Anda di halaman 1dari 16

STATUS HUKUM INTERNASIONAL DALAM SISTEM HUKUM DI

INDONESIA

Wisnu Aryo Dewanto*

Abstract
A rule of international law is regarded as non-self-executing in the Indonesian legal
system. It means the international legal norm does not have legal binding force in the domestic
courts of Indonesia without an implementing legislation. Indonesia is a dualist country vis-
à-vis the relation of international law and national law. In regard with the implementation of
rules of international law into the Indonesian courts, Indonesia follows the transformation
theory where the rules of international law must be transposed into national laws to have
them enforced. Therefore, it is the supremacy of national law over international law before
the domestic courts.

Kata Kunci: non-self-executing treaties, sistem hukum Indonesia, dualisme, teori


transformasi, implementing legislation.

A. Pendahuluan Pada era Soeharto, presiden memiliki


Indonesia banyak mengalami per­ kekuasaan yang sangat besar karena
ubahan dalam sistem ketatanegaraan presiden pada saat itu juga dianggap sebagai
nasional sejak jatuhnya rezim Soeharto. “the Chief Executive of State”, dimana
Bahkan, Undang-Undang Dasar 1945 atau segala urusan administratif, kekuasaan dan
UUD 1945 yang selama ini dianggap sebagai tanggungjawab berada di pundak seorang
Konstitusi yang “sacred” telah mengalami presiden. Sebelum ada perubahan UUD
empat kali perubahan. Perubahan pertama 1945, presiden Indonesia merupakan
dilakukan pada bulan Oktober 1999, kedua panglima tertinggi atas angkatan darat,
di bulan Agustus 2000, dilanjutkan dengan angkatan laut dan angkatan udara. Selain
perubahan ketiga pada bulan November itu, presiden juga dapat membuat pernyataan
2001 dan kemudian perubahan keempat perang, membuat perdamaian dan perjanjian
pada bulan Agustus 2002. dengan negara lain, dan menyatakan

*
Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya. (email: wisnu@ubaya.ac.id)
1
Lindsey, Tim, “Indonesian Constitutional Reform: Muddling Toward Democracy”, Singapore Journal of In-
ternational and Comparative Law, 6 Sing. J. Int”l & Comp. L., 2002, hlm. 244.
2
Tabalujan, Benny S., “The Indonesian Legal System: An Overview”, http://www.llrx.com/features/indonesia.
htm/introduction, diakses pada 19 April 2009.
3
Ellis, Andrew, “The Indonesian Constitutional Transition: Conservatism or Fundamental Change?”, Singapore
Journal of International and Comparative Law, 6 Sing. J. Int”l & Comp. L. 116, 2002, hlm. 119.
4
Lihat Pasal 10 UUD 1945.
5
Lihat Pasal 11 UUD 1945.
326 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

keadaan bahaya, serta mengangkat duta dan membatalkan suatu perjanjian inte­
dan konsul sekaligus menerima duta negara rnasional, dan hak-hak yang dimiliki, seperti
lain. hak angket, merupakan ciri khas dari sistem
Indonesia juga disebut sebagai negara parlementer. Menurut Lindsey, Indonesia
dengan sistem presidensiil karena dipimpin bisa dikatakan sebagai negara yang
oleh seorang presiden. Namun, menurut menggunakan sistem hybrid dengan konsep
Arend Lijphart, syarat untuk suatu negara distribution of powers.11
dianggap menggunakan sistem presidensiil
tidak hanya karena negara yang bersangkutan B. Pembuatan Perjanjian Internasional
dipimpin oleh seorang presiden, tetapi ada Dalam hal pembuatan perjanjian
syarat lain yang harus dipenuhi, seperti internasional di Indonesia, pada saat sebelum
presiden harus dipilih secara langsung adanya perubahan dalam UUD 1945, pasal
dan presiden tidak dapat dijatuhkan oleh yang digunakan adalah Pasal 11 UUD 1945
parlemen. Jika melihat kondisi ini, Indonesia yang menjelaskan bahwa: “Presiden dengan
tidak bisa sepenuhnya dikatakan sebagai persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat …
negara dengan sistem presidensiil karena membuat … perjanjian dengan negara lain.”
hanya memenuhi kriteria yang pertama Di awal kemerdekaan, pembuatan
dan kedua. Sedangkan untuk syarat yang perjanjian internasional didasarkan pada
ketiga, Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 175 Konstitusi Republik Indonesia
atau MPR memiliki kewenangan untuk Serikat (RIS) yang menyebutkan:
memberhentikan presiden jika ia dianggap “(1) Presiden mengadakan dan
melanggar garis-garis besar haluan negara mengesahkan segala perjanjian
atau GBHN.10 (traktat) dan persetujuan lain dengan
Tim Lindsey mengungkapkan bahwa negara-negara lain kecuali ditentukan
sistem perpolitikan di Indonesia sangat lain dengan undang-undang federal,
membingungkan karena UUD 1945 perjanjian atau persetujuan lain tidak
tidak menjelaskan secara tegas mengenai disahkan, melainkan sesudah disetujui
doktrin separation of powers antara tiga dengan undang-undang. (2) Masuk
lembaga negara, yaitu eksekutif, legislatif dalam dan memutuskan perjanjian dan
dan yudikatif. Selanjutnya, apakah sistem persetujuan lain dilakukan oleh Presiden
yang digunakan di Indonesia adalah sistem dengan kuasa undang-undang.”12
presidensiil ataukah parlementer juga tidak
Selanjutnya, Pasal 120 Undang-
tampak. Besarnya kewenangan DPR saat
Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950
ini, termasuk dalam membuat, menyetujui
memiliki substansi yang sama dengan Pasal

6
Lihat Pasal 12 UUD 1945.
7
Lihat Pasal 13 Ayat 1 dan 2 UUD 1945.
8
Ellis, Andrew, Op. cit., hlm. 120.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Lindsey, Tim, Op. cit., hlm. 247.
12
Suryono, Edy, 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remadja Karya, Bandung, hlm.
33-34.
Dewanto, Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum 327

175 Konstitusi RIS, yang menyatakan: Perwakilan Rakyat Gotong Royong


“(1) Presiden mengadakan dan (DPRGR) menyampaikan hal ini kepada
mengesahkan perjanjian (traktat) Presiden pada saat itu vis-à-vis pembuatan
dan persetujuan lain dengan negara- perjanjian-perjanjian dengan negara lain.16
negara lain. Kecuali jika ditentukan Dan atas pertanyaan ini, kemudian Presiden
lain dengan undang-undang perjanjian menjawab melalui Surat Presiden Nomor:
atau persetujuan lain tidak disahkan, 2826/HK/1960 pada tanggal 22 Agustus
melainkan sesudah disetujui dengan 1960, yang menjelaskan sebagai berikut:
undang-undang. (2) Masuk dalam dan “(2) Menurut pendapat Pemerintah
memutuskan perjanjian dan persetujuan perkataan “perjanjian” dalam Pasal
lain, dilakukan oleh Presiden bahwa 11 ini tidak mengandung arti segala
dengan kuasa undang-undang.”13 perjanjian dengan Negara asing,
tetapi hanya perjanjian-perjanjian
Edy Suryono mengkritisi bahwa UUD
yang terpenting saja, yaitu yang
1945 tidak memuat ketentuan secara lengkap
mengandung soal-soal politik dan
karena tidak memberikan pembedaan antara
yang lazimnya dikehendaki berbentuk
treaty dengan agreement, serta bentuk
traktat atau treaty. Jika tidak diartikan
persetujuan yang seperti apa yang harus
demikian maka Pemerintah tidak
diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
akan mempunyai cukup keleluasaan
(DPR), apakah harus selalu berbentuk
bergerak untuk menjalankan hubungan
undang-undang atau yang lain, juga apakah
internasional dengan sewajarnya, karena
semua bentuk perjanjian harus selalu
untuk tiap-tiap perjanjian walaupun
mendapat persetujuan dari DPR.14 Jika
mengenai soal-soal yang kecil-kecil
dibandingkan dengan kata-kata yang ada
harus diperoleh persetujuan terlebih
dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, kedua
dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat,
hukum tertinggi ini lebih tegas menyebutkan
sedangkan hubungan internasional
wewenang presiden dalam hal membuat dan
dewasa ini demikian intensifnya
mengesahkan (ratification) perjanjian dan
sehingga tindakan-tindakan yang
persetujuan, termasuk turut serta (accession)
cepat dari Pemrintah membutuhkan
dan menghentikan (termination) suatu
prosedur konstitusional yang lancar.
perjanjian atau persetujuan internasional.15
(3) Untuk menjamin kelancaran di
Ketidakjelasan Pasal 11 UUD 1945
dalam pelaksanaan kerjasama antara
ini menimbulkan banyak penafsiran baik
Pemerintah dengan Dewan Perwakilan
di kalangan eksekutif maupun legislatif,
Rakyat sebagai tertera di dalam Pasal
sehingga membuat Pimpinan Dewan

13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Parthiana, Wayan, 1987, Beberapa Masalah dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia,
Binacipta, Bandung, hlm. 137.
328 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

11 Undang-Undang Dasar, Pemerintah dicantumkan didalam perjanjian kerja­


akan menyampaikan kepada Dewan sama ekonomi dan teknis atau pinjaman
Perwakilan Rakyat untuk memperoleh uang. (c) Soal-soal yang menurut
persetujuan Dewan Perwakilan Undang-Undang Dasar atau menurut
Rakyat hanya perjanjian-perjanjian sistem perundang-undangan kita harus
yang terpenting saja (treaties), yang diatur dengan undang-undang seperti
diperincikan dibawah, sedangkan soal kewarganegaraan dan soal-soal
perjanjian-perjanjian lain (agreements) kehakiman.”17
akan disampaikan kepada Dewan
Menurut Harjono, dalam disertasinya
Perwakilan Rakyat hanya untuk
yang berjudul Aspek-Aspek Yuridis
diketahui. Perlu diminta perhatian
Pembuatan Perjanjian Internasional dalam
disini, bahwa Pasal 11 Undang-Undang
Sistem UUD 1945, bahwa Surat Presiden
Dasar tidak menentukan bentuk yuridis
tersebut yang kemudian digunakan sebagai
dari persetujuan Dewan Perwakilan
dasar hukum dalam pengesahkan perjanjian
Rakyat untuk memberinya dengan
internasional pada saat itu memiliki
undang-undang. (4) Sesuai dengan
kelemahan materiil dan formil. Lebih
pertimbangan-pertimbangan yang ter­
lanjut, dikatakan bahwa surat tersebut tidak
sebut di atas, Pemerintah berpendapat
memiliki unsur sebagai sumber hukum dalam
bahwa perjanjian-perjanjian yang
sistem ketatanegaraan di Indonesia karena
harus disampaikan kepada Dewan
surat tersebut tidak mengandung unsur
Perwakilan Rakyat untuk mendapat
normatif. Surat tersebut sebenarnya hanya
persetujuan sebelumnya disahkan oleh
merupakan penafsiran Presiden terhadap
Presiden, ialah perjanjian-perjanjian
Pasal 11 UUD 1945. Oleh karena itu, surat
yang lazimnya berbentuk treaty yang
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
mengandung materi sebagai berikut:
yang mengikat bagi lembaga tinggi lainnya,
(a) Soal-soal politik atau soal-soal yang
dalam hal ini DPRGR. Kemudian, Harjono
dapat mempengaruhi haluan politik luar
juga mengungkapkan bahwa dibuatnya surat
negeri Negara seperti halnya dengan
tersebut terkait dengan praktek pembuatan
perjanjian-perjanjian persahabatan, per­
perjanjian internasional di Indonesia hanya
janjian-perjanjian persekutuan (aliansi),
didasarkan atas pertimbangan kecepatan dan
perjanjian-perjanjian tentang perubahan
kemudahan saja tanpa mempertimbangkan
wilayah atau penetapan tapal batas.
aspek yuridis lainnya yang lebih penting,
(b) Ikatan-ikatan yang sedemikian
sehingga hal ini mengarah pada praktek
rupa sifatnya sehingga mempengaruhi
fiat accompli yuridis terhadap kekuasaan
haluan politik luar negeri Negara; dapat
DPR dalam hal pembuatan perjanjian
terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian
internasional.18

17
Ibid., hlm. 137-138.
18
Harjono, 1994, Aspek-Aspek Yuridis Pembuatan Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD 1945, Disertasi,
Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 256-259.
Dewanto, Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum 329

Namun pendapat berbeda disampaikan gan, dimintakan pendapat politis serta


oleh Bagir Manan, yang mana ia mengatakan persetujuan kepada Pimpinan Departe-
bahwa tata cara melakukan ratifikasi, men Luar Negeri, untuk selanjutnya
penentuan materi perjanjian yang memerlukan dimintakan pengesahan dari Presiden
dan tidak memerlukan persetujuan DPR, oleh Menteri Luar Negeri. Sebelum
bentuk hukum nasional yang diberikan pada mengesahkannya Presiden minta DPR
suatu perjanjian atau persetujuan, mungkin untuk menyetujuinya terlebih dahulu.
hanya diatur berdasarkan “ketatanegaraan”. 2. Sebelum Menteri Luar Negeri minta
Konvensi ketatanegaraan ini merupakan pengesahan kepada Presiden, Direktorat
kaidah yang hidup dan ditaati dalam praktek yang bersangkutan di Departemen Luar
ketatanegaraan meskipun tidak memiliki Negeri terlebih dahulu mengadakan
daya paksa secara hukum. Oleh karena konsultasi antar departemen yang
tidak dapat dipaksakan oleh atau melalui berkepentingan dengan materi dari
pengadilan maka kepatuhan terhadak perjanjian tersebut. Pembahasan secara
konvensi ketatanegaraan ini didasarkan teknis pada prinsipnya diserahkan
pada etika dan moral, atau biasa disebut kepada masing-masing Departemen
dengan political ethics.19 Kemudian, Bagir tadi.
Manan memberikan kesimpulan bahwa 3. Didalam konsultasi antar Departemen
Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 jika tersebut disiapkan pula suatu rancangan
ditinjau dari sudut pandang hukum tata undang-undang (RUU) beserta pen­
negara dapat digolongkan sebagai konvensi jelasannya untuk disampaikan kepada
ketatanegaraan yang tertulis sehingga Presiden, yang kemudian dengan
sepanjang belum ada peraturan perundang- Amanat Presiden disampaikan kepada
undangan yang mengatur mengenai tata DPR untuk disetujui.
cara pembuatan/memasuki perjanjian 4. Setelah memperoleh persetujuan
atau persetujuan internasional maka surat DPR, RUU tersebut ditandatangani
tersebut berlaku sebagai hukum yang harus dan disahkan oleh Presiden dan
dipatuhi.20 diundangkan oleh Sekretaris Negara.
Pada tahun 1968, prosedur per­ Perjanjian tersebut biasanya mulai
atifikasian perjanjian internasional di Indo­ berlaku setelah diadakan pertukaran
nesia adalah sebagai berikut: piagam ratifikasi.21
1. Setelah naskah perjanjian subject to Dalam hal peratifikasian persetujuan
ratification yang telah ditandatangani internasional yang bukan bersifat perjanjian,
oleh wakil RI pada akhir suatu konfe­ prosedur yang digunakan adalah sebagai
rensi internasional atau suatu perundin- berikut:

19
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional: Bunga Rampai, Alumni, Bandung, hlm. 146.
20
Ibid., hlm. 147.
21
Ibid., hlm. 149-150.
330 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

1. Tiap-tiap persetujuan yang bukan perubahan ketiga UUD 1945, dimana pasal
bersifat perjanjian hanya memerlukan ini menyebutkan:
persetujuan dari Presiden dan Dewan “(2) Presiden dalam membuat
Menteri saja, dan biasanya mulai perjanjian internasional lainnya yang
berlaku setelah/pada hari pertukaran menimbulkan akibat yang luas dan
nota. mendasar bagi kehidupan rakyat yang
2. Persetujuan-persetujuan yang ditanda­ terkait dengan beban keuangan negara
tangai sendiri oleh Presiden/PM tidak dan/atau mengharuskan perubahan atau
memerlukan persetujuan Dewan pembentukan undang-undang harus
Menteri dan jika dikehendaki dapat dengan persetujuan Dewan Perwakilan
dinyatakan mulai berlaku pada hari Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut
penandatanganan atau pertukaran nota. tentang perjanjian internasional diatur
3. Persetujuan-persetujuan yang lazimnya dengan undang-undang.”
berbentuk agreement, akan disampaikan
Kemudian, pada bulan Agustus
kepada DPR hanya untuk diketahui,
2002, Pasal 11 kembali direvisi dengan
setelah disahkan oleh Presiden.22
menambahkan satu ayat di bagian awal
Pada tahun 1998, setelah Soeharto
dari pasal ini yang berbunyi: “(1) Presiden
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
dengan persetujuan DPR menyatakan
presiden di Indonesia, DPR menata ulang
perang, membuat perdamaian dan perjanjian
tugas dan kewenangan presiden dengan
dengan negara lain.”
melakukan perubahan pada UUD 1945.
Dengan demikian, secara utuh Pasal 11
Selain itu, tugas dan wewenang DPR lebih
UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:
diperluas untuk memaksimalkan konsep
1. Presiden dengan persetujuan Dewan
check and balance antara badan legislatif
Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
dan eksekutif.23
membuat perdamaian dan perjanjian
Pada perubahan UUD 1945 yang
dengan negara lain.
pertama, Pasal 13 dan 14 menyebutkan
2. Presiden dalam membuat perjanjian in-
bahwa presiden harus memperhatikan
ternasional lainnya yang menimbulkan
pertimbangan yang disampaikan DPR.
akibat yang luas dan mendasar bagi ke-
Selanjutnya, Pasal 20, dimana DPR adalah
hidupan rakyat yang terkait dengan be-
pemegang kekuasaan membentuk undang-
ban keuangan negara, dan/atau meng-
undang dan setiap rancangan undang-undang
haruskan perubahan atau pembentukan
harus mendapat persetujuan bersama (oleh
undang-undang harus dengan persetu-
DPR dan Presiden).
juan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 11 UUD 1945 mengalami
perubahan yang sangat signifikan pada saat

