1. Bagaimana peran Bahasa Indonesia dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia pada
masa prakemerdekaan? Bagaimana ekspresi nasionalisme itu diungkapkan? Jawab : Bahasa Indonesia dijadikan media oleh para tokoh nasionalis dalam menumbuhkan semangat untuk lepas dari penjajah. Ini terlihat dengan dibuatkannya kumpulan puisi berbahasa Indonesia pada tahun 1933 dengan tema yang menceritakan mengenai perjuangan. Bahasa juga menjadi jalan penghubung dan pemersatu antar wilayah di Indonesia. Bayangkan dengan beranekaragam etnis dan bahasa pada saat itu, ternyata hampir semuanya bisa menerima kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini menunjukkan bahwa mereka sudah mempunyai keinginan kuat untuk mewujudkan bayangan Indonesia. Dengan cara menerima hal-hal yang dapat menggambarkan ke Indonesiaan salah satunya melalui Bahasa. 2. Bagaimana pertimbangan para pendiri bangsa ketika menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Jawab : • Bahasa Melayu adalah Lingua Franca. Lingua Franca atau bisa juga disebut bridge language adalah sebuah bahasa yang secara sistematik digunakan untuk sarana komunikasi antara pihak-pihak yang tidak memiliki kesamaan bahasa. Selama ribuan tahun dari era Dinasti Sailendra, bahasa Melayu mulai menggeser bahasa Sanskerta dan menjadi Lingua Franca di Asia Tenggara, khususnya di semenanjung Malaya dan sepanjang kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu modern telah menjadi bahasa pemersatu perdagangan di hampir seluruh pelosok Nusantara selama ribuan tahun. Dalam hal ini, peran saudagar perdagangan sangatlah besar dalam persebaran bahasa Melayu dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali bahkan sampai Ambon, Ternate, dan pesisir barat Pulau Papua. • Prinsip bahasa pemersatu. Walaupun bahasa Melayu adalah Lingua Franca, tapi bahasa Melayu bukanlah bahasa mayoritas penduduk Nusantara. Pada saat itu, bahasa dengan penutur terbanyak adalah bahasa Jawa, yang secara demografis digunakan oleh hampir separuh populasi. Lantas, mengapa bukan Bahasa Jawa saja yang menjadi Lingua Franca? Ini dikarenakan para perintis perjuangan Indonesia sudah menyadari, bahwa prinsip untuk mempersatukan keanekaragaman bukanlah sesederhana mengikuti mayoritas. Para konseptor Sumpah Pemuda pada saat itu lebih memilih menggunakan bahasa yang sudah meluas, yang diketahui dan digunakan dari ujung barat hingga ujung timur kepulauan Nusantara yang tanpa disadari selama ratusan tahun terakhir telah menjadi pengikat tali perdagangan antar berbagai suku bangsa di seluruh Nusantara. • Prinsip egalitarian atau kesetaraan yang diperjuangkan para tokoh nasional. Dalam bahasa Jawa ada tingkatan bahasa berdasarkan kesopanan seperti Ngaka (ngoko), Madya, Krama (kromo inggil), yang memiliki perbedaan kosakata serta tata bahasa. Apabila pada saat itu bahasa Jawa yang dipilih menjadi bahasa persatuan maka akan terjadi ketimpangan. Padahal sesuai prinsip bahasa pemersatu, bahasa yang digunakan haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan. Jangan sampai, ada suku bangsa tertentu yang merasa “lebih tinggi” derajatnya daripada suku bangsa yang lain. Jangan sampai juga, ada ekslusivitas dalam penggunaan tingkatan bahasa tertentu yang berpotensi menimbulkan diskriminasi dan segmentasi sosial (kasta). Maka dari itulah, diputuskan bahasa pemersatu adalah bahasa yang diketahui dan digunakan di seluruh penjuru kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu modern atau dinamakan kembali dengan nama bahasa Indonesia. 3. Bagaimana hubungan Bahasa dengan kekuasaan? Jawab : Bahasa dan kekuasaan merupakan dua hal yang saling terkait. Melalui bahasa, bisa diketahui situasi yang sedang terjadi serta ditentukan siapa yang lebih dominan atau memiliki kekuasaan lebih atas partisipan lainnya. Lebih jauh lagi kita dapat mengidentifikasi siapa yang sedang berbicara; apakah politisi, guru, pengacara, ataukah pedagang di pasar tradisional. Bahasa mengungkapkan kekuasaan yang dimiliki seseorang, dan sebaliknya, kekuasaan seseorang dimanifestasikan melalui bahasa yang digunakannya. Bahasa berfungsi untuk menyampaikan informasi dan berinteraksi. Maka bahasa berperan penting dalam kehidupan sosial.Terkait dengan hal tersebut, bahasa dan kekuasaan dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu kekuasaan dalam wacana dan kekuasaan di balik wacana. Kekuasaan dalam wacana merupakan sisi dari perjuangan kekuasaan, sedangkan kekuasaan di balik wacana dipengaruhi oleh perjuangan kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan perintah di dalam wacana. Disadari atau tidak, ketidaksetaraan diantara partisipan akan berpengaruh terhadap proses dan hasil komunikasi serta bahasa yang digunakan di dalamnya. 4. Apakah bahasa bisa menjadi alat penjajahan ? Jawab : Bisa, Konsep penjajahan bahasa, tidak jauh berbeda dengan konsep penjajahan yang sifatnya “angkat senjata”. Artinya, penjajahan bahasa berarti suatu bahasa berhasil menyingkirkan bahasa lain, suatu bahasa yang kuat menenggelamkan bahasa yang lemah dalam konteks pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat. Penjajahan bahasa ini bisa kita awali dari masa kolonial dulu. Dulu penjajahan yang bersifat angkat senjata selalu seiring sejalan dengan penjajahan-penjajahan lainnya, termasuk bahasa. Hal tersebut tak bisa dimungkiri karena memang fakta menunjukan hal tersebut, sebagai contoh, Inggris dan Spanyol. Kedua negara kolonialis ini menjajah banyak negara di berbagai belahan dunia. Selama menjajah, mereka menanamkan bahasa mereka di negara-negara yang mereka jajah. 5. Apa maksud peribahasa “Bahasa menunjukkan bangsa”? Jawab : Bahasa menunjukkan jati diri seseorang. Maksudnya, bahasa menampakkan pola pikir, kebiasaan, sifat khusus, atau kecerdasan seseorang. Inilah mengapa seseorang bisa membaca bagaimana level berpikir orang hanya dari cara orang menggunakan bahasa. Makna yang kedua ini berhubungan dengan tata bahasa dan erat kaitannya dengan ketertiban memegang kaidah bahasa. 6. Bagaimana kondisi aktual Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ?, Perubahan apa saja yang terjadi sejak 1928 sampai sekarang ? Jawab : Bagi sebagian bangsa Indonesia, bahasa Indonesia masih dinilai sebagai bahasa yang inferior. Masyarakat kini gemar menyebut kata asing ketimbang padanannya dalam Bahasa Indonesia. Bahasa asing dianggap memiliki prestise yang lebih tinggi daripada bahasa Indonesia. Hal ini tampak pada pemakaian kata atau istilah asing yang berarti tidak memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan tidak mencari kata atau istilah yang berasal dari bahasa Indonesia atau dari bahasa serumpun. Bahasa Indonesia mengalami tiga fase perkembangan selama 81 tahun (1928— 2009), yaitu (1) fase bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang ditandai adanya Ejaan van Ophuijsen dan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, (2) fase Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara yang ditandai adanya UUD 1945 (Pasal 36), Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, Ejaan Suwandi, Ejaan yang Disempurnakan, Praseminar Politik Bahasa Nasional (1974), Seminar Politik Bahasa Nasional (1975), Seminar Politik Bahasa (1999), dan (3) fase bahasa Indonesia sebagai Bahasa internasional yang ditandai adanya Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia, UU Nomor 24 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, dan Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK). 7. Apa pengaruh bahasa alay terhadap bahasa kita? Jawab : Banyaknya masyarakat Indonesia yang menggunakan bahasa gaul, singkatan- singkatan dalam komunikasinya sehari-hari adalah penyimpangan dari penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Indonesia. Kurangnya kesadaran untuk mencintai dan menggunakan Bahasa Indonesia di negeri sendiri akan berdampak lunturnya atau hilangnya Bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam masyarakat. 8. Bagaimana menjadikan Bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk menunjang kinerja akademik Anda saat ini dan kinerja profesional Anda kelak? Jawab : Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dapat diartikan sebagai pemakaian kata-kata dalam ragam bahasa yang serasi dan selaras dengan sasaran atau tujuannya dan yang terlebih penting lagi adalah mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar. Pernyataan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” mengacu pada ragam bahasa yang dimana memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. Bahasa yang diucapkan biasanya adalah dalam bentuk bahasa yang baku.. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada suatu kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal, penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi pilihan atau prioritas utama dalam berbahasa.