Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sirosis hepatis merupakan salah satu penyebab utama beban


kesehatan di dunia. Menurut studi Global Burden Disease 2010, sirosis
hepatis menyebabkan 31 juta kecacatan sesuai tahun kehidupan atau
Disability Adjusted Life Years (DALYs), atau 1,2% dari DALYs dunia
dan 2% dari seluruh kematian didunia pada tahun 2010 (Mokdad et al.,
2014). Sirosis hepatis termasuk dalam 20 penyebab kematian
terbanyak di dunia, mencakup 1,3% dari seluruh kematian di dunia dan
5 besar penyebab kematian di Indonesia (WHO, 2010). Sirosis hepatis
berada di peringkat ke 9 sebagai penyebab kematian utama dan
berperan sekitar 1,2% dari seluruh kematian di Amerika Serikat (Wolf,
2015).
Di Indonesia belum terdapat data yang dapat mempresentasikan
jumlah penderita sirosis hepatis secara akurat. Menurut laporan rumah
sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis
hepatis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit
Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang
dirawat (Kusumobroto, 2007). Berdasarkan diagnosis klinis didapatkan
bahwa prevalensi sirosis hepatis yang dirawat di bangsal penyakit
dalam umunnya berkisar antara 3,6 – 8,4% di Jawa dan Sumatera,
sedangkan di Sulawesi dan Kalimantan di bawah l% (Hadi, 2013)
Setiap tahun terdapat 5,3 juta ibu hamil. Hepatitis B (HBsAg) reaktif
pada ibu hamil ratarata 2,7%, maka setiap tahun diperkirakan terdapat
150 ribu bayi yang 95% berpotensi mengalami hepatitis kronis (sirosis
atau kanker hati) pada 30 tahun ke depan. Berdasarkan Riskesdas
2017, sebanyak 7,1 % penduduk Indonesia mengidap hepatitis B.
(Kemenkes, 2017).

1
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan sirosis hepatik ?

A. Tujuan
1. Untuk memahami tentang konsep penyakit pada sirosis hepatik
2. Untuk memahami tentang proses keperawatan pada sirosis hepatik

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Sirosis Hepatis adalah penyakit kronis pada hepar dengan
inflamasi dan fibrosis hepar yang mengakibatkan distrosi struktur
hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar. Perubahan
besar yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-sel hepar,
terbentuknya sel-sel fibrotik (sel mast), regenerasi sel dan
jaringan parut yang menggantikan sel-sel normal (Baradero,
2008). Menurut Black (2014) sirosis hati adalah penyakit kronis
progresif dicirikan dengan fibrosis luas (jaringan parut) dan
pembentukan nodul. Sirosis terjadi ketika aliran normal darah,
empedu dan metabolism hepatic diubah oleh fibrosis dan
perubahan di dalam hepatosit, duktus empedu, jalur vaskuler dan
sel retikuler.

Aru (2009) menjelaskan sirosis adalah suatu keadaan yang


menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung
progresif yang ditandai dengan distrosi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regenerative (dikutip oleh Nurarif &
Kusuma, 2015). Berdasarkan pengertian diatas, dapat
disimpulkan bahwa sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis
yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi hepar yang
ditandai oleh pembentukan nodul regeneratif.

2. Anatomi dan Fisiologi

3
Hati terletak di belakang tulang rusuk di bagian kanan atas
rongga perut. Beratnya sekitar 1.500 g dan dibagi menjadi empat
lobus. Lapisan tipis jaringan ikat mengelilingi setiap lobus selain
dari itu Sirkulasi darah dan penyakit hati adalah utama
pentingnya dalam fungsinya. Darah yang dihaluskan oleh hati
datang dari dua sumber. Sekitar 75% dari suplai darah datang
dari vena portal, yang merupakan saluran pencernaan dan kaya
akan nutrisi Sisa dari suplai darah masuk melalui jalan arteri
hepatika dan kaya oksigen (M.Carson, 2009).

Menurut Smeltzer & Bare (2001) Hati merupakan organ


terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar 1500 gram. Letaknya
dikuadaran kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan
terlindungi oleh tulang rusuk (costae). Hati dibagi menjadi 4 lobus
dan setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat
yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi massa
hati menjadi unit-unit kecil, yang disebut lobulus.

Hati, kelenjar terbesar dari tubuh, dapat dianggap sebagai


bahan kimia pabrik yang memproduksi, menyimpan, mengubah,
dan mengeluarkan barang besar jumlah zat yang terlibat dalam
metabolisme (M.Carson, 2009)

Lokasi dari hati sangat penting dalam fungsi ini, karena ia


menerima nutrisi yang kaya darah langsung dari saluran
gastrointestinal (GI) dan kemudian juga menyimpan atau
mengubah nutrisi ini menjadi bahan kimia yang digunakan di
tempat lain di tubuh untuk kebutuhan metabolik. Terutama hati
penting dalam regulasi glukosa dan metabolisme protein. Hati
memproduksi dan mengeluarkan empedu, yang memiliki peran

4
utama dalam pencernaan dan penyerapan lemak di saluran
pencernaan. Ini menghapus produk limbah dari aliran darah dan
mensekresi mereka ke dalam empedu. Empedu yang dihasilkan
oleh hati disimpan sementara di dalam kandung empedu sampai
diperlukan untuk pencernaan, pada saat kandung empedu
mengosongkan dan empedu memasuki usus (M.Carson, 2009)

Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting


dalam penyelenggaraan fungsi hati. Hati menerima suplai
darahnya dari dua sumber yang berbeda. Sebagian besar suplai
darah datang dari vena portayang mengalirkan darah yang kaya
akan zat-zat gizi dari traktus gastrointestinal. Bagian lain suplai
darah tersebut masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika dan
banyak mengandung oksigen. Kedua sumber darah tersebut
mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut sinusoid hepatik.
Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh
campuran darah vena dan arterial. Dari sinusoid darah mengalir
ke vena sentralis di setiap lobulus, dan dari semua lobulus ke
vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan isinya ke dalam vena
kava inferior. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah
masuk ke dalam hati dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya
(M.Carson, 2009).

Menurut Smeltzer & Bare (2001) Disamping hepatosit, sel-sel


fagositosis yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial juga
terdapat dalam hati. Organ lain yang mengandung sel-sel
retikuloendotelial adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe dan
paru-paru. Dalam hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer. Fungsi
utama sel kupfer adalah memakan benda partikel (seperti bakteri)
yang masuk ke dalam hati lewat darah portal.

5
Fungsi metabolik hati :

a. Metabolisme glukosa

Setelah makan glukosa diambil dari darah vena porta


oleh hati dan diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam
hepatosit. Selanjutnya glikogen diubah kembali menjadi
glukosa dan jika diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah
untuk mempertahankan kadar glukosa yang normal. Glukosa
tambahan dapat disintesis oleh hati lewat proses yang
dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses ini hati
menggunakan asam- asam amino hasil pemecahan protein
atau laktat yang diproduksi oleh otot yang bekerja.

b. Konversi amonia

Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis


akan membentuk amonia sebagai hasil sampingan. Hati
mengubah amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik ini
menjadi ureum. Amonia yang diproduksi oleh bakteri dalam
intestinum juga akan dikeluarkan dari dalam darah portal
untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati mengubah amonia
yang merupakan toksin berbahaya menjadi ureum yaitu
senyawa yang dapat diekskresikan ke dalam urin.

c. Metabolisme protein

Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein


termasuk albumin, faktor-faktor pembekuan darah protein
transport yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein
plasma. Vitamin K diperlukan hati untuk mensintesis
protombin dan sebagian faktor pembekuan lainnya. Asam-
asam amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi
sintesis protein.

6
d. Metabolisme lemak

Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi


energi dan benda keton. Benda keton merupakan senyawa-
senyawa kecil yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan
menjadi sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh lainnya.
Pemecahan asam lemak menjadi bahan keton terutama terjadi
ketika ketersediaan glukosa untuk metabolisme sangat
terbatas seperti pada kelaparan atau diabetes yang tidak
terkontrol.

e. Penyimpanan vitamin dan zat


besi

f. Metabolisme obat

Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat


tersebut meskipun pada sebagian kasus, aktivasi obat dapat
terjadi. Salah satu lintasan penting untuk metabolisme obat
meliputi konjugasi (pengikatan) obat tersebut dengan sejumlah
senyawa, untuk membentuk substansi yang lebih larut. Hasil
konjugasi tersebut dapat diekskresikan ke dalam feses atau
urin seperti ekskresi bilirubin.
g. Pembentukan empedu

Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan


dalam kanalikulus serta saluran empedu. Fungsi empedu
adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai
pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh
garam-garam empedu.

h. Ekskresi bilirubin

Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan


hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang

7
mencakup sel-sel kupfer dari hati. Hepatosit mengeluarkan
bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia
mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang
membuat bilirubin lebih dapat larut didalam larutan yang
encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke
dalam kanalikulus empedu didekatnya dan akhirnya dibawa
dalam empedu ke duodenum.

Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika


terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang atau bila
terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan.
Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki
intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat
dalam urin.

3. Patofisiologi

Sirosis adalah tahap akhir pada banyak tipe cidera hati.


Sirosis hati biasanya memiliki konsistensi noduler, dengan
berkas fibrosis (jaringan parut) dan daerah kecil jaringan
regenerasi. Terdapat kerusakan luas hepatosit. Perubahan
bentuk hati mengubah aliran system vascular dan limfatik serta
jalur duktus empedu. Periode eksaserbasi ditandai dengan
statis empedu, endapan jaundis (Black & Hawks, 2014).

Hipertensi vena poerta berkembang pada sirosis berat.


Vena porta menerima darah dari usus dan limpa. Jadi
peningkatan didalam tekanan vena porta menyebabkan :

a. Aliran balik meningkat pada tekanan resistan dan


pelebaran vena esofagus, umbilicus,dan vena rektus
superior, yang mengakibatkan perdarahan varises.

b. Asites (akibat pergeseran hidrostastik atau osmotic

8
mengarah pada akumulasi cairan didalam peritoneum)

9
Bersihan sampah metabolik protein tidak tuntas dengan
akibat meningkatnya ammonia, selanjutnya mengarah kepada
ensefalopati hepatikum.

Kelanjutan proses sebagai akibat penyebab tidak diketahui


atau penyalahgunaan alkohol biasanya mengakibatkan
kematian dari ensefalopati hepatikum, infeksi bakteri (gram
negative), peritonitis (bakteri), hepatoma (tumor hati), atau
komplikasi hipertensi porta (Black & Hawks, 2014).

4. Etiologi

Menurut Nurdjanah (2014), penyebab sirosis bermacam-


macam, kadang lebih dari satu sebab ada pada satu penderita.
Di negara barat alkoholisme kronik bersama virus hep atitis C
merupakan penyebab yang sering dijumpai. Sedangkan Black
(2014) berpendapat, penyebab sirosis belum teridentifikasi jelas,
meskipun hubungan antara sirosis dengan minum alkohol
berlebihan telah ditetapkan dengan baik. Negara-negara dengan
insiden sirosis tertinggi memiliki konsumsi alkohol per kapita
terbesar. Kecenderungan keluarga dengan predisposisi genetik,
juga hipersensivitas terhadap alkohol, tampak pada sirosis
alkoholik.

5. Tanda dan Gejala

a. Keluhan pasien

Biasanya pasien mengeluh pruritis, urin berwarna gelap,


ukuran lingkar pinggang meningkat, turunnya selera makan
dan turunnya berat badan, ikterus (kuning pada kulit dan
mata) muncul belakangan.

10
b. Tanda Klasik:
Tanda klasik yang sering dijumpai antara lain : telapak
tangan merah, pelebaran pembuluh darah, ginekomastia
bukan tanda yang spesifik, peningkatan waktu yang
protombin adalah tanda yang lebih khas, ensefalopi hepatis
dengan hepatis fulminan akut dapat terjadi dalam waktu
singkat dan pasien akan merasa mengantuk, delirium,
kejang, dan koma dalam waktu 24 jam, onset enselopati
hepatis dengan gagal hatikronik lebih lambat dan lemah
(Kusuma, 2015).

6. Klasifikasi

Rubenstein, Wayne, dan Bradley (2007) membagi sirosis


hepatis dalam beberapa klasifikasi, yaitu:

a. Mikronodular (sirosis portal) ditandai oleh pita fibrotik tebal


teratur yang menghubungkan pembuluh portal dengan
vena hepatika, dan disertai nodul-nodul regenerative kecil.
Hati pada awalnya membesar dengan tepi rata namun
akhirnya mengerut akibat fibrosis progresif. Seringkali
disebabkan oleh alkohol.
b. Makronodular (sirosis pascanekrotik) lebih jarang ditemukan
dan ditandai oleh pita fibrosis yang kasar dan tidak teratur
dan hialngnya arsitektur normal serta nodul regenerative
yang besar. Jenis ini diyakini biasanya terjadi setelah
hepatitis virus disertai nekrosis yang luas. Hati membesar
dan bentuknya tidak sangat teratur akibat besarnya nodul.
c. Sirosis billiaris lebih jarang dan ditandai oleh fibrosis
disekitar duktus intrahepatik yang melebar. Bisa terjadi
setelah kolangitis kronis dan obstruksi bilier, atau idiopatik
(primer).

11
d. Sirosis biliaris primer terjadi kerusakan progresif pada
duktus biliaris intrahepatik. Terutama (90%) mengenai
wanita antara 4060 tahun, dan keluhan utamanya berupa
tanda-tanda koleastatis: pruritus, ikterus, disertai tinja pucat,
urin gelap, dan steatorea, pigmentasi, dan xantelasma.

7. Komplikasi

Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi


portal, asites, peritonitis bakterail spontan, pendarahan varises
esophagus, sindroma hepatorenal, ensefalopati hepatikum,
dan kanker hati.

a. Hipertensi Portal
Adalah peningkatan hepatik venous pressure gradient
(HVPG) lebih 5 mmHg. Hipertensi portal merupakan suatu
sindroma klinis yang sering terjadi. Bila gradient tekanan
portal (perbedaan tekanan antara vena portal dan vena cava
inferior) diatas 10-20 mmHg, komplikasi hipertensi portal
dapat terjadi.

b. Asites
Penyebab asites yang paling banyak pada sirosis hepatis
adalah hipertensi portal, disamping adanya hipoalbuminemia
(penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal
yang akan mengakibatkan akumulasi cairan dlam peritoniun.
c. Varises Gastroesofagu
Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistemik
yang paling penting. Pecahnya varises esophagus (VE)
mengakibatkan perdarahan varieses yang berakibat fatal.
Varises ini terdapat sekitar 50% penderita sirosis hepatis
dan berhubungan dengan derajat keparahan sirosis
hepatis.

12
d. Peritonisis Bakterial Spontan
Peritonisis bakterial spontan (SBP) merupakan komplikasi
berat dan sering terjadi pada asites yang ditandai dengan
infeksi spontan cairan asites tanpa adanya fokus infeksi
intraabdominal.

e. Ensefalopati Hepatikum
Sekitar 28% penderita sirosis hepatis dapat mengalami
komplikasi ensefalopi hepatikum (EH). Mekanisme
terjadinya ensefalopati hepatikum adalah akibat hiperamonia
, terjadi penutunan hepatic uptake sebagai akibat dari
intrahepatic portalsystemic shunts dan/atau penurunan
sintesis urea dan glutamik.

f. Sindrom Hepatorenal
Merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organik
ginjal, yang ditemukan pada sirosis hepatis lanjut. Sindrom
ini sering dijumpai pada penderita sirosis hepatis dengan
asites refrakter. Sindroma Hepatorenal tipe 1 ditandai
dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan
klirens kreatinin secara berrmakna dalam 1-2 minggu. Tipe
2 ditandai kreatinin. Tipe 2 ini lebih baik prognosisnya
daripada tipe 1 (Siti, 2014).
8. Prognosis
Sampai sat ini belum ada bukti bahwa penyakit sirosis
hepatis revesible. Sirosis yang disebabkan hemokromatosis
dan penyakit Wilson’s ternyata pada proses penyembuhan
timbul regresi jaringan ikat. Sirosis karena alcohol prognosisnya
baik bila pasien berhenti minum alkohol.
Sebaiknya sirosis jangan dianggap penyakit yang tidak
dapat disembuhkan lagi, minimal penyakit ini dapat
dipertahankan dalam stadium kompensasi. Secara klasifikasi

13
child yang dikembangkan maka keadaan di bawah ini dianggap
petunjuk suatu prognosis tidak baik dari pasien sirosis.
a. Ikterus yang menetap atau bilirubin daerah > 1,5 mg%.
b. Asites refrakter atau memerlukan diuretic dosis besar.
c. Kadar albumin rendah (<2,5 g%)
d. Kesadaran menurun atau ensefalopati hepatic spontan
tanpa factor pencetus luar. Gagal hati tanpa factor pencetus
luar mempunyai prognosis lebih jelek dari pada yang jelas
factor pencetusnya.
e. Hati mengecil
f. Pendarahan akibat pecahnya varises esophagus.
g. Komplikasi
h. Kadar protombin rendah.
i. Kadar natrium darah yang rendah (<120 meq/l), tekanan
sistolik kurang dari 100 mmHg.
j. CHE rendah, sedian biopsy yang banyak mengandung
nekrosis fokal dan sedikit peradangan.
Peradangan tergantung pada luasnya kerusakan
hati/kegagalan hepatosesular, beratnya hipertensi portal dan
timbulnya komplikasi lain. Penyebab kematian 500 kasus
sirosis hati (heterogen, Kopenhagen) adalah sebagai berikut :
a. 43% Penyebab kematian di luar hati
b. 22% oleh kardiovaskuler
c. 9% keganasan ekstra hepatik 
d. 7% infeksi
e. 5% di luar hati lainnya
f. 57% penyebab kematian pada hati.
g. 13% kegagalan hati disertai pendarahan saluran cerna
h. 14% pendarahan saja
i. 4% kanker hati primer/hepatoma
j. 2% hati lainnya (Marry, 2008)

14
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyebab yang mendasar. Hal ini penting
bahwa paparan terhadap hepatotoksin di batasi,
pengonsumsian alcohol dihindari, dan obstruksi bilier
dihilangkan. Menurut Kowalak, dkk (2012) ketika suatu penyakit
telah menimbulkan gejala dan komplikasi yang sangat serius,
maka penderita akan mencari pengobatan. Pengobatan pada
penderita Sirosis Hepatis tidak ada yang spesifik, sehingga
penatalaksanaan yang diberikan didasarkan dengan gejala
yang ditimbulkan. Berikut ini terapi pada pasien dengan Sirosis
Hepatis.
a. Istirahat adekuat dan penghindaran bahan hepatotoksit
(minuman alkohol serta obat-obatan dan toksit kimia
terhadap hati).
b. Pemberian antihistamin untuk mengurangi pruritus.
c. Diet tepat, pemberian vitamin bersamaan dengan suplemen
gizi untuk penyembuhan kerusakan sel Hepar dan
memperbaiki status gizi pasien.
d. Mempertahankan kalium dan mengurangi penumpukan
cairan dapat diberikan diuretik.
e. Intubasi esofagogastrik dengan kateter multilumen untuk
mengendalikan perdarahan dari varises esofagus.
f. Leave lambung dengan pemberian antasida dan antagonis
histamin untuk perdarahan. Leave lambung dilakukan
sampai cairan yang mengalir jernih.
g. Parasentesis untuk mengurangi tekanan intra abdomen dan
mengeluarkan cairan Asites.
h. Pemasangan shunt melalui pembedahan untuk
mengendalikan perdarahan dan menurunkan hipertensi
porta.

15
10. Pemeriksaan Diagnostik
Pada pasien Sirosis Hepatis sering didapatkan kadar SGPT
dan SGOT dalam batas normal. Jumlah sel Hepar pada Sirosis
berat sudah sangat kurang sehingga kerusakan sel Hepar
relatif sedikit sehingga sering kita cermati kadar SGOT akan
lebih tinggi dari kadar SGPT. Tapi kadar bilirubin akan terlihat
meninggi dengan perbandingan albumin dan globulin akan
terbalik (Widjaya, 2013).
Menurut Smeltzer dan Bare (2013) penyakit Hepar dan
pengobatannya ditentukan setelah mengkaji hasil-hasil
pemeriksaan diagnostik. Ada banyak pemeriksaan diagnostik
yang dapat dilakukan untuk memberikan informasi tentang
fungsi Hepar. Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
pada penderita Sirosis Hepatis adalah sebagai berikut :
a. Tes fungsi Hepar.
Pada disfungsi parenkim Hepar yang berat, kadar
albumin serum cenderung menurun dan kadar globulin
serum meningkat. Pemeriksaan enzim yang menunjukkan
adanya kerusakan sel Hepar, yaitu kadar alkali fosfatase,
SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau ALT
(Alanin Aminotransferase) serta SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase) atau AST (Aspartat
aminotransferase) meningkat dan kadar kolinesteraseserum
dapat menurun. Pemeriksaan bilirubin dilakukan untuk
mengukur ekskresi empedu atau retensi empedu.
b. Laparaskopi.
Pemeriksaan laparaskopi bersamaan dengan biopsi Hepar
untuk melihat Hepar secara langsung.
c. Ultrasonografi (USG).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat ukuran organ-organ
abdomen dan mendeteksi adanya massa. PemeriksaanUSG

16
juga untuk mengukur perbedaan sel-sel parenkim Hepardan
adanya jaringan parut.
d. Analisis gas darah arterial.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat gangguan
keseimbangan ventilasi, perfusi, dan hipoksia pada
SirosisHepatis.
e. Angiografi.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sirkulasi Hepar
dan keberadaan sifat massa pada Hepar.
f. Biopsi Hepar.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan perubahan
anatomis pada jaringan Hepar.
g. Rontgen torak dan abdomen.
Foto torak untuk memastikan ada atau tidaknya efusi pleura
sedangkan foto polos abdomen menunjukkan adanya
kesuraman yang merata dan batas organ jaringan yang tidak
jelas.

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data demografi pasien : berisi tentang identitas Klien
b. Keluhan utama Penyakit ini dapat berjalan tanpa keluhan dan
dapat juga dengan atau tanpa gejala klinik yang jelas. Mula-
mula timbul kelemahan badan, rasa cepat payah yang makin
menghebat, na'sumakan menurun, penurunan berat badan,
badan menguning (ikterus, demam ringan, sembabtungkai dan
pembesaran perut (asites).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Perlu dikaji karena sangat berhubungan pada kesehatan pasien
saat ini, apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang
sama atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit

17
hati, sehingga menyebabkan/berhubungan dengan penyakit
cirosis hepatis, karena cirosis hepatis merupakan penyakit
kelainan hati dari komplikasi pada sakit hati primer yang
sebelumnya telah ada. Sedangkan riwayat kesehatan saat ini
merupakan keluhan utama pasien saat ini, mengapa pasien
masuk Rumah sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga
dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat
muncul.
d. Riwayat Penyakit Masa lalu 
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang
sama atau penyakit lain yang  berhubungan dengan
penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis.
Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu
yang lama disamping asupan makanandan perubahan dalam
status jasmani serta rohani pasien.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga
membawa dampak berat pada keadaan atau yang
menyebabkan cirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM,
hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting
dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari
keluarga pasien.
f. Riwayat tumbuh kembang
Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan
dan pertumbuhan seseorang yang dapat menjadi –
mempengaruhi keadaan penyakit seperti ada riwayat pernah
icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan
imunisasi, pada form yang tersediatidak terdapat isian yang
berkaitan dengan riwayat tumbuh kembang.

18
g. Riwayat sosial ekonomi
Keadaan sosial dan ekonomi berpengaruh, apakah pasien suka
berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami
penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang
dampaknya mempengaruhi prilaku pasien yaitu peminum
alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.
h. Riwayat psikologi dan riwayat sehari-hari
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah
pasien dapat menerima, ada tekanan psikologis berhubungan
dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan kepribadian, karena
pada pasien dengan sirosis hati dimungkinkan terjadi
perubahan tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik
diri, dan depresi. Fatique dan letargi dapat muncul akibat
perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi gangguan
body image akibat dari edema, gangguan integument, dan
terpasangnya alat-alat invasive (seperti infuse, kateter).
Terjadinya perubahan gaya hidup, perubaha peran dan
tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis,
Heitkemper, & Direksen, 2000).
Pengkajian pada pasien sirosis hepatis menurut (Doengoes,
Moorhouse, & Geissler, 2012) sebagai berikut:
a. Dasar Data Pengkajian Pasien. Data tergantung pada penyebab
dasar kondisi.
1) Aktivitas/ istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, terlalu lelah
Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus.
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis,
perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker
(malfungsi hati menimbulkan gagal hati), disritmia,
bunyi jantung ekstra, DVJ; vena abdomen distensi.

19
3) Eliminasi
Gejala : Flatus.
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali,
asites), penurunan/ tak adanya bising usus, feses
warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.
4)  Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak
dapat mencerna, mual/ muntah.
Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan),
penggunaan cairan, edema umum pada jaringan,
kulit kering, turgor buruk, ikterik : angioma spider,
nafas berbau, fetor hepatikus, perdarahan gusi.
5)  Neurosensori
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan
kepribadian, penurunan mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara
lambat/ tak jelas, asterik (ensefalopati hepatik).
6) Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran kanan atas,
neuritis perifer.
Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri
sendiri.
7) Pernapasan
Gejala : Dispnea.
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas
tambahan, ekspansi paru terbatas (asites), hipoksia.
8) Keamanan
Gejala : Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik,
ekimosis, petekie, angioma spider/teleangiektasis,
eritema palmar.

20
9) Seksualitas
Gejala : Gangguan menstruasi, impoten.
Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut
(dada,  bawah lengan, pubis)

10)Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat penggunaan alkohol jangka
panjang/penyalahgunaan, penyakit hati alkoholik,
riwayat penyakit empedu, hepatis, terpajan pada
toksin, trauma hati, perdarahan GI atas, episode
perdarahan varises esofageal, penggunaan obat
yang mempengaruhi fungsi hati.
Tanda : Pertimbangan rencana pemulangan : DRG
menunjukkan rerata lama dirawat : 7,2 hari,
mungkinn memerlukan bantuan dengan tugas
perawatan/pengaturan rumah
Pemeriksaan Fisik :
a. Kesadaran dan keadaan umum pasien
Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak
sadar (compos mentis– coma) untuk mengetahui berat
ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari
hepar salah satunya membawa dampak yang tidak
langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya
dengan adanya anemia menyebabkan pasokan O2 ke
jaringan kurang termasuk pada otak.
b. Tanda – tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur
dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk
pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada
pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan
menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi,
perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan

21
pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya
penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh
disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi
yanag terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi
yang dibutuhkan.
1). Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar
tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil
prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal/firm,
pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan pada perabaan
hati. Sedangkan pada pasien Tn.MS ditemukan adanya
pembesaran walaupun minimal (USG hepar). Dan
menunjukkan sirosis hati dengan hipertensi portal.
2). Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2
cara:
 Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah
menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS
kanan (S V-VIII)
 Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
Pada pasien Tn.MS ditemukan pembesaran limpa
(USG) hal ini menunjukkan adanya kelainan pada
sistem asesori pencernaan.
3). Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan
adanya vena kolateral dan acites, manifestasi diluar
perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh
bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput
medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya
diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia dan
atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid.

Pemeriksaan penunjang

22
a. Pemeriksaan diagnostik Menurut (Smeltzer & Bare, 2002) yaitu:
1) Pada disfungsi parenkimal hati ayng berat, kadar almbumin
serum cenderung menurun sementara kadar globulin serum
meningkat.
2) Pemeriksaan enzim menunjukkan kerusakan sel hati, yaitu :
kadar alkali fosfatase, AST (SGOT) serta ALT (SGPT)
meningkat dan kadar kolinesterase serum dapat menurun.
3) Pemeriksaan bilirubin dilakukan untuk mengukur ekskresi
empedu atau retensi empedu.
4) Laparoskopi dikerjakan bersama biopsi untuk melihat fungsi
hati secara langsung.
5) Pemindai USG untuk mengukur perbedaan densitas antara
sel-sel pearenkim hati dan jaringan parut.
6) MRI dan pemindai radioisotop memberikan informasi tentang
besar hati dan aliran darah hepatik.
7) Analisis gas darah dapat mengungkapkan gangguan
keseimbangan ventilasi-perfusi dan hipoksia pada sirosis
hati.
b. Pemeriksaan diagnostik Menurut (Doengoes et al., 2012) yaitu:
1) Skan/biopsi hati : mendeteksi infiltrak lemak, fibrosis,
kerusakan jaringan hati.
2) Kolesistografi/kolangiografi : memperlihatkan penyakit duktus
empedu, yang mungkin sebagai faktor predisposisi.
3) Esofagoskopi : dapat menunjukkan adanya varises
esofagus.
4) Albumin serum : menurun karena penekanan sintesis.
5) Darah lengkap : Hb/Ht dan SDM mungkin menurun karena
perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan
hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada
sebagai akibat hiperplenisme.
6) Masa protrombin /PTT : menurun

23
7) BUN : meningkat menunjukkan kerusakan darah/protein.
8) Glukosa serum : hipoglikemia diduga mengganggu
glikogenesis
9) Elektrolit : Hipoglikemia menunjukkan peningkatan
aldosteron, meskipun berbagai ketidakseimbangan dapat
terjadi
10)Kalsium : mengkin menurun sehubungan dengan gangguan
absorpsi vitamin D.
11)Urobilinogen urine : ada/tidak ada. Beertindak sebagai
petunjuk untuk membedakan penyakit hati, penyakit
hemolitik, dan obstruksi bilier.
12)Urobilinogen fekal : Menurun ekskresi.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut (Doengoes et al., 2012), Diagnosa Keperawatan yang terjadi
adalah :
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d diet
tidak adekuat, ketidak mampuan untukn memproses/mencerna
makanan ditandai dengan penurunan berat badan, tonus otot
buruk, perubahan bunyi dan fungsi usus.
b. Kelebihan volume cairan b/d gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan natrium/masukan cairan yang ditandai dengan edema,
anasarka, peningkatan berat badan, oliguria.
c. Risiko kerusakan integritas kulit b/d gangguan sirkulasi/status
metabolik, Akumulasi garam empedu pada kulit, turgor kulit buruk,
penonjolan tulang, adanya edema, dan asites ditandai dengan
kemungkinan adanya gejala menjadi diagnosa aktual.
d. Risiko tinggi ketidakefektifan pola nafas b/d pengunpulan cairan
intraabdomen (asites), penurunan ekspansi paru, akumulasi
sekret, penurunan energi, kelemahan ditandai dengan
kemungkinan adanya gejala menjadi diagnosa aktual.

24
e. Risiko cedera b/d profil darah abnormal : gangguan faktor
pembekuan (gangguan produksi protrombion, fibrinogen, dan
faktor VIII, IX, dan X, absorpsi vitamin K, dan perluasan
tromboplastin), hipertensi portal ditandai dengan kemungkinan
adanya gejala menjadi diagnosa aktual.
f. Gangguan citra tubuh/harga diri b/d perubahan biofisika/gangguan
penampilan fisik, prognosis yang meragukan, pereubahan peran
fungsi, pribadi rentan, perilaku merusak diri (penyakit yang
dicetuskan oleh alkohol yang ditandai dengan pernyataan
perubahan, pembatasan pola hidup, takut penolakan, perasaan
negatif tentang diri sendiri, perasaan tak berdaya, tak ada harapan.
g. Kurang pengetahuan b/d kesalahn interpretasi, ketidakbiasaan
terhadap sumber-sumber informasi yang ditandai dengan
pertanyaan, permintaan informasi, pernyataan salah konsepsi,
komplikasi.

25
3. Intervensi Keperawatan
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
1 Dx. Ketidakseimbangan nutrisi kurang a. Nutritional Status : food a. Nutrition Management
dari kebutuhan tubuh and Fluid Intake b. Nutrition Monitoring
a. Definisi : Intake nutrisi tidak cukup untuk b. Weight Control Aktivitas-aktivitas:
keperluan metabolisme tubuh. KH: 1. Kaji adanya alergi makanan
b. Batasan karakteristik: - Adanya peningkatan berat 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
- Berat badan 20 % atau lebih di bawah badan sesuai dengan kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
ideal tujuan 3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
- Dilaporkan adanya intake makanan - Berat badan ideal sesuai 4. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin
yang kurang dari RDA (Recomended dengan tinggi badan C
Daily Allowance) - Mampu mengidentifikasi 5. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat
- Membran mukosa dan konjungtiva kebutuhan nutrisi untuk mencegah konstipasi
pucat - Tidak ada tanda tanda 6. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan
- Kelemahan otot yang digunakan untuk malnutrisi harian.
menelan/mengunyah - Tidak terjadi penurunan 7. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
- Luka, inflamasi pada rongga mulut berat badan yang berarti 8. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
- Mudah merasa kenyang, sesaat 9. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
setelah mengunyah makanan dibutuhkan
- Dilaporkan adanya perubahan sensasi 10. Monitor adanya penurunan berat badan
rasa 11. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
- Perasaan ketidakmampuan untuk 12. Monitor interaksi pasien selama makan
mengunyah makanan 13. Monitor lingkungan selama makan
- Miskonsepsi 14. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
- Kehilangan BB dengan makanan 15. Monitor turgor kulit
cukup 16. Monitor mual dan muntah
- Kram pada abdomen 17. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
- Tonus otot jelek 18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan
Faktor risiko: konjungtiva
- Ketidakmampuan pemasukan atau 19. Monitor kalori dan intake nuntrisi

26
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
mencerna makanan
- Ketidakmampuan mengabsorpsi zat- EBN : Menyediakan menu yang diperkaya protein
zat gizi bersama dengan konseling diet individual meningkatkan
- Gangguan psikologis asupan protein dan energi secara signifikan pada pasien
rawat inap dengan gangguan gizi (Munk, Bruun, &
Nielsen, 2017)
2 Dx.: Kelebihan volume cairan a. Electrolit and acid base a. Fluid/Electrolyte Management
a. Defenisi : Peningkatan retensi cairan balance Aktivitas –aktivitas :
isotonik b. Fluid balance 1. Memonitor level abnormal elektrolit serum.
b. Batasan karakteristik : c. Hydration 2. Mendapatkan spesiemen pemeriksaan laboratorium
- Gangguan elektrolit KH : untuk memantau perubahan elektrolit.
- Anasarka - Terbebas dari edema 3. Memonitor hasil pemeriksaan Laboratorium yang
- Ansietas - Membrane mukosa berkaitan dengan keseimbangan cairan.
- Perubahan tekanan darah lembap 4. Memonitor hasil pemeriksaan laboratorium yang
- Edema - Turgor kulit dan berkaitan dengan retensi cairan.
- Dispnea pengisian kapiler baik 5. Monitor tanda dan gejala retensi cairan dan
- Penurunan hematokrit - Tanda-tanda vital stabil ketidakseimbangan elektrolit
- Penurunan hemoglobin - Asupan dan haluaran 6. Monitor tanda Vital, jika diperlukan.
- Asupan melebihi haluaran yang seimbang dengan 7. Monitor respon pasien dalam pemberian medikasi terkait
- Oliguria urine yang konsentrasi elektrolit.
- Distensi vena jugularis dan jumlahnya normal
- Perubahan tekanan arteri pulmunal
- Kongesti pulmunal
- Gelisah
- Bunyi jantung S3
- Penambahan berat badan dalam waktu
singkat
c. Faktor Resiko :
- Gangguan mekanisme regulasi
- Kelebihan asupan cairan

27
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
- Kelebihan asupan natrium
3 Dx. Kep: Risiko kerusakan integritas Integritas jaringan: kulit & a. Manajemen tekanan
kulit membrane mukosa b. Pencegahan luka tekan
a. Defenisi : Rentan mengalami kerusakan KH : c. Pengecekan kulit
epidermis dan/atau dermis, yang dapat - Suhu kulit Aktivitas-aktivitas :
mengganggu kesehatan - Sensasi 1. Periksan kulit dan selaput lendir dengan adanya
b. Faktor resiko : - Elastisitas kemerahan, kehangatan ekstrem, edema dan drainase
Eksternal - Hidrasi 2. Amati warna, kehagatan, bengkak, pulsasi, tekstur,
- Cedera kimiawi kulit - Keringat edema, dan ulserasi pada ekstremitas
- Faktor mekanik (mis., daya gesek, - Tekstur 3. Gunakan alat pengkajian untuk mengidentifikasi pasien
tekanan, imobilitas fisik) - Ketebalan yang beresiko mengalami kerusakan kulit (mis., skala
- Hipertermia - Perfusi jaringan Branden)
- Hipotermia 4. Monitor warna dan suhu kulit
- Kelembapan 5. Monitor sumber tekanan dan gesekan
- Sekresi 6. Periksa pakaian yang terlalu ketat
- Terapi radiasi 7. Dokumentasikan perubahan membrane mukosa
Internal 8. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah kerusakan
- Gangguan sensasi (akibat cedera lenih lanjut (mis., melapisi kasur, menjadwalkan reposisi)
medulla spinalis, diabetes mellitus, dll.) 9. Ajarkan anggota keluarga/pemberi asuhan mengenai
- Gangguan sirkulasi tanda-tanda kerusakan kulit dengan tepat.
- Gangguan turgor kulit
- Tekanan pada tonjolan tulang EBN : perawat harus memberikan perhatian khusus
kepada pasien di atas usia 50 tahun, yang secara
signifikan memiliki skor Skala Braden yang lebih rendah.
Skor Skala Braden meningkat secara signifikan dalam
penilaian terakhir yang menunjukkan bahwa Skala
Braden sensitif terhadap perbaikan klinis pasien.
(Figueira, Sardo, Sim, Melo, & Amado, 2015)

4 Dx. Kep: Risiko tinggi ketidakefektifan a. Respiratory Status : a. Airway Management

28
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
pola nafas Airway patency b. Oxygen Therapy
a. Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang b. Vital Signs c. Respiratory Monitoring
tidak memberi ventilasi yang adekuat KH : Aktivitas-aktivitas :
b. Batasan Karakteristik - Frekuensi, irama, 1. Evaluasi frekuensi pernapasan dan kedalaman. Catat
- Perubahan kedalaman pernapasan kedalaman pernapasan upaya pernapasan, contoh adanya dispnea, penggunaan
- Perubahan ekskursi dada dalam batas normal otot bantu napas, pelebaran nasal
- Mengambil posisi tiga titik - Tidak menggunakan 2. Auskultasi bunyi napas. Catat area yang menurun/tak
- Bradipnea otot-otot bantu ada bunyi tambahan, contoh krekels atau ronki
- Penurunan tekanan ekspirasi pernapasan 3. Observasi penyimpangan dada. Selidiki penurunan
- Penurunan tekanan inspirasi - Tanda Tanda vital ekspansi atau ketidaksimetrisan gerakan dada
- Penurunan ventilasi semenit dalam rentang normal 4. Observasi karakter batuk dan produksi sputum
- Dispnea (tekanan darah, nadi, 5. Lihat kulit dan membrane mukosa untuk menilai adanya
- Peningkatan diameter anterior-posterior pernafasan) (TD 110- sianosis
- Pernapasan cuping hidung 90/130-90 mmHg, nadi 6. Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi
- Ortopnea 60-100 x/menit, RR : duduk atau semi fowler.
- Fase ekspirasi memanjang 18-24 x/menit, suhu 7. Tekankan menahan dada dengan bantal selama napas
- Pernapasan bibir 36,5 – 37,5 0C) dalam/batuk
- Takipnea - Efektivitas pompa 8. Dorong pasien berpastisipasi/bertanggungjawab selama
- Penggunaan otot aksesorious untuk jantung latihan napas dalam, gunakan alat bantu
bernapas - Reaktivitas pupil 9. Berikan bantuan oksigen
- Penurunan kapasitas vital 10. Monitor keadekuatan pernapasan
c. Faktor resiko : 11. Melihat apakah ada obstruksi di salah satu bronkus atau
- Tidak adekuatnya ventilasi adanya gangguan pada ventilasi
- Ansietas 12. Mengetahui adanya sumbatan pada jalan napas
- Deformitas tulang 13. Memonitor keadaan pernapasan klien
- Deformitas dinding dada
- Keletihan
- Hiperventilasi
- Sindrom hipoventilasi
- Kerusakan neurologis

29
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
- Imaturitas neurologis
- Disfungsi neuromuscular
- Obesitas
- Nyeri
- Keletihan otot pernapasan
- Cedera medulla spinalis
5 Dx. Kep: Resiko Cedera a. Risk Control a. Enviromental Management
a. Definisi : berisiko mengalami cedera b. Neurological status b. Fall Prevention
sebagai akibat kondisi lingkungan c. Knowledge: Personal Aktivitas-aktivitas :
yang berinteraksi dengan sumber Safety 1. Ciptakan lingkungan yang aman untuk pasien
KH : 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
adaptif dan sumber defensif individu
- Pasien mengenal tanda berdasarkan tingkat fisik, fungsi kognitif dan sejarah
b. Faktor resiko : dan gejala yang tingkah laku
Eksternal mengindikasikan faktor 3. Hilangkan bahaya lingkungan
- Biologis (mis., tingkat imunisasi resiko cidera skala 5 4. Jauhkan objek berbahaya dari lingkungan
komunitas, mikroorganisme) - Pasien dapat 5. Menjaga dengan siderail jika diperlukan
- Zat kimia (mis., racun, polutan, obat, mengidentifikasi resiko 6. Sediakan tempat tidur yang rendah jika diperlukan
agens farmasi, alkohol, nikotin, kesehatan yang mungkin 7. Tempatkan furniture diruangan dengan susunan
pengawet, kosmetik, pewarna) terjadi skala 5 terbaik untuk akomodasi ketidakmampuan pasien dan
- Manusia (mis., agens nosokomial, pola - Tingkat kesadaran pasien keluarga
ketenagaan, atau faktor kognitif, afektif, baik skala 5 8. Jauhkan dari pajanan yang tidak diperlukan,
dan psikomotor) - Status kognitif pasien baik mengerikan dan panas
- Cara pemindahan/transport skala 5 9. Manipulasi pencahayaan untuk keuntungan
- Nutrisi (mis., vitamin, jenis makanan) - Orientasi kognitif pasien terapeutik
- Fisik (mis., desain, struktur, dan baik skala 4 10. Batasi pengunjung
pengaturan komunitas, bangunan, dan - Pasien mengetahui 11. Identifikasi kognitif dan kekurangan fisik dari pasien
atau peralatan) tentang risiko cidera skala yang mungkin meningkatkan potensial untuk cedera
Internal 5 12. Identifikasi kebiasaan dan factor risiko yang
- Profil darah yang abnormal (mis., - Pasien mengetahui mempengaruhi untuk cedera.
leukositosis/leukopenia, gangguan strategi untuk mengatasi 13. Cari informasi riwayat cedera pasien dan keluarga.
faktor koagulasi, trombositopenia, sel

30
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
sabit, talasemia, penurunan risiko cidera skala 5 14. Identifikasi karakteristik lingkungan yang bisa
hemoglobin) - Pasien mengetahui dan meningkatkan potensial untuk cedera.
- Disfungsi biokimia dapat menggunakan
- Usia perkembangan (fisiologis, psiko- pengaman sesuai
sosial) prosedur skala 5
- Disfungsi efektor - Pasien dapat menunjukan
- Disfungsi imun-autoimun sikap melindungi diri
- Disfungsi integrative sendiri dari risiko cidera
- Malnutrisi skala 5
- Fisik (mis., integritas kulit tidak utuh, -
gangguan mobilitas)
- Psikologis (orientasi afektif)
- Disfungsi sensorik
- Hipoksia jaringan

6 Dx. Kep: Gangguan citra tubuh a. Body image a. Body image enhancement
a. Definisi : konfusi pada gambaran mental b. Self esteem Aktivitas-aktivitas :
fisik diri seseorang KH : 1. Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap
b. Batasan karakteristik : - Body image positif tubuhnya
- Perubahan actual pada struktur atau - Mampu mengidentifikasi 2. Monitor frekuensi menkritik dirinya
fungsi tubuh kekuatan personal 3. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Perilaku menghindar, memantau, atau - Mendiskripsikan secara 4. Tentukan harapan pasien tentang citra tubuh
mencari tahu tentang tubuh individu factual perubahan fungsi berdasarkan tahap perkembangan
- Perubahan pada kemampuan untuk tubuh 5. Tentukan apakah perubahan fisik saat ini telah dikaitkan
memperkirakan hubungan spasial - Mempertahankan interaksi ke dalam citra tubuh pasien
tubuh terhadap lingkungan sosial 6. Identifikasi pengaruh budaya, agama, ras, jenis kelamin,
- Perubahan dalam keterlibatan social dan usia pasien menyangkut citra tubuh
- Memperluas batasan tubuh untuk 7. Dukung mekanisme koping yang biasa digunakan
menggabungkan benda-benda pasien; sebagai contoh, tidak meminta pasien untuk
dilingkungan mengeksplorasi perasaanya jika pasien tampak enggan

31
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
- Menutupi atau terlalu memperlihatkan melakukannya
bagian tubuh (dengan dengaja atau 8. Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi dan
tidak sengaja) menggunakan mekanisme koping
- Kehilangan bagian tubuh 9. Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi
- Tidak melihat pada bagian tubuh kekuatan dan mengenali keterbatasan mereka
- Tidak menyentuh bagian tubuh
- Trauma terhadap bagian tubuh yang
tidak berfungsi
c. Faktor resiko :
- Biofisik (misalnya, penyakit kronis,
defek kongenital, dan kehamilan)
- Kongnitif/persepsi (misalnya, nyeri
kronis)
- Kultural atau spiritual
- Perubahan perkembangan
- Penyakit
- Persepetual
- Psikososial (misalnya, gangguan
makan)
- Trauma atau cedera
- Penanganan (misalnya, pembedahan,
kemoterapi, dan radiasi)
7 Dx. Kep: Kurang pengetahuan a. Knowledge : Disease Teaching : Disease Proses
a. Definisi : Ketiadaan atau defisisensi Process Aktivitas-aktivitas :
informasi kognitif yang berkaitan dengan b. Knowledge : Health 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
topic tertentu Hehavior tentang proses penyakit yang spesifik
b. Batasan karakteristik : KH : 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal
- Perilaku Hiperbola - Pasien dan keluarga ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan
- Ketidakakuratan mengikuti perintah menyatakan pemahaman cara yang tepat.
- Ketidakakuratan melakukan tes tentang penyakit, kondisi, 3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada

32
NOC
N NIC
Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Johnson,
o (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Maas, & Swanson, 2013)
- Perilaku tidak tepat (hysteria, prognosis, dan program penyakit, dengan cara yang tepat
bermusuhan, agitasi, apatis) pengobatan 4. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang
- Pengungkapan masalah - Pasien dan keluarga tepat
c. Faktor resiko : mampu melaksakan 5. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi,
- Keterbatasan kognitif prosedur yang dijelaskan dengan cara yang tepat
- Salah interpretasi informasi secara benar 6. Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang
- Kurang minat dalam belajar - Pasien dan keluarga kemajuan pasien dengan cara yang tepat
- Kurang dapat mengingat mampu menjelaskan 7. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
- Tidak familier dengan informasi kembali apa yang diperlukan untuk mencegah komplikasi dimasa yang
dijelaskan perawat/tim akan datang dan ata proses pengontrolan penyakit
kesehatan lainnya 8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
9. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan
second opinion dengan cara yang tepat atau
diindikasikan
10. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas local,
dengan cara yang tepat
11. Intruksikan pasien mengenal tanda dan gejala untuk
melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan
cara yang tepat

33
4. Discharge planning (perencanaan pulang)
Pada pasien serosis hepatis Perawat memberikan edukasi kepada
pasien sirosis hepatis, sebagai berikut (CCHCS, 2012) :
a. Menganjurkan pasien makan makanan rendah garam dan rendah
lemak,
b. Olahraga secara teratur,
c. Menghindari atau berhenti mengkonsumsi alkohol,
d. Minum obat secara teratur sesuai dengan resep yang diberikan,
e. Menghindari valsava maneuver seperti : mengejan dan mengangkat
barang berat,
f. Menggunakan sikat gigi yang halus untuk mencegah perdarahan
gusi,
g. Menciptakan lingkungan yang aman di rumah,
h. Memberikan informasi terkait kondisi yang mengharuskan pasien
dibawa ke pelayanan kesehatan, yaitu muntah darah, urin sedikit,
gangguan berpikir, BAB hitam, peningkatan  berat badan lebih dari
2,5 kg, penurunan berat badan yang tidak disengaja lebih dari 5 kg.

34
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
sirosis hati adalah penyakit kronis progresif dicirikan dengan
fibrosis luas (jaringan parut) dan pembentukan nodul. Sirosis terjadi
ketika aliran normal darah, empedu dan metabolism hepatic diubah
oleh fibrosis dan perubahan di dalam hepatosit, duktus empedu, jalur
vaskuler dan sel retikuler
B. Saran
Makalah ini tidak membahas secara menyeluruh tentang
metode pengkajian.

35
DAFTAR PUSTAKA X
Aru W, Sudoyo.(2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V.
Jakarta: Interna Publishing

Baradero, mary. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Hati.


Penerbit Buku Kedokteran.EGC. Jakarta.

Black & Hawks (2014). Keperawatan Medikal Bedah, ed.8 Jilid 3,


Singaparna, Jakarta

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M.


(2013). Nursing Interventions Classification (NIC) (6th ed.).
Singapore: Elsevier.

California Correctional Health Care Services, (2012). Cirrhosis : Patient


education.http://www.cphcs.ca.gov/docs/patienteducation.ESLD
%20Patient%20Education%20206-15-12.pdf

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana


Asuhan Keperawatan (3rd ed.). Jakarta: EGC.

Figueira, J., Sardo, P., Sim, C. J., Melo, E., & Amado, F. (2015). Pressure
ulcer risk assessment : retrospective analysis of Braden Scale scores
in Portuguese hospitalised adult patients, 3165–3176.
https://doi.org/10.1111/jocn.12927

Hadi S (2013). Gastroenterologi. Edisi ke 7. Bandung: P.T.Alumni, pp :


613-620.

Huda, Amin & Kusuma Hardhi (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 3, Mediaction
Jogja, Yogyakarta

Kemenkes. (2017). 150 ribu orang Potensial Alami Hepatitis Kronis.


Retrieved from http://www.depkes.go.id/article/150-ribu-orang-
potensial-alami-hepatitis-kronis.html

Kowalak, P. J., W. Welsh., B. Mayer. (2012). Buku AjarPatofisiologi.


Jakarta : EGC.

Kusumobroto HO (2007). Sirosis hati. Dalam: Sulaiman A, Akbar N,


Lesmana LA, Noer MS (eds). Buku ajar ilmu penyakit hati. Jakarta:
Jayabadi, pp: 335-345.

Lewis, S. M., Heitkemper, M. M., & Direksen, S. (2000). Medical Surgical

36
Nursing : Assesment and management of clinical problem (5th ed.).
St. Louis: CV. Mosby

Mary, Baradero.(2008).Seri Asuhan Keperawatan: Klien Gangguan Hati,


EGC, Jakarta

Mokdad AA, Lopez AD, Shahraz S, Lozano R, Stanaway J, Murray CJL, et


al. (2014). Liver cirrhosis mortality in 187 countries between 1980 and
2010: A systematic analysis. BMC Medicine, 12: 145.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcome Classification (NOC) (5th ed.). Singapore: Elsevier.

Munk, T., Bruun, N., & Nielsen, M. A. (2017). From Evidence to Clinical
Practice : Positive Effect of Implementing a Protein-Enriched Hospital
Menu in Conjunction With Individualized Dietary Counseling.
https://doi.org/10.1177/0884533616688432

Nurdjanah S. ( 2007). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi


keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI, 2007.

Price, A. S dan L. M. Wilson. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis


ProsesProses Penyakit. Jakarta : EGC.

Rubenstein, Wayne, dan Bradley. (2007). Kedokteran Klinis. Edisi 6.


Jakarta: Erlangga.

Smeltzer, S.(2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner


&Suddarth. Vol. 2. E/8. EGC, Jakarta.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Keperawatan Medikal Bedah (8th


ed.). Jakarta: EGC.

Smeltzer, C. S dan B. G. Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.

WHO (2010). The global burden of disease 2010. www.who.int – Diakses


September 2018

Wijaya, S. A dan Y. M. Putri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah I.


Bengkulu : Nuha Medika.

Wolf DC (2015). Cirrhosis: Practice essentials, overview, epidemiology.


http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#showall –
Diakses September 2018

37
38

Anda mungkin juga menyukai