Anda di halaman 1dari 8

Skip to content

MENU

Sastra Muslim dan Budaya

Tulisan Tentang Sastra dan Budaya Muslim

POSTED IN'ABD ALLAH IBN AL-RAWAHA, KLASIK, SASTRAWAN MUSLIM KLASIK

‘Abd Allah Ibn al-Rawaha: Penyair Nabi dan Syuhada Perang Muktah

Posted on July 23, 2011

Rate This

Ia bernama lengkap Abd Allah bin Rawaha bin Tsa’labab al-Anshary al-Khazraji. Panggilannya Abu
Muhammad. Paman daripada Nu’man bin Basyir. Wafat pada tahun 8 Hijriah’. Ia masuk Islam pada
masa Bait al-‘Aqabah al-Ula. Dikisahkan bahwa sewaktu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu
tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan
bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari duabelas orang
utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar.(penolong Rasul).
Mereka sedang dibai’at Rasul (diambil Janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai’at al-
Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi’ar Islam pertama ke kota
Madinah, dan bai’at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang
pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam. Maka salah
seorang dari utusan yang dibai’at Nabi itu, adalah Abd Allah bin Rawahah.

Pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai’at lagi 73 (tujuhpuluh tiga) orang Anshar dari
penduduk Madinah pada bai’at ‘Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah
seorang utusan yang dibai’at itu. Setelah selesai pembaiatan Aqabah yang kedua, ia berdiri di
samping Rasulullah. Kemudian bertanya kepada Rasulullah; “Wahai Rasulullah, silahkan Engkau beri
aku syarat yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya.” Pernyataan ini merupakan ekspresi keberterimaan
dan ketundukan penuh Abd Allah bin Rawahah terhadap Islam dan Rasulullah.

Pada waktu Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, ia termasuk orang terdepan yang
menyambut kedatangan Rasulullah. Ia mengambil pelana onta Rasululllah, kemudian berkata;
“Selamat datang wahai Rasulullah, Engkaulah pembawa kejayaan dan perintah.” Pada masa
kebersamaannya dengan Rasulullah di Madinah, Abdullah bin Rawahah menumpahkan berbagai
kemampuan, termasuk kepenyairannya, untuk membela Islam dan mengukuhkan sendi-sendinya.
Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abd Allah bin Ubay
(pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat
menjadi pemimpin Madinah sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha
menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abd
Allah bin Rawaha yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abd Allah bin Ubay dengan cermat,
maka gagalah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.
Abd Allah Ibnu Rawahah dikenal pula sebagai penulis karena kepandaian dalam bidang tulis baca. Ia
juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan
indah didengar. Semenjak masuknya ke dalam Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu
untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering
beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.

Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah,
lalu Nabi bertanya kepadanya: “Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?”
Jawab Abdullah: “Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan”. Lalu teruslah ia mengucapkan
syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:

“Wahai putera Hasyim yang sesempurnanya kebaikan tersemat di jiwanya,

sungguh Allah telah mengunggulkanmu dari seluruh manusia.

dan memberimu keutamaan, di mana orang tak usah iri.

Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu.

Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.

Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka

dan memecahkan persoalan tiadalah mereka henhak menjawab atau membela

Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda,bawa

Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa”.

Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: “Dan engkau pun akan
diteguhkan Allah”.

Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada ‘umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di
muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:

Oh Tuhan, kalaulah tidak karena Engkau,

niscaya tidaklah kami akan mendapat petunjuk,

tidak akan bersedeqah dan Shalat!

Maka mohon diturunkan sakinah atas kami

dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.

Sesuhgguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami,

biIa mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang”.

Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah teresebut.

Abd Allah bin Rawahah yang produktif dalam membuat sya’ir ini amat berduka sewaktu turun ayat
al-Quran al-Karim yang artinya “Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat”. (Q.S.
Asy-syu’ara: 224). Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya, yang artinya:
“Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan
menuntut bela sesudah mereka dianiaya”. (Q.S. Asy-syu’ara : 227)
Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu
Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar,
seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan:

“Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh,

tetapi engkau pasti akan mati juga!”

Ia juga menyorakkan teriakan perang:

“Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya.

Menyingkir kamu setiap kebaikkan akan ditemui pada Rasulnya”.

Ketika datanglah waktunya perang Muktah, Abd Allah bin Rawaha dipercaya Rasulullah sebagai
panglima yang ketiga dalam pasukan Islam. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama
pasukan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah. Ia tegak sejenak lalu berkata,
mengucapkan syairnya;

Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman

Keampunan dan kemenangan di medan perang

Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan

Bertekuk lututnya angkatan perang syetan

Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan …..

