Anda di halaman 1dari 10

Jurding

Pendekatan Manajemen pada Creeping Eruption

Oleh :
Fedora Jolie
112018166

Pembimbing :
dr. Juliana, M.Kes, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RS HUSADA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
15 Maret – 17 April 2021
Laporan Kasus

Pendekatan Manajemen pada Creeping Eruption


Sukmawati Tansil Tan*and Yohanes Firmansyah
Jurusan Dermato-Venereologi, Universitas Tarumanagara, Indonesia
*
Penulis korespondensi : Sukmawafi Tansil Tan, Departemen Dermato-Venerologi, Universitas
Tarumanagara, Indonesia

Abstrak
Cutaneous larva migrans (CLM) adalah infeksi zoonosis yang disebabkan oleh penetrasi dan migrasi
larva filariform ke dalam lapisan epidermis kulit yang berasal dari anjing dan kucing, yaitu
Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Larva filariform infektif menembus permukaan
kulit dan bermigrasi dibawah epidermis dengan meninggalkan lesi linier atau serpiginosa yang disebut
“creeping eruption”. Satu kasus CLM dilaporkan dengan keluhan utama sangat gatal dan lesi
serpiginosa dengan papul yang hiperemis. Pengobatan dengan pyrantel pamoate dan mebendazole
tidak efektif dalam kasus ini. Pasien diberi alternatif terapi menggunakan krim permetrin 5% selama 3
hari. Di hari keenam setelah terapi permetrin 5%, lesi mengalami resolusi total.
Kata kunci
Cutaneous larva migrans, permethrin, mebendazole

Pengantar

Latar Belakang

Cutaneous larva migrans (CLM) adalah salah satu kelainan kulit yang terbanyak
didaerah tropis. Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan infeksi kulit yang khas dengan
disebabkan oleh penetrasi larva aktif nematofa dan melakukan migrasi ke epidermis, biasanya
Ancylostoma braziliense. Lokasi yang paling sering berada di daerah ekstremitas bawah
terutama dibagian kaki. Meskipun penyakit ini bisa sembuh sendiri, tetapi perawatan lebih
lanjut seringkali diperlukan dalam banyak kasus.

Etiologi dari cutaneous larva migrans (CLM) adalah infeksi zoonosis yang disebabkan
oleh penetrasi dan migrasi larva filariform (biasanya sejenis parasit cacing tambang) ke
dalam lapisan epidermis kulit melalui kontak dengan kotoran/ feses hewan yang terinfeksi
biasanya anjing dan kucing. Secara klinis, cutaneous larva migrans (CLM) ditandai dengan
lesi eritrematosa yang berkelok-kelok atau serpiginosa dengan menimbul atau menonjol
dengan gejala gatal. Penyakit ini pertama kali dikenalkan oleh Lee, seorang Dokter dari
Inggris, pada tahun 1874. Istilah “Cutaneous larva migrans” diciptakan oleh Crocker pada
tahun 1893, dan pada tahun 1929 etiologi penyakit dikenal sebagai larva Ancylostoma, jadi
terminologi Cutaneous larva migrans (CLM) dikenal Hookworm-related cutaneous larva
migrans (HrCLM).

Selama tahun-tahun ini, istilah HrCLM dan creeping eruption dianggap memiliki arti
yang sama, sedangkan HrCLM sendiri mengambarkan sindrom penyakit sedangkan creeping
eruption merupakan gambaran klinis dengan lesi kemerahan secara linier (serpiginosa),
menonjol dan berpindah ke dalam pola yang tidak teratur.

Cutaneous larva migrans (CLM) sebenarnya self-limiting disease yang sering sembuh
sendiri dalam 2 sampai 8 minggu, namun gejala gatal dapat menjadi parah dalam perjalanan
penyakitnya. Pilihan pengobatan yang direkomendasikan menurut literatur adalah dosis
tungga albendazol 400 mg pada orang dewasa selama 3 sampai 5 hari ( atau 10-15 mg/kg,
dengan dosis maksimum 800 mg per hari untuk kasus anak) untuk meningkatkan
keefektifannya atau dengan ivermectin 12 mg dosis tunggal untuk dewasa (atau 150 µg/kg
dalam kasus anak) atau thiabendazole 10% topikal, tiga kali sehari selama minimal 15 hari.

Terapi lain yang umum digunakan di Indonesia adalah pyrantel pamoate dengan dosis
10 mg/kgBB tersedia dalam bentuk tablet atau sirup. Pyrantel pamoate adalah terapi umum
yang digunakan untuk membasmi sebagian besar jenis penyakit cacing. Mekanisme kerja
obat Pyrantel pamoate dan derivat turunannya dapat menyebabkan depolarisasi dan
meningkatkan frekuensi impuls di otot cacing yang menyebabkan cacing mati. Efek samping
dari pyrantel pamoate jarang dilaporkan dan hanya gejala ringan seperti sakit kepala dan
mual.

Beberapa dekade terakhir telah dilaporkan bahwa jenis larva dan cacing mulai resisten
terhadap golongan antihelmentik benzimidazole (BZ), khususnya domba pada tahun 1983.
Sejalan dengan perkembangan pengobatan dan penggunaan obat antimikroba yang tidak
terkontrol, terdapat juga obat lain yang resisten seperti levamizole (Lev) dan lakton
makrolitik (Ivermektin). Institut pertanian Bogor juga melaporkan telah terjadi beberapa
resistensi cacing untuk obat antihelmentik benzimidazole, levamizole dan lakton makrolitik.
Meskipun belum ada data melaporkan besarnya hambatan yang terjadi di Indonesia, sebuah
laporan di Australia melaporkan bahwa 80% peternakan domba telah dinyatakan resisten
terhadap benzimidazole dan levamisol.

Sampai jurnal ini ditulis, belum ada data nyata yang melaporkan kejadian resistensi
pengobatan dalam kasus Cutaneous larva migrans (CLM). Ini laporan literatur bertujuan
untuk melaporkan kemungkinan memulai kasus resistensi antihelmentik pada manusia.

Laporan Kasus

Seorang anak laki-laki berusia 1,5 tahun dengan keluhan gatal-gatal dan kemerahan di
bokong kanan dan kiri sejak 10 hari yang lalu (Gambar 1). Ruam pertama kali muncul
sebagai jerawat yang berwarna merah menurut ibunya itu adalah gigitan serangga. Setelah
beberapa hari, bintik merah memanjang membentuk curva panjang, berkelok-kelok, menonjol
dan memanjang. Kelainan kulit membuat anak sulit tidur dan terlihat terus-menerus
menggaruk pantat. Riwayat kebiasaan anaknya sering bermain dengan kucing disekitar
rumah dan suka duduk di tanah.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran komposmentis dengan keadaan umum


baik. Di permukaan kulit dari bokong kanan dan kiri tampak gambaran lesi berliku (papul
serpiginosa) dengan lesi hiperemis disekitar kulit (Gambar 1). Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat didiagnosa pasti bahwa Cutaneous larva migrans. Pasien diberikan
terapi pyrantel pamoate 125 mg dan dalam bentuk campuran krim mometasone 10 gram
dengan mebendazole 500 mg (Gambar 1). Pasien tidak mengontrol ulang ke dokter dan
kembali terlambat 1 bulan dengan keluhan lesi lebih luas dengan gejala lebih gatal terutama
dalam beberapa hari terakhir (Gambar 2). Mengingat anak tersebut berusia 1,5 tahun,
bertubuh kurus dan kulit halus dan lesi di sekitar daerah anus, tidak mungkin melakukan
terapi seperti semprotan Kloretil yang telah dilakukan dalam kasus CLM, sehingga krim
permetrin topikal 5% yang telah dipakai sebagai pengobatan skabies, dengan harapan bisa
juga untuk membunuh larva (larvacid) di CLM. Sebelum kita memberikan terapi, kita
memberi penjelasan kepada ibu pasien mengenai semua pertimbangan diatas dan ibu pasien
menyetujui dengan selalu berkomunikasi dengan kami. Permetrin topikal diterapkan dengan
cara dioleskan hanya pada lesi sebanyak 2 kali sehari. Akhirnya kami memutuskan
memberikan permetrin 5% krim yang dioleskan 2 kali ke daerah yang ada kelainan kulit.

Pasien kembali untuk melakukan pemeriksaan ulang 3 hari kemudian dengan keluhan
bahwa gejala telah menghilang dan hanya sisa-sisa lesi yang telah mengering (Gambar 3).
Pasien sudah dijadwalkan untuk kontrol terakhir 3 hari kemudian dengan adanya lesi yang
penyembuhan total dengan gejala menghilang dan meninggalkan bercak kehitaman yang
disebut hiperpigmentasi post inflamasi (Gambar 4). Pasien kembali untuk kontrol 1 minggu
setelah pengobatan terakhir dan dikonfirmasi bahwa infeksi telah benar-benar teratasi
(Gambar 5).
Diskusi

Cutaneous larva migrans (CLM) juga dikenal sebagai creeping eruption adalah lesi
hiperemis serpiginosa dengan gejala gatal yang disebabkan oleh migrasi larva cacing
tambang melalui lapisan epidermis kulit. Parasit yang paling sering ditemukan adalah
Ancylostoma braziliense (umumnya pada anjing dan kucing) dan Ancylostoma caninum
(umumnya pada anjing). Larva lainnya penyebab CLM adalah Uncinaria stenocephala
(cacing tambang pada anjing), Bunostomum phlebotomum (cacing tambang ternak), dan
Ancylostoma ceylonicum (cacing tambang pada anjing dan kucing). Ancylostoma caninum
dan Uncinaria stenocephala telah ditemukan di rubah.

Siklus hidup Cutaneous larva migrans adalah cacing tambang dewasa menyerang usus
sel inang hewan tertentu. Telur parasit diekskresikan dengan kotoran dan mencemari tanah
atau pasir disekitar limbah. Dalam kondisi lingkungan yang optimal, telur berembrio menetas
di permukaan tanah dalam waktu 2 hari menjadi larva rhabditiform. Larva rhabditiform hidup
dengan memakan bakteri yang ada di tanah dan/atau tinja. Larva rhabdiform ini menjadi
matur dan melepaskan kulitnya 2 kali dalam 5-10 hari untuk menjadi larva filariform yang
infektif. Larva filariform dapat bertahan hidup selama beberapa minggu samapai beberapa
bulan dalam kondisi optimal. Larva Ancylostoma braziliense, larva ini penyebab yang paling
sering dengan ukuran rata-rata sekitar 6,5 mm dan memiliki diameter 0,5 mm.

Manusia adalah inang yang tidak disengaja sebagai tempat infeksi. Infeksi pada
manusia diawali dengan penetrasi larva filariform secara langsung dengan menembus lapisan
stratum korneum. Larva ini biasanya hidup di tanah/ pasir yang dangkal,didalamnya beberapa
inci tempat telur disimpan. Pantai atau lapangan terbuka adalah reservoar umum untuk larva
filariform. Infeksi manusia in biasanya terjadi saat manusia berjalan tanpa alas kaki atau
dengan sepatu tipe terbuka atau berbaring tanpa pakaian diatas pasir/ tanah, terutama pantai
berpasir yang telah terkontaminasi kotoran anjing dan kucing yang terinfeksi. Larva juga bisa
ditemukan dipasir dan tanah gembur di lokasi konstruksi, perkebunan, ladang atau dibawah
rumah. Infeksi serentak atau kombinasi antara spesies cacing tambang biasa terjadi.

Patofisiologi penetrasi larva dilakukan dengan melepaskan enzim protease dan


hialuronidase oleh larva filariform sehingga larva filariform dapat menembus kulit yang
terbelah, folikel rambut, kelenjar keringat bahkan kulit yang utuh dengan cara mencerna
keratin dilapisan epidermis. Setelah penetrasi, larva filariform melepaskan kutikula. Sampai
kemudian, larva tidak memiliki bagian mulut yang berfungsi. Setelah kutikula dilepaskan,
larva mulai bermigrasi sekitar 7 hari. Selama proses penetrasi larva terjadinya defisiensi
enzim kolagenase dan larva tidak mampu menyerang dermis tetapi juga tidak bisa mencapai
pembuluh darah atau pembuluh limfatik untuk mencapai usus dan menyelesaikan siklus
hidupnya seperti pada siklus hidup di sel inang hewan (anjing atau kucing). Proses defisiensi
kolagenese menyebabkan larva tetap terbatas pada epidermis. Larva berjalan tanpa tujuan di
epidermis dengan berkelok-kelok (serpiginosa) dengan kecepatan 2 mm ke 2 cm per hari.
Kecepatan migrasi bervariasi tergantung pada spesies larva, tetapi umumnya tidak melebihi 1
cm sehari. Larva biasanya mati di sub jaringan kulit dalam 2- 8 minggu tanpa bisa
menyelesaikan siklus hidup mereka dalam tubuh manusia. Dengan kata lain, manusia adalah
sel inang buntu bagi larva. Migrasi larva ke organ dalam sangat jarang dilaporkan tetapi bisa
terjadi dalam kasus yang jarang terjadi.

Rasa panas atau gatal bisa dialami dalam waktu 30 menit setelah larva penetrasi ke
kulit diikuti dengan munculnya lesi papul cokelat kemerahan atau erupsi nonspesifik dalam
beberapa jam di lokasi penetrasi. Masa inkubasi sekitar 5 sampai 15 hari, dengan rentang
beberapa menit hingga 165 hari. Pada kasus yang jarang, CLM bisa muncul dengan lesi
bilateral, sedangkan pada kasus parah CLM bisa memiliki banyak lesi. Shih, dkk melaporkan
seorang pasien dengan CLM memiliki lesi erupsi mirip seperti urtikaria setelah melakukan
perjalanan ke Thailand. Oleh karena itu penting untuk mengetahui riwayat pasien terpapar
pasir atau tanah terkontaminasi. CLM biasanya muncul dengan gejala dermatologis tunggal,
tetapi dalam kasus yang jarang dapat dikaitkan dengan sindrom Loffler yang ditandai dengan
infitrat paru dan eosinofilia perifer.

Menurut literatur, terapi lini pertama CLM adalah ivermectin (150-200 µg / kg berat
badan) dosis tunggal atau albendazole (400-800 mg / hari) dosis tunggal secara oral selama 3
hari dengan angka kesembuhan mulai dari 94 % hingga 100 %. Pengobatan alternatif lain
yang aman dan efektif adalah tiabendazole topikal dan albendazole topikal dioleskan dua kali
sehari selama 10 hari (obat ini tidak tersedia di semua negara). Metode pengobatan lain
adalah metode invasif seperti cryotherapy / operasi beku menggunakan nitrogen cair dan etil
klorida yang tidak direkomendasikan lagi.

Laporan kasus dalam 2 tahun terakhir, ditemukan beberapa pilihan alternatif dalam
pengobatan CLM. Laporan kasus dari Andreas, dkk. yang menggunakan krim ivermektin 1%
sekali sehari pasien laki-laki berusia 20 tahun dengan hasil gejala menghilang dalam 3 hari
dan hanya muncul hiperpigmentasi pasca inflamasi pada hari ke-14. Laporan kasus kedua
dari Fischer, dkk. juga menggunakan krim ivermectin 1% dua kali sehari pada wanita usia 34
tahun dengan hasil remisi total setelah penggunaan 2 minggu. Laporan kasus ketiga berasal
dari Francesca, dkk. memberi krim ivermektin 1% dua kali sehari selama 3 hari dengan total
resolusi lesi serpiginous dan lesi kulit itu sembuh total pada hari ke-5.
Selain keberhasilan pengobatan baru dengan krim ivermektin, terdapat laporan kasus
Veraldi, dkk. yang bertentangan dengan melaporkan 14 pasien yang diobati (12 pasien
dewasa dan 2 pasien anak-anak) dengan krim ivermektin 1% dua kali sehari selama 2 minggu
dengan ditutup kasa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa krim ivermektin 1% tidak
efektif dalam pengobatan CLM dan hanya ditemukan 1 kasus anak yang mengalami remisi
total.

Dari laporan kasus di atas dan dibandingkan dengan laporan kasus yang dilacak
bahwa ada kemungkinan ditemukannya kasus CLM yang akan sulit disembuhkan dengan
pengobatan umum atau dalam pengobatan dengan ivermektin, albendazole dan turunannya.
Hal yang sulit ini disebabkan oleh berbagai faktor yaitu kemungkinan adanya mekanisme
resistensi obat pada larva infeksius. Hipotesis ini diajukan karena mulai muncul kasus
resistensi anti helmentik dari kelompok benzimidazole (BZ) dan golongan obat lain seperti
levamizole (Lev) dan macrolitic lactones (Ivermectin) sejak tahun 1983.

Dalam laporan kasus ini juga ditemukan pengobatan yang tidak efektif dengan
rejimen umum yaitu pyrantel pamoate dan mebendazole. Mengingat anak tersebut berusia 1,5
tahun, dengan kulit tipis dan halus, serta lesi di sekitar anus, tidak memungkinkan untuk
dilakukan terapi seperti Chloretyl spray yang sudah dilakukan pada kasus CLM di Indonesia
selama puluhan tahun, Alternatif pengobatan lain CLM menurut literatur adalah ivermectin
oral dan topikal yang sangat sulit didapatkan terutama di Indonesia. Oleh karena itu
diperlukan pengobatan alternatif lain yang lebih baik untuk mengatasi hal tersebut. Salah satu
alternatif yang bisa digunakan adalah permetrin.

Permetrin adalah derivat piretroid atau sintetis yang digunakan oleh skabisida topikal
dan pedikulisida, ovisidal, dengan angka kesembuhan 97-99% untuk kutu rambut, dapat
ditoleransi lebih baik daripada lindane, tersedia dalam bentuk topikal. Piretroid adalah
bagian utama insektisida neurotoksik. Piretroid adalah analog sintetik dari ester insektisida
alami asam krisanthemum (piretrin I) dan asam piretat (piretrin II), yang awalnya terdapat
pada bunga Chrysanthemum cinerafolis. Bagian piretrin memiliki tiga variasi alami yang
menimbulkan rangkaian piretrin I dan II, jasmolin I dan II, serta cinerin I dan II.
Piretrin dan piretroid dapat mempengaruhi sistem saraf perifer dan pusat serangga.
Piretrin dan piretroid awalnya merangsang sel saraf untuk menghasilkan pelepasan berulang
dan akhirnya menyebabkan kelumpuhan. Efek piretroid yang mempengaruhi beberapa
pelepasan pompa natrium berulang. Modifikasi yang dilakukan oleh piretroid menyebabkan
pompa natrium terus terbuka dan nonaktif sehingga terjadi reabsorpsi natrium yang
berlebihan dan menyebabkan eksitasi sel saraf yang berlebihan dengan mengakibatkan
kerusakan sistem saraf perifer target (serangga atau cacing).

Fase diatas merupakan kerusakan awal yang disebabkan oleh piretrin dan piretroid
pada serangga atau cacing yang sebenarnya hanya melumpuhkan (sublethal). Amplitudo arus
natrium berlanjut tanpa berkurang sampai tingkat hipereksitabilitas melebihi kapasitas sel
untuk mempertahankan aktivitas pompa natrium. Lipofilisitas yang lebih tinggi memberikan
tingkat kelumpuhan yang lebih baik karena piretroid dapat menembus ke target lebih cepat.

Piretroid tipe I (mis. Permetrin) umumnya merupakan agen paralitik yang baik karena
kemampuannya untuk menginduksi pengeluaran akson berulang, kehilangan kesadaran,
koordinasi dan hiperaktif pada tubuh target (serangga atau cacing) diikuti oleh kelumpuhan
yang lebih serius.

Derivat tipe II (deltametrin), memiliki gugus siano dalam posisi a-benzilik (karbon-a
dari 3-fenoksibenzil alkohol) dan menyebabkan fase kejang yang dikatakan dapat membunuh
parasit yang lebih banyak karena depolarisasi akson dan terminal saraf tidak dapat
dikembalikan. Perbedaan efek fisiologis dijelaskan dengan fakta bahwa durasi arus natrium
yang dimodifikasi oleh piretroid Tipe I hanya berlangsung selama puluhan atau ratusan
milidetik, sedangkan durasi piretroid Tipe II berlangsung selama beberapa detik atau lebih
lama. Tetapi piretroid tipe II jarang dan tidak cocok untuk pengobatan pada manusia.

Laporan kasus ini merupakan batu loncatan untuk mengungkap paradigma baru
kemungkinan permetrin topikal dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk
cutaneous larvae migrans (CLM) yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan rutin.

Kesimpulan

Cutaneous larva migrans (CLM) adalah infestasi zoonosis yang disebabkan oleh
penetrasi dan migrasi larva filariform ke lapisan epidermis kulit yang berasal dari anjing dan
kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Pada kasus CLM
dilaporkan anak usia 1,5 tahun, dengan gejala gatal dengan lesi papule eritema serpiginosa.
Pengobatan dengan sirup pyrantel pamoat 125 mg dosis tunggal dan mebendazol topikal
selama 3 minggu tidak efektif dalam kasus ini. Pasien diberikan terapi alternatif
menggunakan krim permetrin 5% dua kali sehari yang diaplikasikan hanya pada area lesi.
Pada hari ketiga setelah terapi lesi membaik dan orang tua pasien merasa sangat puas, lesi
mengalami resolusi spontan setelah penggunaan 3 hari, dan semua lesi sembuh total setelah
10 hari dengan Hiperpigmentasi pasca inflamasi.

Anda mungkin juga menyukai