Anda di halaman 1dari 67

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA LANSIA DENGAN DEMENSIA

Disusun Oleh:
Kelompok 9
Aditria Suryadiningrat 20200910170040
Anggy Suci Okta Noviolita 20200910170002
Annida Fathiya 20200910170003
Aulia Bayawasi Ugahari 20200910170004
Dwita Puji Lestari 20200910170045

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kelompok dapat menyelesaikan makalah ini yang diberi judul “Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Dimensia”. Penyusunan makalah ini kelompok
susun untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen mata kuliah
Keperawatan Komunitas.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Ns. Nana Supriyatna,


S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.Kom sebagai dosen pembimbing penyusunan makalah yang
telah membimbing dan mengarahkan kelompok dalam penyusunan makalah ini.
Kami juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah kelompok kami ini.

Kelompok berharap dengan adanya makalah kelompok kami ini dapat


digunakan dalam menambah wawasan pembaca terutama mahasiswa/I keperawatan,
sehingga mampu memahami dan menerapkan Asuhan Keperawatan Gerontik.

Jakarta, Maret 2020

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
DAFTAR TABEL.................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. LATAR BELAKANG................................................................................1
B. TUJUAN PENULISAN.............................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................3
A. KONSEP DASAR LANSIA......................................................................3
B. KONSEP DASAR DIMENSIA PADA LANSIA....................................60
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN
DIMENSIA...............................................................................................27
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...............................................................60
A. KASUS.....................................................................................................60
B. ANALISA DATA ...................................................................................60
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN…………..…………………………... 58
D. PERENCANAAN KEPERAWATAN……………………………..….. 58
E. IMPLEMENTASI & EVALUASI KEPERAWATAN……..…………. 60
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN …….……………………………………………...….. 62
B. SARAN ………..………………………….………………..………….. 62
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Tipe Alzheimer........................................................................................9


Tabel 1.2 Studi Tentang Strategi Untuk Mencegah Gangguan Kognitif...............19
Tabel 1.3 Skala Kemunduran Global/Fungsional Penimbunan Penilaian
(Gds/Cepat) Penyakit Alzheimer...........................................................22
Tabel 1.4 Cara Mengatasi Masalah Dan Masalah Kehidupa Sehari-Hari.............34
Tabel 1.5 Indeks Barthel........................................................................................41
Tabel 1.6 Status Kognitif ......................................................................................42
Tabel 1.7 Mini Mental Status Exam (Mmse) ........................................................43

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Lanjut usia pasti mengalami masalah kesehatan yang diawali dengan
kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh menurun serta
faktor resiko terhadap penyakit pun meningkat. Masalah kesehatan yang sering
dialami lanjut usia adalah malnutrisi, gangguan keseimbangan, kebingungan
mendadak, termasuk, beberapa penyakit sepeti hipertensi, gangguan pendengaran,
penglihatan dan demensia (Carol A. Miller, 2016).
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang
kumulatif, merupakan proses penurunan daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Untari.
Ida, 2018).
Lanjut usia merupakan kelompok usia yang rentan akan perubahan kondisi
dan situasi yang disebabkan adanya perubahan kondisi fisik, sosial dan psikologis
(Haryati, 2014). Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik
secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya (Muhith, 2016).
Salah satu kemajuan suatu bangsa dipandang dari usia harapan hidup yang
meningkat pada lansia. Data WHO pada tahun 2009 menunjukan lansia berjumlah
7,49% dari data populasi , Tahun 2011 menjadi 7,69% pada tahun 2013 populasi
lansia sebesar 8,1% dari total populasi. Dan di Indonesia tahun 2014 mencapai 18
juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035
serta lebih dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Tahun 2050, satu dari empat penduduk

1
Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan penduduk
lansia dibandingkan bayi atau balita (Carol A. Miller, 2016).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk mendapatkan
pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan
demensia dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a.Memahami Konsep Dasar Lansia
b. Memahami Konsep Dasar Dimensia pada Lansia
c.Memahami Konsep Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Dimensia`

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR LANSIA


1. Definisi
Lansia menurut WHO (2016), adalah pria dan wanita yang telah
mencapai usia 60-74 tahun. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses
yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan
proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998
yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang
bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial
masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat,
sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut usia
yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan
sosial lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai
keagamaan dan budaya bangsa (Kholifah, 2016).
Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Menurut UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun baik pria maupun wanita, masih mampu melakukan
pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan aau jasa
aaupun tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya begantung pada
orang lain. Peningkatan harapan hidup akan mempengaruhi terhadap orang
lain. Peningkatan harapan hidup akan mempengaruhi terhadap peningkatan
penambahan usia seseorang. Penambahan usia seseorang yang akan berakhir
menjadi proses penuaan (aging).
2. Patofisologi dimensia
Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya
demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan
biokimiawi di susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun
sebanyak sekitar 10 % pada penuaan antara umur 30 sampai 70 tahun.
Berbagai faktor etiologi yang telah disebutkan di atas merupakan kondisi-
kondisi yang dapat mempengaruhi sel-sel neuron korteks serebri.
Penyakit degeneratif pada otak, gangguan vaskular dan penyakit
lainnya, serta gangguan nutrisi, metabolik dan toksisitas secara langsung
maupun tak langsung dapat menyebabkan sel neuron mengalami
kerusakan melalui mekanisme iskemia, infark, inflamasi, deposisi protein
abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan mengganggu fungsi dari
area kortikal ataupun subkortikal.
Di samping itu, kadar neurotransmiter di otak yang diperlukan
untuk proses konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan
menimbulkan gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya pikir dan
belajar), gangguan sensorium (perhatian, kesadaran), persepsi, isi pikir,
emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan tergantung lokasi area
yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya, karena
manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan
memicu keadaan konfusio akut demensia (H. Wahjudi Nugroho, 2012).
3. Klasifikasi Dimensia
Menurut WHO (Kholifah, 2016), ada empat tahap batasan umur yaitu :
a. usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun
b. usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun
c. usia lanjut usia (old) antara 75-90 tahun
d. serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun
Menurut Depkes RI (2005) (Kholifah, 2016) menjelaskan bahwa
batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori, yaitu
a. pralanisa (presenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun

4
b. lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. lansia risiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih
atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan /atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa
e. Lansia tidak potensia;. Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
4. Karakteristik
Lansia memliliki tiga karakteristik sebagai berikut :
a. Berusia lebih dari 60 tahun
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehar sampai
sakit, dari kebutuhan biopsykososial hingga spiritual, serta dari kondisi
adaptif hingga kondisi maladaptif
c. Lingkungan tempat tinggal uang bervariasi
5. Tipe Lansia
Berdasarkan tinggal kemandirian yang dinilai berdasarkan kemampuan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (indek Katz), lansia
dikelompokkan menjadi :
a. Lansia mandiri sepenuhnya
b. Lansia mandiri dengan bantuan langsung dari keluarganya
c. Lansia mandiri dengan bantuan tidak langsung
d. Lansia dengan bantuan badan sosial
e. Lansia di panti werdha
f. Lansia yang dirawat di RS
g. Lansia dengan gangguan mental
6. Tugas Perkembangan Lansia
Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pension

5
c. Membentuk hubungan baik dengan orang yang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan

B. KONSEP DASAR DEMENSIA PADA LANSIA


Pemahaman tentang gangguan fungsi kognitif dipersulit oleh
banyaknya istilah yang digunakan secara bergantian dan sering kali tidak
akurat untuk menggambarkan dimensia. Peneltian berbasis bukti baru-baru
ini telah sangat meningkatkan kemampuan dokter untuk mendiagnosis dan
mengobati berbagai jenis demensia, tetapi juga menyebabkan
berkembangnya istilah terkait demensia. Mungkin lebih dari istilah lain yang
digunakan untuk merujuk lansia, istilah yang terkait dengan gangguan
kognitif adalah yang paling disalahgunakan, disalahpahami, dan diidi secara
emosional. Berikut ini adalah beberapa istilah yang digunakan ahli kesehatan
untuk merujuk pada gangguan kognitif pada lansia yang sehat :
kebingungan, demensia, kepikunan, penyakit Alzheimer, stroke ringan,
masalah memori “penyakit orang tua”, sindrome= otak organik, dan
pengerasan dari arteri. Istilah yang berbeda kurang lebih dapat diterima oleh
orang yang berbeda dan seringkali pemilihan istilah didasarkan pada
preferensi emosional atau kurangnya informasi yang akurat. Karena
gangguan kognitif adalah subjek yang bermuatan emosional, perawat harus
memahami termonologi yang benar, dan kemudian, memilih istilah yang
paling tepat berdasarkan pemahaman tentang penyebab yang mendasari
gangguan tersebut dan penilaian istilah apa yang paling tepat diterima oleh
lansia dan pengasuhnya.
Pada tahun 1960-an, pemeriksaan otopsi spesimen otak memberikan
bukti ilmiah pertama tentang penyebab yang mendasari gangguan
kognitif.Berdasarkan temuan ini, para peneliti dan praktisi menyimpulkan

6
bahwa sebanyak 25% dari perubahan yang sebelumnya dikaitkan dengan
COBS sebenarnya merupakan manifestasi dari kondisi yang dapat
diobati.Selama tahun 1970-an, pseudodementia digunakan mengacu pada
gangguan kognitif yang disebabkan oleh kondisi fisiologis, tetapi istilah ini
tidak lagi digunakan. Demensia adalah istilah medis yang paling akurat
menggambarkan penurunan progresif dalam fungsi kognitif. Demensia
adalah istilah diagnostik luas yang mencakup sekelompok gangguan otak
yang ditandai dengan penurunan kemampuan kognitif secara bertahap
(misalnya, memori, pemahaman, penilaian, pengambilan keputusan,
komunikasi) dan perubahan kepribadian dan perilaku.Sayangnya, istilah
medis ini dikaitkan dengan istilah awam "gila," yang memiliki sejarah
panjang penggunaan yang merendahkan dan bahkan lebih menghina
daripada kata "pikun." Dengan demikian, perawat dapat menggunakan frasa
seperti "seseorang dengan demensia" atau "orang dengan penyakit
demensia" untuk secara akurat merujuk pada sindrom medis dari gangguan
fungsi kognitif sambil menghindari konotasi merendahkan
Poin tambahan harus ditekankan sehubungan dengan istilah
demensia.Demensia bukanlah penyakit tunggal tetapi sindrom, dan istilah ini
mengacu pada kombinasi manifestasi yang muncul dari berbagai
penyebab.Karena penyakit Alzheimer adalah jenis demensia yang paling
umum, dan jenis dengan riwayat pengakuan terpanjang, penyakit Alzheimer
dan demensia sering digunakan secara bergantian.Meskipun pengetahuan
tentang berbagai jenis demensia telah meningkat secara signifikan dalam
beberapa dekade terakhir, penggunaan umum istilah tidak selalu akurat,
bahkan di antara para profesional perawatan kesehatan.
Evolusi terminologi demensia menujukkan perkembangan signifikan
dalam pemahaman kita tentang sindrom ini selama abad yang lalu. Dalam
beberapa dekade terakhir, kemajuan besar telah dicapai dalam
mengidentifikasi perubahan patologis, faktor resiko, dan manifestasi yang
menjadi ciri berbagai jenis demensia. Namun, meskipun lebih dari 100 tahun

7
penelitian tentang penyebab gangguan kognitif pada lansia, teori untuk
menjelaskan demensia masih terus berkembang dan banyak pertanyaan tetap
tidak terjawab.
1. Mendiagnosis Demensia
Bahkan dengan kemajuan teknologi saat ini, diagnosis demensia
sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dan perubahan otak
patologis dapat didentifikasi dengan jelas hanya pada otopsi. Pendekatan
saat ini untuk mendiagnosis dementia dapat disamakan dengan
pendekatan yang diambil untuk mendiagnosis infeksi. Infeksi adalah
diagnosis umum yang menunjukkan adanya konstelasi tanda dan gejala
(misalnya, malaise, suhu tinggi). Tetapi tidak menunjukkan faktor
penyebab. Saat informasi tambahan dikumpulkan, jenis infeksi spesifik
diidentifikasi misalnya, pneumonia, infeksi saluran kemih, bakteri,
virus) dan terhadang, lebih dari satu infeksi ditemukan. Sampai agen
penyebab spesifik diidentifikasi, tindakan umum diambil (misalnya,
antipiretik, antibiotik spektrum luas). Setelah agen penyebab spesifik
diidentifikasi (misalnya melalui tes kultur dan sensitivitas), infeksi
diobati dengan agen antimikroba yang sangat spesifik. Secara anologi,
demensia adalah diagnosis umum yang menunjukkan kumpulan tanda
dan gejala (misalnya, gangguan memori, perubahan kepribadian), tetapi
tidak ada indikator yang jelas selama tahap awal sebagian besar jenis
demensia. Seiring perkembangan kondisi dan informasi lebih lanjut
berkembang, tidak ada diagnostik yang setara dengan tes “kultur dan
sensitivitas” untuk demensia, sehingga sulit untuk membedakan antara
berbagai jenis demensia. Dengan demiian, diagnosis jenis demensia
tertentu didasarkan pada pengamatan klinis, riwayat faktor risiko, dan
informasi dari pencitraan otak dan data diagnostik lain yang tersedia.
2. Tipe Demensia
Ada empat jenis demensia yang paling umum dikenali. Penting
untuk disadari bahwa penelitian terus berkembang, dan ada banyak

8
tumpang tindih yang signifikan dalam manifestasi dari berbagai jenis
demensia. Faktor lain yang memperumit adalah bahwa ditemukan sering
sekali terdapat dua (atau lebih) jenis demensia pada lansia. Empat jenis
demensia yang paling umum adalah Alzheimer Disease, Demensia
Vaskular, Lewy Body Dementia, Frontotemporal Dementia. Berikut
tabel 1.1 yang menjelaskan ciri-ciri yang membedakan dari empat jenis
demensia tersebut.
Tabel 1.1
Tipe Alzheimer
No Tipe Serangan awal Manifestasi khas
.
1. Alzheimer’s Serangan Hilangnya daya ingat
Disease terselubung, yang diikuti oleh
diagnosis sering hilangnya secara
membuat retropeksi, bertahap kemampuan
progresive perlahan-kognitif dan komunikasi
lahan lebih dari 5 lainnya (misalnya
tahun sampai 10 kebingungan,
tahun. disorientasi, disfungsi
eksekutif) perilaku dan
perubahan kepribadian
(misalnya depresi,
kekesalan, keresahan,
ketidakacuhan).
2. Vascular Serangan mendadak, Manifestasi yang
Dementia stepwise menurun konsisten dengan bagian
lebih dari 5 tahun, otak yang terpengaruh,
riwayat risiko aphasia, gangguan daya
vaskular (misalnya ingta, sikap apatis,
stroke dan depresi, ketidakmampuan
hipertensi). mengontrol emosi, dan
defisit motorik sensorik
(misalnya hemiparesis,
gangguan gait, hilangnya
stressor pada dada, dan
inkontinensia).
3. Lewi Body Onset dengan Penurunan kognitif yang

9
Dementia progresif penurunan signifikan, fluktasi
kgnitif, perilaku, tingkat kesadaran,
dan gejala motorik. kelainan perilaku,
halusinasi, gangguan
tidur, kehilangan
stabilitas postura, sangat
sensitif terhadap obat
neuroleptik.
4. Frontotempora Permulaan yang Perubahan kepribadian
l Dementia bertahap antara usia awal dan progresif,
45-65 tahun, riwayat gangguan bahasa
keluarga umum, (dengan atau tanpa
kemunduran pemahaman yang
progresif fungsional terganggu), gangguan
perilaku (misalnya
dishidapan, impulsif,
kehilangan empati, apatis
dan perilaku berulang).

a. Alzheimer’s Disease
Berbagai angka tentang prevelensi penyakit Alzheimer telah dikutip,
dengan banyak perkiraan menunjukkan bahwa 50% orang berusia 85
tahun atau lebih dan hingga 80% penghuni panti jompo menderita
penyakit Alzheimer. Meskipun temuan tentang tingkat penyakit
Alzheimer pada usia tertentu bervariasi, peningkatan usia dianggap
sebagai faktor risiko utama dengan kejadian dan prevalensi berlipat
ganda setiap 5 tahun antara usia 65 dan 90 tahun (Jellinger &
Attems, 2010, Kamat, Kamat & Grossberg, 2010 dalam Miller C.A,
2016).
1) Perubahan Patologis Terkait Dengan Penyakit Alzheimer
Kriteria patologis utama untuk penyakit Alzheimer adalah
adanya plak neuritik dan kekusutan neurofibrillary, seperti yang
diidentifikasi oleh Alzheimer pada awal 1900-an dan
dikonfirmasi oleh berbagai studi otopsi yang dilakukan sejak

10
tahun 1960-an. Meskipun perubahan patologis ini juga terjadi
pada penuaan normal dan penyakit neurodegeneratif lainnya,
kombinasi dari kepadatan yang lebih tinggi di wilayah tertentu
(misalnya, neokorteks dan hipokampus) dan riwayat klinis yang
konsisten dengan penyakit Alzheimer menegaskan diagnosis
penyakit Alzheimer. Kehilangan atau degenerasi neuron dan
sinapsis di daerah yang sama ini adalah ciri utama lain dari
patologi penyakit Alzheimer. Selain itu, penyakit Alzheimer
dikaitkan dengan penurunan berat otak yang nyata, seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 14-2.

Alzheimer pertama kali menggambarkan beta-amyloid


sebagai “zat aneh ”pada tahun 1907, tetapi zat ini tidak
dinamai atau didefinisikan sampai tahun 1984. Pada awal
1990-an, para ilmuwan telah mengidentifikasi beta-amiloid
di plak dan pembuluh darah sebagai ciri patologis lain dari
penyakit Alzheimer. Penemuan bahwa beta-amiloid itu
adalah zat normal yang diproduksi oleh banyak sel dalam
tubuh meletakkan dasar bagi sebagian besar penelitian
terkini tentang peran beta-amiloid dan protein prekursornya.
Para ilmuwan sekarang tahu bahwa beta-amiloid adalah
fragmen protein kecil yang tidak dapat larut dari protein

11
yang jauh lebih besar yang disebut protein prekursor
amiloid. Fungsi pasti dari protein prekursor amyloid belum
teridentifikasi, tetapi para peneliti menyadari bahwa protein
ini memiliki banyak peran penting dalam sel di seluruh
tubuh. . Yang diketahui adalah jumlah beta-amiloid yang
berlebihan ditemukan di plak neuritik dan di dinding
pembuluh darah di otak penderita Penyakit Alzheimer dan
sindrom Down. Penelitian saat ini menunjukkan bahwa
pemrosesan abnormal beta-amiloid adalah peristiwa awal
dalam patologi penyakit Alzheimer dan ini proses tidak
segera mempengaruhi fungsi kognitif (Jack dkk., 2010).
Perubahan otak patologis penyakit Alzheimer memicu
perubahan neurotransmitter yang menyebabkan degenerasi
neuron yang sehat dan, akhirnya, hingga kematian sel. Efek
khusus pada neurotransmitter termasuk hilangnya reseptor
serotonin dan penurunan produksi asetilkolin,
asetilkolinesterase, dan kolin asetiltransferase. Penurunan
terbesar dalam pemancar terjadi di area yang paling
terpengaruh oleh plak dan kusut, dan perubahan ini
menyebabkan gejala kognitif dan perilaku.
2) Risiko untuk Alzheimer’s Disease
Para peneliti pertama kali mengajukan pertanyaan
tentang faktor genetik penyebab penyakit Alzheimer pada
pertengahan 1930-an, tetapi baru pada akhir tahun 1970-an
frase “Alzheimer’s Disease dalam keluarga” muncul dalam
literatur. Penyakit Alzheimer dalam keluarga (juga disebut
serangan awal) mengacu pada keluarga di mana dua atau
lebih anggota biasanya di lebih dari satu generasi menderita
penyakit Alzheimer. Permulaan untuk jenis penyakit
Alzheimer ini biasanya sebelum usia 65 dan seringkali

12
sebelum usia 55. Anak-anak dari orang tua yang terkena
memiliki kemungkinan 25% hingga 50% untuk menderita
penyakit Alzheimer, dan risikonya lebih tinggi jika penyakit
tersebut terjadi pada lebih dar satu generasi dan ketika onset
penyakit sebelum usia 65 tahun. (Kamat et al, 2010).
Kelainan pada kromosom 1, 14,dan 21 berhubungan
dengan penyakit Alzheimer familial onset dini, tetapi
kelainan ini tergantung kurang dari 1% dari semua jenis
penyakit Alzheimer (Ertekin-Taner, 2010) penemuan terbaru
terkait dengan beta-amiloid, mutasi kromosom, dan protein
prekursor amiloid dari dasar banyak penelitian genetika.
Misalnya orang dengan Sindrom Down memiliki kromosom
ekstra 21 di mana gen protein prekursor amiloid berada dan
mereka selalu menunjukkan perubahan otak mirip penyakit
Alzheimer pada sekitar usia 40 tahun, selain itu, risiko
Sindrom Down meningkat pada keluarga individu dengan
penyakit Alzheimer.
Para peneliti sangat tertarik pada faktor genetik yang
terkait dengan jenis penyakit Alzheimer di kemudian hari,
yang merupakan antara 90% dan 95% kasus. Sejak
pertengahan 1990-an, fokus utama penelitian ini adalah
menjelaskan peran Genotipe APOE pada kromosom 19.
Pada manusia telah diketahui terdapat 3 alel yang
kodominan, yang dinamakan e2, e3 dan e4, yang akan
memberikan 6 macam genotipe yang berbeda: 3 genotipe
homozigot, yaitu e2/e2, e3/e3, e4/e4 dan 3 genotipe
heterozigot e3/e4, e2/e4, e2/e3. Alel e4 (Arg 112/158) telah
terbukti berhubungan dengan risiko lebih tinggi untuk
penyakit jantung koroner dan late-onset Alzheimer.
Sebaliknya, alel e2 (Cys 112/158) menunjukkan efek

13
perlindungan terhadap penyakit Alzheimer namun dikaitkan
dengan resiko hyperlipoproteinemia III.
Bidang lain dari penelitian adalah hubungan potensial
antara proses peradangan syaraf dan penyakit Alzheimer.
Studi terbaru menunjukkan bahwa peradangan saraf dapat
memainkan peran penting dalam memicu pembentukan
kusutnya neurofibrillary yang merupakan karakteristik
penyakit Alzheimer (Metcalfe & Figueiredo-Periera, 2010).
Stress oksidatif dan disregulasi imun adalah dua mekanisme
yang menyebabkan proses peradangan saraf ini (Ciaramella
et al, 2010; McNaull, Todd, McGuiness, & Passmore, 2010).
Selain penelitian tentang faktor genetik dan proses inflamasi,
para peneliti befokus pada risiko yang dapat dimodifikasi
berikut ini : depresi, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia,
merokok, obesitas, gagal jantung, fibrilasi atrium, tingkat
aktivitas mental dan fisik yang rendah, dan asupan makanan
yang tinggi. Dari total lemak, lemak jenuh, dan kolesterol
total (de Toledo Ferraz Alves, Ferreira, Wajngarten &
Busatto, 2010; Kamat et al., 2010). Para peneliti juga
menyelidiki peran potensial dari kondisi yang terjadi selama
tahun-tahun sebelumnya, yang dapat meningkatkan risiko
pengembangan demendia selama masa dewasa nanti.
Misalnya, penelitian telah menemukan hubungan
ketergantungan dosis antara trauma kepala sedang atau berat
dan penyakit Alzheimer (Kumar & Kinsella, 2010). Studi
juga menunjukkan hubungan antara kerusakan otak dan
beberapa logam berat (misalnya timbal, merkuri, alumunium,
mangan) dan banyak racun lingkungan (misalnya pelarut,
karbon monoksida). Namun, penelitian sampai saat ini belum

14
menentukan hubungan langsung antara kondisi ini dan
dimensia.
3) Preklinis Penyakit Alzheimer
Dalam beberapa tahun terakhir, studi longitudinal
yang melibatkan studi klinis selama hidup dan studi otopsi
telah mengkonfirmasi bahwa perubahan patologis
mempengaruhi otak bertahun-tahun sebelum gejala terlihat
jelas. Dengan demikian, konsep penyakit Alzheimer
asimtomatik atau praklinis telah menghilang, dan penyelamat
dan praktisi mencoba untuk mengidentifikasi fakotr-faktor
yang melindungi beberapa orang dengan perubahan patologis
dari mengalami gejala (lacono et al, 2009). Saat ini, studi
longitudinal sedang menyelidiki lintasan orang dengan Mild
Cognitive Impairment (MCI), yang merupakan tahap transisi
antara penuaan kognitif normal dan demensia yang dapat di
diagnosis (Kelley & Minagar, 2009). Orang dengan MCI
memeiliki gangguan memori jangka pendek, beberapa
kesulitan dengan keterampilan kognitif kompleks (c.g
aritmatika tertulis), dan lebih banyak kesulitan dengan
aktivitas sehari-hari. Studi longitudinal secara konsisten
menemukan bahwa MCI dikaitkan dengan risiko yang lebih
tinggi untuk penyakit Alzheimer, penurunan yang lebih
cepat, dan kematian yang lebih tinggi. (Knopman, 2010).
b. Dimensia Vascular
Demensia vaskular telah diidentifikasi sebagai jenis demensia
yang umum dan berbeda selama beberapa dekade. Namun,
penelitian , terutama yang didasarkan pada otopsi, menunjukkan
bahwa kerusakan serebrovaskular paling sering terjadi bersamaan
dengan perubahan neuropatologis dari demensia lainnya. Satu studi
menemukan bahwa hanya 3% dari 382 otak yang diautopsi

15
menunjukkan demensia vaskular murni, dan penelitian lain
menemukan bahwa lesi vascular hidup berdampingan dengan
patologi Alzheimer pada 77% kasus dugaan demensia vaskular
(Morris, 2005). Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan ini, ada
kesepakatan bahwa demensia vaskular disebabkan oleh kematian
sel-sel saraf di daerah yang diberi makan oleh pembuluh darah
vaskular yang rusak. Proses patologis yang mendasari dapat
mencakup infark dari penyumbatan pembuluh darah besar,
perdarahan pembuluh darah besar atau kecil, stroke lakunar pada
arteri kecil, dan penyakit Binswanger yang melibatkan lesi difus
materi putih (Cherubini et al., 2010).
Faktor risiko kardiovaskular yang sangat terkait dengan
demensia vaskular termasuk stroke, hipertensi, dan fibrilasi atrium.
Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa Genotipe APOE-
E4 menyumbang hampir 25% dari demensia vaskular (Chuang et
al., 2010). Penting untuk diketahui bahwa meskipun demensia
vaskular ditandai oleh onset mendadak dengan jenis demensia lain
yang sering timbul da perkembangannya tampat bertahap.
c. Lewy Body Dementia
Meski Lewy Body Dementia sering disebut sebagai jenis
demensia kedua yang paling umum, dementia sering salah
didiagnosis sebagai gangguan gerakan atau penyakit Alzheimer.
Sebuah studi terhadap pengasuh orang dengan Lewy Body
Dementia menemukan bahwa setengah dari pasien menemui lebih
dari 3 dokter selama lebih dari 10 kunjungan selama 1 tahun
sebelum didiagnosis secara akurat (Galvin et al., 2010). Dua ciri
khas patologis dari jenis demensia ini adalah endapan protein
abnormal (yaitu, badan Lewy) dan pembentukan neurit Lewy di
otak. Karena perubahan patologis yang sama ini juga terjadi pada
Penyakit Parkinson, para ilmuwan telah menggambarkan Lewy

16
Body Dementia dan penyakit Parkinson sebagai dua sisi dari
rangkaian koin yang sama dari penyakit tubuh Lewy (Klein et al.,
2010). Juga, karena studi otopsi menemukan perubahan patologis
ini pada 14% hingga 24% otak lansia yang tidak memiliki
manifestasi klinis demensia, ahli gerontologi menduga bahwa Lewy
Body Dementia memiliki tahap praklinis tanpa gejala (Frigerio et
al., 2009; Markesbery, Jicha, Liu, & Schmitt, 2009). Para Peneliti
belum mengidentifikasi risiko khusus untuk jenis demensia ini;
Namun, riwayat keluarga demensia hadir pada seperempat orang
dengan Lewy Body Dementia (Farina et al., 2009).
Perawat dan praktisi perawatan primer perlu waspada terhadap
implikasi klinis dari peningkatan sensitivitas neuroleptik yang
merupakan karakteristik Lewy Body Dementia. Orang dengan
demensia jenis ini cenderung mengalami reaksi ekstrem,
idiosinkratik, atau fatal bahkan terhadap obat jenis kolinergikti
dosis rendah seperti antipsikotik. Misalnya, obat penenang atau
antipsikotik dapat menyebabkan halusinasi, agitasi, atau perasaan
mengantuk yang ekstrem. Oleh karena itu, obat antikolinergik,
termasuk produk yang dijual bebas, harus dihindari, dan jika
digunakan, dosis harus minimal, dan pasien harus diobservasi
dengan cermat untuk mengetahui efek sampingnya. karakteristik
klinis penting lainnya adalah bahwa penderita Lewy Body Dementia
dapat mengalami dekompensasi dengan cepat dan signifikan ketika
mereka memiliki kondisi medis (misalnya, infeksi ringan) atau
ketika lingkungannya berubah. Fluktuasi kognitif juga biasanya
terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Karena implikasi
klinis yang serius dari jenis demensia ini dan karena sering tidak
disadari, perawat perlu waspada terhadap kemungkinan bahwa
seseorang dengan Lewy Body Dementia dapat salah didiagnosis
dengan jenis demensia lain atau dengan Penyakit Parkinson.

17
d. Frontotemporal Dementia
Demensia Frontotemporal menggambarkan sekelompok
kondisi neurodegeneratif yang terkait dengan gangguan tau (sejenis
protein dalam neuron) yang menyebabkan atrofi di lobus frontal dan
temporal. Demensia frontotemporal menyumbang 30% hingga 50%
kasus demensia pada orang yang berusia di atas 65 tahun, dengan
usia serangan rata-rata 54 tahun (Kertesz, 2010). Penyakit Pick
pertama kali diidentifikasi sebagai jenis demensia frontotemporal
pada tahun 1892, dan dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan
telah mengklasifikasikan demensia frontotemporal menurut
presentasi klinis sebagai varian perilaku atau bahasa (juga disebut
semantik) (Arvanitakis, 2010; Gordon et al., 2010). Para peneliti
telah mengaitkan demensia frontotemporal dengan kelainan dari
setidaknya 5 gen, dan 30% sampai 50% orang dengan Jenis
demensia memiliki riwayat keluarga demensia onset dini (Riedijk,
Niermeijer, Dooijes, & Tibben, 2009). Manifestasi klinis dari
demensia frontotemporal berbeda secara signifikan dari jenis lainnya
demensia selama tahap awal. Namun, selama tahap menengah dan
tahap selanjutnya, perilaku neuropsikiatri (misalnya,sikap apatis,
mudah tersinggung) mirip dengan, tetapi lebih intens daripada,
perilaku pada demensia lain (Grochmal-Bach et al., 2009).
3. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Demensia
Dari sudut pandang kesehatan, penting untuk mengenali tidak hanya
faktor-faktor yang meningkatkan risiko demensia (sebagaimana dibahas
dalam bagian tentang jenis-jenis demensia) tetapi juga faktor-faktor yang
melindungi dari gangguan kognitif. Pernyataan konferensi sains yang dirilis
oleh National Institutes of Health (Daviglus et al., 2010) menyimpulkan
bahwa rekomendasi berbasis bukti yang kuat tidak dapat ditarik tentang
hubungan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang terkait dengan
penurunan kognitif. Namun, panel konsensus merekomendasikan studi

18
intervensi yang sedang berlangsung seperti obat antihipertensi, asam lemak
omega 3, aktivitas fisik, dan keterlibatan kognitif. Satu temuan yang
konsisten adalah bahwa banyak perilaku yang memiliki hasil positif untuk
kesehatan secara keseluruhan, termasuk aktifitas disik dan praktik diet sehat,
juga memiliki efek positif dalam mencegah penurunan kognitif. Tabel 1.2 di
bawah ini merangkum beberapa temuan penelitian terbaru terkait dengan
strategi untuk mencegah penurunan kognitif.
Tabel 1.2
Studi Tentang Startegi untuk Mencegah Gangguan Kognitif
No Penelitian Hasil
.
1. Duron & Hanon, Tinjauan atas tujuh uji antihipertensi acak
2010 tingkat dua dan terkontrol placebo: hasil
positif, dalam mencegah demensia ditemukan
dalam tiga percobaan, hasil yag tidak
signifikan dicatat dalam empat percobaan.
2. Eskelinen & Kajian epidemiologi longitudinal : tiga dari
Kivipelto, 2010 lima orang mendapati bahwa kopi berdampak
positif terhadap penurunan kognitif; dua
penelitian lainnya menemukan dampak positif
pada fungsi kognitif dari gabungan minum
kopi dan minum teh.
3. Hamaguchi, Ono Penelitian didalam vitro menunjukan bahwa
&Yamada, 2010 curcumin mungkin merupakan salah satu
senyawa yang paling menjajnjikan untuk
mencegah dan mengobati demensia; akan
tetapi dua dari empat uji klinis yang
bereksinambungan tidak melaporkan adanya
manfaat yang signifikan.
4. Kim, Lee, & Lee, Penelitian laboratorium terhadap binatang
2010 menunjukan bahwa the hijau (phytochemicals
secara alami) dap`at mence`gah penyakit
Alzheimer.
5. McGuinness & Beberapa penelitian klinis telah menemukan
Passmore, 2010 bahwa penyakit Alzheimer banyak berkurang
pada orang-orang yang meminum obat statin,
tetapi uji coba acak belum menunjukkan efek

19
yang prefentif.
6. Morley, 2010 Peenlitian epeidemiologik dan binatang
menunjukkan bahwa vitamin D, DHA 9asam
lemak omega-3), lutein, dan asam ab-lipoat
memiliki peluang terbaik untuk terbukti
berguna secara klinis untuk meningkatkan
fungsi kognitif.
7. Radak et al, 2010 Aktivitas fisik yang teratur bermanfaat untuk
mencegah penyakit Alzheimer dan gangguan
Neurodegenratif lainnya.
8. Robinson, Ijioma & Penelitian epidemiologic menemukan asosiasi
Harris, 2010 perlindungan antara asam lemak omega03
dan pencegahan penurunan kognitif
9. Rolland, Van Kan, & Pelitian bilogi 7 epidemiologi serta uji coba
Vellas, 2010 jangka pendek yang diekndalikan acak pada
partisipan yang bukan orang gila menunjukan
bahwa kegiatan fisik meningkatkan fungsi
kognitif pada orang dewasa yang lebih tua.
Seorang ahli gerontologi berkomentar bahwa dekade terakhir dari
tahun 1900-an disebut sebagai dekade otak, dan dekade pertama pada tahun
2000 dapat disebut sebagai dekade kebugaran otak, karena fokus saat ini
untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi kognitif manusia hingga
akhir kehidupannya. (LaRue, 2010). Perawat menyarankan bahwa intervensi
untuk meningkatkan kognitif pada orang dengan demensia tahap awal
mungkin juga merupakan intervensi untuk mencegah delirium (Fick,
Kolanowski, Beattie, & McCrow, 2009). Strategi pencegahan khusus yang
disarankan oleh Fick dan rekannya termasuk aktivitas fisik, interaksi sosial,
aktivitas mental yang menantang, dan menghindari pengobatan yang tidak
tepat.
4. Konsekuensi Perubahan Pada Lansia Dengan Demensia
Konsekuensi fungsional demensia dibahas terutama dengan merujuk
pada penyakit Alzheimer karena ini telah di pelajari sejak 1950-an, dan ahli
gerontologi baru mulai mengidentifikasi manifestasi untuk dari berbagai
demensia. Selain itu, banyak konsekuensi fungsional yang umum terjadi

20
pada semua demensia, dan seiring dengan kemajuan proses patologis,
manifestasi dari semua jenis demensia menjadi lebih mirip. Namun, penting
untuk disadari bahwa selama semua tahap dan dalam seua jenis demensia,
konsekuensi fungsional sangat bervariasi di antara individu karena
karakteriksik kepribadian yang unik, kondisi yang hidup berdampingan
(misalnya depresi, gangguan fungsional), dan pengaruh lainnya. Penting juga
untuk diketahui bahwa kepribadian setiap individu penderita demensia selalu
ada dan perlu diperhatikan dalam setiap interaksi. Selain konsekuensi
fungsional yang secara langsung mempengaruhi penderita demensia,
pengasuh dan keluarga pendrita juga mengalami konsekuensi yang
signifikan.
a. Tahapan demensia
Pertengahan 1980-an, seorang psikiater Amerika, Reisberg, mengusulkan
model tujuh tahap untuk menggambarkan konsekuensi fungsional
penyakit Alzheimer. Skema Reisberg, yang tekah diperbaharui dan
disempurnakan disebut sebagai Pementasan Skala Deteriorasi
Global/Penilaian Fungsional, atau GDS/FAST. Sistem stadium ini
digunakan secara luas dan telah terbukti valid dan dapat diandalkan untuk
menentukan stadium penyakit Alzheimer dalam berbagai pengaturan
(Sabbagh et al., 2009). Menurut kerangka kerja ini, diagnosis penyakit
Alzheimer dibuat secara retrospektif karena didasarkan pada
perkembangan manifestasi. Ahli, gerontologi, dokter, penderita
demensia, serta keluarga dan perawat sangat tertarik untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tidak hanya
perjalanan penyakit tetapi juga waktu kelangsungan hidup orang tersebut.
Satu review dari 48 studi yang mengevaluasi prognosis dan kelangsungan
hidup demensia menemukan bahwa peningkatan usia, jenis kelamin laki-
laki, penurunan status fungsional, dan komorbiditas medis dikaitkan
dengan tingkat kematian yang lebih tinggi pada orang dengan demensia
(Lee & Chodosh, 2009). Karena demensia sangat terkait dengan harapan

21
hidup yang lebih pendek, demensia secara luas dikenal sebagai penyakit
terminal dengan kematian sebagai konsekuensi fungsional utama.
Dengan demikian, dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan
pengakuan akan kebutuhan untuk menyediakan layanan hospis dan
perawatan paliatif selama demensia stasium akhir. Tabel 14-4
merangkum konsekuensi fungsional yang terkait dengan masing-masing
dari tjuh tahap GDS / FAST.
Table 1.3
Skala kemunduran global/fungsional
penimbunan penilaian (GDS/cepat) penyakit Alzheimer
No Tahap Pengaruh terhdap fungsi
.
1. Orang dewasa normal Tidak ada deficit atau keluhan
2. Gangguan ingatan Defisit yang konsisten dengan penuaan
terkait usia normal (tidak ada temuan objektif,
kesulitan dengan pencarian kata, lupa
lokasi objek
3. Gangguan kognitif Beberapa deffisit dalam melakukan
fikiran tugas-tugas rumit, terutama dalam
menuntut social dan pengaturan
pekerjaan; keterampilan berorganisasi
berkurang;deficit yang tercatat oleh yang
lain untuk pertama kalinya.
4. Dimensia ringan Berkurangnya kemarmpuan untuk
melakukan tugas-tugas
5. Dimensia sedang Deficit kognitif yang jelas, tidak dapat
mengelola tugas sehari-hari yang rymit
tanpa pengawasan dan bantuan, sulit
mengingat nama orang yang akrab
6. Dimensia sedang- Deficit kognitif yang semakin jelas
berat (misalnya disorientasi, signifikan jangka
pendek penurunan memori); kepribadian
dan perubahan emosi (misalnya
kekhawatiran, delusi). Kehilangan
kemampuan dalama urutan berikut:
(a) Sulit mengenakan pakaian dnegan
sepatutnya
(b) Tidak dapat mandi sendiri

22
(c) Tidak mampu menangani semua
aspek dari toilet (misalnya tidak
dapat menyeka dengan benar)
(d) Sewaktu buang air kecil atau
sewaktu buang air kecil
inkontinensia
(e) Tidak dapat menahan kencing
yang sesekali atau terus-menerus
7. Dimensia parah Progresif kehilangan semua kemampuan
verbal dan psychomotor:
(a) Kesanggupan verbal yang
terbatas pada enam atau kurang
kata yang berbeda
(b) Kesanggupan verbal terbatas pada
satu kata yang dapat dimengerti
(c) Tidak dapat berjalan tanpa
bantuan
(d) Tidak dapat duduk tanpa bantuan
(e) Tidak dapat tersenyum
(f) Tidak dapat mengangkat kepala
secara independen

b. Self-awareness pada penderita demensia


Salah satu mitos yang terkait dengan demensia adalah bahwa
penderita demensia menyangkal gejala mereka atau tidak memiliki
kesadaran akan defisitnya. Sayangnya, kekeliruan ini telah
menyebabkan kesalahpahaman yang serius di pihak beberapa
profesional perawatan kesehatan seperti yang dicontohkan oleh
pernyataan seperti “Jika mereka dapat bertanya apakah mereka
menderita penyakit Alzheimer, maka mereka tidak mengidapnya”
dalam beberapa tahun terakhir, persepsi yang tinggi ini prevelensi
yang disebut penyangkalan pada orang dengan demensia telah
berkurang, dan ahli gerontologi sedang meneliti wawasan dan
kesadaran diri melalui semua tahap demensia.

23
Kurangnya kesadaran akan defisit kognitif, yang disebut
anosognosia, sekarang dikenali sebagai ciri diagnostik inti dari
demensia frontotemporal ; itu juga terjadi dengan demensia
Alzheimer ketika korteks temporal terpengaruh (Salmon et al.,2008;
Shibata, Narumoto, Kitabayashi, Ushijima & Fukui, 2008). Namun,
semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa bahkan ketika
penderita demensia mengalami anosognosia, mereka
mempertahankan kesadaran diri akan kebutuhan dan perasaan
mereka, yang disebut Retained Awareness (kesadaran yang
dipertahankan, dari tahap awal hingga tahap selanjutnya (Bossen,
Specht, & McKenzie, 2009).
Studi juga menemukan bahwa kesadaran yang dipertahankan
relevan dengan identifikasi kebutuhan, terutama yang berkaitan
dengan kontrol pribadi, pendidikan dan dukungan, perlindungan
harga diri, dan mengelola tanggapan terhadap penyakit (Specht,
Taylor, & Bossen, 2009). Bahkan di tahap selanjutnya, kepribadian
yang didefinisikan sebagai kualitas menjadi orang dengan demensia
semakin berubak dan tersembunyi tetapi tidak hilang (Edvardsson,
Winbad & Sandman, 2008), Program yang menekankan penyediaan
perawatan yang berpusat pada orang melalui semua tahapan
demensia didasarkan pada temuan penelitian ini. Studi tentang
perasaan dan pengalaman individu dengan demensia memberikan
wawasan penting dengan kesadaran yang mereka pertahankan,
sepertinya yang dijelaskan dalam kotak di seluruh bab ini dengan
kutipan langsung dari penderita demensia.
c. Pengalaman Pribadi Demensia
Pada tahap awal, hanya individu dengan demensia dan orang
yang tinggal, bekerja, atau memiliki kondak dekat dengan orang
tersebut yang memperhatikan perubahan awal, seperti gangguan
penilaian dan ingatan jangka pendek. Ketika perubahan

24
diperhatikan, banyak penjelasan mungkin dapat diterapkan, dan
defisit dapat dikaitkan dengan faktor-faktor seperti depresi atau
terjadinya peristiwa besar dalam hidup (misalnya, pensiun, janda).
Orang-orang di tahap awal demensia mungkin menarik diri dari
tugas-tugas kompleks sebagai cara untuk melindungi diri dari efek
menurunnya kemampuan kognitif sebagai alasannya. Orang yang
tidak harus melakukan tugas intelektuan atau psikomotorik yang
kompleks mngkin dapat menyembunyikan atau mengkompensasi
kerugian kognitif sampai defisit tersebut secara serius menganggu
aktivitas kehidupan sehari-hari (ADLs). Namun, seiring
berkembangnya penyakit, orang dengan demensia kurang mampu
menutupi perubahan tersebut, dan orang dengan kontak yang kurang
intim akan mulai mempertanyakan penyebab defisit. Banyak catatan
orang pertama tentang pengalaman hidup demensia telah diterbitkan
sejak tahun 1990-an. meskipun sebagian besar riwayat hidup ini
menggambarkan demensia sebagai tantangan besar yang harus
dihadapi, dikalahkan, beberapa narasi pribadi mencerminkan tema-
tema positif seperti ketahanan, rasa percaya diri yang kuat, berjuang
untuk keadaan normal. Oleh karena itu, pentin bagi praktisi
perawatan kesehatan untuk mengetahui bahwa sejauh mana
demensia dipandang sebagai masalah yang bervariasi. Sebuah studi
oleh Hulko (2009) menunjukkan bahwa orang yang “lebih
istimewa” lebih cenderung memandang demensia secara negatif dan
mereka yang lebih “terpinggirkan” akan mengabaikan signifikansi
demensia dan melonak dipandang sebagai keseluruhan gejala
mereka (Hulko, 2009).
Emosi dan perilaku umum penderita demensia termasuk
kehilangan, ketakutan, rasa malu, kemarahan, kesedihan,
kecemasan, frustasi, kesepian, depresi, ketidakpastian, rasa tidak
berguna, menyalahkan diri sendiri, pengaruh yang berkurang, dan

25
penarikan diri dari aktivitas yang menantang. Fokus utama dari
respon emosional, khususnya pada tahap awal, adalah menyesuaikan
kembali konsep diri seseorang, mencoba mempertahankan rasa
normal, dan mengembangkan strategi kognitif, sosial dan perilaku
untuk meningkatkan kepercayaan diri (Cotter, 2009). Bahkan selama
tahap akhir demensia ketika kemampuan kognitif sangat terganggu,
respons emosional diarahkan untuk mempertahankan rasa diri.
Emosi dominan selama tahap selanjutnya dari demensia termasuk
perasaan kehilangan, kemarahan, frustasi, ketidakpastian, dab
kurangnya kontrol atau penentuan nasib sendiri (Clare, Rowlands &
Quin, 2008). Sangat penting untuk menyadari bahwa tanggapan
emosional dari penderita demensia mungkin tumpul atau berubah,
tetapi mereka tidak pernah absen. Saat demensia berkembang, orang
tersebut cenderung mengekspresikan emosi secara nonverbal dan
perilaku. Dengan demikian, dua tanggung jawab penting pengasuh
adalah mendorong dan menafsirkan komunikasi nonverbal, yang
menjadi mode komunikasi utama selama tahap demensia
selannjutya.
d. Gejala Perilaku dan Psikologis Demensia
Orang dengan demensia menunjukkan berbagai perilaku yang
ditumpangkan pada gangguan kognitif mereka. Ahli gerontologi dan
dokter biasanya menyebut ini sebagai Behavioral and Psychological
Symptoms of Dementia (BPSD), dan penelitian telah menemukan
tingkat prevalensi anatara 58% dan 97%, dengan prevalensi yang
lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan keparahan demensia
(Shaji, George, Prince & Jacob, 2009; Thompson, Brodaty, Trollor,
& Sachdev, 2010). Kejadian umum BPSD memiliki implikasi serius
karena sangat terait dengan peningkatan keterbatasan fungsional,
peningkatan penggunaan obat-obatan, dan penurunan kualitas hidup

26
penderita demensia. (Ishii, Weintraub, & Mervis, 2009; Okura et al.,
2010). Berikut adalah manifestasi BPSD :
1) Agitasi, didefinisikan sebagai aktivitas verbal, vokal, atau motorik
yang tidak tepat yang tidak secara langsung dijelaskan oleh
kebutuhan atau kebingungan (misalnya, agresi, teriakan)
2) Gejala kejiwaan (misalnya, delusi, halusinasi)
3) Perubahan kepribadian, perilaku seksual yang tidak
tepat,penghambatan
4) Gangguan suasana hati (misalnya, apati, depresi, euforia, emosi
yang labil)
5) Gerakan motorik menyimpang (misalnya mondar-mandir,
mengobrak-abrik, pengeluyuran).
6) Perubahan neurovegetatif (misalnya perubahan nafsu makan,
gangguan tidur).
Perilaku agresif sangat bermasalah bagi pengasuh dalam
situasi apapun. Tinjauan literatur yang sistematis menemukan
bahwa pengasuh di panti jompo menghadapi berbagai perilaku
agresif, termasuk agresi verbal (misalnya, ancaman dan
penghinaan) dan fisik (menendang dan menggigit), terutama selama
aktiviras perawatan pribadi ketika ruang pribadi penghuni dilanggar
(Zeller et al.,2009). Perilaku hiperseksual (yaitu, pembicaraan atau
tindakan yang tidak pantas) terjadi pada hingga 30% lansia dengan
gangguan kognitif dan mungkin terkait dengan delirium atau
depresi (Wallace & Safer, 2009).
Tidak semua perubahan perilaku bermasalah bagi pengasuh,
tetapi literatur geriatri cenderung berfokus pada perilaku yang
menyebabkan masalah manajemen. Penekanan ini memperkuat
ketakutan dan kecemasan tentang konsekuensi fungsional dari
demensia yang mungkin tidak pernah terjadi. Komentar seperti,
“saya tahu dia tidakmengidap penyakit Alzheimer karena dia tidak

27
berhalusi,” atau “saya tahu dia tidak mengidap penyakit Alzheimer
karena dia tidak melakukan kekerasan,” mencerminkan keyakinan
yang salah bahwa perilaku tertentu sulit untuk dapat dihindari.
Konsekuensi dari demensia. Seorang pengasuh keluarga terdengar
bertanya “bisakah anda memberi tahu saya apakah ibu saya akan
menjadi ‘orang yang baik’ atau ‘baik hati’ karena Alzheimernya
semakin parah?” pertanyaan ini setidaknya mengakui bahwa tidak
semua penderita demensia itu sulit, tetapi mencerminkan keyakinan
negatif dan salah lainnya tentang jenis perilaku kategoris pada
penderita demensia. Pengaruh lingkungan merupakan salah satu
faktor yang menentukan apakah suatu perilaku bermasalah.
Misalnya, dalam unit kelembagaan yang terkunci, perilaku
keluyuran mungkin tidak bermasalah, sedangkan di lingkungan
rumah, keluyuran mungkin tidak aan dan bermasalah. Demikian
pula, kegelisahan di malam hari menciptakan lebih banyak masalah
bagi pasangan yang merupakan satu-satunya pengasuh daripada
bagi staf perawat yang dibayar untuk memberikan perawatan 24
jam. Istilah reaksi katastropik telah digunakan selama beberapa
dekade mengacu pada berbagai perilaku yang terjadi pada orang
dengan kerusakan otak dan tidak proporsional dengan reaksi yang
biasanya diharapkan dalam suatu situasi (Mace & Rabins, 2006).
Perilaku ini melibatkan respon tiba-tiba dan berlebihan terhadap
situasi yang dianggap mengancam oleh penderita demensia.
Timbulnya reaksi bencana mungkin ditandai dengan perubahan
suasana hati yang tiba-tiba, peningkatan kegelisahan, keras kepala,
atau pengembaraan. Selain itu, salah satu perilaku berikut mungkin
merupakan komponen dari reaksi bencana : kemarahan, tangisan,
teriakan, kecemasan, lekas marah, sifat suka menyerang, dan agresi
fisik atau verbal. Pengasuh mungkin menafsirkan reaksi berlebihan

28
tersebut sebagai tindakan yang disengaja dan menganggap orang
tersebut keras kepala, kritis, atau terlalu emosional.

C. Konsep Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Dimensia


1. Pengkajian Keperawatan pada Lansia dengan Demensia
Demensia adalah sindrom kompleks yang biasanya melibatkan
manifestasi jangka panjang dan fluktuasi intermiten. Dengan demikian,
pengkajian adalah proses berkelanjutan yang berfokus pada
mengidentifikasi kondisi yang berfokus pada mengidentifikasi kondisi
yang berkontribusi dan dapat diobati serta konsekuensi negatif yang
berkembang selama demensia. Penting juga untuk mengidentifikasi dan
mengatasi kondisi yang mengganggu pengkajian demensia.
a. Faktor – Faktor yang mengganggu pengkajian demensia.
Sikap, mitos, dan kurangnya informasi merupakan faktor risiko
yang menganggu penilaian yang tepat, dan intervensi untuk demensia.
Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan luar biasa telah dibuat dalam
memahami dan mengidentifikasi penyebab gangguan fungsi kognitif;
namun, banyak lansia beserta keluarga dan pengasuhnya masih
memandang gangguan kognitif yang serius sebagai akibat dari penuaan
yang diharapkan dan normal. Ketika ini terjadi, kondisi yang dapat
diobati cenderung diabaikan, dan lansia tidak diberikan intervensi yang
tepat untuk mengobati atau mengelola kondisi mereka. Meskipun tidak
ada perawatan kuratif, banyak intervensi yang efektif dalam menunda
perkembangan kondisi, mengelola gejala, dan membantu perencanaan
jangka panjang.
Faktor budaya yang mempengaruhi persepsi tentang penuaan
dan penyakit dapat secara signifikan mempengaruhi evaluasi dan
pengobatan demensia. Misalnya, beberapa kelompok budaya menerima
gangguan kognitif sebagai “penuaan normal”, sedangkan yang lain
memandang perilaku terkait demensia sebagai hal yang memalukan.

29
Ahli gerontologi baru mulai mempelajari berbagai aspek pengaruh
budaya pada persepsi perubahan mental dan penerimaan intervensi.
b. Pengkajian Awal
Dengan pengecualian delirium dan demensia pasca stroke,
gangguan fungsi kognitif adalah proses progresif lambat yang
memerlukan pengkajian cermat untuk mengidentifikasi penyebab yang
mendasari dengan benar. Seringkali, perubahan terjadi perlahan selama
beberapa tahun, dan penilaian ditunda sampai perubahan secara
signifikan menganggu fungsi normal. Proses penilaian biasanya
berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan
melibatkan pengumpulan informasi tentang fungsi medis dan
psikososial. Karena gangguan kognitif progresif merupakan fenomena
yang sangat kompleks, proses pengkajian umunya bersifat
multidisiplin, emmerlukan masukan dari penyedia perawatan primer,
psikiater, perawat, pekerja sosial, dan terapis rehabilitasi. Anggota tim
pengkaji harus bekerja dengan keluarga dan pengasuh lainnya untuk
memperoleh informasi dan menentukan tingkat keterlibatan yang sesuai
dari orang yang mengalami gangguan kognitif terkait dengan
pembahasan hasil pengkajian dan perencanaan keperawatan.
Fokus utama keperawatan adalah untuk menentukan tingkat
fungsi seseorang, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat fungsi seseorang, dan untuk mengidentifikasi
respon orang tersebut terhadap penyakitnya. Seringkali, perawat
berfungsi sebagai pemimpin tim dan bertanggung jawab untuk
mnegkooordinasikan informasi dan memfasilitasi komunikasi di antara
anggota tim dan dengan lansia. Perawat dapat menggunakan panduan
sebagai berikut untuk menilai gangguan kognitif pada lansia:
1) Prinsip Umum
a) Pengkajian gangguan fungsi kognitif biasanya dilakukan selama
beberapa kunjungan, dan mungkin termasuk penilaian di rumah.

30
b) Orang dengan gangguan fungsi kognitif mungkin bukan pelapor
yang dapat dipercaya, tetapi persepsinya harus menjai bahan
integral dari pengkajjian dan keakuratan informasi harus
divalidasi.
c) Perawat profesional harus menghormati hak orang tersebut dan
meminta izin sebelum memperoleh informasi dari orang lain,
termasuk anggota keluarga
d) Jangan berasumsi bahwa keluarga telah menarik kesimpulan yang
akurat tentang peristiwa di masa lalu (misalnya, anggota keluarga
mungkin menyatakan bahwa orang tersebut pensiun dan
kemudian menunjukkan defisit kognitif, pada kenyataannya orang
tersebut pensiun karena ketidakmampuan untuk memenuhi
tuntutan pekerjaan)
2) Fokus Pengkajian
a) Tujuan utama dari pengkajian adalah untuk mengidentifikasi
penyebab gangguan kognitif
b) Pengkajian seseorang dengan gangguan fungsi kognitif bersifat
multidisiplin dan mencakup komponen berikut : riwayat
kesehatan lengkap dan pemeriksaan fisik termasuk tinjauan semua
obat; pengkajian fungsional;pengkajian status psikososial dan
mental formal yang komprehensif, dan pengkajian pengaruh
lingkungan dan pengasuh, dengan penekanan khusus pada faktor-
faktor yang memperngaruhi keselamatan dan kemampuan
fungsional.
c) Pengkajian mencakup wawancara dengan pengasuh, anggota
keluarga, dan orang lain yang dapat menggambarkan
perkembangan manifestasi gangguan.
d) Informasi tentang pola kepribadian, koping, dan karakteristik
kinerja seumur hidup dipertimbangkan dalam kaitannya dengan
tigkat fungsional orang tersebut saat ini.

31
e) Mungkin pelu untuk mengajukan pertanyaan menyelidik untuk
membantu anggota keluarga mengenali petunjuk defisit kognitif
secara retrospektif.
3) Pertimbangan dalam Menilai Faktor Risiko yang Berkontribusi pada
Gangguan Fungsi Kognitif
a) Jangan pernah berasumsi bahwa semua gangguan kognitif dan
manifestasi perilaku berasal dari penyakit demensia.
b) Karena faktor risiko dapat menyebabkan gangguan kognitif awal
atau berkembang kemudian, menyebabkan gangguan tambahan,
faktor risiko tersebut harus dinilai ulang secara berkala.
c) Kategori faktor risiko berikut harus dinilai, baik pada awalnya
maupun secara berkelanjutan: depresi, perubahan fisiologis,
gangguan fungsional, efek pengobatan yang merugikan, dan
pengaruh lingkungan dan psikososial.
d) Di awal pengkajian, pastikan bahwa gangguan penglihatan dan
pendengaran diberi kompensasi sebanyak mungkin dan bahwa
lingkungan tidak menganggu kinerja orang tersebut (misalnya,
sedapat munghin, pastikan orang tersebut menggunakan kacamata
dan alat bantu dengar jika diperlukan, dan pastikan
pencahayaannya optimal).
e) Prioritasnya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani faktor-
faktor yang dapat diubah sebelum memutuskan rencana
pengelolaan jangka panjang.
4) Pengkajian Berkelanjutan atas Konsekuensi (Ongoing Assessment
Of Consequences)
Karena demensia adalah kondisi progresif yang biasanya
muncul bersamaan dengan kondisi lain, semua penderira demensia
memerlukan pengkajian berkelanjutan untuk semua hal berikut :

32
a) Perubahan fungsi kognitif dan psikososial yang terkait dengan
demensia (misalnya, penurunan kemampuan kognitif, permulaan
kecemasan atau depresi)
b) Perubahan status mental terkait dengan kondisi bersamaan
(misalnya, mengigau karena kondisi medis atau efek pengobatan
yang merugikan).
c) Perubahan kemampuan fungsional
d) Penyebab perubahan perilaku yang terkait dnegan kondisi yang
dpaat diobati (misalnya, kecemasan, ketidaknyamanan fisik,
faktor lingkungan).
Tujuan utama dari pengkajian berkelanjutan adalah untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang menganggu tingkat fungsi atau
kualitas hidup seseorang, sehingga intervensi dapat dimulai untuk
mengurangi faktor-faktor yang berkontribusi ini. Meskipun
demensia adalah kondisi progresif yang secara bertahap
memengaruhi semua tingkat fungsi, beberapa perubahan yang
terjadi lebih disebabkan oleh kondisi yang terjadi bersamaan, bukan
oleh demensia itu sendiri. Dengan demikian, pengkajian
berkelanjutan untuk mengidentifikasi semua faktor yang
mempengaruhi tingkat fungsi sangat penting. Tujuan lain dari
pengkajian berkelanjutan adalah untuk mengidentifikasi kekuatan
dan keterbatasan orang tersebut untuk merencanakan intervensi
individual untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup orang
tersebut. Karena sifat gangguan fungsi kognitif yang progresif dan
berfluktuasi, kekuatan dan keterbatasan seseorang akan berubah
secara berkala; jadi rencana perawatan harus sering dierbarui. Salah
satu cara untuk menilai kekuatan dan kelemahan adalah dengan
menanyakan tentang cara-cara di mana demensia telah
memengaruhi kehidupan sehari-hari dan bagaimana orang tersebut

33
mengatasi, atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
ini.
Tabel dibawa ini merangkum beberapa pernyataan orang
dengan demensia tentang cara mengatasi masalah dan kehidupan
sehari-hari. Perawat dapat menggunakan sebagai panduan untuk
menilai perkembangan dmensia dari tahap awal hingga tahap
selanjutnya.
Table 1.4
Cara mengatasai masalah dan kehidupan sehari-hari
pada lansia dengan dimensia
Pengalaman Hidup : Mengatasi dan hidup sehari-hari dengan
demensia
Tentang Cara Mengatasi Tentang Kehidupan Sehari-hari
a) Saya pikir tidak apa-apa a) Besok saya akan
membiarkan dirimu memiliki sedikit ingatan
sedikit waktu untuk tentang hari ini, dan ini
fokus pada rasa sakit membuat hidup hari ini
dan ketakutan. Itu seperti mendorong batu
manusiawi; tetapi ke atas bukit karena tahu
penting untuk menjauh itu akan menggelinding
dari fokus sedih dan kembali.
jangan biarkan itu b) Kelambanan adalah
menyita pikiran anda. masalah serius bagi saya,
b) Saya mencoba untuk dan terkadang saya
lebih sabar dengan diri tampak terpaku pada
saya sendiri dan kursi saya. Mungkin
memaafkan diri saya hanya karena terlalu
sendiri banyak usaha untuk
c) Tetap sibuk melakukan mengatur diri saya sendiri
apa yang saya suka, untuk melakukan sesuatu,
lakkan benar-benar sehingga saya lelah
membuat saya terus secara mental bahkan
maju dan membuat saya sebelum saya mulai.
melaluinya. Saya berada c) Saya merampingkan
di dua kelompok semuanya dan
pendukung ; saya menyingkitkan semua
memiliki pelajaran yang tidak terlalu sering

34
mandolin setiap saya gunakan. Menjaga
minggu,; saya rumah tetap rapi
melakukan kelas membantu
meditasi pria setiap meminimalkan waktu
minggu dengan yang diperlukan untuk
pekerjaan rumah harian; menemukan barang yang
saya membaca tentang salah taruh.
kesadaran dan d) Saya mencoba mencari
penyembuhan yang cara untuk memberi
mendukung kehidupan kompensasi. Misalnya,
saya saat ini dan sekarang saya
menjaha jiwa saya. menggunakan GPS untuk
d) Saya mencoba membantu saya agar
melakukan sesuatu yang tidak tersesat saat
masih bisa saya lakukan mengemudi.
e) Tidak sebaik e) Kakak ipar saya melepas
sebelumnya semua pintu lemari di
f) Tetepi sesuatu yang dapur saya. Jadi saya bisa
maish bisa sayang melihat semua makanan
lakukan. saya di dapur ketika saya
g) Sangat penting untuk masu ke dapur saya
tertawa dan menikmati f) Saya pikir akan lebih
lelucon atau basa-babsi baik jika saya tidak
dengan orang lain mengemudi; dan
h) Kami memiliki masalah sebenarnya secara
ini dan kami tidak dapat mental, jauh lebih baik
mengubahnya, tetapi saya membuat keputusan
kami dapat itu untuk saya. Secara
meningkatkan psikologis, sangat baik
kehidupan kami dengan bahwa saya benar-benar
tidak membiarkannya dalam posisi di mana
membawa mereka berkata, “Oke,
ketidakbahagiaan 24 jam Anda bisa mengemudi”
sehari. dan berhenti begitu saja,
i) Biasanya saya habya dan saya berbalik dan
memperlambar, dan berkata “Terima kasih
mengatur ulang banyak, tetapi saya
ekspektasi saya, sebenarnya tidak akan
berharap bahwa anda mengemudi.”

35
bisa menjadi diri anda
yang dulu untuk
mengobati rasa sakit dan
kesedihan.
j) Saya perlu memiliki
pengetahuan bahwa saya
melakukan apa yang
saya bisa. Karena
seringkali itu begitu
halus, dan saya
mengutuknya sesekali
dan itu membantu.
k) Saya meminta orang
untuk tidak
mengharapkan saya
mengingat untuk
melakukan sesuatu.
l) Ahh! Aku merasa sangat
tidak yaman karena
tidak mengingat banyak
hal ya tuhan, itu
membuatku gila... tapi
kita harus menerima apa
yang tdiak bisa kita ubah
m) Pergi ke gereja; aku
bernyanyi... membuatku
bahagia.

c. Keadaan Umum
1) Tingkat kesadaran
Composmentis dengan nilai GCS 15 yang dihitung dari nilai
E : 5 V:4 M: 6,tekanan darah sistolik/ diastolik 120/80 mmHg.
BB: kg, TB : cm. postur tulang belakang lansia: membungkuk,
BB : 45 Kg, tinggi badan: 146 cm.

36
2) Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku
bangsa/latar belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan,
pekerjaan dan alamat.
3) Riwayat Psikososial Konsep diri
a) Gambaran diri, tressor yang menyebabkan berubahnya
gambaran diri karena proses patologik penyakit.
b) Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan
individu.
c) Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, ketidak
sesuaian antara satu peran dengan peran yang lain dan peran
yang ragu diman aindividu tidak tahun dengan jelas
perannya, serta peran berlebihan sementara tidak mempunyai
kemmapuan dan sumber yang cukup.
d) Ideal diri, keinginann yang tidak sesuai dengan kenyataan
dan kemampuan yang ada.
e) Harga diri, tidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga
klien merasa harga dirinya rendah karena kegagalannya.
4) Hubungan social
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang
disingkirkan atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi
sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi.
Keadaan ini menimbulkan kesepian, isolasi sosial, hubungan
dangkal dan tergantung.
5) Riwayat Spiritual
Keyakinan klien terhadapa agama dan keyakinannya masih
kuat.a tetapi tidak atau kurang mampu dalam melaksnakan
ibadatnmya sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
6) Status mental

37
a) Penampilan klien tidak rapi dan tidak mampu utnuk merawat
dirinya sendiri.
b) Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c) Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat
dinmanifestasikan adanya peningkatan kegiatan motorik,
gelisah, impulsif, manerisme, otomatis, steriotipi.
d) Alam perasaan: klien nampak ketakutan dan putus asa.
e) Afek dan emosi. Respon emosional klien mungkin tampak
bizar dan tidak sesuai karena datang dari kerangka pikir yang
telah berubah. Perubahan afek adalah tumpul, datar, tidak
sesuai, berlebihan dan ambivalen
f) Interaksi selama wawancara. Sikap klien terhadap pemeriksa
kurang kooperatif, kontak mata kurang.
7) Persepsi Persepsi
Melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional terhadap
suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau
kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan,
penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan,
sedang dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang
paling sering ditemukan adalah halusinasi.
a) Proses berpikir. Klien yang terganggu pikirannya sukar
berperilaku kohern, tindakannya cenderung berdasarkan
penilaian pribadi klien terhadap realitas yang tidak sesuai
dengan penilaian yang umum diterima. Penilaian realitas
secara pribadi oleh klien merupakan penilaian subyektif yang
dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang tidak logis
(Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah ulang kebenaran
realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir yang
dapat dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya
asosiasi, pemikiran magis, delusi (waham), perubahan

38
linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir abstrak
sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yang sempit
misalnya ekholali, clang asosiasi dan neologisme.
b) Tingkat kesadaran: Kesadaran yang menurun, bingung.
Disorientasi waktu, tempat dan orang.
c) Memori: Gangguan daya ingat sudah lama terjadi (kejadian
beberapa tahun yang lalu).
d) Tingkat konsentrasi. Klien tidak mampu berkonsentrasi
e) Kemampuan penilaian. Gangguan berat dalam penilaian atau
keputusan.
8) Kebutuhan klien sehari-hari
a) Tidur
klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk
dan gelisah . Kadang-kadang terbangun tengah malam dan
sukar tidur kemabali. Tidurnya mungkin terganggu
sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b) Selera makan
klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya
sedikit, karea putus asa, merasa tidak berharga, aktivitas
terbatas sehingga bisa terjadi penurunan berat badan.
c) Eliminasi Klien
Mungkin terganggu buang air kecilnya, kadang-kadang lebih
sering dari biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-
kadang dapat terjadi konstipasi, akibat terganggu pola
makan.
d) Mekanisme koping
Apabila klien merasa tidak berhasil, kegagalan maka ia akan
menetralisir, mengingkari atau meniadakannya dengan
mengembangkan berbagai pola koping mekanisme. Koping
mekanisme yang digunakan seseorang dalam keadaan

39
delerium adalah mengurangi kontak mata, memakai kata-
kata yang cepat dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri
(Carol A. Miller, 2016).
d. Prinsip Pengkajian Head Toe-toe
1) Kepala : Kebersihan: untuk mengetahui adanya ketombe,
kerontokan rambut serta kebersihan secara umum.
2) Mata : adanya perubahan penglihatan
3) Hidung : untuk mengetahui hidung bersih, tidak ada luka atau
lessi, tidak ada masa, Nyeri pada sinus
4) Mulut dan tenggorokan :sakit tenggorokan, lesi dan luka pada
mulut, perubahan suara, karies.
5) Telinga : penurunan pendengaran, Telinga Perubahan
pendengaran, Rabas, Tinitus, Vertigo Sensitivitas pendengaran,
Alat-alat protesa, Riwayat infeksi.
6) Dada (Torax): mengetahui Bentuk dada dari posisi anterior dan
posterior, ada tidaknya deviasi, ada tidaknya bendungan vena
pada dinding dada.
7) Abdomen: Bentuk distended/flat/lainnya, nyeri tekan, Bising
usus: kali/ menit Genetalia Kebersiha: setiap habis mandi
dibersihkan, tidak ada hemoroid
8) Ekstremitas: Kekuatan otot 5 : melawan grafitasi dengan
kekuatan penuh, tidak menggunakan alat bantu saat jalan, tidak
mengalami nyeri sendi.Integumen : dari hasil pengkajian
didapat : kulit tampak kering, seperti bersisik, kulit tampak
pucat, tampak kotor berwarna hitan karena bekas luka, sering
menggaruk badan (Carol A. Miller, 2016).

40
e. Pengkajian Psikogenotrik
1) Pengkajian Status Fungsional
Tabel 1.5
Indeks Barthel
No Jenis aktifitas Kemampuan Skor
.
1 Makan/minum Mandiri 2
Perlu bantuan orang 1
lain untuk memotong
makanan
Tergantung penuh 0
pada pertolongan
orang lain
2 Pindah dari kursi roda ke Mandiri 3
tempat tidur/sebaliknya Dibantu satu orang 2
Dibantu dua orang 1
Tidak mampu 0
3 Kebersihan diri: cuci Mandiri 1
muka, menyisir, dll Perlu pertolongan 0
4 Keluar/masuk kamar Mandiri 2
mandi Perlu pertolongan 1
Tergantung orang lain 0
5 Mandi Mandiri 1
Tergantung orang lain 0
6 Berjalan (jalan datar) Mandiri 3
Dibantu satu 2
orang/walker
Dibantu kursi roda 1
Tidak mampu 0
7 Naik turun tangga Mandiri 2
Perlu pertolongan 1
Tidak mampu 0
8 Berpakaian/bersepatu Mandiri 2
Sebagian dibantu 1
Tergantung orang lain 0
9 Mengontrol BAB Kontinen teratur 2
Kadang-kadang 1
inkontinen
Inkontinen 0
10 Mengontrol BAK Kontinen teratur 2
Kadang-kadang 1

41
inkontinen
Inkontinen 0
Jumlah 20
Kesimpulan Lansia Mandiri
Skor:
20 = lansia mandiri
12-19 = ketergantungan ringan
9-11 = ketergantungan sedang
5-8 = ketergantungan berat
0-4 = ketergantungan total.
Tabel 1.6
status kognitif
Short Portable Mental Status Questsionnaire (SPMSQ)
No Pertanyaan Jawaban Nilai (+/-)
.
Tanggal berapa hari ini? Tidak tau -
Hari apa sekarang? Jumat +
Apa nama tempat ini? Tidak tau -
Berapa nomor telepon Di panti -
anda.
Dimana alamat anda (jika
tidak memiliki nomor
telepon)
Kapan anda lahir? Tahun 42 -
Berapa umur anda? Tidak tau -
Siapa presiden Indonesia Tidak tau -
sekarang?
Siapa presiden Indonesia Tidak tau -
sebelumnya?
Siapa nama ibu anda? Lupa -
Angka 20 dikurangi 3=? Tidak dapat -
Dan seterusnya dikurangi menghitung
3
Jumlah 5 5
Kesimpulan: Kerusakan intelektual sedang
Kesalahan 0-2 = Fungsi intelektual utuh
kesalahan 3-4 = kerusakan intelektual ringan

42
kesalahan 5-6 = kerusakan intelektual sedang
kesalahan 7-10 = kerusakan intelektual berat.
Tabel 1.7
Mini Mental Status Exam (MMSE)
Tes Penilaian Skor max Skor
lansia
Orientasi Tanyakan kepada lansia 5 0
tentang waktu:
1. Tahun
2. Hari
3. Tanggal
4. Bulan
5. Tahun
Tanyakan tentang 5 0
tempat (dimana kita
sekarang).
1. Nama Tempat
2. Kelurahan
3. Kecamatan
4. Kabupaten
5. Provinsi
Registrasi Pemeriksa 3 0
membutuhkan 3 nama
benda Meja Kursi
Lemari
(tiap benda disebutkan
dalam satu detik
kemudian meminta
pasien mengingat dan
mengulang kembali tiga
objek yang disebutkan
pemeriksaan)
Perhatian dan Menghitung mundur 5 0
perhitungan mulai dari angka 100
dikurangi 7, berhenti
setelah jawaban kelima
1. 100-7 = 93
2. 93-7 = 86
3. 86-7 = 79
4. 79-7 = 42

43
5. 42-7 = 65
Mengingat Pasien diminta kembali 3 0
kembali mengulang 3 nama
yang tadi disebutkan di
nomor sebelumnya
Meja Kursi Lemari

Bahasa Responden 2 2
menyebutkan tiga
benda yang ditunjuk
pemeriksa
Pengulangan Responden mengulang 1 1
kata-kata yang
diucapkan pemeriksa
: NAMUN JIKA
AKAN TETAPI
Pemeriksa Pemeriksa meminta 3 3
pasien melakukan tiga
perintah.
1. ambil kertas dengan
tangan kanan
2. lipat kertas menjadi 2
bagian
3. letakkan kertas
dilantai
Perintah Pemeriksa menulis satu 1 0
tertulis kata
“TUTUP MATA”
Minta responden
melakukan perintah
yang ditulis pemeriksa
Menulis Pemeriksa meminta 1 0
kalimat pasien menulis satu
kalimat yang bermakna
(Subjek+Predikat+Obje
k+Keterangan)
Menggambark Pasien diminta 1 0
an konstruksi menirukan gambar
dibawah ini

44
Total 8
Kesimpulan: gangguan kognisi berat
Total skor :
24-30 = kognitif normal
17-23 = gangguan kognitif ringan
0- 16 = gangguan kognitif berat.
2. Konsep Diagnosa Demensia
Diagnosis Keperawatan merupakan kesimpulan yang ditarik dari
data yang dikumpukan tentang lansia, yang berfungsi sebagai alat untuk
menggambarkan masalah lansia, dan penarikan kesimpulan ini dapat
dibantu oleh perawat. Diagnosis keperawatan adalah tahap kedua dari
proses keperawatan setelah dilakukannya pengakajian keperawatan.
Diagnosis keperawatan adalah “Clinical Judgment” yang berfokus pada
respon manusia terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupan atau
kerentanan (Vulnerability) baik pada individu, keluarga, kelompok atau
komunitas. diagnosa yang dapat ditegakan pada Demensia ada kerusakan
memori, hambatan komunikasi verbal, risiko jatuh, dan defisit perawatan
diri : mandi (Azizah, 2011).
1) Diagnosa Keperawatan Demensia
Dalam studi kasus ini ditemukan empat diagnosa keperawatan seperti:
a) Kerusakan Memori dengan koden 00131
b) Resiko Jatuh dengan kode 00155
c) Defisit Perawatan Diri dengan kode 00131, dan
d) Hambatan Komunikasi Verbal dengan kode 00051 (Kushariyadi,
2012).

45
3. Intervensi Keperawatan Demensia
1) Diagnosa kerusakan memori dengan kode 00131
Batasan karakteristik: ketidakmampuan membuat ketrampilan yang
telah di pelajari, ketidakmampuan mengingat informasi faktual,
ketidakmampun mengimgat perilaku tertentu yang pernah di lakukan,
tidak mampu mengingat peristiwa yang baru saja terjadi, tidak mampu
menyimpan informasi baru, mudah lupa.
Noc: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
kesadaran klien terhadap identitas personal, waktu dan tempat
meningkat atau baik dengan indikator/ kriteria hasil:
a) Mengenal kapan klien lahir
b) Mengenal orang atau hal penting
c) Mengenal hari bulan tahun dengan benar
d) Klien mampu memperhatikan dan mendengarkan dengan baik
e) Klien dapat menjawab pertanyaan dengan tepat
f) Klien mengenal identitas diri dengan baik dan
g) Klien mengenal identitas orang disekitar dengan tepat
NIC:
a) Stimulasi memori dengan mengulangi pembicaraan secara jelas
diahir pertemuan dengan pasien
b) Mengenali pengalaman masa lalu dengan pasien
c) Mennyediaakan gambar untuk mengenal ingatannnya kembali,
d) Kaji kemampuan klien dalam mengenal sesuatu (jam hari tannggal
bulan tahun)
e) Ingatkan kembali pengalaman masa lalu klien, dan
f)Kaji kemampuan kemampuan klien memahami dan memproses
informasi.

46
2) Diagnosa Resiko Jatuh dengan kode 00055
Batasan karakteristik: Faktor risiko: Dewasa: Usia 65 tahun atau lebih,
Riwayat jatuh, Tinggal sendiri, Prosthesis eksremitas bawah.
Kognitif : gangguan fungsi kognitif
NOC: Kriteria hasil: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24
jam diharapkan klien mmpu untuk:
a) Gerakan terkoordinasi : kemampuan otot untuk bekerjasama secara
volunter untuk melakukan gerakan bertujuan.
b) Kejadian jatuh: tidak ada kejadian jatuh.
c) Pengetahuan: pemahaman penjegahan jatuh.
d) Pengetahuan: kemampuan pribadi.
NIC:
a) Mengidentifikasi defisit kognitif atau fisik yang dapat
meningkatkan potensi jatuh dalam lingkungan tertentu.
b) Mengidentifiksi perilaku dan faktor yang mempengaruhi resiko
jatuh.
c) Mendorong pasien untuk menggunakan tongkat atau alat bantu
berjalan.
d) Sarankan alas kaki yang aman (tidak licin).
e) Dorong aktifitas fisik pada siang hari.(menyapu, menyiram bunga
agar pasien tidak dapat waktu untuk jalan).
f) Pasang palang pegangan keselamatan kamar mandi.
3) Hambatan Komunikasi Verbal dengan kode 00051
Batasan Karateristik: disorientasi orang, ruang, waktu, kesulitan
nmemahami komunikasi, menolak bicara,tidak ada kontak mata, tidak
bicara, ketidak tepatan verbalisasi ketidak mampuan menggunakan
ekspresi wajah.
NOC: Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
x 24 jam klien mampu :
a) Berkomunikasi : penerimaan interpretasi dan ekspresi pesan.

47
b) Lisan, tulisan dan non verbal meningkat,
c) Pengolahan informasi klien mampu untuk memperoleh mengatur,
menggunakan informasi.
d) Mampu memanajemen, kemampuan fisik yang di miliki.
e) Komunikasi ekspresif : (kesulitan berbicara, eksresi, pesan verbal
atau non verbal, yang bermakna.
NIC:
a) Gunakan penerjemah jika diperlukan.
b) Berikan satu kata simpel saat bertemu (selamat pagi)
c) Dorong pasien untuk bicara perlahan.
d) Dengarkan dengan penuh perhatian berdiri didepan pasien .
e) Gunakan kartu baca, gambar, dan lain-lain.
f) Anjurkan untuk berbicara dalam kelompok wisma.
g) Anjurkan untuk memberi stimulus komunikasi.
4) Diagnosa Defisit perawatan diri : ( Mandi) 00108
Batasan karakteristik: ketidakmampuan membasuh tubuh, ketidak
mampuan mengakses kamar mandi, ketidak mampuan mengambil
perlengkapan mandi. Katidakmampuan mengatur air mandi,
ketidakmampuan menjangkau sumber air. Dengan kriteria hasil
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada lansia dengan defisit
perwatan diri selama 3 X 24 jam, diharapkan pasien dapat
meningkatkn perawatan diri selama dalam perawatan, dengan kriteria
hasil:
NOC :
a) Mengambil alat/ bahan mandi.
b) Mandi di bak mandi
c) Mandi dengan bersiram dan menggunakan sabun
d) Mencuci badan bagian atas dan bawah
e) Mengeringkan badan menggunakan handuk.
NIC:

48
a) Mandikan pasien dengan tepat
b) Bantu pasien menyiapkan handuk, sabun dan sampho di kamar
mandi
c) Dorong pasien untuk mandi sendiri
d) Berikan bantuan sampai pasien benar- benar mampu merawat
dirinya secara mandiri.
e) Sediakan lingkungan yg teraupetik dengan memastikan
kehangatan, suasana rileks dan nyaman serta menjaga privasi
pasien (Kushariyadi, 2012).
4. Perencanaan Demensia
Pengertian perencanaan keperawatan gerontik Perencanaan
keperawatan gerontik adalah suatu proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang berguna untuk untuk mencegah, menurunkan atau
mengurangi masalah-masalah lansia. Prioritas masalah keperawatan
Penentuan prioritas diagnosis ini dilakukan pada tahap perencanaan
setelah tahap diagnosis keperawatan. Dengan menentukan diagnosis
keperawatan, maka perawat dapat mengetahui diagnosis mana yang akan
dilakukan atau diatasi pertama kali atau yang segera dilakukan. Terdapat
beberapa pendapat untuk menentukan urutan prioritas.
Berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa) Penentuan
prioritas berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa) yang
dilatarbelakangi oleh prinsip pertolongan pertama, dengan membagi
beberapa prioritas yaitu prioritas tinggi, prioritas sedang dan prioritas
rendah :
a) Prioritas tinggi
Prioritas tinggi mencerminkan situasi yang mengancam kehidupan
(nyawa seseorang).
b) Prioritas sedang
Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak gawat dan tidak
mengancam hidup klien seperti masalah higiene perseorangan.

49
c) Prioritas rendah
Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak berhubungan langsung
dengan prognosis dari suatu penyakit yang secara spesifik, seperti
masalah keuangan atau lainnya (Carol A. Miller, 2016).
5. Pelaksanaan Keperawatan Demensia
Tindakan keperawatan (Implementasi) adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan
diselesaikan. Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau
mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan asuhan
perawatan untuk tujuan yang berpusat pada klien (Potter & Perry, 2005).
Pelaksanaan keperawatan pada Demensia dikembangkan untuk
memantau tanda-tanda vital, melakukan latihan rentang pergerakan sendi
aktif dan pasif, meminta klien untuk mengikuti perintah sederhana,
memberikan stimulus terhadap sentuhan, membantu klien dalam personal
hygiene, dan menjelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan
Demensia (Carol A. Miller, 2016).
6. Evaluasi Keperawatan Demensia
Evaluasi merupakan keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan
antara dasar tujuan keperawatan yang telah ditetapkan dengan respon
perilaku lansia yang tampilkan.
a. Penilaian keperawatan adalah mengukur keberhasilan dari rencana, dan
pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan lansia, maka beberapa kegiatan yang harus diikuti oleh
perawat, antara lain:
1) Mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil yang telah
ditetapkan,
2) Mengumpulkan data yang berhubungan dengan hasil yang
diharapkan.
3) Mengukur pencapaian tujuan.

50
4) Mencatat keputusan atau hasil pengukuran pencapaian tujuan,
5) Melakukan revisi atau modifikasi terhadap rencana
keperawatan bila perlu.
b. Evaluasi hasil: Evaluasi ini berfokus pada respons dan fungsi klien.
Respons perilaku lansia merupakan pengaruh dari intervensi
keperawatan dan akan terlihat pada pencapaian tujuan dan kriteria hasil.
Cara membandingkan antara SOAP (Subjektive-Objektive Assesment-
Planning) dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
S (Subjective) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
lansia setelah tindakan diberikan.
O (Objective) adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan
dilakukan.
A (Assessment) adalah membandingkan antara informasi subjective
dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak
teratasi.
P (Planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisis (Carol A. Miller, 2016)

51
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA LANSIA DENGAN DIMENSIA

A. Kasus
Seorang laki-laki berusia 60 tahun tinggal di PSTW, menurut petugas panti
klien mengalami stroke 3 minggu yang lalu, saat ini mengeluh lupa nama hari,
tanggal dan bulan, klien mengtakan sulit juga mengingat nama-nama orang yang
baru dikenal. Klien mengalami kesulitan untuk melakukan olahraga bersama
kelompok lansia di panti, klien kadang mulai mengalami kesulitan mengingat
dimana meletakkan barang-barang seperti kunci. Saat pemeriksaan fisik di
dapatkan data klien mengalami gangguan pada pergerakan spontan namun masih
mampu melaksanakan aktifitas fisik.
1. Pengkajian
Identitas klien Klien dengan Stroke di Panti Panti Sosial Tresna Werdha
a. Nama : Tn . R
b. Umur : 60 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Pendidikan Terakhir : SMA
f. Pekerjaan sebelumnya : Tukang Asongan
g. Tanggal Masuk Panti : 08 September 2019
h. Tanggal Pengkajian : 10 Januari 2020
i. Sumber Informasi : Anamnesa
Riwayat Masuk Panti : Di bawa oleh dinas sosial
Alasan Masuk Panti : Klien tinggal seornag diri. Tidak ada sanak
saudara
Genogram

: Laki- Laki
: Perempuan

: Meninggal
: Klien

2. Pengkajian Status Fungsional (Barthel Indeks)

No Kriteri Bantuan Mandiri


1 Makan 5 10√
2 Minum 5 10√
Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur,
3 5 10√
sebaliknya
Personal toilet (cuci muka, menyisir rambut,
4 5 10√
gosok gigi)
Keluar masuk toilet (mencuci pakaian, menyeka
5 5√ 10
tubuh, menyiram)
6 Mandi 5√ 10
7 Jalan di permukaan datar 5 10√
8 Mengenakan pakaian 5 10√
9 Bab 5 10√
10 Bak 5 10√
11 Olah raga 5√ 10
12 Rekreasi atau pemantapan waktu luang 5 10√
Total 105
ketergantungan sebagian
Keterangan :
a. ≥ 130 : Mandiri
b. 65-125 : Ketergantungan Sebagian
c. ≥ 60 : Ketergantungan Total

53
3. Pengkajian Status Mental Gerontik (SPMSQ)

No Kriteri Benar Tidak


1 Tanggal berapa hari ini? √
2 Hari apa sekarang? √
3 Tahun berapa ini ? √
4 Apa nama tempat ini? √
5 Berapa umur anda? √
6 Kapan anda lahir? (minimal tahun lahir) √
7 Siapa nama Ibu anda? √
8 Siapa presiden Indonesia sebelumnya? √
9 Lupa meletakkan barang √
Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari
10 √
setiap angka baru, semua secara menurun
Jumlah 5 Fungsi intelektual ringan
Interpretasi Hasil
a. Salah 0-3 = fungsi intelektual utuh
b. Salah 4-5 = fungsi intelektual ringan
c. Salah 6-8 = kerusakan intelektual sedang

4. Pengkajian Status Mental Gerontik (MMSE)

Tes Penilaian Skor max Skor lansia


Orientasi Tanyakan kepada lansia 5 0
tentang waktu:
1. tahun
2. hari
3. tanggal
4. bulan
5. tahun
Tanyakan tentang tempat 5 0
(dimana kita sekarang).
1. nama tempat
2. kelurahan
3. kecamatan
4. kabupaten
5. provinsi
Registrasi Pemeriksa membutuhkan 3 0
3 nama benda Meja Kursi
Lemari
(tiap benda disebutkan

54
dalam satu detik
kemudian meminta pasien
mengingat dan mengulang
kembali tiga objek yang
disebutkan pemeriksaan)
Perhatian dan Menghitung mundur 5 0
perhitungan mulai dari angka 100
dikurangi 7, berhenti
setelah jawaban kelima
1. 100-7 = 93
2. 93-7 = 86
3. 86-7 = 79
4. 79-7 = 42
5. 42-7 = 65
Mengingat Pasien diminta kembali 3 3
kembali mengulang 3 nama yang
tadi disebutkan di nomor
sebelumnya
Meja,Kursi,Lemari

Bahasa Responden menyebutkan 2 2


tiga benda yang ditunjuk
pemeriksa
Pengulangan Responden mengulang 1 0
kata-kata yang diucapkan
pemeriksa
: NAMUN JIKA AKAN
TETAPI
Pemeriksa Pemeriksa meminta 3 3
pasien melakukan tiga
perintah.
1. ambil kertas dengan
tangan kanan
2. lipat kertas menjadi 2
bagian
3. letakkan kertas dilantai
Perintah Pemeriksa menulis satu 1 1
tertulis kata
“TUTUP MATA”
Minta responden
melakukan perintah yang

55
ditulis pemeriksa
Menulis Pemeriksa meminta 1 0
kalimat pasien menulis satu
kalimat yang bermakna
(Subjek+Predikat+Objek+
Keterangan)
Menggambark Pasien diminta menirukan 1 1
an konstruksi gambar dibawah ini

Total 10
Kesimpulan : gangguan kognisi berat
Total skor
a. 24-30 = kognitif normal,
b. 17-23 = gangguan kognitif ringan,
c. 0- 16 = gangguan kognitif berat.

B. Analisa Data
N Masalah
o Data Etiologi keperawatan
1 DS :
- Klien mengatakan tangan
sebelah kiri sering lemah
- Klien mengatakan kaki
sebelah kiri sering kaku
DO :
- Klien terlihat sering Penurunan Gangguan
memegangi tangannya kekuatan otot mobilitas fisik
sebelah kiri
- Klien klien terlihat sulit
untuk berjalan
- Kekuatan otot
3 5
4 5
2 DS : Kelemahan Resiko jatuh
anggota gerak
DO :
- Klien berjalan dengan di
seret
- Klien berjalan dengan

56
berpegangan pada benda-
benda di sekitar
- Skor Skala morse adalah
25
3 DS : Perubahan proses
- Klien mengatakan Degenerasi fikir
mudah lupa akan neuronal dan
demensia
peristiwa yang baru saja progresif
terjadi
- klien mengatakan tidak
mampu mengenali
orang, tempat, dan
waktu
- klien mengatakan selalu
lupa dalam menaruh
suatu
DO :
- klien kehilangan
kemampuan untuk
mengenali wajah,
tempat. Sesuatu
( barang) dan objek
yang sudah dikenalnya
dan
- klien sering mengulang-
mengulang cerita yang
sama karena lupa telah
menceritakanya
- TD : 130/90 mmHg
- S : 37 calcius
- N : 88x/menit

57
- RR : 22x/menit

C. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
b. Resiko jatuh berhubungan dengan kelemahan anggota gerak
c. Perubahan proses fikir berhubungan dengan degenerasi neuronal dan
demensia progresif

D. Perencanaan Keperawatan
D Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
x
1 Setelah di lakukan tindakan - Kaji kemampuan klien dalam
diharapkan gangguan mobilitas fisik melakukan mobilisasi
tidak memburuk, dengan kriteria
hasil : - Damping dan bantu klien saat

Klien meningkat dalam aktifitas fisik mobilisasi


- Latih rentang gerak / ROM
- Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
- Ajarkan klien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.

2 Setelah di lakukan tindakan di - Identifikasi perilaku dan factor


harapkan tidak terjadi jatuh dengan yang mempengaruhi resiko
kriteria hasil:
jatuh
- Kejadian jatuh : tidak ada
- Identifikasi karakteristik
- Pengetahuan: pemahaman
lingkungan yang dapat
terhadap pencegahan jatuh.
meningkatkan potensi untuk
- Perilaku pencegahan jatuh :
jatuh, missal lantai licin dan
tindakan individu atau pemberi
tangga terbuka.
asuhan keperwatan untuk
- Anjurkan klien untuk
meminimalkan faktor resiko yang

58
dapat memicu jatuh di lingkungan menggunakan. tongkat atau alat
individu pembantu berjalan.
- Pantau kemampuan untuk
mentransfer dari tempat tidur ke
kursi dan demikian pula
sebaliknya.
- Ajarkan klien jatuh untuk
meminimalkan cidera.

3 Setelah di lakukan tindakan di - Dekati klien denagn cara


harapkan tidak terjadi jatuh dengan menyenangkan dan kalem
kriteria hasil:
- Jaga lingkungan tetap sederhana
- Mempertahankan fungsi ingatan
dan menyenangkan
yang optimal
- Perkenalkan diri perawat ketika
- Memperlihatkan penerunan dalam
berinteraksi dengam klien
prilaku yang binggung
- Panggil klien dengan
- Menunjukkan respons yang
menyebutkan namanya
sesuai untuk stimulasi visual dan
- Berikan isyarat lingkungan
auditori
untuk orientasi waktu, tempat
- Menunjukkan orientasi optimal
dan orang
terhadap waktu, tempat, dan
orang

59
E. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
Dx Implementasi Evaluasi
1 - Menilai kemampuan klien dalam - Klien dapat mobilisasi dengan
melakukan mobilisasi bantuan benda disekitar
- Mendamping dan bantu klien saat - Klien mampu mebilisai dengan
mobilisasi sendiri
- Melatih rentang gerak / ROM - Klien mampu mengikuti
- Memberikan alat bantu jika klien gerakan ROM
memerlukan - Klien mengatakan tidak
- Menbantu klien merubah posisi menggunakan alat bantu
dan berikan bantuan jika - Klien mampu melakukan
diperlukan. sendiri untuk merubah posisi

2 - Memberitahu perilaku dan factor - Klien mengetahui factor yang


yang mempengaruhi resiko jatuh mempengaruhi resiko jatuh
- Memberitahu karakteristik - Klien mengetahui karakteristik
lingkungan yang dapat lingkungan yang dapat
meningkatkan potensi untuk meningkatkan potensi untuk
jatuh, missal lantai licin dan jatuh, missal lantai licin dan
tangga terbuka. tangga terbuka.
- Menganjurkan klien untuk - Klien mampu untuk
menggunakan. tongkat atau alat menggunakan. tongkat atau alat
pembantu berjalan. pembantu berjalan.
- Memantau kemampuan untuk - Klien mampu untuk
mentransfer dari tempat tidur ke mentransfer dari tempat tidur ke
kursi dan demikian pula kursi dan demikian pula
sebaliknya. sebaliknya.
- Mengajarkan klien untuk - klien mengetahui cara
meminimalkan cidera. meminimalkan cidera.

3 - Mendekati klien dengan cara - Perawat mampu menyenangkan

60
menyenangkan dan kalem klien
- Menjaga lingkungan tetap - Klien mampu menjaga
sederhana dan menyenangkan lingkungan tetap sederhana dan
- Memperkenalkan diri ketika menyenangkan
berinteraksi dengam klien - Klien mampu mem-perkenalkan
- Memanggil klien dengan diri ketika berinteraksi dengan
menyebutkan namanya perawat
- Memberikan isyarat lingkungan - Klien mampu menyebutkan
untuk orientasi waktu, tempat namanya sendiri
dan orang - Klien bisa menyesuaikan
lingkungan untuk orientasi
waktu, tempat dan orang

61
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lanjut usia pasti mengalami masalah kesehatan dengan penurunan sel,
fungsi dan imun serta faktor resiko penyakit meningkat. Contohnya seperti
malnutrisi, gangguan keseimbangan, pendengaran, penglihatan, demensia, dan
lain sebagaimya.
Demensia terjadi karena gangguan fungsi kognitif (Proses mental
memperoleh pengetahuan). Ini berdampak pada pengiriman dan penerimaan
pesan, sehingga lansia mudah lupa, kurang mampu membuat koordinasi atau
salah menangkap pesan. Dampaknya lansia bingung saat menyampaikan pesan,
dan tidak jarang salah dalam menyampaikannya.
B. Saran
Teruntuk tenaga perawat, dalam pencegahan penurunan fungsi kognitif pada
lansia demensia yaitu dengan terapi kolaboratif farmakologis dan terapi non
farmakologis seperti bermain teka teki silang, puzzle, dan lain-lain. Permainan
tersebut dapat memicu daya ingat dan tangkap terkait masalah fungsi kognitif.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Dewi, Sofia. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Budi Utama

G, B. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC) 6 th ed. Missouri: Elsevier


Mosby.

Irawan, H. (2013). Gangguan Depresi pada Lanjut Usia. 11.

Kushariyadi. (2012). Askep Pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika.

Miller, C. A. (2016). Nursing For Wellness in Older Adults, Seventh Edition.


Philadelphia: Wolters Kluwer.

Nugroho, H. W. (2012). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.

Patricia, M. d. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC.


Nur Kholifah, Siti. 2016. Keperawatan Gerontik Kemenkes RI.

http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Keperawatan-Gerontik-Komprehensif.pdf (diakses pada tanggal 09
Maret 2021)

R. Siti Maryam, S., Ns. Mia Fatma Ekasari, S., Rosidawati, S., Ahmad Jubaedi, S., &
S.Pd, I. B. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakrta: Salemba
Medika

Sunaryo, Rahayu, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Andi

Untari, Ida. 2018. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai