FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI 2020 BAB 5 Implementasi Kebijakan
5.1 Pengertian Implementasi
Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin mengemukakan pengertian im- plementasi dirumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplemen- tasikan) berarti to provide means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) to give practical effec to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Dari definisi tersebut maka implementasi pelaksanaan dapat diartikan sebagai suatu proses melaksanakan keputusan pelaksanaan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah presiden atau dekrit presiden). Kata implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang be- rarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana un- tuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang–undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradi- lan dan Kebijakan yang dibuat oleh Lembaga–Lembaga Pemerintah dalam ke- hidupan kenegaraan. Pengertian implementasi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah tindakan–tindakan yang dilakukan oleh pihak– pihak yang berwenang dan berkepentingan, baik pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan cita–cita serta tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi berkaitan dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan dan merealisasikan program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan, karena pada da- sarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang hen- dak dicapai. Menurut Hanifah Harsono dalam bukunya yang berjudul Implementasi Ke- bijakan dan Politik, (2002) mengemukakan pendapatnya mengenai implemen- tasi atau pelaksanaan sebagai berikut: Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tin- dakan kebijakan dari politik kedalam administrasi. Pengembangan kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program. Pengertian Implementasi yang dikemukakan oleh Hanifah Harsono, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah suatu kebijakan dalam penyelesaian keputusan demi terciptanya tujuan yang baik dengan bergantung bagaimana implementasi yang berjalan dengan baik dalam melaksanakan proses penyempurnaan akhir. Oleh karena itu suatu implementasi baik di- harapkan dalam setiap program untuk terciptanya tujuan yang diharapkan.
5.2 Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan ke- lompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintah, organisasi, dan ke- lompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembu- atan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya ber- dasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit. Menurut Noeng Muhadjir kebijakan merupakan upaya memecahkan prob- lem sosial bagi kepentingan masyarakat atas asas keadilan dan kesejaheraan masyarakat. Dan dalam kebijakan setidaknya harus memenuhi empat hal penting yakni; a. Tingkat hidup masyarakat meningkat, b. Terjadi keadilan: By the law, social justice, dan peluang prestasi dan kreasi individual, c. Diberikan peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam membahas ma- salah, perencanaan, keputusan dan implementasi), dan d. Terjaminnya pengembangan berkelanjutan. Sementara menurut Weihrich dan Koontz dikutip dari Amin priatna bahwa kebijakan adalah alat membersihkan hati atau harapan yang men- dorong, inisiatif tetatp dalam keterbatasan. Kebebasan tergantung pada ke- bijakan dan sebaliknya akan mereflesikan posisi dan kekuasaan dalam organ- isasi.3Kebijakan juga adalah rencana, kebijakan itu sebagai peryataan atau pemahaman atau pengertian yang mengarahkan pikiran dalam membuat keputusan. Tidak semua kebijakan merupakan pernyataan, tetapi sering diim- plikasikan dari tindakan menejer.4Sementara Koontz, Donnell dan Weihrich mengatakan bahwa kebijakan adalah sebagai tuntunan dalam berfikir untuk mengambil keputusan, keputusan tersebut Lebih lanjut Muhadjir mengatakan bahwa kebijakan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kebijakan subtantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan subtantif adalah keputusan yang dapat diambil berupa memilih alternatif yang dianggap benar untuk mengatasi masalah. Tindak lanjut dari kebijakan sub- tantif adalah kebijakan implemtatif yaitu keputusan-keputusan yang berupa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk melaksanakan kebijakan subtan- tif.7Secara empiris kebijakan berupa undang-undang, petunjuk, dan program, dalam sebuah Negara kebijakan dianggap sebagai rangkaian tindakan yang dikembangkan oleh badan atau pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok pelaku untuk me- mecahkan masalah tertentu. Dengan demikian berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpukan bahwa kebijakan adalah sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dari dasarpada masalah yang menjadi rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak, pern- yataan cita-cita, prinsip, atau maksuddalam memecahkan masalah sebagai garis pedoman untuk manajeman dalam usaha mencapai sasaranatau tujuan. Dengan kata lain sebagai pedoman untuk bertindak bagi pengambilan kepu- tusan. Dengan demikian, pengertian perumusan kebijakan menyangkut suatu proses yang terdiri dari sejumlah langkah-langkah. Ripley (1985) menjelaskan beberapa langkah dalam kebijakan, yaitu: a. Agenda setting b. Formulation dan legitimination c. Program Implementations d. Evaluation of implementation, performance, and impacts e. Decisions about the future of the policy and program.
Tindakan Ke- Deskripsi Evaluasi Rekomendasi
bijakan Sebelum Tinda- prediksi - Preskripsi kan (ex-ante) Sesudah Tinda- deskripsi Evaluasi - kan (ex-pose)
Penjelasan dari istilah pada tindakan kebijakan diatas adalah:
a. Definisi yang menghasilkan pengetahuan mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. b. Prediksi adalah menyedikan informasi mengenai konsekuensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu. c. Preskripsi adalah menyediakan informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan dimasa yang akan datang d. Deskripsi adalah menghasilkan informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan dimasa sekarang dan masa lalu e. Evaluasi adalah kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan permasalahan. Untuk lebih memamahi kebijakan maka perlu mengkaji tentang analisis ke- bijakan, karena kebijakan pada esensinya adalah suatu proses dalam upaya untuk membuat perubahan kearah yang lebih baik, sehingga berdampak pada kesejahteraan bangsa. Pembuat kebijakan publik pada umumnya adalah un- sur birokrat atau pejabat pemerintah termasuk para pegawai senior pemerintah, yang tugasnya adalah memberikan pelayanan demi kebaikan publik. Untuk itu para ahli mencoba menjelaskan pengertian analisis kebijakan. Berdasarkan prosedur analisis tindakan kebijakan ini bertujuan akhir pada pemecahan masalah yang dihadapi, sehingga perlu dibuat kebijakan untuk mengataasi permasalahan tersebut. Untuk itu analisis kebijakan akan mem- perkirakan apa yang akan terjadi apabila alternatif yang dipilih ditetapkan untuk dilaksanakan, memperkirakan apa yang akan terjadi kemudian apa yang harus dilakukan serta dampak apa yang akan terjadi dari kebijakan tersebut. Selan- jutnya, apabila tidak dilakukan alternatif kebijakan tersebut maka tantangan yang akan terjadi baik kondisi politik, sosial, dan budaya apabila kebijakan itu tidak dilaksnakan. Kemudian analisis kebijakan mendeskripsikan kebijakan yang telah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan sehingga diperoleh gam- baran apa kekurangan dari kebijakan yang telah dilakukan dan apa kelebihan dari kebijakan yang telah dilaksanakan, sehingga diperoleh alternatif yang te- pat. Melalui evaluasi kebijakan akan diperoleh gambaran sejauh mana ke- bijakan yang dilaksanakan dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Kegagalan atau keberhasilan pelaksanaan kebijakan dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan atau mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya, keseluruhan proses pelaksanaan kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau mambandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.
5.3 Komponen Kebijakan
Para ahli kebijakan kesehatan membagi kebijakan ke dalam empat komponen yaitu konten, process, konteks dan aktor (Frenk J. 1993; Buse, Walt and Gilson, 1994; May & Walt, 2005). 1. Konten kebijakan berhubungan dengan teknis dan institusi. Contoh aspek teknis adalah penyakit diare, malaria, typus, promosi kesehatan. Aspek insitusi adalah organisasi publik dan swasta. Konten kebijakan memiliki empat tingkat dalam pengoperasiannya yaitu: a. Sistemik atau menyeluruh di mana dasar dari tujuan dan prinsip- prinsip diputuskan. b. Programatik adalah prioritas-prioritas yang berupa perangkat untuk mengintervensi dan dapat dijabarkan ke dalam petunjuk pelaksa- naan untuk pelayanan kesehatan. c. Organisasi di mana difokuskan kepada struktur dari institusi yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan. d. Instrumen yang menfokuskan untuk mendapatkan informasi demi meningkatkan fungsi dari sistem kesehatan. 2. Proses kebijakan adalah suatu agenda yang teratur melalui suatu proses rancang dan implementasi. 3. Konteks kebijakan adalah lingkungan atau setting di mana kebijakan itu dibuat dan diimplementasikan (Kitson, Ahmed, Harvey, Seers, Thomp- son, 1996). Faktor-faktor yang berada di dalamnya antara lain politik, ekonomi, sosial dan kultur di mana hal-hal tersebut sangat ber- pengaruh terhadap formulasi dari proses kebijakan (Walt, 1994). Ada banyak lagi bentuk yang dikategorikan ke dalam konteks kebijakan yaitu peran tingkat pusat yang dominan, dukungan birokrasi dan pengaruh aktor-aktor international juga turut berperan. 4. Aktor adalah mereka yang berada pada pusat kerangka kebijakan kesehatan. Aktor-aktor ini biasanya memengaruhi proses pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Mereka merupakan bagian dari jaringan, kadang-kadang disebut juga mitra untuk mengkonsultasi dan memutuskan kebijakan pada setiap tingkat tersebut (Walt, 1994). Hub- ungan dari aktor dan peranannya (kekuasaannya) sebagai pengambil keputusan adalah sangat tergantung kepada kompromi politik, da- ripada dengan hal-hal dalam debat-debat kebijakan yang masuk diakal (Buse, Walt and Gilson, 1994).
5.4 Proses Kebijakan
Proses kebijakan adalah cara dari kebijakan itu diinisiasi, dikembangkan atau diformulasikan, dinegosiasikan, dikomunikasikan, diimplementasi dan di- evaluasi (Sutcliffe & Court, 2006). Ada dua langkah dalam mengformulasikan proses kebijakan yaitu tentukan pilihan dari kebijakan dan pilihlah yang diuta- makan. Pada kedua tahapan ini pembuat kebijakan idealnya harus memahami situasi yang spesifik dan membandingkan pilihan pilihan secara rinci, sehingga dapat membuat keputusan untuk dapat diimplementasi (Sutton, 1999). Proses pengembangan kebijakan menurut Brehaut dan Juzwishin adalah mengumpulkan, memproses, dan mendesiminasikan informasi yang berhub- ungan dengan kebijakan yang akan dikembangkan; mempromosikan pilihan- pilihan untuk langkah yang akan diambil; mengimplementasi pada pengambil keputusan; memberikan sanksi bagi yang tidak bisa mentaati; dan mengeval- uasi hasil pencapaian (Brehaut & Juzwishin, 2005). Pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengerti suatu proses ke- bijakan adalah yang disebut “stages heuristic” yaitu memilah proses kebijakan tersebut ke dalam suatu rangkaian tingkatan dengan menggunakan teori dan model serta tidak mewakili apa yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Langkah langkahnya adalah pertama, identifikasi masalah dan pengenalan akan hal-hal yang baru termasuk besar persoalan-persoalannya. Pada langkah ini dieksplorasi bagaimana hal-hal yang menjadi perhatian masuk da- lam ke dalam agenda. Kedua, formulasi kebijakan yang mengexplorasi siapa- siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, bagaimana kebijakan itu disepakati dan bagaimana akan dikomunikasikan. Ketiga, implementasi ke- bijakan. Tahap ini sering kali diabaikan namun demikian merupakan fase yang sangat penting dalam membuat suatu kebijakan, karena apabila kebijakan tidak diimplementasikan maka dapat dianggap keliru. Keempat, evaluasi ke- bijakan dimana diidentifikasi apa saja yang terjadi termasuk hal-hal yang mun- cul dan tidak diharapkan dari suatu kebijakan (Pollard & Court, 2005). Agenda-agenda dari kebijakan kesehatan didominasi oleh hal-hal yang spesifik yang berhubungan dengan kebutuhan yang dirasakan dalam konteks sistem kesehatan untuk menjawab persoalan kesehatan masyarakat, penyebab penyakit atau hal-hal yang berhubungan dengan organisasi dan ma- najemen kesehatan. Contohnya obat-obatan, peralatan medis, akses terhadap fasilitas kesehatan dan lain sebagainya.
5.5 Analisis Kebijakan
Menurut Sringate, Baginski & Soussan, 2007, ada beberapa tujuan melaksanakan suatu analisis dari kebijakan yaitu: a. Untuk dapat memahami proses kebijakan yang dikembangkan dan diimplementasi. b. Untuk mengetahui tujuan dan motivasi di balik kebijakan yang diimple- mentasi termasuk fokus pada pendekatan pendapatan keluarga dan kemiskinan. c. Untuk memahami cara kebijakan tersebut berpengaruh terhadap area keberadaan pendapatan keluarga. d. Untuk memahami area-area yang potensial untuk diintervensi dalam proses kebijakan. Dalam hal ini untuk mendapatkan efek pemantapan dalam penengembanagn kebijakan dan proses implementasi. Analisis dari kebijakan umumnya bersifat retrospektif yaitu dengan mengek- splorasi kebijakan (bagaimana memasukkan dalam agenda yang diawali dari perumusan) dana pa kontennya. Termasuk monitoring dan evaluasi, apakah kebijakan itu mencapai sasaran atau tidak. Demikian juga analis dari kebijakan bersifat prospektif dengan melihat ke depan hal-hal yang berhubungan. Con- tohnya kemungkinan apa yang akan terjadi apabila suatu kebijakan dikem- bangkan. Untuk melakukan analisis hubungan antara proses kebijakan dan implementasi ada beberapa langkah yang diusulkan a. Milestones Kunci Kebijakan Pada umumnya kebijakan baru dikembangkan dari kebijakan dan aturan-aturan yang sudah ada kemudian digabungkan dengan pen- galaman-pengalaman di waktu lampau serta prioritas-prioritas yang akan dikembangakan. Millestones kunci kebijakan adalah keseluruhan dari kebijakan yang lampau, yang sudah ada, peraturan-peraturan, pro- gram-program yang sementara dijalankan. b. Konteks Pemerintahan dan Politik Kelanjutan proses kebijakan adalah antara konteks dan gaya birokrasi serta kemampuan institusi publik, termasuk unsur-unsur social dan politik serta kecenderungan perubahannya. c. Pendekatan Isu-isu Kunci Kebijakan dan Hubungannya dengan Pen- dapatan Keluarga. Penelitian harus dapat mengidentifikasi kunci hal-hal kebijakan yang mendesak sehubungan dengan hal-hal yang baru. d. Proses Pengembangan Kebijakan Inti dari proses pengembangan kebijakan adalah menganalisis proses pengembangan kebijakan tersebut. Untuk memahami proses ini, iden- tifikasi dan pengertian termasuk interaksi dan respons dari actor san- gatlah penting dalam hal mengformulasikan kebijakan, dimana hasil dari proses ini dapat berbentuk suatu formulasi kebijakan makro. Proses ini dibutuhkan suatu pengertian dari struktur formal organisasi yang berhubungan dengan pengembangan dan implementasi ke- bijakan. Demikian juga aktor-aktor utama di setiap tingkatan pada proses pengembangan kebijakan, yang meliputi peran dan kekuatan, dan bagaimana kebijakan tersebut dilakukan pengujian. e. Hasil, Luaran dan Dampak untuk Kesejahteraan Masyarakat Dengan mempertimbangkan proses pengembangan kebijkan, per- hatian ditunjukan kepada proses implementasi. Hal ini ditandai dengan aksi terhadap output, outcame dan impak terhadap kesejahteraan masyarakat. Institusi yang membuat suatu kebijakan pada hakikatnya akan mengalihkan kapeda pemegang manajemen di tingkay bawah, dan diharapkan hasilnya dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Ilustrasi analisis kebijakan yang dapat dikemukakan adalah kebijakan kesehatan untuk keluarga miskin. Pengertian dari keluarga miskin ada- lah tidak memiliki kemampuan atau tidak memiliki uang untuk mem- bayar jasa atau barang. Dalam kenyataan sehari-hari keluarga miskin cenderung menggunakan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh public termasuk pengobatan tradisional dibandingkan dengan fasilitas swasta.
5.6 Pengertian Kebijakan Kesehatan
Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang kesehatan sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Dari penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian ke- bijakan kesehatan yaitu konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah un- tuk mengatur atau mengawasi pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang optimal pada seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010). Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan mem- perhatikan kerangka desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI, 2009). Kebijakan kesehatan adalah sasaran dan tujuan, sebagai instrument, proses dan gaya dari suatu keputusan oleh pengambil keputusan, termasuk implementasi serta penilaian (Lee, Buse & Fustukian, 2002). Kebijakan kesehatan adalah bagian dari institusi, kekuatan dari aspek poli- tik yang memengaruhi masyarakat pada tingkat lokal, nasional dan dunia (Leppo, 1997). Kebijakan kesehatan akan efektif apabila pada tingkatan maksi- mal dapat mencapai tujuan yang optimal dan efisien apa bila diimplementasi- kan dengan biaya yang rendah. Efisiensi dalam hal ini karena pemerintah memiliki keterbatasan dalam investasi untuk memampatkan status kesehatan.
5.7 Ciri-ciri Kebijakan Kesehatan
Kebijakan kesehatan merupakan kebijakan publik. Konsep deri ke- bijakan publik dapat diartikan sebagai adanya suatu negara yang kokoh dan memiliki kewenangan serta legitimasi, di mana mewakili suatu masyarakat dengan menggunakan administrasi dan teknik yang berkompeten terhadap keuangan dan implementasi dalam mengatur kebijakan. Kebijakan adalah suatu consensus atau kesepakatan terhadap suatu persoalan, dimana sasaran dan tujuannya diarahkan pada suatu prioritas yang bertujuan, dan memiliki pe- tunjuk utama untuk mencapainya. Tanpa ada kesepakatan dan tidak ada koordinasi akan mengakibatkan hasil yang diharapkan sia-sia belaka. Komponen sistem kesehatan meliputi sumber daya, struktur organ- isasi, manajemen, penunjang kesehatan dan pelayanan kesehatan. Kebijakan kesehatan bertujuan untuk mendesain program-program di tingkat pusat dan lokal, termasuk kebijakan kesehatan internasional. Kebijakan kesehatan dapat dilihat sebagai suatu jaringan keputusan yang saling berhubungan, yang pada prakteknya peduli kepada pelayanan kesehatan masyarakat. Kebijakan-ke- bijakan kesehatan dibuat oleh pemerintah dan swasta dan kebijakan juga ter- masuk produk pemerintah. Walaupun pelayanan kesehatan cenderung dilakukan secara swasta, dikontrakkan atau melalui suatu kemitraan, kebijakannya disiapkan oelh pemerintah di mana keputusannya mempertimbangkan aspek politiknya. Bisa diartikan juga kebijakan public yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan swasta. Sedangkan tugas untuk menformulasi dan implementasi ke- bijakan kesehatan dalam satu negara merupakan tanggung jawab Departe- men Kesehatan (WHO, 2000). Pengembangan kebijakan biasnaya top-down di mana Departemen Kesehatan memiliki kewenangan dalam menyiapakan kebijakan. Kebijakan seharusnya dikembangakan dengan partisipasi oleh mereka yang terlibat da- lam kebijakan tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut realistis serta dapat mencapai sasaran. Untuk itu perlu komitmen dari para pemegang dan pelaksana kebijakan. Kebijakan kesehatan harus berdasarkan pembuktian yang menggunakan pendekatan problem solving secara linear. Penelitian kesehatan adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan bukti yang akurat. Setelah dilakukan penelitian kesakitan dan penyakit dari masyarakat, termasuk kebutuhan akan kesehatan, sistem kesehatan, tan- tangan selanjutnya adalah mengetahui persis penyeab dari kesakitan dan pen- yakit itu sendiri. Walaupun didasari begitu kompleksnya pengertian yang ber- basis bukti untuk dijadikan dasar dari kebijakan. Tujuan dari kebijakan kesehatan adalah untuk menyediakan pola pencegahan, pelayanan yang terfokus pada pemeliharaan kesehatan, pen- gobatan penyakit, dan perlindungan terhadap kaum yang rentan. Kebijakan kesehatan juga peduli terhadap dampak dari lingkungan dan social ekonomi terhadap kesehatan. Contohnya, pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan swasta atau kebijakan dalam hal pemantapan pelayanan kesehatan ibu dan anak (Walt, 1994). Kebijakan kesehatan dapat bermanifestasi dalam berbagai hal dan tidak selalu dalam bentuk dokumen dokumen (Ritsatakis, 1987). Kebijakan kesehatan diekspresikan dalam bentuk suatu konstitusi, undangundang dan peraturan-peraturan termasuk juga platform dari partai-partai politik atau ker- tas-kertas kebijakan. Kebijakan kesehatan tidak saja terdiri dari dokumen- dokumen strategi dalam suatu negara, tetapi juga bagaimana kebijakan itu diimplementasi oleh pengambil keputusan dan pemegang program kesehatan, dan bagaimana melakukannya secara praktis pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
5.8 Pentingnya Kebijakan Kesehatan
Hal ini disebabkan antara lain sector kesehatan merupakan bagian dari ekonomi. Jelasnya sector kesehatan ibarat suatu sponge yang mengasorpsi banyak anggaran belanja negara untuk membayar sumber daya kesehatan. Ada yang mengatakan bahwa kebijakan kesehatan merupakan driver dari ekonomi, itu disebabkan karena adanya inovasi dan investasi dalam bidang teknologi kesehatan, baik itu bio-medical maupun produksi, termasuk usaha dagang yang ada pada bidang farmasi. Namun yang lebih penting lagi adalah keputusan kebijakan kesehatan melibatkan persoalan hidup dan mati manusia (Buse, Mays & Walt, 2005). 5.9 Implementasi Kebijakan Implementasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi sesuai dengan harapan dan akibat dari kebijakan yang dirasakan. Implementasi kebijakan cenderung untuk memobilisasi keberadaan lembaga. Pada kebijakan dilihat apakah ada kesenjangan antara yang direncanakan dan yang terjadi sebagai suatu akibat dari kebijakan. Sebagai contohnya ada banyak studi kasus dari dampak kebijakan. Contohnya, studi kebijakan upaya penanggulanggan keku- rangan garam yodium di mana kesenjagaan antara aktor-aktor yang berperan dan proses juga implementasi tidak terlibat. Pendekatan pengembangan kebijakan oleh pembuat kebijakan bi- asanya berdasarkan hal-hal yang masuk akal dan mempertimbangkan infor- masiinformasi yang relevan. Namun demikian apabila pada implementasi tidak mencapai apa yang diharapkan, kesalahan sering kali bukan pada kebijakan itu, namun kepada faktor politik atau managemen implementasi yang tidak mendukung (Juma & Clarke, 1995). Sebagai contoh, kegagalan dari imple- mentasi kebijakan bisa disebabkan oleh karena tidak adanya dukungan politik, managemen yang tidak sesuai atau sedikitnya sumber daya pendukung yang tersedia (Sutton, 1999).
5.10 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
1. Faktor Komunikasi (Communication) Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komu- nikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan merupa- kan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (pol- icy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors). Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi yang perlu disam- paikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) ke- bijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan agar proses implemen- tasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan ke- bijakan itu sendiri. Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa di- mensi penting yaitu transformsi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi (consistency). Dimensi transformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Tiga hal penting dalam komunikasi adalah: a. Transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia ha- rus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Banyak ditemukan kepu- tusan-keputusan yang terabaikan dan kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan. b. Konsistensi. Jika implementasi kebijakan diharapkan berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Apabila perintah bertentangan maka akan menyulitkan para pelaksana untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. c. Kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang di- inginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak harus diterima oleh para pelaksana kebijakan tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut ha- rus jelas. 2. Sumber Daya (Resources) Sumber daya memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan, ini diartikan bahwa, bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ke- tentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana ke- bijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya disini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sum- ber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, infor- masi dan kewenangan yang dijelaskan sebagai berikut: a. Sumber Daya Manusia (Staff) Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang memenuhi kualitas dan kuantitas. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedi- kasi, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuanti- tas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang mempunyai kehandalan, im- plementasi kebijakan akan berjalan lambat. b. Anggaran (Budgetary) Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menja- min terlaksananya kebijakan tersebut, sebab tanpa adanya dukungan anggaran yang memadai kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran. c. Fasilitas (Facility) Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah, dan peralatan perkantoran akan menun- jang dalam keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan. d. Informasi dan Kewenangan (Information and Authority) Informasi juga menjadi factor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan. Sementara wewenang bereperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan yang apa yang dituju. 3. Disposisi (Disposition) Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana ke- bijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa pro- gram yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Aktor/tenaga pelaksana telah dipilih berdasarkan keahlian dan jam kerja pengabdian yang telah memen- uhi beberapa tahap persyaratan. Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak men- dukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik. 4. Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure) Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap im- plementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standart Operation Procedure (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.
5.11 Pentingnya Implementasi Kebijakan
a. Implementasi merupakan proses yang penting dalam kebijakan, dan tak terpisahkan dari proses formulasi kebijakan. b. Implementasi jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan hanya berupa impian atau rencana yang bagus dan tersimpan dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. c. Tanpa implementasi kebijakan tidak akan bisa mewujudkan hasilnya. d. Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangan komplek dan rumit. e. Benturan kepentingan antara actor baik administrator, petugas lapangan, maupun sasaran sering terjadi. f. Selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan tar- get maupun strateginya. g. Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variable, baik variable individual maupun organisasional. 5.12 Implementasi Kebijakan Pelayanan Pasien di Rumah Sakit a. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Intensif, Laborato- rium dan Radiologi dilaksanakan dalam 24 jam. Pelayanan Rawat Jalan sesuai dengan jadwal praktik dokter. Pelayanan Kamar Operasi dil- aksanakan dalam jam kerja, dan dilanjutkan dengan sistem on call. b. Pelayanan pasien Instalasi Gawat Darurat harus diutamakan dengan waktu pelayanan yang lebih cepat. c. Pelayanan harus selalu berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien. d. Seluruh staf RS harus bekerja sesuai dengan standar profesi, pe- doman/panduan dan standar prosedur opersional yang berlaku, serta sesuai dengan etika profesi, etika RS dan etiket RS yang berlaku. e. Seluruh staf RS dalam melaksanakan pekerjaannya wajib selalu sesuai dengan ketentuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3), termasuk dalam penggunaan alat pelindung diri (APD). Daftar Pustaka AKK USU. (2010). Kebijakan publik. Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara. Departemen Kesehatan RI. (2009). Kebijakan kesehatan. Universitas Su- matera Utara, Sumatera Utara.
Haroid KoontzCyrill O’Donell, Heinz W. (1992). Management eighth edition. New
York: McGraw-Hill Book Company, 1992, p. 144.
Massie, R. G. A. Pusat penelitian dan pengembangan sistem dan kebijakan
kesehatan. Jalan Percetakan Negara No. 23A. Jakarta.
Muhadjir, N. (2000). Ilmu pendidikan dan perubahan sosial. Teori Pendidikan
Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Raka Sarasin, th.2000, h. 15.
Priatna, A. (2008). Disertasi “Analisis implementasi kebijakan kesejahteraan dosen
pada universitas Pendidikan Indonesia, Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, tahun 2008, h.154Ibid., h. 125.
Randall, B. R. (1985). Langkah dalam kebijakan.
Sholihin, W.A. (2004). Analisa kebijakan: dari formulasi ke implementasi. Jakarta:
Rineka Cipta, 2004, h. 64.
Wahab. (2010). Analisis kebijakan dan formulasi ke implementasi kebijakan. Ja-
karta: Bumi Aksara, th.2010, h.153.
William, N. D. (2003). Pengantar analisis kebijakan publik, terjemahan ISIPOL.