Anda di halaman 1dari 21

GENDER DAN TIPE KELUARGA MORAL

DALAM BEKERJA DI LINGKUNGAN


MULKULTUR

Di susun oleh :

Kelompok 4
Nama anggota :
1. Melati putri aridhany (202005009)
2. Meila setiawati (202005036)
3. Nafa khatus saharia (202005013)
4. Musyarifah nurul ummah (202005015)
5. Nul lailly luthfiana shuka (202005023)
20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya yang
berlimpah dalam pembuatan makalah ini. makalah ini merupakan tugas kelompok kami yang
bertema gender dan tipe keluarga moral dalam bekerja di lingkungan mulkultur.

Ada kebanggaan tersendiri jika makalah ini bisa selesai dengan hasil yang baik.
Dengan keterbatasan kami dalam membuat riset, maka cukup banyak hambatan yang kami
temui saat mengerjakan. Dan jika makalah ini pada akhirnya bisa diselesaikan dengan baik
tetulah kami sangat bersyukur.

Untuk itu kami sampai kan rasa terima kasih kepada bu naning yang bertanggung
jawab atas tugas ini.

Tak ada yang bisa kami berikan selain doa dan rasa terima kasih yang tulus kepada
para pendukung. Namun tidak lupa juga masukan yang berguna seperti saran atau kritik dari
para pembaca sangat diharapkan oleh kami. kami sangat berharap bahwa laporan makalh ini
akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan menambah pengetahuan bagi kita
semua.

Pasuruan, 17 november 2020

Penulis

Kelompok 4
19

Daftar isi
halaman

Cover................................................................................................................ 1

Kata pengantar................................................................................................. 2

Daftar isi........................................................................................................... 3

I. Pendahuluan
a. Latar belakang ................................................................................ 4

b. Rumusan masalah ............................................................................ 7

c. Tujuan masalah ............................................................................... 7


II. Pembahasan
a. Konsep dan kesetaraa gender ............................................................ 8

b. Hubungan Relasi Gender dalam Keluarga Dapat Dibangun ................. ..11

c. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Multikultural ............................. .13

d. hakikat pendidikan multikultur ..........................................................16


III. Penutup
a. Kesimpulan .....................................................................................19

b. Daftrapustaka ................................................................................. 20

3
20

BAB I
Pendahuluan
a. Latar belakang

Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh


perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya yang panjang.
Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis
sebagian besar justru terbentuk melalu proses sosial dan kultural. Gender bisa
dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran)
terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian
peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Istilah gender
telah menjadi isu penting dan sering diperbincangkan akhir-akhir ini. Banyak orang yang
mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan dengan perempuan, sehingga setiap
kegiatan yang bersifat perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan gender hanya
dilakukan dan diikuti oleh perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki.

Perempuan merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup besar, bahkan di


seluruh dunia melebihi jumlah laki-laki. Namun perempuan yang yang berpartisipasi di
sektor publik berada jauh di bawah laki-laki, terutama di bidang politik. Rendahnya
partisipasi perempuan di sektor publik bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di
seluruh dunia, termasuk juga di negara negara maju. Sebagai contoh dalam bidang
pendidikan kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki.
Ketertinggalan perempuan tersebut tercermin 2 dalam presentase perempuan buta huruf
(14,47% tahun 2001) yang lebih besar dibandingkan leki-laki (6,87%). Data tersebut
menegaskan bahwa partisipasi perempuan di sektor publik dalam bidang pendidikan
masih rendah (Wirutomo, 2012:188-189).

Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-
nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota
suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu bangsa dapat
dinilai melalui karakter moral masyarakatnya. Manusia dalam hidupnya harus taat dan
patuh pada norma-norma, aturan-aturan, adat istiadat, undang-undang dan hukum yang
ada dalam suatu masyarakat. Berkaitan dengan norma-norma, aturanaturan, adat istiadat,
undang-undang dan hukum yang mengatur kehidupan manusia dibuat atas kesepakatan
sekelompok manusia atau aturan yang berasal dari hukum Tuhan (wahyu) agar manusia
dapat hidup sesuai dengan norma yang disepakati dalam komunitas kehidupan manusia
maupun hukum dari Tuhan.
19

Moral merupakan tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan yang
digunakan dalam tumbuh kembang individu atau kelompok sosial untuk mencapai
kematangan. Moral bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa (remaja)
sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pandangan masyarakat. Di
sisi lain tiadanya moral sering kali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya
kenakalan remaja (Sarwono, 2010: 25).

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang "Gemah Ripah Loh Jinawi".
Selain kekayaan alam yang melimpah juga terdiri dari berbagai bahasa, pulau, suku, dan
keyakinan (agama). Tercatat, bangsa ini memiliki 6 agama yang diakui, 1211 bahasa
(BPS 2010), 1340 suku (BPS 2010), dan 16.056 pulau yang terverifikasi.

Heterogenitas struktural bangsa ini harus tetap dilestarikan untuk menuju negara
berdaulat dan bermartabat. Keterlibatan Indonesia menjadi tuan rumah dalam acara
United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) di Bali 2014 lalu menjadi salah satu
bukti bangsa ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keramahan dalam kebhinnekaan.
Dunia internasional pun mengakui kedewasaan Indonesia dalam mengatasi perbedaan-
perbedaan

Jika diamati, semua bermuara dari peran keluarga. Formulanya sederhana, jika
sejak lahir setiap anak dalam keluarga dididik untuk saling menghormati dan menyayangi
sesama, maka sikap baik tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Dan
masyarakat yang baik otomatis akan menjadikan negara yang kokoh dan berkharisma.
Maka tak salah jika keluarga merupakan salah satu benteng utama pertahanan negara.

Keluarga merupakan cikal bakal dan tolok ukur pembentukan karakter manusia.
Maka, pendidikan yang dikonsumsi oleh keluarga harus berada dalam koridor kebenaran.
Setiap anak akan melihat segala tindakan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Anak
akan tumbuh menjadi pribadi luhur jika sikap positif lebih mendominasi dari pada sikap
negatif. Begitu pun sebaliknya

Dan pluralistis bangsa ini bukan hanya dalam bentuk skala besar, tapi juga dalam
unit terkecil keluarga. Artinya, dalam satu keluarga bisa terdiri dari penganut dua atau
tiga agama berbeda, atau mungkin juga terdiri dari suku, dan keturunan yang tak sama.
Jika hal ini tidak dibekali dengan modal latar belakang (background) yang baik, maka
akan mudah menimbulkan konflik.

Pupuk persatuan Menurut James Bank (1993) pendidikan multikultural adalah


pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi
perbedaan sebagai suatu keniscayaan. Keberagaman yang ada merupakan sunnatullah
(hukum alam) yang tidak akan terlepas dari kehidupan. Pendidikan multikultural lahir
pasca terjadinya Perang Dunia II yang melahirkan negara-negara yang menganut prinsip
demokrasi.

5
20
19

Bagi negara-negara demokrasi pendidikan multikultural adalah kekuatan yang


akan membawa kejayaan. Era reformasi merupakan masa berkembanganya pendidikan
multikultural setelah kebhinnekaan budaya bangsa ini cukup lama diabaikan.

Namun, dalam realita keseharian nasib bangsa belum selaras dengan yang dideskripsikan
negara-negara lain, ternyata segala bentuk keragaman masih sering kali menyulut
permasalahan. Mulai dari hal sepele hingga yang benar-benar serius. Masyarakat kita
belum mampu menghargai perbedaan karena minimnya pengetahuan yang seharusnya
(dalam hal ini) dimulai dari keluarga

. Masalahnya, orang tua zaman now hanya sibuk dengan aspek koginitif teoritis
dari pada kompetensi interpersonal anaknya. Anak dicetak agar bisa lulus lembaga
pendidikan ternama dengan mengabaikan pendidikan berempati, yang pada akhirnya anak
tumbuh menjadi pribadi yang antipati. Bahkan, akhir-akhir ini sering kali muncul gesekan
dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat efek dari kontestasi politik. Drama
politik yang penuh dengan intrik saling menjatuhkan menguatkan masyarakat semakin
alergi dengan istilah ?perbedaan?. Jika hal ini dibiarkan maka akan memupuk generasi
yang apatis dengan kesatuan dalam keikatan.

Sering kali terjadi keluarga hancur dikarenakan adanya perbedaan dalam satu
atap. Orangtua tidak menganggap anaknya karena memeluk agama berbeda. Sesama
saudara tidak akur lantaran perbedaan warna kulitnya. Lebih ironis, komponen keluarga
berantakan karena partai yang diusung tidak sama. Indikasinya, anak yang tumbuh di
lingkungan keluarga yang tidak mengajarkan pentingnya rasa saling menghormati, akan
menjadi pribadi angkuh dan temperamental. Mudah tersulut emosi, dan suka terlibat
permusuhan. Terlebih lagi di media sosial mereka gampang tergoda dengan berita palsu
(hoax) dan ujaran kebencian (hate speech).

Sering terlihat di media sosial, para remaja kita saling menghujat yang
disebabakan perbedaan-perbedaan. Maka, untuk mencegah tindakan negatif tersebut,
sangat penting diterapkan pendidikan multikultural dalam keluarga?. Tujuannya, menurut
Clive Black dalam Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Ngainun Naim &
Achmad Syauqi, 2010) bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku kebangsaan
memiliki kebebasan yang sama.

Jika selama ini pendidikan multikultural hanya menggema di lembaga pendidikan


an sich. maka sangat efektif metode ini dipraktekkan dalam ranah keluarga. Keluarga
merupakan pendidik utama (tarbiyatul ula) untuk menanamkan benih kebaikan pada
generasi muda.
Penerapan pendidikan mulitikultural dalam keluarga dapat dilaksanakan dengan
pemahaman dari anggota keluarga. Memberikan pengertian kepada anak sedari dini
bahwa kehidupan ini tidak lepas dari keberagaman dan perbedaan dalam gender keluarga.
Menurut Pederson dalam Gage & Berline (1992) karena kita adalah multi-kultur maka
identitas budaya kita bersifat dinamis dan selalu berubah-ubah. Perbedaan agama,
budaya, etnis dan lain-lain bukanlah hambatan untuk memupuk rasa persaudaraan.
Jadikan perbedaan sebagai kekuatan untung saling menyatukan (integrating force).

7
20

b. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan konsep kesetaraangender ?

2. apa yang dimaksud dengan pendidika multikultur ?

3. bagaimana Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Multikultural ?

4. macam macam pendapat hakikat pendidikan multikultur ?

c. Tujuan masalah

1. Untuk mengetahui apa itu konsep kesetaraangender.

2. Untuk mengetahui pentingnya pendidikan multicultural.

3. Untuk Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Multikultural.

4. Untuk mengetahui beberapa macam hakikat pendidikan multikultur.


19

BAB II

A. Konsep dan Kesetaraan Gender


Konsep gender yang dipahami sebagian besar orang seringkali bias dan lebih
diartikan sangat sempit sebagai sebuah konsep yang hanya membicarakan masalah
perempuan dengan kodrat keperempuaanya saja. Padahal gender berbeda dengan
jenis kelamin, dia tidak hanya membicarakan perempuan saja ataupun laki-laki saja,
bukan juga konsep tentang perbedaan biologis yang dimiliki keduanya. Gender
merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan (dibangun)
oleh masyarakat atau kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan
struktur sosial yang berbeda-beda di setiap daerah, suku, negara dan agama. Oleh
karenanya, perbedaan peran, perilaku, sifat laki-laki dan perempuan yang berlaku di
suatu tempat/budaya belum tentu sama atau berlaku di tempat yang berbeda.

Pengertian gender juga termasuk membicarakan relasi antara perempuan dan


laki-laki serta cara bagaimana relasi itu dibangun dan didukung oleh masyarakat.
Seperti halnya konsep kelas, ras, dan suku, gender merupakan alat analisis untuk
memahami relasi-relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Sampai saat ini,
hambatan bagi terwujudnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki lebih banyak
disebabkan oleh kesenjangan perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh
masyarakat. Kesenjangan relasi tersebut dipengaruhi oleh faktorfaktor sejarah,
budaya, ekonomi dan agama yang mengakar sangat kuat secara turun temurun di
kalangan masyarakat. Kenyataan seperti inilah yang berdampak pada kehidupan
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, baik di ranah domestik (rumah
tangga) maupun di ranah publik (masyarakat, dunia kerja, dunia pendidikan).

9
20

Laporan Situasi Anak Dunia Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak


(UNICEF) tahun 2007 yang bertema “Women and Children: The Double Devinded of
Gender Equality” menyerukan kesetaraan gender sebagai agenda penting abad ini
(Hartiningsih, 2007). Laporan itu menegaskan, kesetaraan relasi kuasa antara dua jenis
kelamin yang dikonstruksikan secara sosial (gender) itu tidak hanya merupakan hak
moral, tetapi juga landasan sangat penting bagi kemajuan manusia dan keberlanjutan
pembangunan dalam arti luas.
Diskriminasi terhadap perempuan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia
masih menunjukkan bahwa pemahaman serta usaha-usaha untuk mewujudkan
kesetaraan gender masih banyak menemukan kendala. Masih kuatnya budaya
patriarkis (budaya yang didasarkan pada kekuasaan laki-laki) masih memposisikan
perempuan pada streotype, peran, dan posisi yang termarginalkan. Padahal, relasi
yang seimbang (kesetaraan gender) antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek
kehidupan dapat mendorong percepatan proses pembangunan yang dilandasi nilai-
nilai kemanusiaan yang tinggi tanpa adanya imperioritas satu jenis kelamin di satu sisi
dan superioritas jenis kelamin di sisi lainnya.
Kesetaraan gender menurut Laporan UNICEF 2007 (Hartiningsih 2007) akan
menghasilkan “deviden” ganda. Perempuan yang sehat, berpendidikan, berdaya akan
memiliki anak-anak perempuan dan laki-laki yang sehat, berpendidikan dan percaya
diri. Pengaruh perempuan yang besar dalam rumah tangga, telah memperlihatkan
dampak yang positif pada gizi, perawatan kesehatan, dan pendidikan anak-anak
mereka.
Laporan tersebut juga menggarisbawahi upaya mendorong kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan, salah satu dan yang terpenting adalah melalui
pendidikan disamping faktor lain seperti pendanaan, legislasi, kuota parlemen dan lain-
lain yang dapat mendorong terciptanya kesetaraan gender. Pendidikan menjadi faktor
terpenting dalam proses perkembangan seseorang. Pendidikan di sini tentunya tidak
sebatas pendidikan formal (sekolah), tetapi juga pendidikan di dalam keluarga.
Suatu paradigma baru sangat diperlukan untuk memberikan kerangka dan
menjelaskan hubungan (relasi) antara perempuan dan laki-laki di berbagai lapisan
masyarakat, lembaga formal maupun lembaga informal termasuk institusi keluarga.
Strategi-strategi untuk perubahan diperlukan yaitu bagaimana melakukan perubahan
hubungan (relasi) antara perempuan dan laki-laki yang responsif gender sehingga
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender .
Kesetaraan gender menurut Laporan UNICEF 2007 (Hartiningsih, 2007) akan
menghasilkan “deviden” ganda. Perempuan yang sehat, berpendidikan, berdaya akan
memiliki anak-anak perempuan dan laki-laki yang sehat, berpendidikan dan percaya
diri. Pengaruh perempuan yang besar dalam rumah tangga, telah memperlihatkan
dampak yang positif pada gizi, perawatan kesehatan, dan pendidikan anak-anak
mereka.
19

Maka upaya yang harus dilakukan adalah penguatan mainstrem


(Pengarusutamaan) gender yang merupakan suatu strategi untuk mencapai keadilan
dan kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pengarusutamaan gender merupakan seperangkat proses dan strategi yang bertujuan
agar supaya isu-isu gender/kesenjangan- 4 kesenjangan gender dikenali dan diatasi
melalui kebijakan, program dan pelayanan-pelayanan yang berkesinambungan.
Maksud dipergunakannnya pengarusutamaan gender adalah untuk menjamin supaya
perempuan dan laki-laki sama-sama memperoleh manfaat pembangunan sehingga
kesenjangan gender terhapuskan.
Perubahan yang diharapkan dari pengarusutamaan gender antara lain
mengubah individu, masyarakat atau lembaga yang awalnya buta dan bias gender,
meningkat menjadi responsif gender dan akhirnya menjadi sensitif gender. Buta
gender adalah kondisi seseorang, masyarakat dimana sama sekali tidak memahami
pengertian gender dan permasalahan gender. Bias gender adalah kondisi yang
menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya
permasalahan gender. Netral gender adalah kondisi yang tidak memihak pada salah
satu jenis kelamin. Responsif gender adalah kondisi yang memperhatikan berbagai
pertimbangan untuk terwujudnya kesetaraan & keadilan pada berbagai aspek
kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan sensitif gender adalah
Kemampuan dan kepekaan dalam melihat dan menilai berbagai aspek kehidupan dan
hasil pembangunan dari perspektif gender (ada perbedaan aspirasi, kebutuhan, dan
pengalaman antara laki-laki dan perempuan).

11
20

B. Hubungan Relasi Gender dalam Keluarga Dapat Dibangun


Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga
sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga
yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan
keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota
keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding
saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah
laki-laki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota
keluarga perempuan. Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di
masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada
di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab
ibu/istri.
Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu
menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan
lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang
perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh BUTA GENDER SENSITIF GENDER
RESPONSIF GENDER BIAS GENDER NETRAL GENDER 5 pabrik perempuan yang secara
tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu
menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran
perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak
diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah
tambahan).
Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam
keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak
terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan
kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan
dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak
ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran
antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak
ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan
saja.
Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, dimana banyak pekerja (laki-
laki) yang terkena PHK, serta sulitnya mencari lapangan kerja baru membuat kaum
perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan
keluarga. Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu yang berusaha membuka
usaha kecil seperti warung, berjualan makanan/jajanan atau bekerja paruh waktu
untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Dan faktanya, peran itu telah
memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.
Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan
hanya dibatasi pada peran-peran domestik (pengasuhan anak, mengurus rumah, dll.)
tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila diberi kesempatan
yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di dalam rumah
(domestik) maupun di luar rumah (publik).
19

Berbeda dengan pendekatan teori struktural-fungsional yang menempatkan


keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan
suami, istri, dan anakanak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban,
tanggung jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal. Sedangkan menurut teori
sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut sangat potensial untuk menimbulkan
konflik berkepanjangan di dalam keluarga. Karena sistem struktur yang hierarkis
seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian
sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan keluarga)
berlaku mutlak tanpa proses negosiasi antaranggota keluarga.
Menurut Collins yang dikurip Megawangi (1999), bahwa keluarga yang ideal
adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak
hierarkis). Model konflik memang tidak melihat kesatuan sebuah sistem, yang
menurut model struktural-fungsional adalah aspek utama untuk solidnya sebuah
masyarakat, tetapi lebih memfokuskan pada adanya konflik antarindividu, kelas atau
kelompok. Konflik ini tentunya dianggap akan membawa perubahan, bahkan
kehancuran sistem tersebut. Pada proses selanjutnya, pendekatan sosialkonflik lebih
menegaskan bahkan menumbuhkan kesadaran masing-masing individu akan
perbedaannya serta bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah sinergi/harmoni
sehingga perubahan-perubahan yang lebih baik dapat terjadi di dalam keluarga.
Tawney dikutip Megawangi (1999) mengakui adanya keragaman pada
manusia, entah itu biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan,
cocok dengan paradigma inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui
faktor spesifik seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi
perseorangan, atau disebut “person-regarding equality”. Kesetaraan ini bukan
dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang
spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut “kesetaraan kontekstual”. Artinya,
kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan
matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks
masingmasing individu.
Pemahaman tentang perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan
masing-masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah
keluarga terbentuk. Sistem patriarkat yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam
keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang
terlalu membatasi adanya peran partisipatif antaranggota keluarga telah
menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam
keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami perbedaan
dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang
tanpa membeda-bedakan peran gender.
Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan
keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-
masing individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki
perbedaanrkualitas dapat tercapai.

13
20

C. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Multikultural


Multikultural atau kemajemukan atau pluralisme, sudah pasti ada pada setiap
masyarakat, terutama ketika teknologi tansportasi dan komunikasi telah mencapai
kemajuan yang sangat pesat, maka multicultural merupakan inevitable destiny di
tingkat global mondial maupun di tingkat bangsa Negara dan komunitas. Namun,
sebagaimana dikatakan Martin Luther King, multicultural dalam masyarakat manusia
yang difasilitasi teknologi tersebut rupanya belum mendapatkan pemaknaan
spiritual secara benar. Secara teknis dan teknologi kita telah mampu untuk tinggal
bersama dalam masyarakat majemuk, namun secara spiritual kita belum memahami
arti sesunggunya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur,
yang antara lain mencakup perbedaan dalam hal agama, etnisitas, dan kelas sosial.
Masalah inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab utama
terjadinya berbagai konflik sosial yang mengerikan, baik di tingkat internasional atau
antarbangsa, maupun di tinkat intra-bangsa, sebagai contoh dikemukakan sebagai
berikut:
Contoh di tingkat Internasional antar bangsa, Israel dan Palestina terus
berperang untuk saling meniadakan, mengakibatkan jatuhnya banyak korban
dari kalangan sipil yang tak berdosa. Demikian pula halnya dengan pertikaian
bersenjatan antara Amerika dan Irak; Rusia dan Chechnya, serta Bosnia dan
Serbia. Di tingkat intra-bangsa, berbagai contoh juga dapat di sebut. Hitler dan
Nazinya di Jerman telah membuat jutaan kaum Yahudi kehilangan nyawa, Ku
Klux Klan dan Rednecks di Amerika Utara atau Skinbeads di Eropa atas dasar
wbitesupremacy menyiksa dan membunuh kaum kulit hitam dan kulit bewarna
lainnya, pertikaian suku Tutsi dan Hutu merobek keharmonisan Rwanda, dan
komplik antara Protestan dan Katolik di Irlandia menimbulkan perang saudara
berkepanjangan. Sementara itu, kerusuhan sectarian antara kaum muslimin dan
kaum kristiani di Ambon, Dayak dan Madura di Sabas, serta Pribumi dan Tioghoa
di berbagai kota terus membawa ancaman terhadap kerukunan dan itegrasi
bangsa Indonesia.
Selanjutnya Yayah Khisbiyah mengutip pendapat Allport, Brewer, dan Coleman,
bahwa di samping contoh-contoh pertikaian terbuka yang kasat mata seperti di atas,
masih banyak lagi contoh lainya yang lebih subtil dan invisible, yakni berupa
ketegangan dan segregasi antar kelompok yang ditimbulkan oleh streotip dan
prasangka atau prejudice. Stereotip dan prasangka ini menciptakan hubungan antara
kelompok yang iklimnya seperti perang dingin atau bagaikan api dalam sekam yang
intensitas suhunya bisa meningkat karena pengaruh trauma sejarah, kesenjangan
ekonomi, ketidak pastian hukun, dan ketegangan politik. Jika intensitasnya terus
meninggi, maka perang dingin ini dapat meletus menjadi pertikaian terbuka dan
kekerasan berdarah seperti yang kita saksikan di banyak wilayah didalam maupun
diluar negeri. Beberapa kenyataan pahit itu menunjukkan bahwa sejarah kolektif,
kita tidak pernah atau tidak mau belajar tentang bagaimana hidup bersama secara
rukun. Secara structural, system politik yang diskriminatif di banyak Negara,
termasuk di Indonesia, telah mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan golongan
19

etnis, agama, atau kelas sisoalnya, lalu mengorbankan konflik dan perang di antara
berbagai kelompok tersebut. Secara kultural, agen-agen sosialisasi utama seperti
keluarga dan lembaga pendidikan tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap
toleran-inklusif dan tidak manpu mengajarkan hidup bersama secara harmonis
dalam masyarakat yang multikultural.
Menyikapi realitas masyarakat dunia seperti ini, yang belum memahami arti
hidup bersama dalam kehidupan yang multicultural, dan dunia pendidikan masih
gagal dalam menanamkan sikap hidup toleran inklusif, maka UNESCO menetapkan
fungsi utama pendidikan menjadi empat, yaitu: leaarnig to know, learning to do,
learning to be, dan learning to live together. Fungsi ke-empat ini, learning to live
together adalah fungsi untuk mengembangkan pembelajaran yang menghargai
perbedaan dan kemajemukan. Dari sini konsep pendidikan multicultural digagas dan
diwacanakan sebagai solusi pengembangan pendidikan yang relevan untuk
masyarakat heterogen.
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep
demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah
melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara
orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara
integritas nasional. Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan
budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal
peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to
the interest of the state and the dominant society. While many people... had to
discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the
alien norms and customs that were consolidated and reproduced through
national institutions, including the educational and legal system.
Kata R. Stavenhagen, agama, bahasa, dan kelompok minoritas dalam sebuah
Negara, seperti penduduk pribumi dari suku pedalaman seringkali menjadi pihak
termarjinalkan dan bahkan terkadang mereka harus mengubur kepentingannya,
karena kepentingan Negara dan kelompok dominan dalam masyarakat. Selain itu
terdapat kelompok masyarakat yang terpaksa mengubur budaya, bahasa, agama,
dan tradisi mereka, karena harus diganti dengan norma dan budaya dominan, yang
diperkuat oleh sebuah institusi termasuk di dalamnya system pendidikan.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca
kemerdekaannya, 4 Juli 1776, baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari
berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika
mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan
sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-
citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat
berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui
masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu
diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat,
maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori
oleh John Dewey.

15
20

Pendidikan Multikultural dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial sebagaimana


dikemukakan oleh Adam Kuper dan Jessica Kuper,dimulai sebagai gerakan reformasi
pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika
pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar
seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah
memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para
pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-
murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid
tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai
keberhasilan akademik.

J. Banks.181993 mendiskripsikan evolusi pendidikan multikultural dalam empat


fase:
1. ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum.
2. diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan
pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan.
3. kelompokkelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo
dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga
pendidikan.
4. perkembangan teori, riset dan praktisi, perhatian tertuju pada hubungan antar-
ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli
teoritis, dan praktisi, dari pendidikan multikultural.

Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan


lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun
ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan
menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Paulo Freire, berpendapat bahwa pendidikan bukan merupakan "menara
gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya,
harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan,
bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat
kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Selanjutnya J. Bank,20 menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki


lima dimensi yang saling berkaitan:
1. Content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu. kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum.
2. diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan
pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan.
3. kelompokkelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo
dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga
pendidikan.
19

D. Hakekat Pendidikan Multikultural


Dalam bukunya Multicultural Education: Issues and Perspectives, James A. Bank
(2010: 1) menuliskan:
“Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a
process whose major goal is to change the structure of educational institutions so
that male and female students, exceptional students, and students who are
members of diverse racial, ethnic, language, and cultural groups will have an equal
chance to achieve academically in school”
Artinya pendidikan multicultural merupakan suatu ide, suatu gerakan
perubahan pendidikan dan suatu proses yang tujuan utamanya adalah mengubah
struktur dari lembaga pendidikan sehingga siswa laki-laki dan perempuan, siswa
berkebutuhan khusus dan siswa yang berasal dari berbagai macam etnis, budaya,
bahasa dan kelompok budaya akan memiliki kesempatan yang sama untuk sukses
secara akademik di sekolah. Walaupun lembaga pendidikan yang maksud dalam
pengertian ini adalah sekolah namun keluarga juga tidak lepas dari kritik. Selama ini,
sekolah dan keluarga merupakan suatu struktur yang tidak memfasilitasi adanya
keberagaman anak atau siswa.
Kata kunci dalam pengertian di atas adalah pendidikan multicultural
merupakan ide atau gagasan dari ahli pendidikan yang menolak struktur sekolah
seperti budaya, guru, kurikulum yang cenderung diskriminatif terhadap
keberagaman peserta didik. Ide atau gagasan ini mendapat momentum pada saat
Gerakan Hak Sipil di Amerika menuntut persaman hak dalam berbagai sendi
kehidupan terutama dalam bidang pendidikan.
Patricia G. Ramsey dan Leslie R. Williams (2003: viii) dalam bukunya
Multicultural Education menyatakan : “ The authors define multicultural education
as process-oriented learning experiences that foster educational equity, awareness
of and respect for the diversity of our society and world, and commitment to create
a more just and equitable society for all people. Multicultural education, therefore, is
relevant to all children and their families; all teaching, curricular, and administrative
decisions; and every aspect of local and national educational policy.”
Dua ahli di atas menyatakan bahwa pendidikan multicultural sebagai
pengalaman pembelajaran berorinetasi proses yang mendorong persamaan dalam
pendidikan, kesadaran dan rasa hormat terhadap keberegaman dalam masyarakat
dunia, dan komitmen untuk menciptakan komunitas yang setara bagi seluruh
masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan multicultural sangat relevan bagi semua
anak dan keluarga mereka, bagi guru, pengembang kurikulum dan para pengambil
kebijakan dan setiap aspek pada pendidikan local dan nasional.
Dari dua pengertian yang disampaikan oleh ahli pendidikan di atas dapat dibuat
pengertian baru yaitu pendidikan multicultural merupakan suatu bentuk gerakan
pembaharuan dalam pendidikan yang menolak segala bentuk diskriminasi ras, etnis,
budaya, bahasa dalam proses pendidikan dan mendorong adanya persamaan hak
bagi peserta didik untuk sukses baik secara akademik maupun non akademik.

17
20

Wiyono (2014) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki prinsip-


prinsip sebagai berikut :
a. Pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin
keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang
yang ada,
b. Pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas) dan
kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru
harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif.
c. pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif
dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan privileges
untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan.
d. berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan multikultural adalah
menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai
prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki,
e. pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa
memandang latar belakangnya.
Dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru
yang lebih toleran dan elegan untuk mencegah dan memecahkan masalah benturan-
benturan budaya tersebut, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Hal ini penting
untuk mengarahkan anak didik dalam mensikapi realitas masyarakat yang beragam,
sehingga mereka akan memiliki sikap apresiatif terhadap keragaman perbedaan
tersebut. Bukti nyata tentang maraknya kerusuhan dan konflik yang berlatar
belakang suku, adat, ras, dan agama menunjukkan bahwa pendidikan kita telah gagal
dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya multikulturalisme.
Adapun bangunan paradigma pendidikan multikultural yang ditawarkan
Zamroni (2011) adalah sebagai berikut :
a. Pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan
pendidikan bagi seluruh warga masyarakat.
b. Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau perubahan
metode pembelajaran.
c. Pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah
kemana transformasi praktik pendidikan harus menuju.
d. Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit kesenjangan pendidikan
salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar.
e. Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu membangun
jembatan antara kurikulum dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan kultur
sekolah guna membangun visi sekolah yang menjunjung kesetaraan.
19

Pendidikan multicultural menjamin setiap hak warga negara untuk mendapatkan


pendidkan yang berkualitas tanpa memandang suku, agama, ras, budaya dan Bahasa
peserta didik, Pendidikan ini tidak berkembang dalam ruang hampa masyarakat namun
bergerak seiring dengan perkembangan waktu dan masyarakatnya. Pendidikan multicultural
memiliki beberapa dimensi. Menurut James A. Banks (2010:20), pendidikan multikultural
adalah cara memandang realitas dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang
beragam kelompok etnis, ras, dan budaya. Secara spesifik, Banks menyatakan bahwa
pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan atas lima dimensi, yaitu :
a. Integrasi konten ; pemaduan konten menangani sejauh mana guru
menggunakan contoh dan konten dari beragam budaya dan kelompok untuk
menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori utama dalam bidang
mata pelajaran atau disiplin mereka.
b. Proses penyusunan pengetahuan; sesuatu yang berhubungan dengan sejauh
mana guru membantu siswa paham, menyelidiki, dan untuk menentukan
bagaimana asumsi budaya yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan
prasangka di dalam disiplin mempengaruhi cara pengetahuan disusun di
dalamnya.
c. Mengurangi prasangka; dimensi ini fokus pada karakteristik dari sikap rasial
siswa dan bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode dan mater
pengajaran.
d. Pedagogi kesetaraan; pedagogi kesetaraan ada ketika guru mengubah
pengajaran mereka ke cara yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari siswa
dari berbagai kelompok ras, budaya, dan kelas sosial. Termasuk dalam pedagogi
ini adalah penggunaan beragam gaya mengajar yang konsisten dengan
banyaknya gaya belajar di dalam berbagai kelompok budaya dan ras.
e. Budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan ; praktik
pengelompokan dan penamaan partisipasi olah raga, prestasi yang tidak
proporsional, dan interaksi staf, dan siswa antar etnis dan ras adalah beberapa
dari komponen budaya sekolah yang harus diteliti untuk menciptakan budaya
sekolah yang memberdayakan siswa dari beragam kelompok, ras, etnis dan
budaya.
Untuk itu, para guru yang memberikan pendidikan multibudaya harus
memiliki keyakinan bahwa; perbedaan budaya memiliki kekuatan dan nilai, sekolah
harus menjadi teladan untuk ekspresi hak-hak manusia dan penghargaan untuk
perbedaan budaya dan kelompok, keadilan dan kesetaraan sosial harus menjadi
kepentingan utama dalam kurikulum, sekolah dapat menyediakan pengetahuan,
keterampilan, dan karakter ( yaitu nilai, sikap, dan komitmen ) untuk membantu
siswa dari berbagai latar belakang, sekolah bersama keluarga dan komunitas dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung multibudaya.

19
20

BAB III
Kesimpulan
1. Dalam keluarga, kehidupan seseorang dimulai, dimana seorang anak mendapat
perlindungan dengan nyaman, seorang istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan
haknya dan melakukan tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami memberikan
kenyamanan, ketentraman, melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga.
Banyak hal dimulai dari rumah, anak tumbuh dan berkembang, mengenal
dirinya, ayah dan ibunya, saudarasaudaranya, belajar memahami segala sesuatu
yang terjadi di sekitar lingkungannya termasuk mengenal berbagai perbedaan
bahkan konflik yang terjadi
2. Persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial
dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan
pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-
tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak
seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak lakilaki) dan perempuan
(ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-
hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada
kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpendidikan, misalnya)
relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika
ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi
yang seimbang antara perempuan dan lakilaki masih jauh dari harapan.
3. Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagai tugas/peran ibu,
ayah, anak laki-laki, atau anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran
yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-peran yang melekat pada
perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada streotype yang
dilekatkan pada perbedaan gender. Kesalahan mendasar pada sistem keluarga,
lebih banyak diakibatkan pola pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap
anak-anaknya yang masih berorientasi pada dogma-dogma patriarkis.
4. Image anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat feminimnya
sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan
segala atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola
pendidikan yang diberikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Padahal,
setiap anak baik perempuan maupun laki-laki memiliki sifat feminim dan
maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat yang lebih
dominan. Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam keluarga
yang tidak seimbang, bahkan menempatkan posisi perempuan sebagai
subordinat banyak menimbulkan konflik dalam keluarga yang secara tidak sadar
konflik tersebut akan berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan
konflik kemanusiaan.
19

5. Relasi vertikal dalam keluarga yang memposisikan hierarki keluarga berdasarkan


sistem kekuasaan telah banyak menimbulkan konflik berkepanjangan dalam
keluarga, karena relasi seperti itu cenderung menumbuhkan sikap-sikap otoriter.
Pendekatan yang bersifat companionship yaitu hubungan yang horizonal (tidak
hierarkis) antaranggota keluarga lebih memungkinkan pembagian peran yang
seimbang antara laki-laki (ayah/suami dan anak lakilaki) dan perempuan
(ibu/istri dan anak perempuan). Kesetaraan gender yang didasarkan pada
perbedaan aspirasi, kemampuan, kebutuhan spesifik masing-masing individu
dalam keluarga akan menumbuhkan kesadaran kolektif antaranggota untuk
memperkuat fungsi-fungsi yang ada di dalam sistem keluarga. Apabila fungsi
keluarga sebagai sistem terkecil dalam sebuah negara sudah berjalan dengan
harmonis, maka didalam keluarga tersebut akan tumbuh manusia-manusia yang
berkualitas yang dapat memberikan kontribusi pada kemajuan masyarakat dan
negara.

Daftar pustaka
Megawangi, Ratna, 1999: Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender,
Penerbit Mijan, Bandung.
Hayat, Edi dan Surur Maifhahus, 2005: Perempuan Multikultural: Negosiasi dan
Representasi,
Penerbit Desantara, Jakarta.
Hartiningsih, 2007: Artikel Harian Kompas
Munti, Ratna Batara dan Anisah Hindun, 2005: Posisi Perempuan dalam HukumIslam di
Indonesia, LBK-APIK Jakarta, Jakarta Timur.
Widaningsih, Lilis, 2007: Responsifitas Gender dalam Penulisan Bahan Ajar , Departemen
Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Achmad Fedyani Saifuddin. 2006. Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Antonio Garamsci. 1997. Selections From the Prison Note Books. New York:
International Publisher. Dalam Livingstone, DW. 1976. On Hegemony in Corporate
Capitalist States. Materialist Structure, Ideological Forms, Class Consciousness and
Hegemonic acts. Sosiological Inquiry. 46. Vol. 3. No. 4.

21

Anda mungkin juga menyukai