Anda di halaman 1dari 49

DIKTAT

(BUKU AJAR)

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Planning Group

1. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. MHum.


2. Dr. Putu Tuny Cakabawa Landra, SH., M. Hum.
3. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.
4. Made Maharta Yasa, SH., MH.
5. A.A. Sri Utari, SH. MH.
6. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH.
7. I Made Budi Arsika, SH., LL.M.
8. Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH., MH., LL.M.
9. I Gede Putra Ariana, SH., MKn.
10. Cok. Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, SH., MH.
11. Komang Widiana Purnawan, SH., MH.
12. Putu Aras Samsithawrati, SH., LL.M.

BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha
Esa karena atas berkat wara nugrahaNya, Buku Ajar Hukum Perjanjian
Internasional ini berhasil diselesaikan. Buku Ajar ini merupakan hasil Revisi dari
block book Tahun 2010 yang dimaksudkan untuk memperbaiki format,
mereformulasi jenis-jenis tugas serta pemutahiran substansi dan referensi. Buku ini
disusun sebagai pedoman pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa
maupun bagi dosen dan tutor, sehingga pelaksanaan perkuliahan diharapkan
berjalan sesuai dengan rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Substansi Diktat (Buku Ajar) ini meliputi identitas mata kuliah, tim
pengajar, deskripsi mata kuliah, organisasi materi, metode dan strategi
pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian, penilaian, dan Bahan Pustaka. Selain itu
terdapat pula kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada setiap pertemuan
berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran. Buku Ajar ini juga dilengkapi
dengan Silabus, Rencana Pembelajaran Semester (RPS), dan Kontrak Kuliah yang
ditempatkan pada lampiran.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada segenap pihak yang telah
berkenan membantu penyusunan buku ini. Secara khusus, kami ucapkan terima
kasih kepada Dr. I Dewa Gede Palguna, SH, MHum atas ijin dan perkenannya
untuk menggunakan sejumlah bahan perkuliahannya di dalam buku ini. Semoga
Buku Ajar bermanfaat bagi pelaksanaan proses pembelajaran dan mencapai hasil
sesuai dengan kompetensi yang direncanakan.

Denpasar Nopember 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul .............................................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii

I. Identitas Mata Kuliah ............................................................................. 1


II. Deskripsi Substansi Perkuliahan ............................................................ 1
III. Capaian Pembelajaran ............................................................................ 2
IV. Manfaat Mata Kuliah .............................................................................. 2
V. Persyaratan Mengikuti Mata Kuliah ....................................................... 2
VI. Organisasi Materi ................................................................................... 3
VII. Metode, Strategi, Dan Pelaksanaan Proses Pembelajaran ...................... 4
VIII. Tugas-Tugas ........................................................................................... 5
IX. Ujian-Ujian Dan Penilaian ..................................................................... 5
X. Bahan Pustaka ........................................................................................ 6
XI. Jadwal Perkuliahan ................................................................................. 9

Pertemuan I : Perkuliahaan Pertama .................................................... 10


Pertemuan II : Tutorial Pertama ............................................................. 13
Pertemuan III : Perkuliahaan Kedua ........................................................ 15
Pertemuan IV : Tutorial Kedua ................................................................ 19
Pertemuan V : Perkuliahaan Ketiga ........................................................ 20
Pertemuan VI : Tutorial Ketiga ................................................................ 26
Pertemuan VII : Perkuliahaan Keempat .................................................... 27
Pertemuan VIII : Tutorial Keempat ............................................................ 30
Pertemuan IX : Ujian Tengah Semester ................................................... 31
Pertemuan X : Perkuliahaan Kelima ....................................................... 32
Pertemuan XI : Tutorial Kelima ............................................................... 35
Pertemuan XII : Perkuliahan Keenam ....................................................... 38
Pertemuan XIII : Tutorial Keenam ............................................................. 41
Pertemuan XIV : Perkuliahan Ketujuh ....................................................... 43
Pertemuan XV : Tutorial Ketujuh .............................................................. 44
Pertemuan XVI : Ujian Akhir Semester ..................................................... 46

Lampiran-Lampiran
Lampiran 1. Silabus
Lampiran 2. Rpp
Lampiran 3. Kontrak Kuliah

iii
I. IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Perjanjian Internasional


Kode Mata Kuliah : BII3220
SKS : 2 SKS
Prasyarat : Hukum Internasional (lulus)
Semester : 3 (Tiga)
Status Mata Kuliah : Wajib Institusional
Tim Pengajar :
1. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. MHum.
2. Dr. Putu Tuny Cakabawa Landra, SH., M. Hum.
3. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.
4. Made Maharta Yasa, SH., MH.
5. Anak Agung Sri Utari, SH. MH.
6. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH.
7. I Made Budi Arsika, SH., LL.M.
8. Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH., MH., LL.M.
9. I Gede Putra Ariana, SH., MKn.
10. Cok. Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, SH., MH.
11. Komang Widiana Purnawan, SH., MH.
12. Putu Aras Samsithawrati, SH., LL.M.

II. DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN

Mata kuliah ini mengkaji baik aspek teoritis maupun praktis Hukum Perjanjian
Internasional. Secara garis besar, materi-materi tersaji yang dibahas adalah: a)
Istilah dan Ruang Lingkup, Sumber Hukum, dan Bahasa dalam Perjanjian
Internasional, b) Bentuk dan Jenis Perjanjian Internasional, c) Proses Pembentukan
Perjanjian Internasional dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional, d)
Kewajiban untuk Melaksanakan Perjanjian, Penerapan, Penafsiran, Amandemen
dan Modifikasi Perjanjian Internasional, e) Ketidaksahan, Pengakhiran dan
Penundaan Bekerjanya suatu Perjanjian Internasional, dan f) Perjanjian
Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Regional serta g) Isu-
Isu Aktual Hukum Perjanjian Internasional.

1
III. CAPAIAN PEMBELAJARAN

Melalui partisipasi pada mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional ini mahasiswa
diharapkan mampu memahami asas-asas dan kaidah-kaidah Hukum Perjanjian
Internasional serta dapat menganalisa berbagai perkembangan dalam Hukum
Perjanjian Internasional.

IV. MANFAAT MATA KULIAH


Pada era globalisasi ini dimana batas-batas antarnegara menjadi semakin
tidak jelas (borderless), muncul berbagai permasalahan Hukum Internasional,
termasuk di antaranya mengenai Hukum Perjanjian Internasional. Mata kuliah ini
dikonstruksikan agar secara teoritis, bahwa mahasiswa memperoleh pengetahuan
mengenai asas-asas dan konsep-konsep hukum tentang perjanjian internasional; dan
secara praktis, mahasiswa diharapkan mampu menganalisis masalah-masalah yang
berkaitan dengan pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional serta
sejumlah isu aktual lainnya.

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH


Secara formal, mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah ini harus telah
lulus mata kuliah Hukum Internasional (Wajib Nasional /Kurikulum Inti- Kode
BNI2311) sebagaimana ditentukan berdasarkan Keputusan Rektor Universitas
Udayana Nomor : 980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman Pendidikan
Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan Keputusan Rektor
Universitas UdayanaNomor: 849/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Kurikulum Fakultas
Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Secara Substantif, mata kuliah ini
mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan mahasiswa terhadap materi-
materi dasar Hukum Internasional, di antaranya; Konsep Kedaulatan (sovereignty),
Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional, Sumber Hukum Internasional,
Subyek Hukum Internasional, serta Hubungan antara Hukum Internasional dan
Hukum Nasional.

2
VI. ORGANISASI MATERI

Materi kuliah terdiri dari sejumlah pokok bahasan dan sub pokok bahasan,
yang diorganisir sebagai berikut :
A. Pendahuluan
1. Peristilahan dan ruang lingkup
2. Sumber Hukum Perjanjian Internasional
1. Pemahaman terhadap Article 38 (1) of the Statute of the International
Court of Justice
2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and
International Organizations or between International Organizations, 1986.
5. Pembanding dalam pengaturan nasional Indonesia: Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 37 tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional.

B. Bentuk dan Jenis Perjanjian Internasional


1. Perjanjian Internasional dari Segi Bentuknya
2. Perjanjian Internasional dari segi jumlah pesertanya
3. Perjanjian Internasional dari segi kaidah hukum yang dilahirkannya
a. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract)
b. Perjanjian umum atau terbuka (Law-Making Treaty)
4. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya
a. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap
b. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap
5. Perjanjian Internasional dari segi jangka waktu berlakunya
6. Perjanjian Internasional dari Segi Bahasa yang Digunakan

C. Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan Mulai Berlakunya


Perjanjian Internasional
1. Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian (Subyek HI yang dapat
Berkedudukan sebagai Pihak dalam Perjanjian Internasional)
2. Hal-hal teknis dalam pembentukan perjanjian (Full Powers dan Credentials)
3. Persetujuan untuk terikat dalam suatu Perjanjian Internasional
(Penandatanganan, Pertukaran instrumen, Pengesahan/Ratifikasi,
Penyetujuan/Approval, Aksesi)
4. Reservasi (Pensyaratan)

D. Kewajiban Untuk Melaksanakan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan


Modifikasi Perjanjian Internasional
1. Asas Pacta Sunt Servanda
2. Asas Non-Retroaktif
3. Penafsiran
4. Pihak Ketiga dalam Perjanjian Internasional
5. Amandemen dan Modifikasi

3
E. Ketidaksahan, Penundaan dan Pengakhiran Suatu Perjanjian Internasional
1. Ketidaksahan Perjanjian Internasional
2. Penundaan
3. Pengakhiran

F. Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum


Regional
1. Persoalan hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional dalam
kaitannya dengan Perjanjian Internasional
2. Makna Article 27 of the Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
3. Pengujian Hukum Nasional terhadap Eksistensi Hukum Internasional
4. Pengujian Hukum Regional terhadap Eksistensi Hukum Internasional

G. Isu-Isu Aktual Hukum Perjanjian Internasional


1. Politik dalam Penafsiran Perjanjian Internasional
2. Eksistensi Perjanjian Internasional yang berkaitan dengan Organisasi
Internasional dalam Pengakhiran Status Keanggotaan di Organisasi
Internasional tersebut

VII METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES


PEMBELAJARAN

7.1.Metode Pembelajaran.

Perkuliahan ini akan diselenggarakan dengan metode Problem Based


Learning (PBL) sebagai salah satu bentuk pembelajaran yang berpusat pada
mahasiswa (student centered learning). Melalui penggunaan metode ini, mahasiswa
belajar (learning) menggunakan masalah sebagai basis pembelajaran yang mana
Dosen tidak semata-mata mengajar (teaching), tetapi juga memfasilitasi proses
pembelajaran.

7.2.Strategi Pembelajaran.
Mata kuliah ini didesain untuk dilaksanakan melalui 16 (enam belas) kali
pertemuan yang terbagi menjadi 7 kali perkuliahan (lecturing), 7 (tujuh) kali
tutorial, 1 (satu) kali Ujian Tengah Semester (UTS) dan 1 (satu) kali Ujian Akhir
Semester (UAS). Perkuliahan dilakukan untuk memberikan orientasi materi
perkuliahan per-pokok bahasan sedangkan tutorial diselenggarakan melalui
sejumlah tugas (task) dan petunjuk pembelajaran yang bervariasi.

4
7.3.Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial
7.3.1. Strategi dan Teknik Perkuliahan.
Perkuliahan akan dipaparkan dengan menggunakan media papan tulis (white
board) atau power point presentation serta penyiapan Bahan Pustaka tertentu yang
dapat diakses oleh mahasiswa. Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa harus
sudah mempersiapkan diri dengan melakukan penelusuran bahan, membaca dan
memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan sebagaimana yang tertuang di
dalam Buku Ajar. Teknik perkuliahan dilakukan dengan mengarusutamakan proses
pembelajaran dua arah melalui pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi.

7.3.2. Strategi Tutorial


Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas (Discussion Task, Study Task dan
Problem Task) sebagai bagian dari self study, kemudian membahasnya di kelas
tutorial. Selama 7 (tujuh) kali pelaksanaan tutorial di kelas, mahasiswa diharapkan:
a. Secara mandiri mengerjakan seluruh task.
b. Secara mandiri menyusun sebuah laporan tutorial. Laporan ini akan digunakan
sebagai komponen utama nilai tugas-tugas (TT) selain partisipasi dalam tanya
jawab/diskusi selama perkuliahan/tutorial.

VIII. TUGAS-TUGAS

Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan, dan mempersiapkan


tugas-tugas (tasks) yang ditentukan di dalam Buku Ajar. Tugas-tugas terdiri dari
tugas mandiri yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan,
dan tugas yang harus dipresentasikan.

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN

9.1. Ujian-Ujian

Bentuk instrumen evaluasi yang paling utama adalah Ujian tengah semester
(UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). UTS dan UAS akan diselenggarakan
dalam bentuk ujian tertulis (written exam) atau bentuk lain sebagaimana ditentukan
oleh Dosen Pengajar.

5
9.2. Penilaian
Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard skill
dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan UAS. Penilaian soft skill meliputi
penilaian atas kehadiran, keaktifan, kemampuan presentasi, penguasaan materi,
argumentasi, disiplin, etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap
muka selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai tutorial
yang dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA) diperhitungkan
menggunakan rumus sebagaimana ditentukan di dalam Buku Pedoman FH UNUD
2013, yaitu:

(UTS + TT ) + 2 (UAS)
2
NA =
3
Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan rincian dan
kesetaraan sebagai berikut :

Skala Nilai Penguasaan Keterangan dengan skala nilai


Huruf Angka Kompetisi 0-10 0-100
A 4 Sangat baik 8,0-10,0 80-100
B 3 Baik 7,0-7,9 70-79
C 2 Cukup 5,5-6,4 55-64
D 1 Sangat kurang 5,0-5,4 50-54
E 0 Gagal 0,0-4,9 0-49

X. BAHAN PUSTAKA

Bahan Hukum Primer yang digunakan sebagai referensi dalam perkuliahan,


yaitu:
1. Charter of the United Nations
2. Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations
and Co-operation among States in Accordance with the Charter of the United
Nations (1970)
3. General Agreement on Tariffs and Trade
4. International Law Commission Guide to Practice on Reservations to Treaties
2011
5. International Law Commission Articles on Responsibility of States for
Internationally Wrongful Act 2001.
6. Lisbon Treaty of the European Union

6
7. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
8. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
9. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986
10. Statute of the International Court of Justice (ICJ)
11. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
12. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
13. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
14. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
15. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
16. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide Convention,
1951
17. Decision of Court of First Instant (CFI) and Decision of the European Court of
Justice (ECJ) in Yusuf and Kadi Case.
18. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto Medellin,
Petitioner V. Texas, 2008.
19. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007
20. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUU-IX/2011

Adapun Bahan Hukum Sekunder Sekunder yaang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Agusman, Damos Dumoli, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan


Praktik Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010.
2. Arsika, I Made Budi, Kewenangan Konstitusional Presiden Repulik Indonesia
untuk Membuat Perjanjian Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia, Jurnal
Konstitusi, Volume IV. No. 1, Juni 2011, Pusat Kajian Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Udayana dan Mahkamah Konstitusi.
3. Dewanto, Wisnu Aryo, Problematika Keberlakuan dan Status Hukum Perjanjian
Internasional: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011,
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013.
4. Dewanto, Wisnu Aryo, Perjanjian Internasional Tidak Dapat Diterapkan Secara
Langsung di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik Terhadap Laporan DELRI
Kepada Komite ICCPR PBB Mengenai Implementasi ICCPR di Indonesia,
Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014.
5. Bakar, Dian Utami Mas, Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan
Perjanjian Internasional, Yuridika, Volume 29 No 3, September-Desember
2014
6. Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford,
1998
7. Buys, Cindy Galway, Conditions in U.S. Treaty Practice: New Data and
Insights on a Growing Phenomenon, 14 Santa Clara J. Int'l L.363 (2016).
8. Dixon, Martin, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University
Press, New York, 2007
9. Denza, Eileen, The Relationship between International and National Law dalam
Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University
Press, 2006

7
10. Dunoff, Jeffrey L and Mark A. Pollack, Reversing Field: What Can
International Law Teach International Relations?, ESIL Reflections, Volume 3,
Issue 3, March 27, 2014
11. Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014
12. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, 2003
13. Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung, 2011.
14. Miller, Vaughne and Arabella Lang, Brexit: how does the Article 50 process
work?, Briefing Paper, Number 7551, 30 June 2016, House of Commons
Library
15. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002
16. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005
17. Posch, Albert, The Kadi Case: Rethinking the Relationship between EU Law
and International Law?, The Columbia Journal Of European Law Online (15
Colum. J. Eur. L. Online 1 (2009)
18. Pauwelyn, Joost and Elsig, Manfred, the Politics of Treaty Interpretation:
Variations and Explanations across International Tribunals (October 3, 2011).
19. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015.
20. Shaw, Malcolm N, International Law, Fifth Edition, Cambridge University
Press, Cambridge, 2003.
21. Smolka, Jennifer and Benedikt Pirker, International Law and Pragmatics: An
Account of Interpretation in International Law, International Journal of
Language & Law vol. 5 (2016)
22. Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tata Nusa,
Jakarta, 2008

8
XI. JADWAL PERKULIAHAN
Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:
PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN
I. Pendahuluan Perkuliahan
II. Task mengenai materi Pendahuluan Tutorial
III. Bentuk dan Jenis Perjanjian Internasional Perkuliahan
IV. Task mengenai Bentuk dan Jenis Perjanjian Tutorial
Internasional
V. Proses Pembentukan Perjanjian Internasional Perkuliahan
dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
VI. Task mengenai Proses Pembentukan Perjanjian Tutorial
Internasional dan Mulai Berlakunya Perjanjian
Internasional
VII. Kewajiban Untuk Melaksanakan Perjanjian, Perkuliahan
Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan
Modifikasi Perjanjian Internasional
VIII. Task mengenai Kewajiban Untuk Tutorial
Melaksanakan, Penerapan, Penafsiran,
Amandemen dan Modifikasi Perjanjian
Internasional
IX. Ujian Tengah Semester Ujian
X. Ketidaksahan, Penundaan dan Pengakhiran Perkuliahan
Suatu Perjanjian Internasional
XI. Task mengenai Ketidaksahan, Penundaan dan Tutorial
Pengakhiran Suatu Perjanjian Internasional
XII. Perjanjian Internasional dalam Perspektif Perkuliahan
Hukum Nasional dan Hukum Regional
XIII. Task Mengenai Perjanjian Internasional dalam Tutorial
Perspektif Hukum Nasional dan Hukum
Regional
XIV. Isu-Isu Aktual Hukum Perjanjian Internasional Perkuliahan
XV. Task Mengenai Isu-Isu Aktual Hukum Tutorial
Perjanjian
XVI. Ujian Akhir Semester Ujian

9
PERTEMUAN I
PERKULIAHAN PERTAMA

Peristilahan, Sumber, dan Bahasa Perjanjian Internasional

Pendahuluan
Perkuliahan pertama akan menyajikan aspek-aspek mendasar mengenai
perjanjian internasional. Peristilahan dan definisi merupakan dua hal penting yang
akan dikupas dalam sesi ini selain pembahasan mengenai ruang lingkup hukum
perjanjian internasional sebagai bagian dari Hukum Iternasional Publik. Sumber
hukum perjanjian internasional juga akan menjadi pokok bahasan pada sesi ini.
Sebagai perkuliahan pendahuluan, materi-materi pada sesi ini akan menjadi
pengetahuan awal bagi mahasiswa untuk mempelajari materi-materi pada
perkuliahan selanjutnya.

Pokok Bahasan:
A. Peristilahan dan Ruang lingkup
B. Sumber Hukum Perjanjian Internasional
1. Pemahaman terhadap Article 38 (1) of the Statute of the International Court
of Justice
2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
5. Organizations or between International Organizations, 1986
6. Pembanding dalam pengaturan nasional Indonesia: Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 37 tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional

Uraian Pokok Bahasan


Istilah ‘perjanjian internasional’ merupakan padanan dari istilah ‘traktat’
yang telah lazim digunakan di Indonesia. Istilah ini merepresentasikan beragam
bentuk instrumen internasional yang digunakan oleh masyarakat internasional
dalam membentuk kaidah internasional, di antaranya traktat (treaty), konvensi
(convention), persetujuan (agreement/arrangement), kovenan (covenant), piagam
(charter), statuta (statute), akta (act), deklarasi (declaration), concord, pertukaran
nota (exchange of notes), pertukaran surat (exchange of letters), nota kesepahaman
(memorandum of understanding), pakta (pact), protokol (protocol), process verbal,
final act, modus vivendi, agreed minutes,).1

1
Lihat Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tata Nusa,
Jakarta, 2008, h. 17. Lihat juga Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian
Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 26-35 dan Roisah,
Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press, Malang,
2015, h. 1-12.
10
Sejumlah instrumen internasional dan nasional menunjukkan beragam
definisi perjanjian internasional, yang akan diuraikan sebagai berikut.
a. Article 2 (1) (a) Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969:
“treaty” means an international agreement concluded between States in
written form and governed by international law, whether embodied in a
single instrument or in two or more related instruments and whatever its
particular designation”
b. Article 2 (1) (a) Vienna Convention on the Law of Treaties between States
and International Organizations or between International Organizations
(1986): "treaty" means an international agreement governed by
international law and concluded in written form:
i. (i) between one or more States and one or more international
organizations; or
ii. (ii) between international organizations, whether that agreement is
embodied in a single instrument or in two or more related instruments and
whatever its particular designation”.
c. Article 2 (a) International Law Commission Draft articles on the effects of
armed conflicts on treaties (2011): “treaty” means an international
agreement concluded between States in written form and governed by
international law, whether embodied in a single instrument or in two or
more related instruments and whatever its particular designation, and
includes treaties between States to which international organizations are
also parties”.
d. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan
sebutan apa pun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara
tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,
organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia
yang bersifat hukum publik.”
e. Pasal 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
hukum publik.”

Keberadaan perjanjian internasional amat erat kaitannya dengan hukum


internasional publik, khususnya sebagai salah satu sumber hukum internasional.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa ruang lingkup perjanjian internasional
adalah kesepakatan internasional yang dibentuk oleh subyek-subyek hukum
internasional yang memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian internasional di
bidang publik, bukan privat.
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional
‘utama’ yang dikenal di dalam Article 38 (1) of the Statute of the International
Court of Justice selain kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum.

11
Adapun dua sumber hukum internasional tambahan sebagaimana tertuang di dalam
ketentuan tersebut adalah putusan pengadilan (yurisprudensi) dan doktrin. Secara
teoritik, perjanjian internasional dipandang merepresentasikan pandangan kaum
positivist
Hukum Perjanjian Internasional merupakan bagian (cabang) dari Hukum
Internasional Publik. Di ranah pendidikan hukum, mata kuliah Hukum Perjanjian
Internasional telah diajarkan secara luas, khususnya untuk memperdalam
pemahaman yang ‘diasumsikan’ telah diperoleh dari mata kuliah Hukum
Internasional.
Dalam mempelajari Hukum Perjanjian Internasional, terdapat sejumlah
perjanjian internasional yang menjadi sumber rujukannya di antaranya; Vienna
Convention on the Law of the Treaties, 1969, Vienna Convention on Succession of
States in Respect of Treaties, 1978, dan Vienna Convention on the Law of Treaties
between States and International Organizations or between International
Organizations, 1986. Dalam pendidikan hukum di Indonesia, pengajaran Hukum
Perjanjian Internasional tentu perlu ditambahkan dengan pengaturan dan praktik
Indonesia berkaitan dengan perjanjian internasional. Oleh karena itu, sejumlah
instrumen hukum nasional juga menjadi rujukan pembelajaran, di antaranya;
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dan Undang-Undang Nomor
24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Penutup
Terdapat beragam istilah yang digunakan untuk memaknai perjanjian
internasional sebagai bentuk instrumen yang memuat kesepakatan yang dilakukan
oleh subjek-subjek hukum internasional di ranah hukum internasional publik.
Demikian pula halnya dengan definisi perjanjian internasional yang terdapat pada
sejumlah instrumen internasional maupun instrumen nasional negara-negara yang
kendatipun terlihat mengandung sejumlah unsur yang sama, tetapi juga
mengindikasikan adanya perbedaan yang ditimbulkan dari ruang lingkup
berlakunya instrumen tersebut dan kepentingan dalam penyusunan instrumen
tersebut. Sejumlah perjanjian internasional penting digunakan sebagai rujukan
pembelajaran, yaitu Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969, Vienna
Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978, dan Vienna
12
Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations
or between International Organizations, 1986 yang didukung oleh sejumlah
instrumen hukum nasional Indonesia. Latihan mengenai perkuliahan pendahuluan
selanjutnya akan disajikan pada Tutorial Pertama.

Bahan Pustaka:
a. The Statute of the International Court of Justice (ICJ)
b. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969
c. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978
d. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986
e. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
f. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
g. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
h. Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung, 2011, h. 82-
96.
i. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 44-45.
j. Martin Dixon, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University
Press, New York, 2007, p. 53-86.

13
PERTEMUAN II
TUTORIAL PERTAMA

Task mengenai Materi Pendahuluan

A. Study Task
1. Jelaskan perbedaan antara Perjanjian Internasional dan Kontrak Internasional.
2. Jelaskan korelasi antara hubungan luar negeri dan perjanjian internasional
3. Susunlah sistematika Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 dan
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ke dalam
matriks.

Bahan Pustaka:
a. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969
b. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
c. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
d. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU-V/2007
Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
e. Agusman, Damos Dumoli, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan
Praktik Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, h.1-18

B. Discussion Task
1. Apakah Memorandum of Understanding (MoU) dapat dikategorikan sebagai
suatu perjanjian Internasional?
2. Apakah Presiden Republik Indonesia memiliki kewenangan yang bersifat
eksklusif untuk membentuk perjanjian internasional?

Bahan Pustaka:
a. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969
b. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
d. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
e. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
f. Agusman, Damos Dumoli, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan
Praktik Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, h.1-18
g. Arsika, I Made Budi, Kewenangan Konstitusional Presiden Repulik Indonesia
untuk Membuat Perjanjian Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia, Jurnal
Konstitusi, Volume IV. No. 1, Juni 2011, Pusat Kajian Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Udayana dan Mahkamah Konstitusi, h.97-108.

14
PERTEMUAN III
PERKULIAHAN KEDUA

Bentuk dan Jenis Perjanjian Internasional

Pendahuluan

Setelah memahami definisi perjanjian internasional dan ruang lingkup


hukum perjanjian internasional, perkuliahan akan dilanjutkan dengan membahas
bentuk-bentuk perjanjian internasional. Dalam rangka memperdalam pemahaman
mengenai perjanjian internasional, materi perkuliahan akan membahas klasifikasi
perjanjian internasional yang ditinjau dari berbagai segi.

Pokok Bahasan:
A. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional
B. Perjanjian Internasional dari segi jumlah pesertanya
C. Perjanjian Internasional dari segi kaidah hukum yang dilahirkannya
1. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract)
2. Perjanjian umum atau terbuka (Law-Making Treaty)
D. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya
1. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap
2. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap
E. Perjanjian Internasional dari segi jangka waktu berlakunya
F. Perjanjian Internasional dari Segi Bahasa yang Digunakan

Uraian Pokok Bahasan

Bentuk perjanjian internasional sebagaimana ditentukan berdasarkan Konvensi


Wina 1969 meliputi bukan saja persetujuan internasional yang mengambil bentuk
instrumen tunggal yang bersifat resmi, tetapi juga persetujuan internasional yang
berkaitan dengan “pertukaran nota” atau “pertukaran surat”.2 Secara garis besar, ada
2 (dua) bentuk perjanjian internasional yakni perjanjian internasional yang
berbentuk tidak tertulis (unwritten agreement) dan perjanjian internasional yang
berbentuk tertulis (written agreement).3

Perjanjian internasional dapat ditinjau dari berbagai segi. Berdasarkan Jumlah


Pesertanya, Perjanjian perjanjian internasional dapat diikuti oleh hanya dua negara
selaku negara pihak (state parties) maupun lebih dari dua pihak. Dilihat berdasarkan
jumlah pesertanya, perjanjian internasional dapat dikelompokkan ke dalam:

2
Ibid, h.17
3
Parthiana, I Wayan (Bagian: 1) Op, Cit, h 35.
15
a. Perjanjian Internasional Bilateral yakni perjanjian internasional yang jumlah
peserta atau pihaknya hanya terdiri atas dua pihak.;
b. Perjanjian Internasional Multilateral yakni perjanjian internasional yang
pesertanya atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya lebih dari dua pihak
(negara).4
Berdasarkan Kaidah Hukum Yang Dilahirkannya, dapat dibedakan antara
Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah-kaidah hukum yang khusus berlaku
bagi pihak-pihak yang membuatnya (treaty contract) dan perjanjian internasional
yang melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum karena sifatnya yang
terbuka bagi masuknya pihak ketiga yang dinamakan law-making treaty.5

Perjanjian Internasional juga dapat dibedakan berdasarkan Prosedur atau


Tata Cara Pembentukannya. Kualifikasi pertama adalah perjanjian internasional
yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu tahap perundingan (negotiation) dan tahap
penandatanganan (signature), sedangkan kualifikasi kedua adalah perjanjian
internasional yang dibentuk melalui tiga tahap, yakni di samping terdiri atas dua
tahap yang telah disebutkan di atas, ada tahap ketiga yaitu tahap pengesahan atau
ratifikasi (ratification).6

Dari segi Jangka Waktu Berlakunya, terdapat dua kategori perjanjian


internasional yaitu Perjanjian internasional yang mencantumkan jangka waktu
berlakunya secara tegas dan Perjanjian internasional yang tidak mencantumkan
jangka waktu berlakunya secara tegas.7

Berkaitan dengan bahasa yang digunakan dalam perjanjian internasional,


pemahaman umum barangkali akan serta-merta mengasumsikan bahwa Bahasa
Inggris merupakan bahasa yang paling sering digunakan. Asumsi ini memang
terbukti karena sebagian besar perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat
multilateral memang menggunakan bahasa Inggris. Perlu kiranya diberikan
penegasan bahwa bahasa yang digunakan dalam perjanjian internasional
sesungguhnya merupakan bahasa yang disepakati oleh para pihak. Dengan

4
Disarikan dari Seri Bahan Perkuliahan Hukum Perjanjian Internasional yang
disusun oleh I Dewa Gede Palguna, Bagian II. Jenis-Jenis Perjanjian Internasional.
5
Ibid
6
Ibid
7
Ibid
16
demikian, bahasa-bahasa selain bahasa Inggris juga kerap kali dipilih oleh negara-
negara yang membuat perjanjian internasional. Dimungkinkan pula bahwa
perjanjian internasional menggunakan lebih dari satu bahasa formal, walaupun
perjanjian tersebut biasanya memuat ketentuan mengenai satu bahasa ‘utama’ yang
digunakan dalam hal terjadi perbedaan penafsiran di antara para pihak. Secara
teoritik, terdapat tiga klasifikasi berkaitan dengan bahasa yang digunakan dalam
Perjanjian Internasional. Klasifikasi pertama adalah Perjanjian Internasional yang
dirumuskan dalam satu bahasa. Klasifikasi kedua adalah Perjanjian Internasional
yang dirumuskan dalam dua atau lebih bahasa, tetapi satu bahasa yang memiliki
kekuatan mengikat. Klasifikasi ketiga adalah perjanjian internasional yang
dirumuskan dalam dua atau lebih bahasa dan semuanya memiliki kekuatan
mengikat yang sama.8

Penutup

Bentuk perjanjian internasional dapat meliputi persetujuan internasional yang


mengambil bentuk instrumen tunggal yang bersifat resmi, tetapi juga persetujuan
internasional yang berkaitan dengan “pertukaran nota” atau “pertukaran surat”.
perjanjian internasional dapat pula berbentuk baik tertulis maupun tidak tertulis.

Perjanjian internasional juga dapat ditinjau dari berbagai segi. Dari segiJumlah
Pesertanya, Perjanjian perjanjian internasional dapat dibedakan antara Perjanjian
Internasional Bilateral dan Perjanjian Internasional Multilateral; Dari segi Kaidah
Hukum Yang Dilahirkannya, dapat dibedakan antara treaty contract dan law-
making treaty; Dari segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya, terdapat dua
kualifikasi yakni perjanjian internasional yang dibentuk melalui dua tahap yaitu
tahap perundingan dan tahap penandatanganan saja dan perjanjian internasional
yang dibentuk melalui tiga tahap yakni perundingan, penandatanganan dan
pengesahan; Dari segi Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian internasional, terdapat
dua kategori yaitu Perjanjian internasional yang mencantumkan jangka waktu
berlakunya secara tegas dan Perjanjian internasional yang tidak mencantumkan
jangka waktu berlakunya secara tegas; terakhir, dari segi bahasa yang digunakan
perjanjian internasional dapat dibedakan antara Perjanjian Internasional yang

8
Parthiana, I Wayan (Bagian: 1) Op, Cit, h. 44-45.
17
dirumuskan dalam satu bahasa, Perjanjian Internasional yang dirumuskan dalam dua
atau lebih bahasa, tetapi satu bahasa yang memiliki kekuatan mengikat, dan
perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua atau lebih bahasa dan
semuanya memiliki kekuatan mengikat yang sama.9
Latihan mengenai perkuliahan dengan Pokok Bahasan Bentuk dan Jenis
Perjanjian Internasional ini akan disajikan pada Tutorial Kedua.

Bahan Pustaka:

a. Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,


Yogyakarta, 2014, h. 90.
b. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 35-50.
c. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h. 18-23.
d. Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tata Nusa,
Jakarta, 2008, h. 17-20.
e. Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969),
CV. Armico, Bandung, 1985, h. 69-82.

9
Parthiana, I Wayan (Bagian: 1) Op, Cit, h. 44-45.
18
PERTEMUAN IV
TUTORIAL KEDUA

Task Mengenai Bentuk dan Jenis Perjanjian Internasional

Study Task

1. Jelaskan apakah konsep mengenai pembedaan antara Treaty Contract dan


Law-Making Treaty masih relevan saat ini?
2. Jelaskan konsekuensi dari penggunaan lebih dari satu Bahasa dalam sebuah
perjanjian internasional
3. Cari masing-masing 2 (dua) contoh perjanjian internasional yang mengatur
jangka waktu berlakunya dan perjanjian internasional yang tidak mengatur
jangka waktu berlakunya

Bahan Pustaka: Sama dengan Bahan Pustaka yang digunakan pada Perkuliahan
Kedua

19
PERTEMUAN V
PERKULIAHAN KETIGA

Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan


Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional

Pendahuluan

Pada perkuliahan sebelumnya telah dipelajari bahwa perjanjian internasional


dari segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya dapat dibedakan antara
perjanjian internasional yang dibentuk melalui dua tahap yaitu tahap perundingan
dan tahap penandatanganan dan perjanjian internasional yang dibentuk melalui tiga
tahap yakni perundingan, penandatanganan dan pengesahan. Materi pada
perkuliahan ini akan semakin memperdalam pemahaman mahasiswa mengenai
proses pembentukan perjanjian internasional khususnya dalam hal kapasitas subyek
Hukum Internasional untuk membuat perjanjian internasional dan hal-hal teknis
berkaitan dengan pembentukan perjanjian internasional.

Pokok Bahasan:
A. Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian (Subyek HI yang dapat
Berkedudukan sebagai Pihak dalam Perjanjian Internasional)
B. Hal-hal teknis dalam pembentukan perjanjian internasional (Full Powers dan
Credentials)
C. Persetujuan untuk terikat dalam suatu Perjanjian Internasional (Penandatanganan,
Pertukaran instrumen, Pengesahan/Ratifikasi, Penyetujuan/Approval, Aksesi)
D. Reservasi (Pensyaratan)

Uraian Pokok Bahasan

Dinamika hubungan internasional kontemporer ditandai oleh munculnya


berbagai aktor hubungan internasional selain negara. Eksistensi dan kiprah aktor-
aktor tersebut ternyata menyentuh sejumlah isu yang berkaitan dengan norma dan
kebiasaan internasional. Diakuinya hak dan dibebankannya sejumlah kewajiban
terhadap aktor-aktor tersebut mentransformasi mereka menjadi subyek-subyek
hukum internasional yang memiliki kapasistas terbatas (limited capacity) atau
bahkan sangat terbatas (very limited capacity). Sejumlah kalangan pun mulai
mempertanyakan mengenai kapasitas yang dimiliki oleh subyek-subyek hukum
internasional tersebut untuk membuat perjanjian internasional dalam makna
berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian internasional. Sebagaimana
dikemukakan I Wayan Parthiana, terdapat 7 (tujuh) subyek hukum internasional

20
yang memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional, yaitu;
Negara, Negara Bagian, Tahta Suci (Vatikan), Wilayah Perwalian, Organisasi
Internasional Kelompok yang sedang berperang (Kaum Beligerensi), dan Bangsa-
Bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya.10
Kedudukan hukum yang dimiliki subyek hukum internasional ternyata
merupakan status yang menentukan dapat atau tidaknya subyek tersebut menjadi
pihak di dalam suatu perjanjian internasional. Dalam praktiknya, pembentukan
perjanjian internasional mencakup sejumlah proses yang bersifat diplomatik,
seremonial, dan administratif. Sebagai contoh adalah proses pembentukan
perjanjian internasional antar Negara yang secara teknis proses negosiasinya tidak
selalu dihadiri oleh Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, atau Menteri Luar Negeri
sebagai representasi suatu negara.11 Hal inilah yang menyebabkan proses
pembentukan perjanjian internasional kerap melibatkan para wakil-wakil negara
selain ketiga jenis jabatan tersebut. Untuk memastikan kebenaran bahwa wakil-
wakil negara tersebut memang diutus secara resmi mewakili negaranya baik dalam
bernegosiasi, mengadopsi, atau mengotentifikasi naskah perjanjian internasional
serta untuk menyampaikan keterikatan negara yang diwakilinya oleh perjanjian
internasional tersebut, maka diperlukan instrumen Full Powers, sebagaimana
ditentukan berdasarkan Article 2 (1)(c) dan 7 Vienna Convention on the Law of the
Treaties 1969. Menariknya, praktik Indonesia membedakan antara Full powers dan
Credential. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional Surat Kuasa (Full Powers) didefinisikan sebagai surat yang
dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau
beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk
menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara
untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang
diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional; sedangkan Surat Kepercayaan
(Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang
memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil
akhir suatu pertemuan internasional.

10
Parthiana, I Wayan (Bagian: 1) Op, Cit, h. 18-26,
11
Pasal 7 (2)(a) Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969.
21
Dalam hal suatu negara/subyek hukum internasional telah menyetujui untuk
terikat dalam suatu Perjanjian Internasional, terdapat sejumlah cara yang dapat
dilakukan sebagaimana dikenal dan lazim dipraktikan sebagaimana ditentukan
Article 11 Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, yakni
Penandatanganan (signature), Pertukaran instrumen (exchange of instruments
constituting a treaty), Pengesahan/Ratifikasi (ratification), Penerimaan
(acceptance), Penyetujuan (Approval), Aksesi (accession), atau cara-cara lain yang
disepakati (any other means if so agreed).
Menariknya, dinamika perumusan norma dalam pembentukan perjanjian
internasional ternyata membuka ruang bagi Para Pihak dalam Perjanjian
Internasional untuk tidak sepenuhnya menerima keberlakukan seluruh norma yang
tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Hal inilah yang disebut sebagai
Pensyaratan/Reservasi (Reservation). Merujuk pada Article 2 (1)(d) Vienna
Convention on the Law of the Treaties 1969, Pensyaratan didefinisikan sebagai
suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu
negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau
mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk
mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari
perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan.12
Dalam praktiknya, pensyaratan dapat dinyatakan dengan istilah reservation
atau declaration. Bahkan praktik Pensyaratan yang dilakukan Amerika Serikat --
serta negara-negara lain seperti Argentina, Bangladesh, Belanda, Dominika, Kuwait,
dan Sudan – juga menggunakan istilah understanding sebagai suatu pernyataan
yang bersifat penafsiran yang memberikan klarifikasi atau elaborasi, kendatipun
istilah ini tidak secara eksplisit rertuang baik di dalam Vienna Convention on the
Law of the Treaties 1969 maupun International Law Commission’s Guide to
Practice on Reservations to Treaties (2011).13

12
Terjemahan atas Article 2 (1)(d) Vienna Convention on the Law of the Treaties
1969 pada Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I,
Mandar Maju, Bandung, 2005, h.152.
13
Buys, Cindy Galway, Conditions in U.S. Treaty Practice: New Data and Insights
on a Growing Phenomenon, 14 Santa Clara J. Int'l L.363 (2016), p. 370-372 and
397-399. Available at: http://digitalcommons.law.scu.edu/scujil/vol14/iss2/1

22
Ada dua macam pensyaratan/reservasi, yaitu pertama, pensyaratan dengan
sistem suara bulat (unanimity system) dan pensyaratan menurut doktrin atau sistem
(Pan American system). Dalam sistem suara bulat, reservasi yang diajukan oleh
suatu negara, untuk dapat berlaku dan mengikat, harus mendapatkan persetujuan
semua negara peserta lainnya. Artinya, jika ada satu negara saja yang menolaknya,
meskipun negara peserta lainnya menyetujui, maka reservasi tersebut tidak berlaku.
Berbeda halnya menurut sistem Pan Amerika, di mana suatu reservasi yang
diajukan oleh suatu negara, untuk dapat dinyatakan berlaku atau mengikat, tidak
perlu harus mendapatkan persetujuan seluruh negara peserta. Reservasi itu sudah
cukup dinyatakan berlaku sepanjang ada negara peserta lain yang menyetujuinya.
Akibatnya, reservasi itu hanya berlaku antara negara mengajukan dan negara yang
menyetujui reservasi tersebut. Sedangkan antara negara yang mengajukan dan
negara-negara peserta lain yang menolaknya, reservasi itu tidak berlaku atau tidak
mengikat.14

Satu catatan yang penting dikemukakan adalah bahwasanya tidak semua


perjanjian memungkinkan dilakukannya Pensyaratan, atau dalam pemahaman
sebaliknya, Pensyaratan dimungkinkan sepanjang memang diperbolehkan oleh
suatu Perjanjian Internasional.

Penutup
Perkembangan awal hukum internasional modern hanya menempatkan
negara saja sebagai subjek hukum internasional yang memiliki kemampuan hukum
untuk membuat perjanjian internasional. Permbangan dan dinamika hukum
internasional ternyata kemudian menempatkan 7 (tujuh) subyek hukum
internasional yang memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian
internasional, yaitu; Negara, Negara Bagian, Tahta Suci (Vatikan), Wilayah
Perwalian, Organisasi Internasional Kelompok yang sedang berperang (Kaum
Beligerensi), dan Bangsa-Bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

Dalam praktiknya, pembentukan perjanjian internasional mencakup pula


aspek administratif. Sebagai contoh, proses-proses tertentu mensyaratkan adanya

14
Disarikan dari Seri Bahan Perkuliahan Hukum Perjanjian Internasional yang
disusun oleh I Dewa Gede Palguna, Bagian VI. Tentang Pensyaratan (Reservasi)

23
full powers bagi para wakil-wakil negara untuk memastikan kebenaran bahwa
wakil-wakil negara tersebut memang diutus secara resmi mewakili negaranya baik
dalam bernegosiasi, mengadopsi, atau mengotentifikasi naskah perjanjian
internasional serta untuk menyampaikan keterikatan negara yang diwakilinya oleh
perjanjian internasional tersebut. Praktik Indonesia ternyata membedakan antara
Surat Kuasa (Full Powers) dan Surat Kepercayaan (Credentials).
Perjanjian internasional juga mengenai sejumlah cara bagi negara/subyek
hukum internasional untuk menyatakan persetujuannya terikat dalam suatu
Perjanjian Internasional. Dalam praktiknya, cara-cara tersebut dapat berpa
penandatanganan, pertukaran instrumen, pengesahan/ratifikasi, penerimaan,
penyetujuan, aksesi, atau cara-cara lain yang disepakati.
Dinamika perumusan norma dalam pembentukan perjanjian internasional
ternyata membuka ruang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Internasional untuk tidak
sepenuhnya menerima keberlakukan seluruh norma yang tertuang di dalam suatu
perjanjian internasional yang dikenal dengan istilah Pensyaratan/Reservasi
(Reservation). Pensyaratan merupakan suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan
nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi,
mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional,
yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari
ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang
bersangkutan.
Pemahaman menyeluruh mengenai pokok bahasan pada perkuliahan ini akan
diuji melalui latihan sebagaimana dijelaskan pada Tutorial Ketiga.

Bahan Pustaka:
a. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part II
b. Guide to Practice on Reservations to Treaties, Adopted by the International Law
Commission at its sixty-third session, in 2011, and submitted to the General
Assembly as a part of the Commission’s report covering the work of that session
(A/66/10, para. 75),
http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/draft_articles/1_8_2011.pdf
c. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab II dan III.
d. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
e. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide Convention,
1951.
f. Buys, Cindy Galway, Conditions in U.S. Treaty Practice: New Data and Insights
on a Growing Phenomenon, 14 Santa Clara J. Int'l L.363 (2016). Available at:
http://digitalcommons.law.scu.edu/scujil/vol14/iss2/1
24
g. Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, h.91-96.
h. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Edisi Kedua, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2003, h. 45-54.
i. Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung, 2011, h. 100-
135.
j. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 18-26, h. 93-210.
k. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h.24-66.
l. Shaw, Malcolm N., International Law, Fifth Edition, Cambridge University
Press, Cambridge, 2003, p. 821-831.

25
PERTEMUAN VI
TUTORIAL KETIGA

Task mengenai Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan


Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional

Study Task
1. Jelaskan apakah Badan Usaha Milik Negara memiliki kapasitas untuk membuat
perjanjian internasional?
2. Jelaskan bagaimana kedudukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
Pembentukan Sister City dan Sister Province!
3. Jelaskan mengapa sejumlah perjanjian internasional melarang dilakukannya
reservasi?

Bahan Pustaka:
a. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
b. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
d. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 18-26, h. 93-210.
e. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h.101-116.

26
PERTEMUAN VII
PERKULIAHAN KEEMPAT

Kewajiban untuk Melaksanakan, Penerapan, Penafsiran,


Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional

Pendahuluan
Melanjutkan pengetahuan yang telah diberikan pada perkuliahan-perkuliahan
sebelumnya, perkuliahan pada sesi ini akan memfokuskan pada asas-asas yang
melandasi pelaksanaan perjanjian internasional. Selain itu, akan dibahas pula aspek-
aspek teknis sehubungan dengan metode penafsiran, hak dan kewajiban pihak
ketiga, dan proses amandemen dan modifikasi perjanjian internasional.

Pokok Bahasan:
A. Asas Pacta Sunt Servanda
B. Asas Non-Retroaktif
C. Penafsiran
D. Pihak Ketiga dalam Perjanjian Internasional
E. Amandemen dan Modifikasi

Uraian Pokok Bahasan

Pada prinsipnya, setiap instrumen hukum memuat kewajiban (hukum)


kepada para pihak untuk melaksanakan. Berkaitan dengan perjanjian internasional,
Asas Pacta Sunt Servanda tertuang secara eksplisit pada Article 26 Vienna
Convention on the Law of the Treaties 1969 yang menentukan bahwa setiap
perjanjian (internasional) yang berlaku adalah mengikat para pihak dalam perjanjian
(internasional) tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik.15
Sebagaimana halnya keberlakuan hukum nasional yang secara umum tidak
dapat diberlakukan surut, perjanjian internasional juga menghormati asas non
retroaktif. Hal ini tertuang di dalam Article 28 Vienna Convention on the Law of the
Treaties 1969 yang pada dasarnya tidak menghendaki suatu perjanjian internasional
diberlakukan surut, baik bagi seluruh negara peserta maupun bagi satu atau
beberapa negara Peserta saja.16
Rumusan ketentuan yang tertuang di salam suatu perjanjian internasional
tentu memiliki potensi interpretasi yang beragam, yang tidak jarang menyulut

15
Dimodifikasi dari Terjemahan atas Article 26 Vienna Convention on the Law of
the Treaties 1969 pada Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h. 83.
16
Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 300.
27
dimulainya sengketa. Sugeng Istanto mengemukakan beberapa prinsip yang
mendasari cara penafsiran perjanjian internasional, yakni; Penafsiran Gramatikal
dan Kehendak Pihak Berjanji; Penafsiran Menurut Objek dan Konteks Perjanjian,
Penafsiran berdasarkan Pengertian yang Masuk Akal dan Konsisten, Penafsiran
berdasarkan Prinsip Efektifitas, Penggunaan Bahan Ekstrinsik, dan Perjanjian
Internasional Multilingual.17
Dalam hukum Romawi dikenal asas ‘pacta tertiis nec nocent nec prosunt’
yang bermakna bahwa suatu perjanjian tidak memberi hak dan kewajiban pada
pihak ketiga, yang apabila asas dilekatkan pada konteks perjanjian internasional
dapat dimaknai bahwa suatu perjanjian internasional tidak memberi hak dan
kewajiban pada negara bukan pihak atau negara yang tidak meratifikasi perjanjian
tersebut. Substansi asas ini termaktub secara jelas di dalam Article 34 Vienna
Convention on the Law of the Treaties 1969. Kendatipun demikian, perkecualian
terhadap ketentuan ini justru diatur di dalam Article 35 dan 36 konvensi tersebut
yang memungkinkan adanya Perjanjian Internasional yang membebankan
kewajiban bagi Negara Ketiga dan Perjanjian Internasional yang memberikan hak
kepada Negara Ketiga.
Seperti halnya hukum yang senantiasa perlu mengikuti perkembangan
jaman, demikian pula perjanjian internasional yang perlu fleksibel dalam
penerapannya. Dalam rangka mengakomodir kepentingan para pihak, setiap
perjanjian internasional pada umumnya membuka ruang bagi sejumlah perubahan
atas ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian. Hal ini dikenal dengan istilah
amandemen dan modifikasi. Amandemen atas perjanjian internasional dapat
diartikan sebagai tindakan formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut kepentingan semua pihak, sedangkan modifikasi
merupakan tindakan formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut beberapa pihak tertentu saja tanpa mempengaruh
pihak-pihak lainnya.18
Penutup
Asas Pacta Sunt Servanda menentukan bahwa setiap perjanjian
(internasional) yang berlaku adalah mengikat para pihak dalam perjanjian

17
Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, h. 96-99
18
Parthiana, I Wayan, (Bag: 2), Op.Cit, h. 329-330.
28
(internasional) tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik.
Perjanjian internasional juga menghormati asas non retroaktif yang pada dasarnya
tidak menghendaki suatu perjanjian internasional diberlakukan surut, baik bagi
seluruh negara peserta maupun bagi satu atau beberapa negara Peserta saja.
Perjanjian internasional mengenal beberapa prinsip yang mendasari cara
penafsiran perjanjian internasional. Secara teoritik dikenal Penafsiran Gramatikal
dan Kehendak Pihak Berjanji; Penafsiran Menurut Objek dan Konteks Perjanjian,
Penafsiran berdasarkan Pengertian yang Masuk Akal dan Konsisten, Penafsiran
berdasarkan Prinsip Efektifitas, Penggunaan Bahan Ekstrinsik, dan Perjanjian
Internasional Multilingual.
Asas ‘pacta tertiis nec nocent nec prosunt’ yang dapat dimaknai bahwa
suatu perjanjian internasional tidak memberi hak dan kewajiban pada negara bukan
pihak atau negara yang tidak meratifikasi perjanjian tersebut. Kendatipun demikian,
norma dan praktik Perjanjian Internasional memungkinkan pembebanan kewajiban
bagi Negara Ketiga dan pemberian hak kepada Negara Ketiga.
Amandemen atas perjanjian internasional dapat diartikan sebagai tindakan
formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian internasional yang menyangkut
kepentingan semua pihak. Berbeda halnya dengan modifikasi yang hanya
merupakan tindakan formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut beberapa pihak tertentu saja tanpa mempengaruh
pihak-pihak lainnya.
Latihan terhadap pemahaman mengenai materi ini akan dilakukan melalui
Tutorial Keempat.
Bahan Pustaka:
a. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part III dan IV.
b. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab IV.
c. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 261-368.
d. Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, h. 96-104.
e. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h. 67-91.
f. Shaw, Malcolm N, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2003, p. 832-844.
g. Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tata Nusa,
Jakarta, 2008, h. 81-87.

29
PERTEMUAN VIII
TUTORIAL KEEMPAT

Task mengenai Kewajiban untuk Melaksanakan Perjanjian,


Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional

Study task
1. Jelaskan apakah praktik hukum internasional memungkinkan pengabaian
terhadap asas non retroaktif?
2. Apakah yang dimaksud dengan travaux préparatoires dalam penafsiran
perjanjian internasional?
3. Apakah perjanjian internasional yang menyatakan pemberian kewajiban kepada
negara ketiga dapat berlaku otomatis?

Bahan Pustaka: Sama dengan Bahan Pustaka yang digunakan pada Perkuliahan
Keempat

30
PERTEMUAN IX
UJIAN TENGAH SEMESTER

Petunjuk Ujian
1. Pada prinsipnya, Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah ini didesain
sebagai instrumen evaluasi terukur untuk menguji kemampuan dan kemajuan
mahasiswa dalam partisipasinya mengikuti perkuliahan ini hingga periode UTS.
2. Ujian diselenggarakan dalam bentuk ujian tertulis (written exam) atau bentuk lain
sebagaimana ditentukan oleh Dosen Pengajar.
3. Ada empat materi utama yang akan diujikan pada saat UTS, yakni:19
a. Materi Pendahuluan
b. Bentuk dan Jenis Perjanjian Internasional
c. Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan Mulai Berlakunya
Perjanjian Internasional
d. Kewajiban Untuk Melaksanakan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan
Modifikasi Perjanjian Internasional

19
Hal ini dapat diberlakukan secara fleksibel mengikuti perkembangan materi di
kelas.
31
PERTEMUAN X
PERKULIAHAN KELIMA

Ketidaksahan, Penundaan dan Pengakhiran Suatu Perjanjian Internasional

Pendahuluan

Materi pada perkuliahan berikut akan membahas pengaturan hukum dan


praktik berkaitan dengan situasi apabila terdapat pihak yang mendalilkan instrumen
yang telah disepakati dan berlaku merupakan perjanjian internasional yang tidak
sah. Selanjutnya, pembahasan juga akan menyentuh isu faktor-faktor yang dapat
menunda atau mengakhiri perjanjian internasional.

Pokok Bahasan:
A. Ketidaksahan Perjanjian Internasional
B. Penundaan Perjanjian Internasional
C. Pengakhiran Perjanjian Internasional

Uraian Pokok Bahasan

Dalam beberapa kasus, keabsahan suatu perjanjian justru dipertanyakan.


Section 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 mengatur tentang
ketidakabsahan perjanjian internasional (invalidity of treaties) yang menentukan
adanya sejumlah alasan untuk menyatakan Suatu perjanjian internasional tidak sah
yaitu alasan berdasarkan hukum dan perundang-undangan, Kesalahan (error) atas
fakta atau situasinya, Kecurangan (fraud) dari negara mitra berundingnya, Korupsi
dari wakil suatu negara, Paksaan yang dilakukan oleh wakil dari suatu negara,
Ancaman atau Penggunaan Kekerasan oleh Suatu Negara, dan Perjanjian
Internasional yang bertentangan dengan Jus Cogens.20
Salah satu isu menarik juga berkaitan dengan keberlakuan perjanjian
internasional, khususnya apakah suatu perjanjian internasional dapat ditunda
keberlakuannya atau tidak. Hal ini dibahas dalam materi suspension of treaties yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Penundaan atas pelaksanaan suatu
perjanjian internasional21 atau dalam frasa lain dimaknai sebagai Pengangguhan
bekerjanya Perjanjian Internasional.22 Pada intinya, penundaan terhadap
keberlakuan perjanjian internasional dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan-
20
Parthiana, I Wayan, (Bag: 2), Op.Cit, h. 430-455
21
Ibid, 393
22
Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h.124.
32
ketentuan dalam perjanjian internasional itu sendiri atau dilakukan setiap waktu
dengan kesepakatan dari semua pihak setelah berkonsultasi dengan negara
perunding lainnya, sebagaimana ditentukan berdasarkan Article 57 Vienna
Convention on the Law of the Treaties 1969.23

Sebagaimana halnya dimungkinkannya penundaan terhadap keberlakuan


perjanjian internasional, eksistensi perjanjian internasional juga dapat berakhir atau
diakhiri. Hal ini diatur pada Section 3. Vienna Convention on the Law of the
Treaties 1969. Terdapat sejumlah alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu
perjanjian internasional. Alasan umum untuk mengakhiri perjanjian internasional
yakni telah dibuatnya perjanjian internasional yang baru, dilakukannya pelanggaran
atas substansi perjanjian internasional oleh salah satu pihak, ketidakmungkinan
untuk melaksanakannya serta perjanjian internasional bertentangan dengan jus
cogens. Alasan lain yang dapat digunakan namun diberikan pembatasan dengan
sangat ketat adalah terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental
change of circumstances).24
Penting untuk ditegaskan bahwa putusnya hubungan diplomatik dan/atau
konsuler antara kedua pihak yang terikat dalam suatu perjanjian internasional
tidaklah mempengaruhi hubungan hukum di antara mereka sebagaimana ditentukan
oleh perjanjian tersebut. Situasi perang yang terjadi antara pihak yang terikat di
dalam perjanjian internasional juga tidak secara otomatis mengakhiri perjanjian
internasional, namun hanya menunda pelaksanaan perjanjian saja hingga situasi
normal kembali pasca perang. Demikian pula dengan penarikan atau pengunduran
diri dari negara-negara pihak yang tidak serta-merta mengakhiri eksistensi
perjanjian internasional, kendatipun dalam praktiknya mungkin akan amat
bergantung pada signifikan atau tidaknya jumlah pihak yang mengundurkan diri
serta pengaruh negara yang mengundurkan diri bagi keberlangsungan perjanjian
internasional. 25

23
Dimodifikasi dari Terjemahan atas Article 57 Vienna Convention on the Law of
the Treaties 1969 pada Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h. 125.
24
Parthiana, I Wayan (Bagian 2), Op. Cit, h. 456-480.
25
Ibid, h. 473-482. Lihat juga Mauna, Boer, Op.Cit, h.157-162.

33
Penutup
Terdapat sejumlah alasan untuk menyatakan Suatu perjanjian internasional
tidak sah yaitu alasan berdasarkan hukum dan perundang-undangan, kesalahan atas
fakta atau situasinya, kecurangan dari negara mitra berundingnya, korupsi dari
wakil suatu negara, paksaan yang dilakukan oleh wakil dari suatu negara, ancaman
atau penggunaan kekerasan oleh suatu negara, dan perjanjian internasional yang
bertentangan dengan Jus Cogens. Adapun penundaan terhadap keberlakuan
perjanjian internasional dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian internasional itu sendiri atau dilakukan setiap waktu dengan kesepakatan
dari semua pihak setelah berkonsultasi dengan negara perunding lainnya. Terdapat
sejumlah alasan umum untuk mengakhiri perjanjian internasional yakni telah
dibuatnya perjanjian internasional yang baru, dilakukannya pelanggaran atas
substansi perjanjian internasional oleh salah satu pihak, ketidakmungkinan untuk
melaksanakannya serta perjanjian internasional bertentangan dengan jus cogens.
Alasan yang dapat digunakan dengan pembatasan dengan sangat ketat adalah
terjadinya perubahan keadaan yang fundamental yang berkaitan dengan perjanjian
internasional. Pembahasan Tutorial Kelima selanjutnya akan menjadi wahana untuk
melatih mahasiswa dalam memahami lebih lanjut materi yang disajikan pada
perkuliahan ini.

Bahan Pustaka:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part V.
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab VI.
3. Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung, 2011, h.149-
162.
4. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h.393-487.
5. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h.92-100.
6. Shaw, Malcolm N, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2003, p. 845-858.

34
PERTEMUAN XI
TUTORIAL KELIMA

Task mengenai Ketidaksahan, Pengakhiran dan Penundaan


Bekerjanya Suatu Perjanjian Internasional

A. Discussion Task:
1. Jelaskan apakah kecurangan yang dilakukan dalam proses pembentukan
internasional merupakan isu hukum internasional ataukah diplomatik?
2. Jelaskan apakah suatu negara dibenarkan untuk melakukan pengakhiran suatu
perjanjian internasional secara sepihak dengan alasan kepentingan nasionalnya?

B. Problem Task
Kasus Imaginer:
”Eksistensi Perjanjian Internasional Akibat Pemutusan Hubungan
Diplomatik: Status Quo Sengketa Diplomatik RI-Australia”
Indonesia dan Australia berada dalam hubungan diplomatik yang kurang
harmonis. Tindakan pemerintah Australia yang memberikan visa sementara bagi 5
orang WNI yang dianggap melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia
telah seolah menggores kembali luka lama permasalah diplomatik kedua negara.
Sebagai reaksi, Pemerintah Republik Indonesia (RI) kemudian mem-persona non
grata-kan Atase Pertahanan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jakarta. Dua
hari kemudian, tindakan Pemerintah RI ini dibalas serupa terhadap Atase
Pertahanan Kedubes RI di Canberra. Tanpa berselang lama, Presiden RI kemudian
mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia. Lebih jauh,
Presiden juga menyatakan secara unilateral bahwa segala perjanjian bilateral antara
RI dan Australia dinyatakan berakhir. Memperjelas pernyataan Presiden, Juru
Bicara Presiden menyatakan bahwa pemerintah RI tidak mengakui lagi seluruh hak
dan kewajban yang ditimbulkan dari perjanjian bilateral antara RI dan Australia.
Menteri luar Negeri RI secara teknis kemudian memulangkan Duta Besar RI Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Australia di Canberra beserta seluruh jajaran
pejabat diplomatik.
Tiga hari setelah pengumuman tersebut, terjadi kerusuhan massal di beberapa
kota di Indonesia. Massa menghancurkan bank serta perusahaan-perusahaan yang
dianggap terkait dengan Australia. Pemerintah Australia dalam situasi dilematis. Di
satu sisi, mereka hendak memulangkan kembali seluruh jajaran staf diplomatiknya
35
di Jakarta dengan pertimbangan prinsip resiprositas dalam hubungan diplomatik,
namun di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan
nasionalnya di Indonesia.

Sesaat kemudian, Perdana Menteri Australia kemudian menyampaikan


beberapa hal penting:
b. Menyerukan travel warning kepada seluruh warga negara Australia yang hendak
bepergian ke Indonesia serta menyerukan agar seluruh warga negara Australia
yang berada di Indonesia untuk segera kembali ke Australia;
c. Meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap
kepentingan Australia di Indonesia;
d. Menghormati tindakan unilateral pemerintah Indonesia untuk melakukan
pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia berdasarkan atas
penghormatan atas Hak Legasi Aktif yang dimiliki Indonesia. Sebagai reaksi,
Pemerintah Australia sedianya melakukan hal yang sama, namun akan dilakukan
secara bertahap guna melaksanakan fungsi perlindungan kepentingan Australia di
Indonesia hingga situasi keamanan di Indonesia lebih kondusif;
e. Menolak dengan tegas pernyataan unilateral Pemerintah RI terhadap pengakhiran
segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan dan pernyataan
Indonesia yang tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang ditimbulkan
dari perjanjian-perjanjian bilateral tersebut.

Pemerintah RI ternyata tidak terlalu menanggapi pernyataan Pemerintah


Australia. Seusai rapat kabinet terbatas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
yang didampingi Menteri Luar Negeri melakukan pernyataan pers yang menegaskan
bahwa sikap pemerintah RI masih sama, sampai Pemerintah Australia
memulangkan 5 orang WNI tersebut untuk dapat dikenakan proses hukum di
Indonesia.

Isu ternyata bergulir semakin kencang. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
RI juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil rapat antara pimpinan DPR RI beserta
seluruh Anggota Komisi I DPR RI, telah diputuskan untuk melakukan peninjauan
ulang terhadap seluruh Perjanjian Bilateral RI yang disahkan melalui undang-
undang, dalam waktu dekat.
36
Bahan Pustaka:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969, Part V and Part VI
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
3. Agusman, Damos Dumoli, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan
Praktik Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, h.64-67
4. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 473-478.

37
PERTEMUAN XII
PERKULIAHAN KEENAM
Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Regional

Pendahuluan
Salah satu isu yang cukup jarang dibahas dalam perkuliahan Hukum
Perjanjian Internasional namun sesungguhnya amat penting untuk ditelaah adalah
kajian berkenaan dengan aspek hukum nasional negara-negara dan aspek hukum
kawasan/regional terhadap eksistensi perjanjian internasional. Pokok bahasan pada
perkuliahan ini sesungguhnya tidak hanya mengembangkan materi-materi Hukum
Perjanjian Internasional yang telah dibahas sebelumnya, tetapi pula menjadi
pengayaan terhadap materi hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum
Internasional yang dibahas pada perkuliahan Hukum Internasional pada Semester 2.

Pokok Bahasan:
A. Persoalan hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional dalam
kaitannya dengan Perjanjian Internasional
B. Makna Article 27 of the Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
C. Pengujian Peradilan Nasional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional
D. Pengujian Peradilan Regional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional
Uraian Pokok Bahasan
Pada saat mengikuti mata kuliah Hukum Internasional, mahasiswa tentu
sudah mempelajari persoalan hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional. Secara teoritik, terdapat dua pandangan yang berpengaruh. Pertama
adalah pandangan Voluntarisme yang mendasarkan berlakunya hukum internasional
pada kemauan Negara yang melahirkan pemahaman bahwa hukum internasional
dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang berdampingan dan
terpisah atau yang dikenal sebagai aliran Dualisme. Pandangan kedua dikenal
sebagai pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum
internasional sesungguhnya lepas dari kemauan negara yang melahirkan
pemahaman bahwa hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua bagian
dari satu perangkat hukum atau yang dikenal sebagai aliran Monisme. Saat
bersentuhan dengan persoalan hierarkhi, Aliran Monisme kemudian dapat
dibedakan antara Monisme Primat Hukum Internasional yang menganggap bahwa
Hukum Internasional lebih tinggi dari Hukum Nasional dan Monisme Primat

38
Hukum Nasional, yang sebaliknya, menganggap bahwa Hukum Nasional lebih
tinggi dari Hukum Internasional.26
Persoalan ini diterjemahkan ke dalam diskursus mengenai hubungan antara
perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan nasional Negara yang
menjadi pihak dari perjanjian tersebut. Penganut aliran dualisme akan memandang
bahwa perjanjian internasional dan perundang-undangan nasional Negara sebagai
dua satuan perangkat hukum yang berdampingan dan terpisah. Demikian pula
halnya dengan aliran Monisme Primat Hukum Internasional yang akan menganggap
Perjanjian Internasional kedudukannya lebih tinggi dari perundang-undangan
nasional Negara, dan sebaliknya, aliran Monisme Primat Hukum Nasional akan
menganggap bahwa perundang-undangan nasional Negara secara hierarkhis
memiliki posisi yang lebih tinggi dari Perjanjian Internasional.
Berkaitan dengan hal ini, dapat kiranya dirujuk Article 27 of the Vienna
Convention on the Law of the Treaties, 1969 yang mengatur mengenai Internal law
and observance of treaties yang menyebutkan bahwa suatu negara pihak tidak dapat
memberikan alasan untuk tidak mematuhi suatu perjanjian karena adanya kesulitan
dari hukum nasionalnya. Kendatipun demikian, ketentuan ini tidak
mengesampingkan substansi yang tertuang di dalam Article 46 of the Vienna
Convention on the Law of the Treaties, 1969 mengenai Ketentuan-Ketentuan dalam
Hukum Nasional mengenai Wewenang untuk Membuat Perjanjian. 27
Faktanya, semakin sering dilakukan pengujian substansi perjanjian
internasional oleh sejumlah Peradilan Nasional dan Peradilan Regional.
Menariknya, pandangan (majelis) hakim dalam memutuskan ternyata cukup
dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai salah satu aliran yang dianutnya.
Penutup
Secara teoritik, terdapat dua pandangan berkaitan dengan persoalan
hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yakni pandangan
Voluntarisme yang melahirkan aliran Dualisme dan pandangan Objektivis yang
melahirkan aliran Monisme. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
menentukan bahwa suatu negara pihak tidak dapat memberikan alasan untuk tidak

26
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, 2003, h. 55-64
27
Dikutip dari Terjemahan atas Article 27 Vienna Convention on the Law of the
Treaties 1969 pada Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h. 84 dan 113.
39
mematuhi suatu perjanjian karena adanya kesulitan dari hukum nasionalnya. Fakta
juga menunjukkan bahwa pengujian substansi perjanjian internasional ternyata
dilakukan pada sejumlah Peradilan Nasional dan Peradilan Regional di berbagai
belahan dunia. Pokok bahasan ini akan semakin dipertajam pada Tutorial Keenam.
Bahan Pustaka:
a. Charter of the United Nations
b. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 Part III.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=download.Putusan&id=1
303
d. Decision of Court of First Instant (CFI) and Decision of the European Court of
Justice (ECJ) in Yusuf and Kadi Case. http://eur-
lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:62001A0306:EN:HTML,
http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:62001A0315:E
N:HTML,http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:62005
J0402:EN:HTMLILC Articles on Responsibility of States for Internationally
Wrongful Act 2001, Part Two.
e. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto Medellin,
Petitioner V. Texas, 2008. http://www.supremecourtus.gov/opinions/07pdf/06-
984.pdf
f. Dewanto, Wisnu Aryo, Problematika Keberlakuan dan Status Hukum Perjanjian
Internasional: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011,
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 – 122. 28
g. Dewanto, Wisnu Aryo, Perjanjian Internasional Tidak Dapat Diterapkan Secara
Langsung di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik Terhadap Laporan DELRI
Kepada Komite ICCPR PBB Mengenai Implementasi ICCPR di Indonesia,
Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014.29
h. Bakar, Dian Utami Mas, Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan
Perjanjian Internasional, Yuridika, Volume 29 No 3, September-Desember 2014,
h.274-298.30
i. Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford,
1998, p. 31-56.
j. Denza, Eileen, The Relationship between International and National Law dalam
Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University Press,
2006, h. 423-448.
k. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, 2003, h. 55-94.
l. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h.275-276.
m. Posch, Albert, The Kadi Case: Rethinking the Relationship between EU Law and
International Law?, The Columbia Journal Of European Law Online (15 Colum.
J. Eur. L. Online 1 (2009)) http://www.cjel.net/wp-
content/uploads/2009/03/albertposch-the-kadi-case.pdf
28
http://www.komisiyudisial.go.id/files/Jurnal%20Yudisial/jurnal-agustus-2013.pdf
29

http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/STAATRECHTS/article/download/19/12
30
e-journal.unair.ac.id/index.php/YDK/article/download/372/206
40
PERTEMUAN XIII
TUTORIAL KEENAM

Task Mengenai Perjanjian Internasional


dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Regional

Problem Task

Kasus Imajiner

Mahkamah Agung Afghanistan Uji Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Afghanistan merupakan negara yang menjadi home base gerakan terorisme.


Gerakan ini dituduh melancarkan aksi tidak hanya di internal Afghanistan, namun
juga di Pakistan, India, dan bahkan Amerika Serikat. Pihak kepolisian dan militer
Afghanistan telah kewalahan untuk mengatasi aksi mereka. Bahkan dalam beberapa
tahun terakhir, jumlah pengikut gerakan ini semakin meningkat. Melalui rapat
kabinet terbatas, Pemerintah Afghanistan, yang dipimpin oleh penguasa sipil
demokratik, memutuskan untuk mengundang keterlibatan masyarakat internasional
dalam mengatasi kasus ini. Presiden Afghanistan kemudian bersurat kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) memohon bantuan
PBB untuk terlibat aktif dalam memulihkan situasi di Afghanistan.
Sekjen PBB kemudian meneruskan surat tersebut ke Sidang Majelis Umum
PBB untuk dibahas oleh semua negara anggota PBB. Hasilnya, sidang tersebut
memberikan otoritas kepada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa (Charter of the United Nations/UN Charter), khususnya Chapter VII. Dalam
perdebatan yang sangat alot, DK PBB kemudian mengeluarkan sebuah resolusi
pengiriman pasukan keamanan multinasional ke Afghanistan.
Langkah DK PBB ini pada awalnya disambut dengan baik. Pengiriman
pasukan kemananan sejumlah 50.000 personil di tahun pertama dapat mendukung
efektivitas pergerakan aparat kepolisian dan militer Afghanistan untuk menggempur
sarang-sarang teroris hingga ke pelosok-pelosok wilayah Afganistan. Namun ketika
jumlah pasukan keamanan ini ditingkatkan hingga dua kali lipat pada tahun
berikutnya, muncul permasalahan karena jumlah ini lebih besar daripada jumlah
keseluruhan personil kepolisian dan militer Afghanistan. Pihak kepolisian dan
militer kemudian menyampaikan keberatannya kepada pihak pemerintah (eksekutif)
Afghanistan dengan berargumen bahwa PBB sebaiknya memperkuat personil
41
kepolisian dan militer Afghanistan dengan memberikan pelatihan-pelatihan dan
pendampingan daripada melakukan penambahan jumlah pasukan keamanan yang
berpotensi bagi terjadinya intervensi terhadap kedaulatan teritorial Afghanistan.
Pemerintah Afghanistan ternyata tetap bersikukuh dengan keputusannya untuk
melanjutkan keterlibatan PBB dengan pertimbangan bahwa gerakan terorisme
masih belum dapat dituntaskan. Ketika isu kudeta mulai terdengar, Pemerintah
Afghanistan mengajukan permohonan pendapat hukum Mahkamah Agung (MA)
Afghanistan tentang permasalahan ini.
Secara mengejutkan MA Afghanistan memberikan pendapat hukum sebagai
berikut:

1. Keputusan Pemerintah Afghanistan untuk mengundang keterlibatan masyarakat


internasional untuk mengatasi kasus ini dapat dibenarkan berdasarkan hukum
nasional Afghanistan, sepanjang masih sesuai dengan kepentingan nasional
terutama di bidang keamanan dan pertahanan.
2. Pengiriman pasukan keamanan PBB dalam jumlah yang lebih besar daripada
jumlah total personil kepolisian dan militer Afghanistan dapat dipandang
sebagai upaya yang tidak menghormati kedaulatan teritorial Afghanistan. Dalam
hal ini, PBB tidak konsisten menerapkan UN Charter. Di satu sisi, misi ini
didasarkan pada Chapter VII UN Charter, sementara di sisi lain, pelaksanaan
misi ini bertentangan dengan Article 1 (1) dan 2 (4) UN Charter serta
bertentangan dengan prinsip non-intervention sebagaimana tertuang dalam
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations
and Co-operation among States in Accordance with the Charter of the United
Nations (1970).

Bahan Pustaka:

1. Bacaan pada Perkuliahan Keenam, khususnya the Charter of the United


Nations, dan;
2. The Declaration on Principles of International Law concerning Friendly
Relations and Co-operation among States in Accordance with the Charter of
the United Nations (1970).

42
PERTEMUAN XIV
PERKULIAHAN KETUJUH
Isu-Isu Aktual Hukum Perjanjian Internasional
Pendahuluan
Dalam rangka menguji pemahaman mahasiswa secara paripurna,
perkuliahan ketujuh akan menjadi penutup sesi perkuliahan dengan menyajikan isu-
isu aktual Hukum Perjanjian Internasional.
Pokok Bahasan:
A. Politik dalam Penafsiran Perjanjian Internasional
B. Eksistensi Perjanjian Internasional yang berkaitan dengan Organisasi
Internasional dalam Pengakhiran Status Keanggotaan di Organisasi Internasional
tersebut

Uraian Pokok Bahasan


Tahap ini mengombinasikan pengetahuan mahasiswa yang didapat dari
mempelajari berbagai pokok bahasan sebelumnya. Isu-isu aktual hukum perjanjian
internasional sesungguhnya cukup banyak, namun dalam perkuliahan ini hanya
difokuskan pada dua isu saja. Isu pertama diangkat karena terinsipirasi dari hangat
dan berlanjutnya diskursus akademik mengenai “the Politics of Treaty
Interpretation” di kalangan para ahli hukum internasional di berbagai Negara. Isu
kedua dilatarbelakangi oleh situasi yang masih penuh perdebatan mengenai status
perjanjian regional yang pernah diikuti oleh Inggris pasca referendum Inggris yang
menghasilkan keputusan untuk keluar dari keanggotaannya di Uni Eropa.
Penutup
Pokok bahasan isu-isu aktual Hukum Perjanjian Internasional akan diuji melalui
problem task yang disajikan pada Tutorial Ketujuh.
Bahan Pustaka:
a. Lisbon Treaty of the European Union
b. Pauwelyn, Joost and Elsig, Manfred, the Politics of Treaty Interpretation:
Variations and Explanations Across International Tribunals (October 3, 2011).
Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1938618 or
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1938618
b. Dunoff, Jeffrey L and Mark A. Pollack, Reversing Field: What Can International
Law Teach International Relations?, ESIL Reflections, Volume 3, Issue 3, March
27, 2014, http://www.esil-
sedi.eu/sites/default/files/Dunoff%20and%20Pollack%20-
%20ESIL%20Reflections_0.pdf
c. Smolka, Jennifer and Benedikt Pirker, International Law and Pragmatics: An
Account of Interpretation in International Law, International Journal of Language
& Law vol. 5 (2016),
https://www.languageandlaw.de/index.php/jll/article/view/17/17

43
PERTEMUAN XV
TUTORIAL KETUJUH

Task mengenai Isu-Isu Aktual Hukum Perjanjian Internasional

Problem Task
Brexit and International Trade Treaties31

One consequence of the UK’s membership of the EU is that many aspects of


the UK’s external relations are now conducted partly or wholly through the EU. As
a result of Brexit, the UK would be able to re-assume direct control of its external
relations, including trade relations. The pro-Remain camp suggested in the
campaign that Brexit would result in years of uncertainty while the UK renegotiates
its international trade arrangements.
This contention is not supported by the facts and evidence. As we explain in
more detail in this research piece:
 The UK cannot currently decide the level of tariffs which we levy on imports,
because these are set at a uniform level for the EU as a whole under the EU's
customs union. After exit, WTO rules would apply which would allow the UK to
decide the level of our own tariffs on imports, provided that tariffs on average are
no higher than under the EU customs union.
 Again, because of the EU customs union and 'common commercial policy',
the UK is not able to negotiate its own trade agreements with non-member countries
-- we can only do so as part of the EU. The UK will be able to participate in new
trade agreements with non-member countries from the day after exit. The process
of negotiating new trade deals can be started during the 2-year notice period
leading up to Brexit, with a view to bringing them into force on or soon after the
date of exit.
 The EU has existing free trade agreements which currently apply to the UK
as an EU member. Most of these EU agreements are with micro-States or
developing countries and only a small number represent significant export markets
for the UK. Both the EU and the member states (including the UK) are parties to
these agreements. The UK could simply continue to apply the substantive terms of
these agreements on a reciprocal basis after exit unless the counterparty State were

31
Dikutip sebagian dari http://www.lawyersforbritain.org/brexit-trade-
treaties.shtml#
44
actively to object. We can see no rational reason why the counterparty States would
object to this coursDaniel Alexander <Daniel.Alexander@8newsquare.co.uk>e
since that would subject their existing export trade into the UK market, which is
currently tariff free, to new tariffs. There will be no need for complicated
renegotiation of these existing agreements as was misleadingly claimed by pro-
Remain propaganda.
 The UK was a founder member of EFTA but withdrew when we joined the
EEC in 1973. We could apply to re-join with effect from the day after Brexit. There
is no reason why the four current EFTA countries would not welcome us back, given
that the UK is one of EFTA's largest export markets. EFTA membership would
allow us to continue uninterrupted free trade relations with the four EFTA
countries, and also to participate in EFTA's promotion of free trade deals with non-
member countries around the world.
 The EU is seriously encumbered in trying to negotiate trade agreements by
the large number of vociferous protectionist special interests within its borders.
After Brexit, the UK would be able to negotiate new trade deals unencumbered by
these special interests much faster than the EU, and with a higher priority for
faciliting access to markets for our own export industries including services.
 It is completely untrue that you need to be a member of a large bloc like the
EU in order to strike trade deals. The actual record of the EU compared to that
(for example) of the EFTA countries demonstrates the direct opposite.
 The baseline of our trade relationship with the remaining EU states would
be governed by WTO rules which provide for non-discrimination in tariffs, and
outlaw discriminatory non-tariff measures. From this baseline, and as the
remaining EU's largest single export market, we would be in a strong position to
negotiate a mutually beneficial deal providing for the continued free flow of goods
and services in both directions. We explain what such a deal would look like in a
later post, Brexit - doing a deal with the EU.
Bahan Pustaka:
a. General Agreement on Tarrifs dan Trade
b. Lisbon Treaty of the European Union
c. Miller, Vaughne and Arabella Lang, Brexit: how does the Article 50 process
work?, Briefing Paper, Number 7551, 30 June 2016, House of Commons
Library, http://researchbriefings.files.parliament.uk/documents/CBP-7551/CBP-
7551.pd

45
PERTEMUAN XVI
UJIAN AKHIR SEMESTER

Petunjuk Ujian
1. Pada prinsipnya, Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah ini didesain
sebagai instrumen evaluasi terukur untuk menguji kemampuan dan kemajuan
mahasiswa dalam partisipasinya mengikuti perkuliahan ini hingga periode UAS.
2. Ujian diselenggarakan dalam bentuk ujian tertulis (written exam) atau bentuk lain
sebagaimana ditentukan oleh Dosen Pengajar.
3. Semua materi yang telah dibahas berpotensi untuk diujikan pada saat UAS.

46

Anda mungkin juga menyukai