Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TAFSIR DAN HADITS EKONOMI

TENTANG UTANG PIUTANG DAN GADAI

Pengampu:
Dr. Ending Solehudin, MA

Ainun Nurul Syadiah 2000200010

MATA KULIAH TAFSIR DAN HADITS EKONOMI


PRODI EKONOMI ISLAM
PASCASARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2020
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dari
mata kuliah Tafsir dan Hadits Ekonomi yang membahas tentang Ayat-ayat dan
hadits tentang utang-piutang dan gadai (al-Baqarah: 282-283).
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
baik itu dalam penulisan maupun terkait kelengkapan pembahasannya. Maka dari
itu segala kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan ucapan
terimakasih demi perbaikan makalah ini.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1. Latar Belakang ............................................................................ 1
2. Rumusan Masalah ....................................................................... 1
3. Tujuan ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 2
1. Pengertian Utang Piutang dan Gadai ........................................... 2
2. Dasar Hukum Utang Piutang dan Gadai ...................................... 4
3. Rukun dan Syarat Utang Piutang dan Gadai ................................ 6
4. Tafsir Al-Baqarah ayat 282-283 ................................................. 8
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 12
Kesimpulan ....................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 13

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, manusia adalah makhluk yang
senantiasa bergantung dan terikat serta saling membutuhkan kepada yang lain.
Secara naluriah, manusia saling tolong menolong demi tercapainya sebuah
cita-cita yang diharapkan bersama. Hubungan individu dengan lainnya, seperti
pembahasan masalah hak dan kewajiban, harta, jual beli, kerja sama dalam
berbagai bidang, pinjam meminjam, sewa menyewa, penggunaan jasa dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang sangat diperlukan manusia dalam kehidupan
sehari-hari, diatur dalam fiqih muamalah1.

Utang-piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi


kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu
penyebab munculnya perkara ini. Islam sebagai agama yang mengatur segala
urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara utang-
piutang. Konsep utang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah
untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan.

Dakam muamalah ada yang namanya jual beli kadang kala berjumpa
dengan yang namanya utang piutang. Seringkali dalam prosesnya selalu ada
suatu hal yang dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal kegiatan
bermuamalah khususnya utang piutang sudah ada dalil ayat dan hadits yang
mengatur tentang hal tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian utang piutang dan gadai?
2. Apa yang menjadi dasar hukum utang piutang dan gadai?
3. Apa rukun dan syarat utang piutang beserta gadai?
4. Bagaimana Tafsir Al-Baqarah ayat 282-283 ?

1
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003),
C. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini untuk mempelajari tentang pengertian utang
piutang, dasar hukum, syarat, juga tafsir Al-quran surah Al Baqarah 282-283

2
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Utang Piutang dan Gadai


1. Pengertian Utang Piutang
Hutang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu uang yang
dipinjamkan dari orang lain.2 Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang
dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).

Dalam bahasa Arab penggunaan kosa kata “pinjam-meminjam” mempunyai


banyak kata diantaranya yaitu: al-dain, al-ariyah, dan al-qard. Kata al-dain
berasal dari kata adana-yudinu yang berarti mengutangi, memberi pinjaman3,
kemudian kata al-ariyah yang berasal dari kata ara-yuiru yang berarti:
meminjamkan, meminjami. Sedangkan al-qard berasal dari kata aqrada-
yuqridu yang berarti: meminjam (uang), mengutangi. Dalam kehidupan
sekarang, penggunaan kata al-dain atau utangpiutang dengan al-ariyah atau
pinjaman berbeda.

Utang-piutang adalah perkara yang sulit bisa dipisahkan dalam kehidupan


manusia sehari-harinya. Adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman
(utang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini. Seringkali seorang muslim
hanya memfokuskan kesalehan dan ketakwaannya kepada Allah swt. dalam
masalah ibadahnya saja. Namun, terkadang ia mengabaikan masalah-masalah
yang berkaitan dengan muamalah sesama manusia. Sejatinya Allah swt. telah
mengingatkan bahwa kita sebagai muslim harus melaksanakan berbagai tugas
di bumi dengan Kaffah (menyeluruh).

2
Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,2003), h.1136
3
Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia Arab, Arab-Indonesia al-Bis}ri, cet.I,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 214.

3
2. Pengertian Gadai
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap,
kekalatau penahanan.4 Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah
adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak
kepemilikannya dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya.5

Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang, namun harus sesuai dengan
syariát islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan.
Selanjutnya dalam makalah ini akan dijelaskan gadai menurut pandangan
islam, yang meliputi pengertian gadai yang ditinjau menurut syariah islam,
landasan hukum gadai, rukun dan syarat gadai, memanfaatkan barang yang
sedang digadaikan, implementasi gadai dalam perbankan, riba dalam gadai,
serta penyelesaian gadai.