Mati syahid di medan perang…!!”

Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang

pukulan pedang atau tusukan tombak,

yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia…!!

Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan
telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi
sekitar duaratus ribu orang. Karena menurut perkiraan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung
akhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya. Orang-orang Islam melihat jumlah mereka yang
sedikit, lalu terdiam dan sebagian ada yang menyeletuk berkata, “Baiknya kita kirim utusan kepada
Rasulullah, memberitakan jurnlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan
pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi”.

Tetapi.Ibnu Rawahah,.bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-


pasukannya lalu berucap,

“Kawan:kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita
bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya. jumlah Kita tidak memerangi memerangi
mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah
dimuliakan Allah … !Ayohlah kita maju ….! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenagan
atau syahid di jalan Allah!”

Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu
menyatakan setuju. Mereka berteriak: “Sungguh, demi Allah, benar yang diucapkan Ibnu
Rawahah.. !” Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit
menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk
menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya. Kedua pasukan, balatentara itu pun
bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.

Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin
yang kedua Ja’far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran,
dan menyusul pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Di kala itu ia
memungut panji perang dari tangan kananya Ja’far, sementara peperangan sudah mencapai
puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah diantara pasukan-
pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius
untuk maksud ini. Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke
muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi
panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi
terlihat kehebatan tentara Romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya.
Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan
melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:

“Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga

Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..

Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati

Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….

Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini

Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!”

(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).

Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!” Ia pun maju menyerbu orang-orang
Romawi dengan gagahnya. Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat
janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat
menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi, desah nafasnya sampailah pada bilangan terakhir,
deyut jantungnya mengantarkannya pada detik-detik perjummpaan terakhir, maka berangkatlah ia
ke hadirat Allah sebagai syahid. Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik
menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya:

“Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku:

Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!”

“Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….!


Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!”

Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ di Syam, Rasulullah saw. sedang
duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan
yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi terdliam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca.
Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata
yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasihan. Seraya memandang berkeliling ke wajah para
shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata: “Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah,
ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia
bertempur pula bersamanya sampai syahid pula”. Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya
ucapannya: “Kemudian panji itu dipegang oleh Abd Allah bin Rawahah dan ia bertempur bersama
panji itu, sampai akhirnya ia·pun syahid pula”. Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata
beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : ”

Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …”

Perjalanan manalagi yang lebih mulia …….

Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …….

Mereka maju ke medan laga bersama-sama …….

Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ….

Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah
ucapan Rasullullah saw yang berbunyi : “Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……

Share this:

TwitterFacebook

Related

Hasan ibn al-Tsabit: Penyair Rasulullah

July 15, 2011

In "Hasan Ibn al-Tsabit"

Ibn 'Atha' Illah

September 23, 2011

In "Ibn 'Atha'illah"

Hasan al-Bashri: Menertas Jalan Sastra Sufi

August 11, 2011

In "Hasan al-Bashri"
Author: Dadan Rusmana

Belajar berfikir, menulis, dan berbagi

VIEW ALL POSTS

Post navigation

Previous Post

Jarir Ibn Atiyah: Penyair Satiris Bani Umayyah

Next Post

Abu Nuwas: Legenda Humor, Penyair Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment

Name *

Email *

Website

Notify me of new comments via email.

Notify me of new posts via email.

Cari di sini

Search for:

Search …

Kalender

July 2011

M T W T F S S

1 2 3

4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17

18 19 20 21 22 23 24

25 26 27 28 29 30 31

« Jun Aug »

Kategori Yang Ingin Dicari

Kategori Yang Ingin Dicari

Select Category

Top Posts & Pages

Perkembangan Sastra Pada Masa Rasulullah

'Abd Allah Ibn al-Rawaha: Penyair Nabi dan Syuhada Perang Muktah

Hasan ibn al-Tsabit: Penyair Rasulullah

"NGUKUS": TRADISI MEMBAKAR KEMENYAN

KOLONIALISME DAN IMPERIALISME EROPA ATAS DUNIA ISLAM

Al-Mutanabbi: "Nabi" Para Sastrawan

Syair-Syair Imam al-Syafi'i

Tradisi "Muludan"

"BUBUR MERAH" DAN "BUBUR PUTIH"

Perkembangan Sastra Muslim pada Masa Bani Umayyah Timur

Daftar Pengunjung

215,876 Pengunjung

Follow Blog via Email

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 12 other followers

Email Address:

Enter your email address

FOLLOW

ARSIP
ARSIP

Select Month

Blog Stats

215,876 hits

Website Powered by WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai