Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MANDIRI

MANAJEMEN MUTU
“Implementasi Manajemen Mutu dan Risiko Terpadu untuk
Meningkatkan Daya Saing Perusahaan Sediaan Farmasi”

Disusun Oleh :

Nadiah Putri Shafira (2020001155)

Manajemen Mutu B

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA


JAKARTA, 2021
PENDAHULUAN

Industri farmasi merupakan salah satu industri berbasis riset yang produknya
diatur secara ketat khususnya dalam hal mutu produk yang dihasilkan. Secara
berkesinambungan industri farmasi juga memerlukan inovasi, organisasi dan sistem
pemasaran yang efektif, serta promosi yang bersifat memberikan edukasi kepada
konsumen. Industri farmasi memiliki persyaratan khusus dalam manajemen mutu
produknya yaitu harus memenuhi aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
atau dikenal dengan Current Good Manufacturing Practice (cGMP). Penerapan
sistem manajemen mutu ini ditujukan untuk menghasilkan obat yang berkualitas.
Sesuai dengan Keputusan Menkes No 43/Menkes/SK/11/1988 tentang cara CPOB
mengatur tentang penjaminan mutu obat yang dihasilkan industri famasi di seluruh
aspek melalui serangkaian kegiatan produksi. Sehingga obat jadi yang dihasilkan
memenuhi persyaratan mutu dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Terkait
dengan peraturan tersebut, industri farmasi harus bisa memenuhi setiap aspek dalam
CPOB. Aspek-aspek yang harus dipenuhi dalam CPOB antara lain: Sistem Mutu,
Personalia, Bangunan dan Sarana Penunjang, Peralatan, Sanitasi dan Higiene,
Produksi, Pengawasan Mutu, Inspeksi Diri dan Audit Mutu, Penanganan Keluhan
Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian, Dokumentasi,
Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak, Kualifikasi dan Validasi. Tujuannya
agar perusahaan (industri farmasi) ingin menghasilkan produk yang benar-benar
memenuhi persyaratan yang ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaan.
Aspek-aspek CPOB yang diaplikasikan pada industri farmasi pada prinsipnya
memiliki kesamaan dengan aspek pada sistem manajemen mutu yang diterapkan di
industri lain seperti pada sistem manajemen mutu ISO 9000. Artinya perusahaan
farmasi di Indonesia telah menerapkan sistem manajemen mutu dengan memenuhi
aspek aspek yang terdapat dalam CPOB. Penerapan manajemen mutu ini pada
akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan baik secara operasional
dan bisnis. Dengan demikian dapat dihipotesakan bahwa perusahaan farmasi yang
telah menerapkan CPOB seharusnya memiliki sistem manajemen mutu yang baik.
ISI

A. Manajemen Mutu Terpadu


Menurut Nasution (2005: 22) Total Quality Management merupakan suatu
pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya
saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas priduk, jasa, tenaga kerja,
proses, dan lingkungannya. Sedangkan menurut Brocka dan Brocka dalam Suwatno
dan Rasto (2003: 174-175) Total Quality Management dapat didefinisikan sebagai
sebuah cara untuk meningkatkan kinerja secara berkelanjutan pada setiap tingkat
operasi, dalam setiap fungsi organisasi, dengan memnggunakan seluruh sumber daya
manusia dan modal yang tersedia.
Menurut Ariani (2002: 35) Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality
Management) merupakan suatu penerapan metode kuantitatif dan sumber daya
manusia untuk memperbaiki dalam penyediaan bahan baku maupun pelayanan bagi
organisasi, semua proses dalam organisasi pada tingkatan tertentu dimana kebutuhan
pelanggan terpenuhi sekarang dan di masa mendatang. (Total Quality Management)
lebih merupakan sikap dan perilaku berdasarkan kepuasan atas pekerjaannya dan kerja
tim atau kelompoknya. Total Quality Management menghendaki komitmen total dari
manajemen sebagai pemimpin organisasi dimana komitmen ini harus disebarluaskan
pada seluruh karyawan dan pada semua level atau departemen dalam organisasi. Total
Quality Management menghendaki komitmen total dari manajemen sebagai
pemimpin organisasi dimana komitmen ini harus disebarluaskan pada seluruh
karyawan dan pada semua level atau depertemen dalam organisasi. Total Quality
Management bukan merupakan program atau system, tapi merupakan budaya yang
harus dibangun, dipertahankan, dan ditingkatkan oleh seluruh anggota organisasi atau
perusahaan bila organisasi atau perusahan tersebut berorientasi pada kualiats dan
menjadikan kualitas sebagai the way of life. Prawirosentono (2004: 5) secara
sistematis, Manajemen Mutu Terpadu meliputi:
a. Merancang produk
b. Memproduksi secara baik sesuai dengan rencana
c. Mengirimkan produk ke konsumen dalam kondisi baik
d. Pelayanan yang baik kepada konsumen.
Menurut Hensler dan Brunell dalam Nasution (2005: 30-31) ada empat prinsip
utama dalam TQM, yaitu:

1. Kepuasan Pelanggan
Kebutuhan pelangganan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek
termasuk di dalam harga, keamanan, dan ketepatan waktu. Kualitas yang
dihasilkan suatu perusahaan sama dengan nilai yang diberikan dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup para pelangan. Semakin tinggi nilai yang
diberikan, maka semakin besar pula kepuasan pelanggan.
2. Respek Terhadap Setiap Orang
Setiap karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan
kreativitas yang khas. Dengan demikian, karyawan merupakan sumberdaya
organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap orang dalam organisasi
diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk terlibat dan
berpartisipasi dalam tim pengambilan keputusan.
3. Manajemen Berdasarkan Fakta
Setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan
(feeling). Ada dua konsep pokok yang berkaitan dengan hal ini. Pertama,
prioritas, yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada
semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan sumberdaya
yang ada. Kedua, variasi atau variabilitas kinerja manusia. Data statistic dapat
memberikan gambaran mengenai variabilitas yang merupakan bagian yang
wajar pada setiap system organisasi.
4. Perbaikan Berkesinambungan
Setiap perusahaan perlu melakukan proses sistematis dalam melaksanakan
perbaikan secara perkesinambungan agar dapat sukses. Konsep yang berlaku
di sini adalah siklus PDCAA, yang terdiri dari Langkah-langkkah
perencanaan dan melakukan tindakan kreatif terhadap hasil yang diperoleh.

B. Manajemen Risiko
Manajemen risiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk melakukan
penilaian, pengendalian dan pengkajian risiko terhadap mutu suatu produk. Hal ini
dapat diaplikasikan secara proaktif maupun retrospektif. Manajemen risiko mutu
hendaklah memastikan bahwa:
a. Evaluasi risiko terhadap mutu dilakukan berdasarkan pengetahuan secara
ilmiah, pengalaman dengan proses dan pada akhirnya terkait pada
perlindungan pasien;
b. Tingkat usaha, formalitas dan dokumentasi dari proses manajemen risiko mutu
sepadan dengan tingkat risiko.
(Kepala BPOM, 2012).
Dalam mewujudkan pelaksanaan sistem Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) diperlukan pula aspek lainnya sehingga industri farmasi dapat membuat obat
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, yaitu:
- Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan
sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh
sebab itu industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang
terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas.
Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat.
Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan
awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan
dengan pekerjaannya.
- Bangunan dan fasilitas
Untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi dan letak yang
memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk
memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan
harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil resiko terjadi kekeliruan,
pencemaran silang dan kesalahan lain, serta memudahkan pembersihan, sanitasi
dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan pencemaran silang,
penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu
obat.
- Peralatan
Untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat,
ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar
mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets dan untuk
memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi
silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak
buruk pada mutu produk.
- Sanitasi dan hygiene
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap
aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil,
bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, bahan
pembersih dan desinfeksi, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber
pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan
melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu.
- Produksi
Dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan; dan
memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk
yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan
izin edar.
- Pengawasan Mutu
Merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk
memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang
sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak
yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai
sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.
- Inspeksi diri, audit mutu dan audit persetujuan pemasok
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek
produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB.
Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam
pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.
Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang
kompeten dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan CPOB secara
obyektif. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan, di samping itu, pada
situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi
penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya
dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan
dibuat program tindak lanjut yang efektif.
- Penanganan keluhan terhadap produk dan penarikan kembali produk
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan
terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis.
Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem,
bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat
dari peredaran secara cepat dan efektif.
- Dokumentasi
Bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik
merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas
adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian
tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadi
salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan
komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi Induk/Formula Pembuatan,
prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan
dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting.
- Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan
kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu
yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak dan Penerima
Kontrak harus dibuat secara jelas yang menentukan tanggung jawab dan
kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas
prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung
jawab penuh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).
- Kualifikasi dan Validasi
CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang
perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan
yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan danproses
yang dapat memengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan
kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan
cakupan validasi.
(Kepala BPOM, 2012).

C. Industri Farmasi
Persaingan di industri farmasi yang semakin ketat mendorong setiap perusahaan
farmasi untuk menghasilkan obat yang bermutu, yaitu obat yang memenuhi
persyaratan dalam dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang dapat
membahayakan pengguna dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu dari
produk obat tersebut mutlak untuk dijaga demi meningkatkan kepuasan pelanggan
(Sari et all., 2015). Dalam persaingan di industri farmasi yang semakin ketat setiap
perusahaan farmasi dituntut untuk dapat menghasilkan obat yang bermutu. Industri
farmasi diharuskan memproduksi obat dengan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan produk yang bermutu yaitu produk haruslah memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang dapat
membahayakan penggunanya dan sesuai dengan tujuan penggunaannya (Sari et all.,
2015).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799 tahun 2010 tentang
Industri Farmasi menyatakan bahwa pengertian industri farmasi adalah badan usaha
yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat
atau bahan obat, disebutkan pula bahwa proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi, selain itu industri farmasi berfungsi
sebagai tempat untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan.
Untuk memperoleh izin usaha industry farmasi, diperlukan tahap persetujuan
prinsip, yang diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setelah sebelumnya mengajukan
permohonan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan. Persetujuan
Prinsip diberikan pada industry farmasi untuk dapat langsung melakukan persiapan
dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan instalasi, peralatan dan lain-lain
yang diperlukan, termausk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan
perundang-undangan di bidang obat. Persetujuan prinsip tersebut selama jangka
waktu 3 tahun dan selama jangka waktu tersebut, industri farmasi yang bersangkutan
harus menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik setiap 6 bulan
sekali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Berikut merupakan persyaratan untuk mendapatkan persetujuan prinsip menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799 tahun 2010, yaitu:
a. Fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris perusahaan;
c. Susunan direksi dan komisaris;
d. Pernyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi;
e. Fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah;
f. Fotokopi Surat lzin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO);
g. Fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan;
h. Fotokopi Surat lzin Usaha Perdagangan;
i. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
j. Persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi;
k. Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan;
l. Rencana Investasi dan kegiatan pembuatan obat;
m. Surat asli pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung Jawab pengawasan mutu, dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu; dan
n. Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung
jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan.
Setelah melakukan tahap persetujuan prinsip, kemudian dilakukan permohonan
izin usaha industri. Diajukan pada Direktur Jenderal Kementrian Kesehatan dengan
tembusan Kepada BPOM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Adapun
persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin pendirian industri farmasi
menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799 tahun 2010, yaitu sebagai
berikut:
a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas
b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
d. Memiliki secara tetap
e. Paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing
sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu; dan
f. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsun
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

D. Manajemen Mutu Industri Farmasi


Mutu dari suatu obat tersebut mutlak untuk dijaga, oleh karena itu diperlukan
peran serta setiap elemen yang ada di perusahaan (industri farmasi) termasuk
manajemen dalam menjaga mutu dari produk yang dihasilkan. Salah satu sistem
manajemen mutu yang saat ini sedang berkembang adalah sistem manajemen mutu
yang didasarkan pada standar ISO yang telah bertaraf internasional, dan di Indonesia
kini harus menerapkan system CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) (Sari et all.,
2015). CPOB diterapkan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai
dengan persyaratan dan tujuan penggunaan.mencakup seluruh aspek produksi dan
pengawasan mutu. CPOB merupakan pedoman yang sangat penting, tidak hanya bagi
industri farmasi dan regulator, tetapi juga bagi konsumen dalam memenuhi
kebutuhannya akan pengobatan yang aman, berkhasiat dan berkualitas (Fatmawati,
2014).
Menurut Kepala Badan POM RI Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 tahun 2012
tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik, pengertian dari Cara
Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPOB, adalah cara pembuatan
obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan
persyaratan dan tujuan penggunaan. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek
produksi dan pengendalian mutu.
Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan
pengujian tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang
dikendalikan dan dipantau secara cermat.
CPOB ini merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat
yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunannya; bila perlu dapat
dilakukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah
ditentukan tetap dicapai. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk digunakan oleh
industri farmasi sebagai dasar pengembangan aturan internal sesuai kebutuhan
(Kepala BPOM, 2012).
Prinsip dari manajemen mutu yaitu industri farmasi harus membuat obat
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko
yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.
Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan
Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di
dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu
secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem Pemastian Mutu yang
didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta menginkorporasi Cara
Pembuatan Obat yang Baik termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko
Mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan dimonitor efektivitasnya. Unsur dasar
manajemen mutu adalah:
a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi,
prosedur, proses dan sumber daya; dan
b. Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan
akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan
tersebut disebut Pemastian Mutu.
(Kepala BPOM, 2012).
Semua bagian sistem Pemastian Mutu hendaklah didukung dengan ketersediaan
personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan
memadai. Tambahan tanggung jawab legal hendaklah diberikan kepada kepala
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB), Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah
aspek manajemen mutu yang saling terkait (Kepala BPOM, 2012).

E. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)


CPOB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat dibuat
dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan
tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk. CPOB
mencakup Produksi dan Pengawasan Mutu. Persyaratan dasar dari CPOB adalah:
a. Semua proses pembuatan obat dijabarkan dengan jelas, dikaji secara sistematis
berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara konsisten menghasilkan obat
yang memenuhi persyaratan mutu dan spesifikasi yang telah ditetapkan;
b. Tahap proses yang kritis dalam pembuatan, pengawasan proses dan sarana
penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi;
c. Tersedia semua sarana yang diper-lukan dalam CPOB termasuk:
a) personil yang terkualifikasi dan terlatih
b) bangunan dan sarana dengan luas yang memadai
c) peralatan dan sarana penunjang yang sesuai;
d) bahan, wadah dan label yang benar;
e) prosedur dan instruksi yang disetujui; dan
f) tempat penyimpanan dan transportasi yang memadai.
d. Prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa yang jelas,
tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik pada sarana yang tersedia;
e. Operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar;
f. Pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama pembuatan
yang menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan dalam prosedur dan
instruksi yang ditetapkan benar-benar dilaksanakan dan jumlah serta mutu produk
yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tiap penyimpangan dicatat secara
lengkap dan diinvestigasi;
g. Catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan penelusuran riwayat
bets secara lengkap, disimpan secara komprehensif dan dalam bentuk yang mudah
diakses;
h. Penyimpanan dan distribusi obat yang dapat memperkecil risiko terhadap mutu
obat;
i. Tersedia sistem penarikan kembali bets obat manapun dari peredaran; dan
j. Keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu diinvestigasi
serta dilakukan tindakn perbaikan yang tepat dan pencegahan pengulangan kembali
keluhan.
(Kepala BPOM, 2012).
PENUTUP
Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan makalah diatas yaitu yang termasuk dalam
manajemen mutu ialah pemastian mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB),
pengawasan mutu, manajemen resiko mutu. Aspek lainnya yang mendukung yaitu
personalia; bangunan dan fasilitas; peralatan; sanitasi dan hygiene; produksi;
pengawasan mutu; inspeksi diri, audit mutu, dan audit & persetujuan pemasok;
penanganan keluhan terhadap produk dan penarikan kembali produk; dokumentasi;
pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak; serta kualifikasi dan validasi.
DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati, N. 2014. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT Kalbe Farma, Tbk.
Kawasan Industri Delta Silicon Jl. M.H.Thamrin Blok A3-1, Lippo Cikarang, Bekasi
Periode 17 Juni-12 Juli dan 14 Agustus-30 Agustus 2013. Fakultas Farmasi, Program
Profesi Apoteker, Universitas Indonesia. Jakarta.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
Hk.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 Tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat
Yang Baik. 2012. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010


Tentang Industri Farmasi. 2010. Jakarta.

Sari, D. P., A. Susanty, & A. A. Wibowo. 2015. Perancangan Sistem Dokumentasi Mutu
Berdasarkan ISO9001:2008 di PT. Degepharm Semarang. Seminar Nasional IENACO.
Semarang.

Heruhidayat A. Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Program Studi Agribisnis Universitas


Islam Negeri 2009 M / 1430 H. 2009;

Anda mungkin juga menyukai