B. Dasar Hukum Utang Piutang dan Gadai


1. Dasar Hukum Utang Piutang
Utang piutang merupakan perbuatan kebajikan yang telah disyari’atkan dalam
Islam, hukumnya adalah mubah atau boleh. Mengenai transaksi utang piutang
ini banyak disebut dalam al-Qur’an, Hadis serta pendapat ulama.

Utang piutang dalam hukum Islam dapat didasarkan pada perintah dan anjuran
agama supaya manusia hidup saling tolong menolong serta bekerjasama dalam
hal kebaikan. Transaksi hutang piutang terdapat dalam nilai luhur dan cita-cita
sosial yang sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan
demikian pada dasarnya pemberian hutang pada seseorang harus didasari niat
tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan.

4
Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan
Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73
5
Ibid., 73

4
Ayat ini berarti juga bahwa pemberian hutang harus didasarkan pada
pengambilan manfaat dari suatu pekerjaan dianjurkan oleh agama atau tidak
ada larangannya dalam melakukannya.6
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qasas ayat 77 :

‫ّٰللاُ اِلَ ۡيكَ َو َۡل‬ َ ۡ‫َص ۡيبَكَ مِ نَ الد ُّۡنيَا َواَحۡ س ِۡن َك َم ۤا اَح‬
‫سنَ ه‬ ِ ‫سن‬ ٰ ۡ ‫َّار‬
َ ‫اۡلخِ َرةَ َو َۡل ت َۡن‬ ‫َو ۡابت َِغ ف ِۡي َم ۤا ٰا ٰتٮكَ ه‬
َ ‫ّٰللاُ الد‬
َ‫ّٰللا َۡل يُحِ بُّ ۡال ُم ۡف ِسد ِۡين‬
َ ‫ض ا َِّن ه‬ َ ۡ ‫سادَ فِى‬
ِ ‫اۡل ۡر‬ َ َ‫ت َۡب ِغ ۡالـف‬

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
Berdasarkan nash tersebut sudah jelas bahwa manusia memiliki hak untuk
melakukan berbagai cara sesuai dengan aturan yang berlaku, begitupun dengan
hal utang piutang.

2. Dasar Hukum Gadai


Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala
sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah
ditetapkan dalam Al-qur’an dan Hadits.

a. Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:


َ ٍّ ‫سلَّ َم م ِْن َي ُهودِي‬
‫ط َعا ًما َو َرهَنَهُ دِرْ عًا م ِْن َحدِي ٍّد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ِ َّ‫شةَ قَالَتْ ا ْشت ََرى َرسُو ُل ّٰللا‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫عا ِئ‬ َ
“Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara
menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai
jaminan”. (shahih muslim)
b. Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda :
َ ‫ َو‬,ُ‫ لَهُ غُ ْن ُمه‬,ُ‫صاحِ ِب ِه اَلَّذِي َرهَنَه‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ‫لر ْه ُن م ِْن‬ َّ َ‫ ( َۡل َي ْغلَ ُق ا‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ َ ‫صلَّى‬
َ ‫ّٰللا‬ ِ َّ َ ‫ قَا َل َرسُو ُل‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬
َ - ‫ّٰللا‬ َ ‫َو‬
‫سال‬ َ ‫ظ ِع ْن َد أَ ِبي د َُاو َد َو‬
َ ْ‫غي ِْر ِه ِإر‬ َ ‫ ِإ َّۡل أَ َّن اَ ْل َمحْ فُو‬. ٌ‫ َو ِر َجالهُ ِثقَات‬,‫ َوا ْل َحا ِك ُم‬,‫ي‬ ْ ُ‫َّارق‬
ُّ ‫ط ِن‬ َ ‫غُرْ ُمهُ ) َر َوا ُه اَلد‬

6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor:Kencana, 2003), h.222.

5
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia
memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni
dan Ibnu Majah).

c. Nabi bersabda :
َّ ‫س َّل َم ال‬
‫ َولَ َب ُن الد َِّر‬,‫ظ ْه ُر يُرْ َكبُ ِبنَفَقَ ِت ِه ِإذَا كَانَ َمرْ هُونًا‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫ص َّلى‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ِ َّ‫أَ ِبي ه َُري َْرةَ قَا َل َرسُو ِل ّٰللا‬ ‫عن‬
ُ‫علَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة‬ َ ‫ َو‬,‫يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه إِذَا كَا َن َمرْ هُونًا‬
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung
biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan
menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu
wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”. (shahih muslim)

Al-Qur’an memperbolehkan adanya hukum akad gadai, dengan mengecualikan jika


adanya unsur riba yang terdapat didalamnya.
C. Rukun dan Syarat Utang Piutang dan Gadai
1. Rukun dan Syarat Utang Piutang
Syarkhul Islam Abi Zakaria al-Ansari sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Syafe’i Antonio dalam bukunya yang berjudul Bank Syari’ah
dari Teori ke Praktek memberi penjelasan bahwa rukun utang piutang itu
sama dengan jual beli 7, yaitu:
a. Yang berhutang dan yang berpiutang
b. Barang yang dihutangkan
c. Bentuk persetujuan antara kedua belah pihak.

Sedangkan Drs. Chairuman Pasaribu berpendapat bahwa rukun utang


piutang ada 4 macam 8, yaitu:
a. Orang yang memberi hutang
b. Orang yang berhutang
c. Barang yang dihutangkan (objek)
d. Ucapan Ijab dan Qabul (Lafadz)

7
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
8
Chairuman Pasaribu Dan Suharwadi K. Lubis, Op. Cit., h.136.

6
Dengan demikian utang piutang dianggap telah terjadi apabila sudah
terpenuhi rukun dan syarat dari hutang piutang itu.

Dr. H. Nasrun Haroen MA dalam bukunya Fiqh Muamalah9 menyebutkan


bahwa syarat dalam akad ‘ariyah adalah sebagai berikut:
a. Muir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan
barang. Orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang
amanah, sedangkan ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus
dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya.
b. Pemegangan barang oleh peminjam
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah
memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
c. Barang (mustaa’r) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika
musta’ar tidak dapat dimanfaatkan maka akad menjadi tidak sah.
d. Manfaat barang yang dipinjamkan itu termasuk manfaat yang mubah
(dibolehkan syara’).

2. Rukun dan Syarat Gadai


Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa
rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
a. Ijab Qabul (sighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di
dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu
dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seprti halnya jual beli,
karena gadai sendiri itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli. Seperti yang
telah ditetapkan dalam kaidah fiqh:
‫وكل ما جاز بيعه جاز رهنه‬
“Setiap sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual maka boleh digadaikan.”

9
H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.240.

7
Jika ditarik kesimpulan dari kaidah diatas, maka secara tidak langsung
ditemukan kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni
harus sama-sama menggunakan wazan sighat, yakni Ijab dan Qabul antara
Rahin dan Murtahin.
b. Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai
yaitu Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah
dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.
c. Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh
Rahin (pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin
secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan harta
yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak
dapat diperjual-belikan tidak dapat digadaikan.
d. Hutang (Marhun Bih)
Menurut ulama Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak
atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang
tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh
Rahin dan Murtahin10

D. Tafsir Al-Baqarah ayat 282 – 283

ُّ ‫علَ ۡي ِه ۡال َح‬


‫ـق‬ َ ‫ِى‬ ۡ ‫ّٰللاُ فَ ۡليَ ۡكت ُ ۡب ۚ َو ۡليُمۡ ِل ِل الَّذ‬
‫علَّ َمهُ ه‬
َ ‫ب َك َما‬ َ ُ ‫ب كَاتِبٌ اَ ۡن ي َّۡكت‬ َ ‫ب َّۡينَكُ ۡم كَات ٌِۢبٌ بِ ۡالعَ ۡد ِل ۚ َو َۡل يَ ۡا‬
‫َس مِ ۡنهُ ش َۡيـــًٔا‬ ۡ ‫ّٰللا َربَّهٗ َو َۡل يَ ۡبخ‬َ‫ق ه‬ ِ َّ ‫ضع ِۡيفًا اَ ۡو َۡل َو ۡليَت‬
َ ‫سف ِۡي ًها اَ ۡو‬ َ ‫ـق‬ ُّ ‫علَ ۡي ِه ۡال َح‬
َ ‫ِى‬ ۡ ‫فَا ِۡن َكانَ الَّذ‬
‫ش ِه ۡيدَ ۡي ِن مِ ۡن ِر َجا ِلكُ ۡمۚ فَا ِۡن لَّ ۡم يَكُ ۡونَا‬ َ ‫يَسۡ تَطِ ۡي ُع اَ ۡن يُّمِ َّل ه َُو فَ ۡليُمۡ ل ِۡل َو ِليُّهٗ بِ ۡالعَ ۡد ِل َواسۡ ت َۡش ِهد ُۡوا‬
‫َض َّل اِحۡ ٰدٮ ُه َما فَتُذَك َِر اِحۡ ٰدٮ ُه َما‬ِ ‫ش َهدَآءِ اَ ۡن ت‬ ُّ ‫ض ۡونَ مِ نَ ال‬ َ ‫َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج ٌل َّوامۡ َراَ ٰت ِن مِ َّم ۡن ت َۡر‬
‫ش َهدَآ ُء اِذَا َما دُع ُۡوا‬ُّ ‫ب ال‬ َ ‫صغ ِۡي ًرا اَ ۡو َكبِ ۡي ًرا ا ِٰلٓى ۡاۡلُ ۡخ ٰرى َو َۡل يَ ۡا‬ َ ُ‫َو َۡل تَسۡ ـــَٔ ُم ۡۤوا اَ ۡن ت َۡكتُب ُۡوه‬
ۤ
ً ‫اض َرة‬ ِ ‫ارة ً َح‬َ ‫ش َهادَةِ َواَ ۡد ٰنى اَ َّۡل ت َۡرتَاب ۡ ُٓوا ا َّ ِۤۡل اَ ۡن تَكُ ۡونَ تِ َج‬َّ ‫ّٰللاِ َواَ ۡق َو ُم لِل‬
‫سطُ ع ِۡندَ ه‬ َ ‫اَ َجلِه ٰذ ِلكُ ۡم اَ ۡق‬

10
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam al-Qur’an jilid 3 (
Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.or.879) hal.149

8
‫علَ ۡيكُ ۡم ُجنَا ٌح اَ َّۡل ت َۡكتُب ُۡوهَا‬ َ ُ‫َواَ ۡش ِهد ُۡۤوا اِذَا تَبَايَعۡ ت ُ ۡم ۖ َو َۡل ي‬
َ ‫ضا ٓ َّر كَاتِبٌ َّو َۡل تُد ِۡي ُر ۡونَ َها بَ ۡينَكُ ۡم فَلَ ۡي‬
َ ‫س‬
ٌ‫ش ِه ۡيد‬ َ ‫عل ِۡي ٌم‬ َ ٍّ‫ّٰللاُ ِبكُ ِل ش َۡىء‬
‫ّٰللاُ َو ه‬‫ّٰللا َويُ َع ِل ُمكُ ُم ه‬ َ ‫ؕ َوا ِۡن ت َۡف َعلُ ۡوا فَ ِانَّهٗ فُسُ ۡو ٌق ٌۢ ِبكُ ۡم َو اتَّقُوا ه‬

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang


untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis
menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang
berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang
berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak
mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan
benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika
tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang
ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya.
Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apa-bila dipanggil. Dan janganlah kamu
bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun
besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan
kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal
itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi
apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga
saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu
kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan
pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

1. Tafsir al-Maraghi tentang Surat Al-Baqarah Ayat 282.


al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan perintah kepada kaum
muslimin agar memelihara muamalah utang-utangnya yang meliputi masalah
qiradh dan silm (barangnya belakangan, tetapi uangnya dibayar dimuka secara
kontan) dan menjual barang pada waktu yang telah ditentukan, agar menulis

9
sangkutan tersebut (Bahrun Bakar Abu, 1993). Dengan demikian, apabila tiba
saat penagihan, maka mudah baginya (pemberi hutang) meminta kepada orang
yang dihutanginya berdasarkan catata-catatan yang ada.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa dalam masalah penulisan hutang, tulisan
merupakan bukti yang dapat diterima apabila sudah memenuhi syarat dan
penulisan ini diwajibkan untuk urusan kecil dan besar. Tidak boleh
meremehkan hak sehingga tidak hilang, ini menjadi prinsip ekonomi di zaman
modern sekarang. Jadi, setiap muamalah dan pertukaran mempunyai daftar-
daftar khusus yang di dalamnya disebutkan waktu menunaikannya. Dalam hal
ini, pengadilan menganggap daftar-daftar itu sebagai bukti. Hukum ini lebih
baik dalam rangka menegakkan keadilan antara dua orang yang bersangkutan
di samping memperjelas kesaksian yang sebenarnya. Ayat ini juga mengandung
isyarat bahwa saksi diharuskan meminta dokumen perjanjian tertulis apabila
diperlukan, untuk mengingat kembali duduk perkara ketika perjanjian itu
terjadi. Semua cara-cara tersebutlebih baik dalam rangka menghilangkan
keraguan antar para pihak.

2. Penafsiran Quraisy Shihab pada Surat al-Baqarah Ayat 282.


M. Quraiys Shihab (2001) menjelaskan bahwa ayat 282 surat al-Baqarah di atas
dikenal oleh para ulama dengan nama ayat mudayanah (ayat utang-piutang).
Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran –atau menurut sebagian ulama-
kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak
ketiga atau (notaries), sambil menekankan pentingnya menulis hutang walau
sedikit disertai dengan jumlah dan ketetapan waktu. M. Quraisy Shihab lebih
lanjut menjelaskan sehubungan dengan firman Allah “Janganlah penulis dan
saksi memudharatkan yang bermuamalah”bahwa para penulis dan saksi tidak
merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksiannya apalagi
menyembunyikannya atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan
kesepakatan mereka (realitasnya). Jika itu dilakukan maka sesungguhnya itu
adalah suatu kefasikan. Pengertian “Janganlah penulis dan saksi
memudharatkan yang bermuamalah” juga dapat berarti “Janganlah yang
bermuamalah memudharatkan para penulis dan saksi”, salah satu bentuk

10
mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya
kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan
mereka ganti biaya transport dan biaya administrasi sebagi imbalan atas jerih
payah dan penggunaan waktu mereka.11

3. Tafsir surat Al Baqarah Ayat 283


Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS.
Al-Baqarah ayat 283, diantaranya adalah :
‫ع ٰلى كُ ْنتُم إن َو‬ َ ‫ضةٌ فَ ِر ٰه ٌن كَاتِبًا ت َِجد ُْوا لَ ْم َو‬
َ ‫سف ٍَّر‬ َ ‫َّم ْقب ُْو‬
“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).”(QS. Al-Baqarah : 283)

Firman Allah : (‫ع ٰلى كُ ْنتُم إن َو‬


َ ‫سف ٍَّر‬
َ ) “Jika kamu dalam perjalanan”. Yakni, sedang
melakukan perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai batas waktu tertentu,
(‫“ )كَاتِبًا ت َِجد ُْوا لَ ْم َو‬sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis.” Yaitu seorang
penulis yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau
mereka mendapatkan seorang penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta
atau pena, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi
pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang
oleh si pemberi pinjaman.”

Firman Allah Ta’ala: (‫ض ٌة فَ ِر ٰه ٌن‬


َ ‫“ ) َّم ْقب ُْو‬Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang).” Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang
menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang.
Sebagaimana yang menjadi pendapat imam syafi’i dan jumhur ulama. Dan
ulama lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu
harus berada ditangan orang yang memberikan gadai12

11
Musadad, A. (2019). KONSEP HUTANG-PIUTANG DALAM Al- QUR ’ AN ( Studi perbandingan
Tafsir al-Maraghi Karya Ahmad Mustafa al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah karya Muhammad
Quraish Shihab ). 6(2), 54–78.
12
Al-Mundziri, Ringkasan Sahih Muslim, (Bandung: Jabal, 2013, No.970, Cet.2) hal.372

11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan, yang dimaksud dengan utang piutang, yaitu uang
yang dipinjamkan dari orang lain. Sedangkan piutang mempunyai arti uang
yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain). Gadai mempunyai
arti penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya
dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya.
Utang piutang dan Gadai memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi
agar transaski nya syah menurrut Syariah.
Tafsir Al-Baqarah ayat 282-283 di jelaskan oleh 2 orang dalam penulisan
ini, yakni Al-Maraghi dan Quraish Shihab ada beberapa perbedaan dan
persamaan di dalamnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT.


Grafindo Persada, 2003),
2. Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai
Pustaka,2003), h.1136
3. Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia Arab, Arab-
Indonesia al-Bis}ri, cet.I, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 214.
4. Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2,
Vol.2) hal.73
5. Ibid., 73
6. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor:Kencana, 2003), h.222.
7. Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
8. Chairuman Pasaribu Dan Suharwadi K. Lubis, Op. Cit., h.136.
9. H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007), h.240.
10. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li
Ahkam al-Qur’an jilid 3 ( Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985)
hal.412.or.879) hal.149
11. Musadad, A. (2019). KONSEP HUTANG-PIUTANG DALAM Al- QUR ’
AN ( Studi perbandingan Tafsir al-Maraghi Karya Ahmad Mustafa al-
Maraghi dan Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab ). 6(2),
54–78.
12. Al-Mundziri, Ringkasan Sahih Muslim, (Bandung: Jabal, 2013, No.970,
Cet.2) hal.372

13

Anda mungkin juga menyukai