Undang-Undang kita dalam suasana pembangunan
yang berencana ini tidak hanya perlu meningkatkan status kebiasaan yang sudah berlaku di
dalam masyarakat, menjadi Undang-Undang atau huku akan tetapi lebih dari itu: pembentuk
hukum dan perencana uu kita harus mampu menemukan kaidah-kaidah hukum bagi
hubungan-hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat yang masih belum terbentuk,
tetapi menjadi cita-cita bangsa.

maka kalau di dalam masyarakat yang tidak membangun secara berencana, kebiasaan yang
membentuk hukum sebaliknya dalam masyarakat Indonesia yang membangun secara
berencana, kini hukumlah yang harus membentuk kebiasaan. Inilah perbedaan hakiki antara
pembentukan hukum dalam hukum adat, dan cara pembentukan hukum dalam amsyarakat
Indonesia modern.
Hukum pembangunannansional mempunyai empat fungsi
a. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan
b. Hukum sebagai sarana Pembangunan
c. Hukum sebagai sarana penegak keadilan
d. Hukum sebagai pendidikan masyarakat

a. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan


sejak zaman purbakala kaidah-kaidah hukum itu diadakan untuk menyelesaikan sengketa atau
perkelahian antara warga masyarakat

ancaman pidana
rumusan pasal
bentuk delik

pemulangan
deportasi
ekstradisi
cegat (red notice)

Pasal 4 asas nasionalitas pasif (perlindungan)

Pasal 5 asas nasionalitas aktif (wni) personalitas

misalnya aril pengen membunuh jere, dia udah siapin alatnya udah beli pisau tapi ternyata
gagal karena ternyata jere bisa

over macht, pemaaf


noodweer exes pemaaf
menjalankan perintah jabatan palsu

notoestand pembenar
noodweer asa proporsionalitas
kriteria perbuatan beralnjut

1.      Harus ada satu keputusan kehendak.


2.      Masing-masing perbuatan harus sejenis.
3.      Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama.

Anda mungkin juga menyukai