22
Ibid., hlm. 150-151.
23
Ellis, Andrew, Op. cit., hlm. 126.
Dewanto, Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum 331

3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjan­ mengajukan rancangan undang-undang atau


jian internasional diatur dengan undang- RUU mengenai Pembuatan dan Pengesahan
undang. Perjanjian Internasional yang terdiri dari
Indonesia merupakan negara dengan 8 bab dan 22 pasal.25 Melalui diskusi dan
tradisi civil law. Indonesia mewarisi budaya perdebatan yang panjang, pada akhirnya
hukum yang dibawa oleh kolonial Belanda Rapat Kerja Komisi I DPR RI menyetujui
pada saat itu. Menurut Arthur Goodhart, RUU tersebut dan menjadi Undang-
perbedaan mendasar antara sistem civil law Undang Nomor 24/2000 tentang Perjanjian
dan common law ada pada konsep binding Internasional, yang selanjutnya disebut
force of precedent, dimana konsep ini tidak dengan UU Nomor 24/2000, pada tanggal
dikenal atau diakui dalam sistem peradilan 23 Oktober 2000.26
di negara-negara civil law.24 Demikian hal- Sistematika UU Nomor 24/2000 ini
nya yang terjadi di Indonesia, pengadilan tidak mengalami perubahan seperti ketika
Indonesia tidak mengakui, bahkan tidak pertama kali diajukan oleh pemerintah. Bab
mengenal konsep precedent sebagai salah I berisi Ketentuan Umum, Bab II mengenai
satu sumber hukum bagi hakim dalam me- Pembuatan Perjanjian Internasional, Bab III
nyelesaikan perkara. Sumber hukum yang mengulas tentang Pengesahan Perjanjian
diakui di Indonesia saat ini termaktub dalam Internasional, Bab IV berbicara mengenai
Pasal 7 UU Nomor 10/2004 mengenai Pem- Pemberlakuan Perjanjian Internasional, Bab
bentukan Peraturan Perundang-undangan. V berisi tentang Penyimpanan Perjanjian
Disebutkan dalam Pasal 7 bahwa hirarki Internasional, Bab VI tentang Pengakhiran
peraturan perundang-undangan di Indonesia Perjanjian Internasional, Bab VII mengenai
adalah sebagai berikut: Ketentuan Peralihan dan Bab VIII adalah
1. UUD 1945 Ketentuan Penutup.
2. UU/Perpu Pembentukan UU ini pada akhirnya
3. Peraturan Pemerintah mengakhiri kontroversi mengenai Surat
4. Peraturan Presiden Presiden Nomor 2826/HK/1960. Dalam
5. Peraturan Daerah UU ini pada bagian Menimbang, butir c
mengatakan: “bahwa Surat Presiden Republik
C. Undang-Undang Nomor 24 Tahun Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal
2000 mengenai Perjanjian 22 Agustus 1960 mengenai Pembuatan
Internasional Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain
Sebagai penjabaran dari Pasal 11 yang selama ini digunakan sebagai pedoman
Ayat 3 UUD 1945, Pemerintah Indonesia untuk membuat dan mengesahkan perjanjian

24
Del Duca, Louis F., “Developing Global Transnational Harmonization Procedures for the Twenty-First Cen-
tury: The Accelerating Pace of Common and Civil Law Convergence”, Texas International Law Journal, 42
Tex. Int”l. L.J. 625, 2007, hlm. 642.
25
Mauna, Boer, 2001, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Alumni, Bandung, hlm. 179.
26
Ibid., hlm. 181.
332 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

internasional sudah tidak sesuai lagi dengan menggunakan undang-undang atau keputu-
semangat reformasi.” san presiden.
Pasal 1 butir a UU ini memberikan Pasal 10 menjelaskan:
definisi perjanjian internasional sebagai “Pengesahan perjanjian internasional
“perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, dilakukan dengan undang-undang
yang diatur dalam hukum internasional yang apabila berkenaan dengan: (a) masalah
dibuat secara tertulis serta menimbulkan politik, perdamaian, pertahanan dan
hak dan kewajiban di bidang hukum keamanan negara; (b) perubahan
publik.” Pada bagian penjelasan ditegaskan wilayah atau penetapan batas wilayah
bahwa “perjanjian internasional yang negara Republik Indonesia; (c)
dimaksud dalam undang-undang ini adalah kedaulatan atau hak berdaulat negara;
setiap perjanjian di bidang hukum publik, (d) hak asasi manusia dan lingkungan
diatur oleh hukum internasional, dan hidup; (e) pembentukan kaidah hukum
dibuat oleh Pemerintah dengan negara, baru; dan (f) pinjaman dan/atau hibah
organisasi internasional, atau subyek luar negeri.”
hukum internasional lain. Bentuk dan nama
perjanjian internasional dalam prakteknya Kemudian, Pasal 11 Ayat 1 menyebut-
cukup beragam, seperti: treaty, convention, kan: “Pengesahan perjanjian internasional
agreement, memorandum of understanding, yang materinya tidak termasuk sebagaimana
protocol, charter, declaration, final act, dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan kepu-
arrangement, exchange of notes, agreed tusan presiden.” Dalam ayat selanjutnya,
minutes, summary records, process verbal, DPR hanya berwenang untuk memberikan
modus vivendi dan letter of intent. evaluasi. Namun demikian, dalam penjelas­
Lebih lanjut, Pasal 3 UU ini mengatur an Pasal 11 Ayat 2 ini, DPR dapat meminta
tentang bagaimana Pemerintah Indonesia pemerintah untuk membatalkan perjanjian
mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional tersebut jika dipandang meru-
internasional. Ada beberapa cara yang gikan kepentingan nasional.27
dapat dilakukan untuk terikat dalam suatu Khusus untuk Pasal 11 ini, jika dicer-
perjanjian, antara lain: penandatanganan, mati terdapat hal yang janggal yaitu kata-
pengesahan, tukar menukar perjanjian/nota kata “keputusan presiden”, karena berdasar-
diplomatik dan cara-cara lain sebagaimana kan Pasal 7 UU Nomor 10/2004 mengenai
disepakati para pihak dalam perjanjian Pembentukan Peraturan Perundang-undang­
internasional. an tidak menyebut kata-kata “keputusan
Terkait dengan pengesahan perjan- presiden”, melainkan “peraturan presiden”.
jian internasional, UU ini mengatur dua je- Pengimplementasian perjanjian inter-
nis peraturan perundang-undangan sebagai nasional di Indonesia dapat dilakukan setelah
bentuk pengesahan perjanjian, yaitu dengan

27
Lihat Pasal 18 UU Nomor 24/2000 mengenai Perjanjian Internasional.
Dewanto, Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum 333

penandatanganan28 atau pertukaran doku- Sebelum adanya UU Nomor 24/2000,


men perjanjian/nota diplomatik atau melalui ada banyak kasus yang menggunakan hukum
cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh internasional sebagai dasar hukum untuk
para pihak pada perjanjian tersebut.29 mengajukan klaim atau gugatan. Hukum
Pasal 18 UU Nomor 24/2000 me­ internasional yang paling sering digunakan
ngatur mengenai pengakhiran perjanjian pada saat itu adalah Konvensi New York
internasional, jika: (a) terdapat kesepakatan 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan
para pihak melalui prosedur yang ditetapkan Putusan Arbitrase Asing. Indonesia adalah
dalam perjanjian; (b) tujuan perjanjian negara pihak dari Konvensi ini yang mana
tersebut telah tercapai; (c) terdapat perubahan pengesahan Konvensi tersebut menggunakan
mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan Keppres Nomor 34/1981. Dalam Keppres
perjanjian; (d) salah satu pihak tidak tersebut ada dua prinsip yang menjelaskan
melaksanakan atau melanggar ketentuan posisi Konvensi New York 1958 dan posisi
perjanjian; (e) dibuat suatu perjanjian baru Indonesia sebagai negara pihak. Prinsip-
yang menggantikan perjanjian lama; (f) prinsip tersebut adalah: “(1) Pengakuan
muncul norma-norma baru dalam hukum dan pelaksanaan putusan arbitrase asing,
internasional; (g) obyek perjanjian hilang; mengindikasikan bahwa Konvensi New
dan (h) terdapat hal-hal yang merugikan York 1958 dianggap sebagai perjanjian
kepentingan nasional. yang bersifat self-executing di Indonesia,
sehingga implementing legislation tidak
D. Hukum Internasional Publik di diperlukan; dan (2) terkait dengan karakter
Pengadilan Nasional Indonesia perjanjian yang bersifat self-executing, maka
Pertanyaan mengenai apakah suatu pemberiannya harus menggunakan prinsip
perjanjian internasional itu bersifat self- timbal balik.”30
executing atau non-self-executing merupakan Kasus pertama antara Navigation
pertanyaan domestik yang harus dijawab oleh Maritime Bulgare (NMB) v. PT. Nizwar,
pengadilan nasional masing-masing negara. dimana kasus ini terjadi sebelum Indonesia
Apakah sistem peradilan di negara tersebut meratifikasi Konvensi New York 1958.
mengijinkan hukum internasional untuk Dasar hukum yang digunakan oleh NMB
diterapkan secara langsung di pengadilan? untuk mengajukan sita eksekutorial kepada
Atau apakah individu dapat menggunakan pengadilan adalah Konvensi Jenewa 1927
pasal-pasal dalam hukum internasional mengenai Pengakuan Arbitrase Asing
sebagai dasar untuk mengajukan gugatan di yang diratifikasi oleh Pemerintah Belanda.
pengadilan? Pertanyaan yang menjadi perdebatan pada

28
Menurut beberapa tulisan yang mengupas mengenai perjanjian internasional dan beberapa pakar hukum inter-
nasional di Indonesia, perjanjian internasional yang pemberlakuannya melalui proses penandatanganan saja
tanpa ratifikasi, maka perjanjian internasional ini disebut dengan self-executing treaty.
29
Lihat Pasal 15 UU Nomor24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional.
30
Harahap, M.Yahya, 2001, Arbitrase, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.
334 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

saat itu adalah “apakah Indonesia juga terikat eksekutorial, Pengadilan, melalui putusan
perjanjian internasional yang disahkan oleh pengadilan Nomor 228/1979 tanggal 10
Pemerintah Kolonial Belanda? Juni 1981, memutuskan untuk sepakat
Ada dua pendapat yang bertentangan dengan putusan Pengadilan Arbitrase
terkait dengan masalah ini, yaitu pendapat London dan memerintahkan PT. Nizwar
pertama yang menyetujui bahwa Indonesia untuk memberikan ganti rugi kepada NMB.
masih terikat dengan Konvensi tersebut Putusan pengadilan ini secara tidak langsung
karena Pemerintah Indonesia belum merefleksikan bahwa Konvensi Jenewa 1927
secara tegas menarik diri dari Konvensi masih berlaku di Indonesia.34
tersebut, sehingga Konvensi tersebut masih Atas putusan tersebut, PT. Nizwar
dianggap sah sebagai bagian dari hukum di melakukan banding ke Mahkamah Agung
Indonesia.31 Dasar hukum yang digunakan dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
oleh pendapat pertama adalah sejarah terkait dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan
dengan Konvensi Meja Bundar (KMB) tiga alasan:
mengenai Pemindahan Kekuasaan, dimana 1. Putusan pengadilan asing tidak dapat
Pasal 5 dari Perjanjian Transisi tersebut diterapkan di Indonesia;
menyatakan: “International agreements 2. Pasal 5 Perjanjian Transisi tidak
remain applicable in the Indonesian mengikat Pemerintah Indonesia, karena
territories providing they are not withdrawn tidak ada kewajiban bagi Indonesia
by the Indonesian Government.”32 untuk mematuhi hukum internasional
Pendapat kedua menyatakan ketidak­ yang disahkan oleh Pemerintah
setujuannya jika Konvensi tersebut masih Belanda; dan
tetap berlaku karena Indonesia tidak secara 3. Munculnya Keppres Nomor 34/1981
langsung terikat oleh perjanjian tersebut. tidak secara otomatis membuat Konvensi
Tampaknya Mahkamah Agung juga memi- New York 1958 dapat diterapkan
liki pendapat yang sama dengan mengung- hingga pemerintah mengeluarkan imple­
kapkan bahwa dalam teori suksesi negara, menting legislation.35
negara tidak wajib menerima keabsahan Seperti yang telah diungkap diatas
perjanjian internasional yang dibuat oleh bahwa Keppres Nomor 34/1981 memiliki
pendahulunya.33 dua prinsip, yang mana salah satunya
Ketika putusan Pengadilan Arbitrase menyebutkan bahwa Konvensi New York
London diajukan kepada Pengadilan Negeri 1958 dianggap sebagai perjanjian yang
Jakarta Pusat untuk mendapatkan sita bersifat self-executing sehingga penerapannya

31
Gautama, Sudargo, 1992, Indonesia dan Arbitrase Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 68.
32
Girsang, Ny. S.U.T., 1992, Arbitrase, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 16.
33
Ibid.
34
Ibid., hlm. 71.
35
Ibid, hlm. 17-18.
Sebagai catatan bahwa ketika Mahkamah Agung mengeluarkan putusan ini, Pemerintah Indonesia mengeluar-
kan Keppres Nomor 34/1981 sebagai pengesahan dari Konvensi New York 1958.
Dewanto, Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum 335

tidak memerlukan implementing legislation. intah Indonesia adalah Presiden dengan per-
Jika dikaitkan dengan teori dan definisi self- setujuan DPR, yang diatur dalam Pasal 175
executing itu sendiri, kalimat yang terkandung Konstitusi RIS, Pasal 120 UUDS 1950 dan
dalam prinsip ini sangat membingungkan Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960.
karena dengan dengan mengeluarkan Kasus-kasus lain yang mendasarkan
Keppres Nomor 34/1981 maka Konvensi pada hukum internasional, khususnya di
ini merupakan sebuah konvensi yang bidang arbitrase semakin banyak. Sebagai
bersifat non-self-executing. Lebih lanjut, contoh pada tanggal 30 Agustus 2002,
bukan Konvensi yang sebenarnya memiliki Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
kekuatan hukum di pengadilan Indonesia, menyidangkan kasus antara PT. Krakatau
melainkan Keppres Nomor 34/1981. Steel (KS) v. International Piping Product
Selanjutnya, penulis sangat tidak setuju Inc. (IPP), memutuskan bahwa permohonan
dengan alasan ketiga dari Mahkamah Agung, sita eksekutorial yang diajukan oleh IPP
karena eksistensi dari Keppres tersebut berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase
sebenarnya merupakan implementing Ad hoc Jenewa ditolak karena pengadilan
legislation dari Konvensi New York 1958 meyakini telah terjadi penipuan dalam
agar dapat diterapkan di Indonesia. persidangan sebelumnya. Selanjutnya, pada
Hal yang agak aneh dan tidak 27 Agustus 2002, Pengadilan Negeri Jakarta
terduga adalah ketika Mahkamah Agung Pusat juga menolak putusan Pengadilan
mengeluarkan PERMA Nomor 1/1990 Arbitrase Ad hoc Jenewa dalam kasus antara
sebagai implementing legislation untuk PT. Pertamina Indonesia v. PT. Kahara Bodas
Konvensi New York 1958 agar dapat berlaku Company (KBC) dengan alasan bahwa para
di Indonesia.36 Tentu saja pembentukan pihak tidak menggunakan hukum Indonesia
PERMA ini semakin membuat tidak jelas dalam menyelesaikan kasus tersebut.
sistem ketatanegaraan di Indonesia karena Di tahun 1999, kasus antara PT. B.T.
tidak ada satu aturan pun yang memberikan Prima Securities Indonesia v. PT. Mayora
kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk Indah Tbk., dan PT. Banker Trust Company
mengeluarkan implementing legislation & Banker Trust International Plc. v. PT.
terhadap suatu perjanjian internasional Jakarta International Hotel Development,
agar perjanjian tersebut dapat berlaku di dimana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pengadilan Indonesia. menyimpulkan bahwa jika sita eksekutorial
Jika menelusuri sejarah pembuatan diberikan maka akan melanggar ketertiban
peraturan perundang-undangan di Indo- umum di Indonesia. Putusan dengan
nesia, kewenangan untuk mengeluarkan alasan yang sama juga disampaikan oleh
implementing legislation atas perjanjian Mahkamah Agung dalam kasus E.D. & F.
internasional yang diratifikasi oleh Pemer- Man (Sugar) v. Yani Haryanto. Sayangnya,

36
Harahap, M. Yahya, 1993, Perlawanan terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbi-
trase dan Standart Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 256-257.
336 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

pengadilan-pengadilan dalam kasus ter­ karena kedua belah pihak sebelumnya telah
sebut tidak menjelaskan secara gamblang setuju untuk menyelesaikan kasus dibawah
mengenai ketertiban umum yang mana yang UNCITRAL.41
kemungkinan dilanggar jika sita eksekutorial Dengan melihat kasus-kasus tersebut
tersebut diberikan.37 di atas, terlihat bahwa pengadilan, dalam
Sebagai perbandingan, pengadilan hal ini hakim-hakim, tampak kebingungan
Amerika Serikat dengan gamblang menjelas- dalam menerapkan aturan-aturan hukum
kan mengapa suatu putusan dianggap me- internasional dalam jurisdiksi mereka.
langgar ketertiban umum di Amerika Serikat
dalam kasus Laminoirs-Trefileries-Cabler- E. Hukum Internasional Publik Bersifat
ies de Lens v. Southwire Company, dimana Non-Self-Executing di Indonesia
Pengadilan Georgia memutuskan bahwa Dalam hubungan hukum internasional
bunga sebesar 14½% dan 15½% per bulan dalam sistem hukum Indonesia, Indonesia
selama satu tahun setelah dua bulan sejak menggunakan pendekatan dualisme, dimana
tanggal keputusan adalah melanggar ketert- hukum internasional dan hukum nasional
iban umum di Negara bagian Georgia karena adalah dua sistem hukum yang berbeda dan
bunga rata-rata yang sah di negara bagian ini terpisah. Jika dilihat primatnya maka hukum
adalah 9½% dan 10½%.38 nasional lebih diutamakan. Ini seperti yang
Kasus lain yang muncul kemudian dikatakan Ross bahwa “the law of the land
adalah antara PT. PLN v. MidAmerican Energy cancels international law”.
Holding (CalEnergy), dimana CalEnergy Lebih lanjut, dalam penerapan hukum
menggugat PT. PLN melalui UNCITRAL internasional kedalam sistem hukum
atas pelanggaran kontrak. Di persidangan, nasional Indonesia, Indonesia menggunakan
CalEnergy dimenangkan dan PT. PLN harus teori transformasi, dimana agar hukum
membayar sejumlah US $572,000,000,-.39 internasional dapat diterapkan dalam sistem
Di Indonesia, PT. PLN merespon dengan hukum di Indonesia, hukum internasional
mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tersebut perlu ditransformasikan dalam
Jakarta Pusat agar pengadilan membatalkan bentuk peraturan perundang-undangan yang
putusan dari pengadilan UNCITRAL.40 diakui di Indonesia, seperti undang-undang
Selanjutnya, CalEnergy mengajukan ke­ atau keputusan presiden (baca: peraturan
beratan dengan mempertanyakan legalitas presiden). Jika diamati lebih detail, teori
dari pengadilan Indonesia dalam kasus ini transformasi yang diadopsi oleh Indonesia

37
Ibid.
38
484 F.Supp.1063, http://www.westlaw.com diakses pada 19 April 2009.
39
Moore, Harold F., “Allocating Foreseeable Sovereign Risks in Infrastructure Investment in Indonesia: Force
Majeure and Indonesia”s Economic Woes”, Practising Law Institute, 822 PLI/Comm. 463, 2001, hlm. 3.
40
Billington, Michael, “Looting Indonesia: The Energy Brokers ‘Warm-Up’ for California”, http://www.geoci-
ties.com/larouchesociety/indonesia_energy.htm, diakses pada 19 April 2009.
41
Ibid.
Dewanto, Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum 337

adalah teori transformasi yang bersifat hard, dengan yang dikatakan oleh Schwarzenberger,
yang mana dalam hal ini hukum internasional dimana ratifikasi bukan merupakan suatu
hanya dapat menjadi bagian dalam hukum kewajiban dalam hal perjanjian tersebut
nasional negara melalui tindakan legislatif tidak memerlukan proses ratifikasi. Namun
saja. Kondisi ini terlihat pada bagian demikian, hal yang perlu diingat, seperti
penjelasan Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor yang dikatakan oleh Kaczorowska, bahwa
24/2000 dimana DPR memiliki peran yang perjanjian internasional yang diratifikasi
besar dalam hal mengesahkan perjanjian ini merupakan ratifikasi dalam konteks
internasional di Indonesia. Bahkan, DPR pun hukum internasional yang bertujuan agar
dapat membatalkan perjanjian internasional perjanjian ini dapat berlaku dan mengikat
yang dibuat oleh pemerintah, jika dianggap negara-negara. Di level nasional, perjanjian
merugikan kepentingan nasional, seperti tersebut belum tentu dapat diterapkan karena
yang tersurat dalam Pasal 18 UU ini. setiap negara memiliki cara tersendiri untuk
Apakah istilah self-executing treaties mengimplementasikan perjanjian tersebut
dikenal atau diakui di Indonesia? Apabila dalam hukum domestik mereka untuk
merujuk pendapat para pakar hukum inter- dapat berlaku di pengadilan nasional. Hal
nasional di Indonesia, mereka menganggap ini disebut dengan ratifikasi dalam konteks
bahwa perjanjian internasional disebut seb- hukum nasional.
agai self-executing treaties itu jika berlaku- Sebagai ius constitutum di Indonesia
nya perjanjian tersebut cukup dengan proses terkait dengan pemberlakuan perjanjian
penandatanganan saja tanpa memerlukan internasional di wilayah Republik Indonesia,
proses ratifikasi. Menurut mereka, hal ini Pasal 15 Ayat 1 UU Nomor 24/2000
tampak tersirat dalam Pasal 15 Ayat 1 UU menegaskan: “… perjanjian internasional
ini yang menyatakan: “… Pemerintah Re- … disahkan dengan undang-undang atau
publik Indonesia dapat membuat perjanjian keputusan presiden, …” Kata undang-undang
internasional yang berlakunya setelah pen- dan keputusan presiden tersebut, menurut
andatanganan …” Secara jujur bahwa penu- penulis, adalah implementing legislation
lis tidak sepakat dengan pendapat ini karena atau tindakan legislatif. Oleh karena itu,
tidak ada perjanjian internasional yang dapat agar hukum internasional dapat diterapkan
diterapkan berlaku secara langsung dalam dalam sistem peradilan di Indonesia, maka
sistem peradilan di Indonesia tanpa melalui perjanjian tersebut harus “singgah” dulu
proses transformasi kedalam bentuk yang ke DPR untuk disahkan dalam bentuk UU
telah ditentukan baik undang-undang atau atau ke Presiden untuk dibuatkan peraturan
keputusan presiden (dibaca: peraturan pre­ presiden.
siden). Di pengadilan Indonesia, individu
Diakui bahwa penandatanganan saja tidak dapat menggunakan pasal-pasal dalam
cukup untuk dapatnya suatu perjanjian hukum internasional yang telah diratifikasi
internasional berlaku, jika perjanjian tersebut oleh Pemerintah Indonesia secara langsung
memang mensyaratkan demikian. Ini selaras dalam hal mengajukan tuntutan atau klaim.
338 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

Dengan kata lain, hukum internasional tidak dualisme, dimana hukum internasional
memiliki kekuatan mengikat di pengadilan dan hukum nasional merupakan dua
Indonesia. ini dikarenakan primatnya berada sistem hukum yang berbeda dan
pada hukum nasional, jadi yang memiliki terpisah, dimana hukum nasional
kekuatan mengikat di pengadilan adalah memiliki supremasi yang lebih tinggi
hukum nasional, dalam hal ini implementing daripada hukum internasional.
legislations, baik yang berupa undang- 2. Terkait dengan implementasi atur­
undang atau keputusan presiden (baca: an hukum internasional dalam sis­
peraturan presiden). Sangatlah wajar jika tem hukum nasional, Indonesia
hakim-hakim di Indonesia tidak menerapkan menggunakan metode transformasi,
kaidah-kaidah hukum internasional di dimana aturan hukum internasional
pengadilan mereka. yang telah diratifikasi tidak dapat
UUD 1945 sebagai hukum tertinggi secara langsung menjadi bagian dari
dalam hirarki peraturan perundang-undangan hukum domestik Indonesia sebelum
di Indonesia juga silent terkait dengan ditransformasikan dalam bentuk
eksistensi dari perjanjian internasional undang-undang atau keputusan presiden
yang telah diratifikasi atau diaksesi oleh (baca: peraturan presiden) sesuai dengan
Pemerintah Indonesia. Pasal 15 Ayat 1 UU Nomor 24/2000
Sebagai kesimpulannya, penulis mengenai Perjanjian Internasional.
melihat bahwa Indonesia tidak pernah Bahkan, Pemerintah Indonesia
mengenal istilah self-executing treaties menganut metode transformasi yang
karena perjanjian-perjanjian internasional bersifat hard, dimana aturan hukum
yang diratifikasi maupun yang diaksesi internasional hanya dapat menjadi
oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat bagian dalam hukum nasional melalui
diterapkan secara langsung di pengadilan tindakan legislatif saja.
Indonesia, sehingga tidak memiliki 3. Tindakan Mahkamah Agung dengan
kekuatan hukum yang mengikat. Sifat mengeluarkan PERMA Nomor
semua perjanjian internasional di Indonesia 1 Tahun 1990 adalah tidak benar
adalah non-self-executing karena untuk karena kewenangan untuk membuat
dapat diterapkan dalam hukum nasional di implementing legislation terhadap
Indonesia, perjanjian-perjanjian tersebut perjanjian internasional yang telah
harus ditransformasikan suatu implementing diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
legislation yang telah diatur dalam aturan ada pada Presiden dan DPR sesuai
hukum di Indonesia. dengan Pasal 10, 11 Ayat 1 UUD 1945
dan Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor 24/2000
F. Kesimpulan mengenai Perjanjian Internasional.
1. Dalam hal hubungan antara hukum 4. Status perjanjian internasional di
internasional dan hukum nsional, Indonesia adalah non-self-executing
Indonesia menggunakan pendekatan karena perjanjian internasional
Dewanto, Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum 339

yang telah diratifikasi tidak dapat internasional yang berlakunya tanpa


diimplementasikan secara langsung di proses ratifikasi, melainkan cukup
pengadilan nasional sebelum adanya dengan proses penandatanganan
implementing legislation. Dengan kata adalah tidak benar, karena istilah
lain, bukan aturan hukum internasional self-executing dan non-self-executing
yang memiliki kekuatan mengikat tidak berhubungan dengan bagaimana
di pengadilan, melainkan adalah negara tersebut mengadopsi aturan
implementing legislation tersebut. hukum internasional, tetapi berkaitan
5. Interpretasi dari beberapa pakar dengan dapat tidaknya aturan hukum
hukum internasional di Indonesia internasional diaplikasikan secara
yang menyatakan bahwa non-self- langsung di pengadilan nasional tanpa
executing treaties adalah perjanjian implementing legislation.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Girsang, Ny. S.U.T., 1992, Arbitrase,
Internasional: Bunga Rampai, Alumni, Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Bandung. Jakarta.
Billington, Michael, “Looting Indonesia: Harahap, M. Yahya, 1993, Perlawanan
The Energy Brokers ‘Warm-Up’ for terhadap Eksekusi Grose Akta serta
California”, http://www.geocities.com/ Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan
larouchesociety/indonesia_energy.htm. Standart Hukum Eksekusi, Citra Aditya
Del Duca, Louis F., “Developing Global Bakti, Bandung.
Transnational Harmonization ________________, 2001, Arbitrase, Edisi
Procedures for the Twenty-First Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Century: The Accelerating Pace of Harjono, 1994, Aspek-Aspek Yuridis
Common and Civil Law Convergence”, Pembuatan Perjanjian Internasional
Texas International Law Journal, 42 dalam Sistem UUD 1945, Disertasi,
Tex. Int”l. L.J. 625, 2007. Universitas Airlangga, Surabaya.
Ellis, Andrew, “The Indonesian Lindsey, Tim, “Indonesian Constitutional
Constitutional Transition: Conservatism Reform: Muddling Toward Democracy”,
or Fundamental Change?”, Singapore Singapore Journal of International and
Journal of International and Comparative Law, 6 Sing. J. Int”l &
Comparative Law, 6 Sing. J. Int”l & Comp. L., 2002.
Comp. L. 116, 2002. Mauna, Boer, 2001, Hukum Internasional:
Gautama, Sudargo, 1992, Indonesia dan Pengertian, Peranan dan Fungsi
Arbitrase Internasional, Alumni, dalam Era Dinamika Global, Alumni,
Bandung. Bandung.
340 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

Moore, Harold F., “Allocating Foreseeable Suryono, Edy, 1984, Praktek Ratifikasi
Sovereign Risks in Infrastructure Perjanjian Internasional di Indonesia,
Investment in Indonesia: Force Remadja Karya, Bandung.
Majeure and Indonesia”s Economic Tabalujan, Benny S., “The Indonesian
Woes”, Practising Law Institute, 822 Legal System: An Overview”, http://
PLI/Comm. 463, 2001. www.llrx.com/features/indonesia.htm/
Parthiana, Wayan, 1987, Beberapa Masalah introduction.
dalam Hukum Internasional dan
Hukum Nasional Indonesia, Binacipta,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai