Di susun oleh :
Kelompok 4
Nama anggota :
1. Melati putri aridhany (202005009)
2. Meila setiawati (202005036)
3. Nafa khatus saharia (202005013)
4. Musyarifah nurul ummah (202005015)
5. Nul lailly luthfiana shuka (202005023)
20
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya yang
berlimpah dalam pembuatan makalah ini. makalah ini merupakan tugas kelompok kami yang
bertema gender dan tipe keluarga moral dalam bekerja di lingkungan mulkultur.
Ada kebanggaan tersendiri jika makalah ini bisa selesai dengan hasil yang baik.
Dengan keterbatasan kami dalam membuat riset, maka cukup banyak hambatan yang kami
temui saat mengerjakan. Dan jika makalah ini pada akhirnya bisa diselesaikan dengan baik
tetulah kami sangat bersyukur.
Untuk itu kami sampai kan rasa terima kasih kepada bu naning yang bertanggung
jawab atas tugas ini.
Tak ada yang bisa kami berikan selain doa dan rasa terima kasih yang tulus kepada
para pendukung. Namun tidak lupa juga masukan yang berguna seperti saran atau kritik dari
para pembaca sangat diharapkan oleh kami. kami sangat berharap bahwa laporan makalh ini
akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan menambah pengetahuan bagi kita
semua.
Penulis
Kelompok 4
19
Daftar isi
halaman
Cover................................................................................................................ 1
Kata pengantar................................................................................................. 2
Daftar isi........................................................................................................... 3
I. Pendahuluan
a. Latar belakang ................................................................................ 4
b. Daftrapustaka ................................................................................. 20
3
20
BAB I
Pendahuluan
a. Latar belakang
Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-
nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota
suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu bangsa dapat
dinilai melalui karakter moral masyarakatnya. Manusia dalam hidupnya harus taat dan
patuh pada norma-norma, aturan-aturan, adat istiadat, undang-undang dan hukum yang
ada dalam suatu masyarakat. Berkaitan dengan norma-norma, aturanaturan, adat istiadat,
undang-undang dan hukum yang mengatur kehidupan manusia dibuat atas kesepakatan
sekelompok manusia atau aturan yang berasal dari hukum Tuhan (wahyu) agar manusia
dapat hidup sesuai dengan norma yang disepakati dalam komunitas kehidupan manusia
maupun hukum dari Tuhan.
19
Moral merupakan tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan yang
digunakan dalam tumbuh kembang individu atau kelompok sosial untuk mencapai
kematangan. Moral bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa (remaja)
sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pandangan masyarakat. Di
sisi lain tiadanya moral sering kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya
kenakalan remaja (Sarwono, 2010: 25).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang "Gemah Ripah Loh Jinawi".
Selain kekayaan alam yang melimpah juga terdiri dari berbagai bahasa, pulau, suku, dan
keyakinan (agama). Tercatat, bangsa ini memiliki 6 agama yang diakui, 1211 bahasa
(BPS 2010), 1340 suku (BPS 2010), dan 16.056 pulau yang terverifikasi.
Heterogenitas struktural bangsa ini harus tetap dilestarikan untuk menuju negara
berdaulat dan bermartabat. Keterlibatan Indonesia menjadi tuan rumah dalam acara
United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) di Bali 2014 lalu menjadi salah satu
bukti bangsa ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keramahan dalam kebhinnekaan.
Dunia internasional pun mengakui kedewasaan Indonesia dalam mengatasi perbedaan-
perbedaan
Jika diamati, semua bermuara dari peran keluarga. Formulanya sederhana, jika
sejak lahir setiap anak dalam keluarga dididik untuk saling menghormati dan menyayangi
sesama, maka sikap baik tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Dan
masyarakat yang baik otomatis akan menjadikan negara yang kokoh dan berkharisma.
Maka tak salah jika keluarga merupakan salah satu benteng utama pertahanan negara.
Keluarga merupakan cikal bakal dan tolok ukur pembentukan karakter manusia.
Maka, pendidikan yang dikonsumsi oleh keluarga harus berada dalam koridor kebenaran.
Setiap anak akan melihat segala tindakan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Anak
akan tumbuh menjadi pribadi luhur jika sikap positif lebih mendominasi dari pada sikap
negatif. Begitu pun sebaliknya
Dan pluralistis bangsa ini bukan hanya dalam bentuk skala besar, tapi juga dalam
unit terkecil keluarga. Artinya, dalam satu keluarga bisa terdiri dari penganut dua atau
tiga agama berbeda, atau mungkin juga terdiri dari suku, dan keturunan yang tak sama.
Jika hal ini tidak dibekali dengan modal latar belakang (background) yang baik, maka
akan mudah menimbulkan konflik.
5
20
19
Namun, dalam realita keseharian nasib bangsa belum selaras dengan yang dideskripsikan
negara-negara lain, ternyata segala bentuk keragaman masih sering kali menyulut
permasalahan. Mulai dari hal sepele hingga yang benar-benar serius. Masyarakat kita
belum mampu menghargai perbedaan karena minimnya pengetahuan yang seharusnya
(dalam hal ini) dimulai dari keluarga
. Masalahnya, orang tua zaman now hanya sibuk dengan aspek koginitif teoritis
dari pada kompetensi interpersonal anaknya. Anak dicetak agar bisa lulus lembaga
pendidikan ternama dengan mengabaikan pendidikan berempati, yang pada akhirnya anak
tumbuh menjadi pribadi yang antipati. Bahkan, akhir-akhir ini sering kali muncul gesekan
dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat efek dari kontestasi politik. Drama
politik yang penuh dengan intrik saling menjatuhkan menguatkan masyarakat semakin
alergi dengan istilah ?perbedaan?. Jika hal ini dibiarkan maka akan memupuk generasi
yang apatis dengan kesatuan dalam keikatan.
Sering kali terjadi keluarga hancur dikarenakan adanya perbedaan dalam satu
atap. Orangtua tidak menganggap anaknya karena memeluk agama berbeda. Sesama
saudara tidak akur lantaran perbedaan warna kulitnya. Lebih ironis, komponen keluarga
berantakan karena partai yang diusung tidak sama. Indikasinya, anak yang tumbuh di
lingkungan keluarga yang tidak mengajarkan pentingnya rasa saling menghormati, akan
menjadi pribadi angkuh dan temperamental. Mudah tersulut emosi, dan suka terlibat
permusuhan. Terlebih lagi di media sosial mereka gampang tergoda dengan berita palsu
(hoax) dan ujaran kebencian (hate speech).
Sering terlihat di media sosial, para remaja kita saling menghujat yang
disebabakan perbedaan-perbedaan. Maka, untuk mencegah tindakan negatif tersebut,
sangat penting diterapkan pendidikan multikultural dalam keluarga?. Tujuannya, menurut
Clive Black dalam Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Ngainun Naim &
Achmad Syauqi, 2010) bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku kebangsaan
memiliki kebebasan yang sama.
7
20
b. Rumusan masalah
c. Tujuan masalah
BAB II
9
20
11
20
13
20
etnis, agama, atau kelas sisoalnya, lalu mengorbankan konflik dan perang di antara
berbagai kelompok tersebut. Secara kultural, agen-agen sosialisasi utama seperti
keluarga dan lembaga pendidikan tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap
toleran-inklusif dan tidak manpu mengajarkan hidup bersama secara harmonis
dalam masyarakat yang multikultural.
Menyikapi realitas masyarakat dunia seperti ini, yang belum memahami arti
hidup bersama dalam kehidupan yang multicultural, dan dunia pendidikan masih
gagal dalam menanamkan sikap hidup toleran inklusif, maka UNESCO menetapkan
fungsi utama pendidikan menjadi empat, yaitu: leaarnig to know, learning to do,
learning to be, dan learning to live together. Fungsi ke-empat ini, learning to live
together adalah fungsi untuk mengembangkan pembelajaran yang menghargai
perbedaan dan kemajemukan. Dari sini konsep pendidikan multicultural digagas dan
diwacanakan sebagai solusi pengembangan pendidikan yang relevan untuk
masyarakat heterogen.
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep
demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah
melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara
orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara
integritas nasional. Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan
budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal
peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to
the interest of the state and the dominant society. While many people... had to
discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the
alien norms and customs that were consolidated and reproduced through
national institutions, including the educational and legal system.
Kata R. Stavenhagen, agama, bahasa, dan kelompok minoritas dalam sebuah
Negara, seperti penduduk pribumi dari suku pedalaman seringkali menjadi pihak
termarjinalkan dan bahkan terkadang mereka harus mengubur kepentingannya,
karena kepentingan Negara dan kelompok dominan dalam masyarakat. Selain itu
terdapat kelompok masyarakat yang terpaksa mengubur budaya, bahasa, agama,
dan tradisi mereka, karena harus diganti dengan norma dan budaya dominan, yang
diperkuat oleh sebuah institusi termasuk di dalamnya system pendidikan.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca
kemerdekaannya, 4 Juli 1776, baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari
berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika
mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan
sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-
citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat
berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui
masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu
diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat,
maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori
oleh John Dewey.
15
20
17
20
19
20
BAB III
Kesimpulan
1. Dalam keluarga, kehidupan seseorang dimulai, dimana seorang anak mendapat
perlindungan dengan nyaman, seorang istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan
haknya dan melakukan tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami memberikan
kenyamanan, ketentraman, melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga.
Banyak hal dimulai dari rumah, anak tumbuh dan berkembang, mengenal
dirinya, ayah dan ibunya, saudarasaudaranya, belajar memahami segala sesuatu
yang terjadi di sekitar lingkungannya termasuk mengenal berbagai perbedaan
bahkan konflik yang terjadi
2. Persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial
dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan
pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-
tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak
seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak lakilaki) dan perempuan
(ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-
hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada
kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpendidikan, misalnya)
relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika
ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi
yang seimbang antara perempuan dan lakilaki masih jauh dari harapan.
3. Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagai tugas/peran ibu,
ayah, anak laki-laki, atau anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran
yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-peran yang melekat pada
perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada streotype yang
dilekatkan pada perbedaan gender. Kesalahan mendasar pada sistem keluarga,
lebih banyak diakibatkan pola pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap
anak-anaknya yang masih berorientasi pada dogma-dogma patriarkis.
4. Image anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat feminimnya
sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan
segala atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola
pendidikan yang diberikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Padahal,
setiap anak baik perempuan maupun laki-laki memiliki sifat feminim dan
maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat yang lebih
dominan. Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam keluarga
yang tidak seimbang, bahkan menempatkan posisi perempuan sebagai
subordinat banyak menimbulkan konflik dalam keluarga yang secara tidak sadar
konflik tersebut akan berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan
konflik kemanusiaan.
19
Daftar pustaka
Megawangi, Ratna, 1999: Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender,
Penerbit Mijan, Bandung.
Hayat, Edi dan Surur Maifhahus, 2005: Perempuan Multikultural: Negosiasi dan
Representasi,
Penerbit Desantara, Jakarta.
Hartiningsih, 2007: Artikel Harian Kompas
Munti, Ratna Batara dan Anisah Hindun, 2005: Posisi Perempuan dalam HukumIslam di
Indonesia, LBK-APIK Jakarta, Jakarta Timur.
Widaningsih, Lilis, 2007: Responsifitas Gender dalam Penulisan Bahan Ajar , Departemen
Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Achmad Fedyani Saifuddin. 2006. Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Antonio Garamsci. 1997. Selections From the Prison Note Books. New York:
International Publisher. Dalam Livingstone, DW. 1976. On Hegemony in Corporate
Capitalist States. Materialist Structure, Ideological Forms, Class Consciousness and
Hegemonic acts. Sosiological Inquiry. 46. Vol. 3. No. 4.
21