Anda di halaman 1dari 108

PAJAK PENGHASILAN

Dasar Hukum
 Undang – Undang (UU) No. 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat
atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan


Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib
Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan


Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib
Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

• Peraturan Pemerintah (PP)


• Keputusan Presiden (Keppres)
• Peraturan & Keputusan Menkeu (PMK & KMK)
• Peraturan, Keputusan, dan Surat Edaran Dirjen Pajak
(PER, KEP, dan SE DJP)
Subyek dan Obyek Pajak

Pajak penghasilan (PPh) dikenakan terhadap subjek pajak


atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak.

• PPh dapat dikenakan atas bagian tahun pajak jika


kewajiban subjektif mulai dari bagian tahun.
• Tahun pajak adalah tahun takwim. Jika tahun buku tidak
sama, dapat menggunakan tahun buku asalkan berdurasi
12 bulan.
Subjek Pajak
Pasal 2 Ayat (1 dan 1a)

Orang Pribadi (OP)

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, bersifat


menggantikan yang berhak.

Badan
Bentuk usaha tetap (BUT), merupakan subyek pajak yang
perlakuan pajaknya dipersamakan dengan subyek pajak
badan.
Subjek Pajak
Pasal 2 Ayat (1 dan 1a)

Subjek Pajak
Pasal 2 Ayat (2)

Dalam Negeri Luar Negeri


Subjek Pajak Dalam Negeri
Pasal 2 Ayat (3)

Orang Pribadi :
Bertempat tinggal/ berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan; atau
Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di
Indonesia.

Badan:
Didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu badan pemerintah
yang memenuhi kriteria:
Pembentukannya berdasarkan peraturan perundangan.
Pembiayaan bersumber APBN/ APBD.
Penerimaannya dimasukkan dalam APBN/ APBD.
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Warisan yang belum terbagi:


Menggantikan yang berhak. 6
Subjek Pajak Luar Negeri
Pasal 2 Ayat (4)

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia/ berada di Indonesia


tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan.

Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Menjalankan usaha atau kegiatan Menerima atau memperoleh


melalui BUT di Indonesia. penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau kegiatan
melalui BUT di Indonesia.
(Subjek Pajak)

No. Nama Tempat Keterangan Status


Tinggal /
Kedudukan
1. PT. Jakarta Didirikan di Indonesia oleh WNA. SPDN BUT
Bianglala
2. PT. Biara Medan Berkedudukan di Indonesia, namun seluruh SPDN Badan
penghasilannya bersumber dari investasi di
luar negeri.
3. PT. Buana Lombok Didirikan di Indonesia, namun berencana SPDN Badan
untuk memindahkan kedudukan dan
operasinya ke luar negeri.
4. Bart & Co. Berlin Berkedudukan di luar negeri, namun SPLN
memiliki investasi saham atas satu
perusahaan di Indonesia.
5. Bush & Co London Berkedudukan di luar negeri, dan memiliki SPLN
showroom di Indonesia.
Tempat Tinggal / Kedudukan WP
Pasal 2 Ayat (6)

Tempat Tinggal Tempat Kedudukan


Orang Pribadi Badan

Ditetapkan oleh Dirjen Pajak

Menurut keadaan yang sebenarnya.


Saat Mulai dan Akhir Kewajiban Subjektif (1)
Pasal 2A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)

Subjek Pajak Dalam Negeri

Orang Pribadi Badan Warisan yang belum


Mulai: terbagi
- Saat dilahirkan. Mulai: Mulai:
- Saat berada atau Saat didirikan/ Saat timbulnya warisan.
berniat tinggal di berkedudukan di
Indonesia. Indonesia.
Berakhir: Berakhir: Berakhir:
- Saat meninggal. Saat dibubarkan atau tidak Saat warisan selesai
- Meninggalkan Indonesia lagi berkedudukan di dibagikan.
untuk selamanya. Indonesia.
Saat Mulai dan Akhir Kewajiban Subjektif
Pasal 2A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)

Subjek Pajak Luar Negeri

Orang Pribadi Badan

Mulai: Mulai:
Saat menerima/memperoleh penghasilan Saat melakukan usaha/ kegiatan melalui
dari Indonesia. BUT di Indonesia.

Berakhir: Berakhir:
Saat tidak lagi menerima/ memperoleh Saat tidak lagi menjalankan usaha melalui
penghasilan dari Indonesia. BUT di Indonesia.
Kewajiban Pajak Subjektif
Pasal 2A Ayat (6)

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang


berada atau bertempat tinggal di Indonesia

Hanya meliputi sebagian dari tahun pajak

Bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.


Tidak Termasuk Subjek Pajak
Pasal 3

a. Kantor perwakilan negara asing;


b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang yang
diperbantukan/ yang bekerja dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat :
Bukan warga negara Indonesia; dan
Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut; serta
Negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. Organisasi - organisasi internasional, yang ditetapkan Menkeu, dengan syarat:
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
para anggota;
d. Pejabat - pejabat perwakilan organisasi internasional (c) dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Landasan Hukum:
Pasal 4 s/ d Pasal 15
UU Pajak Penghasilan

14
Definisi Penghasilan
Pasal 4 Ayat (1)

Merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang:


- Diterima atau diperoleh wajib pajak.
- Berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
- Dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak.

Dengan nama dan dalam bentuk apapun


Klasifikasi Umum Penghasilan

Penghasilan dari pekerjaan dan hubungan kerja dan pekerjaan


bebas seperti gaji, honorarium, dan sebagainya.

Penghasilan dari usaha dan kegiatan.

Penghasilan dari modal berupa harga gerak ataupun tidak gerak,


seperti bunga, dividen, royalti, sewa dan keuntungan penjualan
harga atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.

Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.


Ketentuan Khusus atas Penghasilan

 Semua penghasilan digabungkan dalam satu


tahun pajak.
 Jika menderita kerugian dikompensasikan
dengan penghasilan lain kecuali kerugian dari
luar negeri.
 Untuk penghasilan dikenakan final atau
dikecualikan dari objek pajak tidak boleh
digabungkan.
Objek Pajak (1)
Pasal 4 Ayat (1)

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU Pajak Penghasilan;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
Objek Pajak (2)
Pasal 4 Ayat (1)

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:


i. Keuntungan karena pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
ii. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
iii. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
iv. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, pendidikan, sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
di antara pihak yang bersangkutan; dan
v. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan;
Objek Pajak (3)
Pasal 4 Ayat (1)

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Objek Pajak (4)
Pasal 4 Ayat (1)

l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;


m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
Definisi Pajak Final
Pajak yang terutang dan dibayarkan seketika penghasilan
diperoleh atau diterima. Pemotongan dilakukan oleh pemberi
penghasilan, atau pihak lain yang ditentukan.

Ketika dilakukan penghitungan pajak terutang di akhir tahun,


penghasilan yang dikenakan pajak final bukan sebagai
penambah penghasilan dan pajak final tidak dapat menjadi
kredit pajak.
Pajak Final = pajak selesai dengan pembayaran tersebut
Pertimbangan Pengenaan
Kesederhanaan Pemotongan

Pengurangan Beban Administratif

Pemerataan Pengenaan Pajak

Dorongan Pengembangan
Investasi dan Tabungan
Perkembangan Ekonomi dan
Moneter
Objek Pajak Dikenai Pajak Final
Pasal 4 Ayat (2)

a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga


obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan
tanah dan/atau bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pelaksana Pajak Final

Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.


PP No. 14 Tahun 1997
Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.
PP No. 131 Tahun 2000
Penghasilan dari hadiah undian. PP No. 132 Tahun 2000
Penghasilan dari persewaan tanah dan/ atau bangunan. PP No. 5 Tahun 2002
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan.
PP No. 71 Tahun 2008
Penghasilan berupa bunga/ diskonto obligasi yang dijual di bursa efek.
PP No. 16 tahun 2009
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi. PP No. 40 Tahun 2009

Penghasilan dari UMKM. PP No. 23 Tahun 2018


Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2018 – Pajak UKM Final

• Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, Pajak Penghasilan atas


Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu menggantikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46
Tahun 2013.
• Peredaran bruto tertentu adalah Penghasilan dari USAHA yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi
Rp4,8 miliar dalam 1 tahun Pajak. Peredaran bruto (omzet) merupakan jumlah
peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat
maupun cabangnya.
• Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah pajak Final
• Efektif berlaku mulai 1 Juli 2018
• Perbedaan ketentuan
• Pengenaan tarif pajak final berubah dari 1% menjadi 0,.5%
• Penyempurnaan ketenuan lain
• Pengenaan 0,5% final bersifat opsional
Peraturan Pemerintah 23/2018 – Latar Belakang

• UKM mendominasi perekonomian


• Jumlah unit usaha 98.9% dari total unit usaha
• Tenaga kerja 96.99 total tenaga kerja
• Produk domestic bruto 60,3%
• Usaha mikro lebh resilience, tahan terhadap gejolak perekonomian dan cukup
stabil.
• Kontribusi PPh UKM sebesar 2.2% dari total penerimaan PPh.
• Alasan perubahan
• Keberatan dari UKM karena pengenaan 1% terlalu besar. Tarif pajak final 1%
mengasumsikan margin laba sebelum pajak sebesar 4%.
• Penyempurnaan pengaturan
Peraturan Pemerintah 23/2018 – Pengaturan

• Pemerintah menetapkan tarif PPh Final menjadi 0,5%, bersifat opsional


• wajib pajak dapat memilih untuk mengikuti tarif dengan skema final 0,5%, atau
menggunakan skema normal yang mengacu pada pasal 17 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

• Sifat opsional ini memberi keuntungan bagi wajib pajak karena:


• Bagi WP pribadi dan badan yang belum dapat menyelenggarakan pembukuan
dengan tertib, penerapan PPh Final 0,5% memberikan kemudahan bagi mereka
untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Sebab, perhitungan pajak menjadi
sederhana yakni 0,5% dari peredaran bruto/omzet. Penerapan PPh Final memiliki
konsekuensi yakni WP tetap harus membayar pajak meski dalam keadaan rugi.
• WP badan yang telah melakukan pembukuan dengan baik dapat memilih untuk
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan pasal 17 UU No. 36. Konsekuensinya,
perhitungan tarif PPh akan mengacu pada lapisan penghasilan kena pajak. Selain
itu, WP juga terbebas dari PPh bila mengalami kerugian fiskal.
Peraturan Pemerintah 23/2018 – Pengaturan

• Pengenaan Tarif PPh Final 0,5% Punya Batas Waktu


• Kebijakan terbaru tentang PPh Final 0,5% punya grace period alias batasan waktu.
• Batasan waktu yang diberikan pemerintah bagi WP yang ingin memanfaatkan tarif
PPh Final 0,5% adalah:
• 7 tahun pajak untuk WP orang pribadi.
• 4 tahun pajak untuk WP badan berbentuk koperasi, CV, atau firma.
• 3 tahun pajak bagi WP badan berbentuk PT.
• Setelah batas waktu tersebut berakhir, WP akan kembali menggunakan skema
normal seperti diatur oleh pasal 17 UU No.36. Hal ini ditujukan untuk mendorong
wajib pajak menyelenggarakan pembukuan dan pengembangan usaha.
Peraturan Pemerintah 23/2018 – Pengaturan

• WP yang Dikenai PPh Final Berpenghasilan di Bawah Rp 4,8 M


• Ambang batas penghasilan wajib pajak yang dikenai PPh Final tidak berubah
yakni senilai Rp 4,8 miliar. Batasan nilai tersebut secara eksplisit menargetkan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai target pajak. Pemerintah
memang ingin merangkul sebanyak mungkin UMKM untuk masuk dalam
sistem perpajakan.
• Siapa yang Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%?
• Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai PPh Final
0,5% adalah:
• Wajib Pajak orang pribadi
• Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, CV, firma, atau PT yang
menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto di
bawah Rp 4,8 miliar.
Peraturan Pemerintah 23/2018 – Pengaturan

• Siapa yang Tidak Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%


• Wajib Pajak orang pribadi dengan penghasilan yang diperoleh dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas. Ini termasuk persekutuan atau firma
yang terdiri dari WP orang pribadi berkeahlian sejenis seperti firma hukum,
kantor akuntan dan lain sebagainya.
• Wajib pajak dengan penghasilan yang diperoleh di luar negeri yang pajaknya
terutang atau telah dibayar di luar negeri.
• Wajib pajak yang penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
• Wajib pajak dengan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Peraturan Pemerintah 23/2018 – Pengaturan

• Bayar PPh Final 0,5% Lebih Mudah Melalui PajakPay


• PPh dapat dibayar melalui kantor pos/bank perspesi termasuk segala fasilitas yang
disediakan oleh Lembaga tersebut seperti ATM. Namun, bagi wajib pajak yang
ingin menghemat waktu dan upaya untuk membayar pajak, sekarang Anda bisa
menyetorkan pajak Anda melalui PajakPay.
• Fitur ini memungkinkan membayar pajak online lebih mudah dan aman bahkan
cukup dengan satu klik. Berikut ini 7 keuntungan bayar pajak menggunakan
PajakPay:
• Aman karena adanya teknologi enkripsi dan firewall berlapis.
• ID Billing dan NTPN yang diperoleh dari OnlinePajak sah.
• Akurat karena meminimalisir kesalahan saat melakukan input data manual.
• Buat banyak ID billing secara instan.
• BPN/NTPN tersimpan secara digital dalam waktu lama.
• Bisa tambah saldo tanpa batas dengan beragam metode transfer.
• Hemat waktu dan bebas biaya.
Peraturan Pemerintah 23/2018 – Pengaturan

• Jika Ingin Mengikuti Tarif Skema Normal, Wajib Pajak Perlu Mengajukan
Diri
• Jika tidak ingin berstatus sebagai wajib pajak PPh 0,5%, Anda harus lebih dulu
mengajukan permohonan pada Ditjen Pajak. Selanjutnya, Anda akan
mendapatkan keterangan sebagai wajib pajak yang dikenai PPh yang mengacu
pada pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan
• Namun, wajib pajak yang sudah memilih untuk dikenai PPh dengan skema
normal tidak dapat memilih untuk dikenai PPh Final 0,5%. (#)
Dikecualikan Sebagai Objek Pajak (1)
Pasal 4 Ayat (3)

a. Bantuan atau sumbangan, zakat yang diterima oleh badan/ lembaga amil zakat
yang disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan PMK, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
Dikecualikan Sebagai Objek Pajak (2)
Pasal 4 Ayat (3)

c. Warisan;
d. Harta, termasuk setoran tunai, sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/ atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan WP, WP yang dikenakan pajak
secara final atau WP dengan Norma Penghitungan Khusus (deemed profit);
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
Dikecualikan Sebagai Objek Pajak (3)
Pasal 4 Ayat (3)

g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai WP dalam
negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
Dikecualikan Sebagai Objek Pajak (4)
Pasal 4 Ayat (3)

i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
Dikecualikan Sebagai Objek Pajak (5)
Pasal 4 Ayat (3)

l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih


lanjut dengan atau berdasarkan PMK;
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/ atau bidang penelitian dan pengembangan, yang
telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ilustrasi 2.2 - (Objek Pajak)

Firma Mulia menjual mobil yang digunakan untuk kegiatan usaha. Nilai buku menurut fiskal
Rp 200.000.000,00. Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 300.000.000,00.
a. Bagaimanakah pengakuan penghasilan oleh Firma Mulia?
b. Bagaimana jika mobil tersebut dijual kepada seorang sekutu dengan harga
Rp 260.000.000,00?
Jawaban:
a. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan mobil sebesar Rp 100.000.000,00
diakui sebagai penghasilan oleh Firma Kelana dan merupakan objek pajak.
b. Firma Mulia tetap mengakui penghasilan atas penjualan mobil sebesar Rp
100.000.000,00. Sekutu yang membeli mobil tersebut sebagai WP OP,
mengakui penghasilan kena pajak sebesar Rp 40.000.000,00 karena
membeli mobil dengan harga lebih murah.
Biaya untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M)
Penghasilan (1)
Pasal 6 Ayat (1)

Biaya 3M bersifat dapat dikurangkan (deductible) atas penghasilan bruto :


a. Biaya yang berkaitan dengan kegiatan usaha, meliputi:
i. Biaya pembelian bahan baku;
ii. Biaya tenaga kerja;
iii. Bunga, sewa, dan royalti;
iv. Biaya perjalanan;
v. Biaya pengolahan limbah;
vi. Premi asuransi;
vii. Biaya promosi, sesuai ketentuan PMK;
viii. Biaya administrasi
ix. Pajak selain PPh.
b. Biaya penyusutan fiskal dan/atau amortisasi;
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menkeu;
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta ;
Biaya untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) Penghasilan
Pasal 6 Ayat (1)

e. Kerugian dari selisih kurs;


f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. Piutang yang nyata – nyata tak dapat ditagih, dengan syarat:
• Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
• Daftar piutang yang tidak dapat ditagih telah diserahkan kepada Ditjen Pajak;
• Telah diserahkan perkara penagihannya kepada PN atau BUPLN;
• Ada perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang
antara kreditur dan debitur;
• Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus.
i. Sumbangan dalam rangka bencana nasional yang diatur oleh PP.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengebangan yang diatur oleh PP.
k. Sumbangan dalam rangka infrastruktur sosial yang diatur oleh PP.
l. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan yang diatur PP
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang diatur oleh PP.
Ketentuan Khusus Atas Biaya 3M

 Biaya 3M yang dapat dibebankan hanyalah biaya – biaya yang


dikeluarkan terkait penghasilan yang ditetapkan sebagai objek
pajak.
 Biaya 3M yang dikeluarkan terkait penghasilan yang dikenai
pajak final atau penghasilan yang bukan merupakan objek pajak,
tidak dapat dibebankan.
 Jika diketahui nilai biaya secara total, penghitungan biaya 3M
yang dapat dibebankan atau tidak, dapat ditetapkan berdasar
metode pro rata berdasar proporsi penghasilan
Non Deductible Expenses
Pasal 9 Ayat (1) UU PPh
Biaya yang tidak dapat dikurangkan (non deductible) atas penghasilan bruto, meliputi:
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun;
b. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
anggota atau anggota;
c. Pembentukan dana cadangan, kecuali:
Cadangan untuk jenis usaha tertentu yang ditetapkan KMK;
Cadangan untuk usaha asuransi;
Cadangan jaminan sosial dibentuk BPJS;
Cadangan penjaminan yang dibentuk LPS;
Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
Cadangan biaya reforestasi untuk usaha kehutanan;
Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat limbah industri untuk
usaha pengelolaan limbah;
Non Deductible Expenses
Pasal 9 Ayat (1) UU PPh

d. Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa yang
dibayar oleh WP orang pribadi;
e. Penggantian/ imbalan atas pekerjaan/jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan kenikmatan, kecuali:
Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai ;
Diberikan di daerah tertentu atau diberikan berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan sebagaimana ditetapkan KMK;
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
g. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan, selain sumbangan yang
ditetapkan sebagai deductible expense serta selain sumbangan keagamaan yang
bersifat wajib kepada lembaga yang dibentuk atau disahkan pemerintah;
h. Pajak penghasilan;
Non Deductible Expenses
Pasal 9 Ayat (1) UU PPh

i. Biaya yang dibebankan/ dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang


yang menjadi tanggungan;
j. Gaji anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham;
k. Sanksi administrasi dan pidana di bidang perpajakan.
Tarif Pajak
Pasal 17 Ayat (1)

No. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


1 0 s/d Rp 50.000.00,00 5%
2 Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 15%

3 Di atas Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 25%

4 Di atas Rp 500.000.000,00 30%

Tarif pajak progresif berlaku bagi WP orang pribadi.


Tarif pajak bagi WP badan adalah 28% untuk penghasilan sebelum tahun 2010
dan 25% untuk penghasilan setelah tahun 2010.
Landasan Hukum:
Pasal 16 s/ d Pasal 19
UU Pajak Penghasilan

49
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Pasal 16

Wajib pajak orang pribadi dalam Penghasilan, dikurangi biaya yang dapat
dikurangkan, dikurangi PTKP, dikurangi
negeri. kompensasi kerugian.

Wajib pajak badan dalam negeri, serta Penghasilan, dikurangi biaya yang dapat
dikurangkan, dikurangi kompensasi
WP BUT. kerugian.
Penghasilan dikalikan dengan NPPN,
Wajib Pajak yang menggunakan NPPN. dikurangi PTKP untuk WP orang pribadi.

Wajib Pajak yang terutang pajak dalam


Penghasilan netto disetahunkan
bagian tahun pajak.
Ketentuan Khusus Atas Tarif Pajak

 Tarif pajak tertinggi dapat diturunkan menjadi 25%, diatur dengan PP.
 Tarif bagi WP badan dapat berlaku 5% lebih rendah, jika memenuhi persyaratan
minimal 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
persyaratan lain sesuai ketentuan PP.
 Nilai Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah menuju ribuan terdekat.
 Bagian pajak terutang bagi WP yang terutang dalam bagian tahun pajak adalah:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖
𝑥 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
360
Atas kurun waktu satu bulan penuh diasumsikan setara dengan 30 hari.
Perbandingan Utang dan Modal;
Serta Saat Diperolehnya Dividen
Pasal 18 Ayat (1), dn (2)

Menkeu berwenang menetapkan:

Besarnya perbandingan antara utang Saat diperolehnya dividen oleh


dan modal untuk keperluan WP DN atas penyertaan modal pada
penghitungan pajak badan usaha di luar negeri yang tidak
menjual sahamnya di bursa efek.

Syarat:

Besarnya penyertaan modal WP DN,


secara sendiri atau bersama – sama
dengan WP DN lain, paling rendah 50
% dari jumlah saham yang disetor.
Pengertian Hubungan Istimewa
Pasal 18 Ayat (4)

Hubungan penyertaan modal langsung atau tidak


langsung paling rendah 25 % oleh satu WP pada
satu atau lebih WP lain; termasuk hubungan antar
WP yang modalnya menjadi objek penyertaan.

Hubungan penguasaan satu WP pada satu atau


lebih WP lain; termasuk hubungan antar WP yang
dikuasai.

Hubungan keluarga sedarah semenda dalam garis


keturunan lurus dan/ atau ke samping satu derajat.
Ketentuan Khusus atas Hubungan Istimewa
Pasal 18 Ayat (3), dan (3a)

 Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan


pengurangan penghasilan, serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung PKP atas pihak yang memiliki hubungan istimewa.
 Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan
bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga
harga transaksi antara pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Landasan Hukum:
Pasal 16 s/ d Pasal 19
UU Pajak Penghasilan

55
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Pasal 16

Wajib pajak orang pribadi dalam Penghasilan, dikurangi biaya yang dapat
dikurangkan, dikurangi PTKP, dikurangi
negeri. kompensasi kerugian.

Wajib pajak badan dalam negeri, serta Penghasilan, dikurangi biaya yang dapat
dikurangkan, dikurangi kompensasi
WP BUT. kerugian.
Penghasilan dikalikan dengan NPPN,
Wajib Pajak yang menggunakan NPPN. dikurangi PTKP untuk WP orang pribadi.

Wajib Pajak yang terutang pajak dalam


Penghasilan netto disetahunkan
bagian tahun pajak.
Tarif Pajak
Pasal 17 Ayat (1)

No. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


1 0 s/d Rp 50.000.00,00 5%
2 Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 15%

3 Di atas Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 25%

4 Di atas Rp 500.000.000,00 30%

Tarif pajak progresif berlaku bagi WP orang pribadi.


Tarif pajak bagi WP badan adalah 28% untuk penghasilan sebelum tahun 2010
dan 25% untuk penghasilan setelah tahun 2010.
Ketentuan Khusus Atas Tarif Pajak

 Tarif pajak tertinggi dapat diturunkan menjadi 25%, diatur dengan PP.
 Tarif bagi WP badan dapat berlaku 5% lebih rendah, jika memenuhi persyaratan
minimal 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
persyaratan lain sesuai ketentuan PP.
 Nilai Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah menuju ribuan terdekat.
 Bagian pajak terutang bagi WP yang terutang dalam bagian tahun pajak adalah:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖
𝑥 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
360
Atas kurun waktu satu bulan penuh diasumsikan setara dengan 30 hari.
Perbandingan Utang dan Modal;
Serta Saat Diperolehnya Dividen
Pasal 18 Ayat (1), dn (2)

Menkeu berwenang menetapkan:

Besarnya perbandingan antara utang Saat diperolehnya dividen oleh


dan modal untuk keperluan WP DN atas penyertaan modal pada
penghitungan pajak badan usaha di luar negeri yang tidak
menjual sahamnya di bursa efek.

Syarat:

Besarnya penyertaan modal WP DN,


secara sendiri atau bersama – sama
dengan WP DN lain, paling rendah 50
% dari jumlah saham yang disetor.
Ketentuan Khusus atas Hubungan Istimewa
Pasal 18 Ayat (3), dan (3a)

 Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan


pengurangan penghasilan, serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung PKP atas pihak yang memiliki hubungan istimewa.
 Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan
bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga
harga transaksi antara pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Landasan Hukum:
Pasal 20 s/ d Pasal 29
UU Pajak Penghasilan

61
Cara Pelunasan Pajak
Pasal 20

Pajak tahun berjalan dapat dilunasi melalui

Pembayaran oleh wajib pajak sendiri. Pemotongan atau pemungutan oleh


(PPh Pasal 25) pihak lain.
(PPh Pasal 21, 22, 23, 24, 26)

Merupakan pelunasan pajak yang boleh


dikreditkan terhadap PPh yang terutang
untuk tahun pajak berjalan, kecuali
untuk pembayaran PPh yang bersifat
final.
Ilustrasi 2.14
(Simulasi Penghitungan Kredit Pajak)

WP Orang Pribadi
Beban pajak terutang 115,450,000
Kredit pajak
Pemotongan oleh pemberi kerja (PPh 21) (15,850,000)
Pemungutan oleh pihak lain (PPh 22) (3,250,000)
Pemotongan atas penerimaan penggunaan aset (PPh 23) (5,650,000)
Kredit pajak luar negeri (PPh 24) (16,525,000)
Pembayaran sendiri angsuran pajak (PPh 25) (23,825,000)
Total kredit pajak (65,100,000)
Pajak kurang (lebih) bayar Rp 50,350,000.00
Pajak Kurang (Lebih) Bayar
Pasal 28A, dan 29

Status pajak terutang di akhir tahun dapat berupa:

Pajak kurang bayar. Pajak lebih bayar.


Ketika beban pajak terutang melebihi Ketika beban pajak terutang kurang
total kredit pajak. dari total kredit pajak.

Wajib dilunasi selambat – lambatnya Akan dikembalikan/ direstitusikan,


tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun setelah dilakukan pemeriksaan serta
pajak berakhir, sebelum SPT tahunan diperhitungkan dengan sanksi dan
disampaikan. kewajiban pajak lain.
PAJAK PENGHASILAN BADAN
Pajak Perusahaan
Dipotong
PPh 23 atas Badan
penghasilan jasa
Memotong
PPh 21
atas gaji

PPN atas
PBB penyerahan
Penghasilan Meterai barang/jasa
BPHTB
Beban yang dapat dikurangkan Pajak Daerah
Penghasilan kena pajak
X tarif pajak
Pajak terutang 1thn fiskal Lapor
Kredit pajak KPP
• Angsuran pajak (PPh25)
• Dipotong pihak lain (22,23) Setor
• Pajak luar negeri (24) Kas negara
Pajak kurang/lebih bayar (29/28
Perbedaan Pajak dan Akuntansi

PSAK Undang-Undang

AKUNTANSI PAJAK

PERBEDAAN

Permanen Temporer

Pajak Tangguhan:
 Aktiva/utang
 Beban/Pendapatan

67
Pasal 11 (Penyusutan)
Tabel Tarif dan Masa Manfaat Penyusutan Fiskal

Kelompok Harta Tarif - Metode garis Tarif - Metode Saldo


Masa Manfaat
Berwujud Lurus Menurun

I. Bukan Bangunan

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%


Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

II. Bangunan

Tidak Permanen 10 tahun 10%

Permanen 20 tahun 5%
REKONSILIASI FISKAL
REKONSILIASI FISKAL

PENDAHULUAN

Laporan Keuangan - Neraca


Komersial - Laporan Laba Rugi
- Laporan Perubahan Modal
- Laporan Arus Kas
- dll
Laba/Penghasilan
Neto

Perlakuan2 akuntasi yang berbeda dg Menentukan Besarnya


ketentuan perpajakan, seperti: Pajak Penghasilan
- Ketentuan Perpajakan : tidak semua
biaya dapat dijadikan pengurang
Disesuaikan dg Aturan
- Terdapat penghasilan yang bukan Objek
Perpajakan (Fiskal)
Pajak,
dengan melakukan
- dll

Rekonsiliasi Fiskal
REKONSILIASI FISKAL
Contoh Rekonsiliasi Fiskal --->Penghasilan

Kutipan Lap Keuangan PT. Selalukomplain


Penghasilan dari usaha 100 juta
Deviden dari anak perusahaan (>25%) 40 juta
Keuntungan penjualan kendaraan 60 juta
Restitusi PBB 10 juta
Restitusi PPh 30 juta

Uraian Akuntansi Koreksi Fiskal Fiskal


Phs usaha 100 - 100
Deviden dari subs. 40 (40) -
Keuntungan Penj Kend. 60 - 60
Restitusi PBB 10 - 10
Restitusi PPh 30 (30) -
Total 240 170
74
Rekonsiliasi Fiskal
Adalah:
Proses membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap
laporan keuagan komersial dengan berdasarkan ketentuan-
ketentuan perpajakan sehingga diperoleh yang namanya laba
fiskal

Tujuan:
Agar laporan keuangan komersial sebelum datanya
dimasukan dalam SPT tahunan PPh terlebih dahulu disesuaikan
dengan ketentuan perpajakan yang berlaku
HAL-HAL YANG PERLU DILAKUKAN DIPERHATIKAN DALAM
REKONSILIASI FISKAL

OBJEK PPh TIDAK


BERSIFAT FINAL

OBJEK PPh
1. P E N G H A S I L A N DIPOTONG FINAL

PENGHASILAN BUKAN
OBJEK PPh

DEDUCTIBLE EXPENSE :
2. BIAYA DAPAT DIJADIKAN PENGURANG PENGHASILAN BRUTO

NON DEDUCTIBLE EXPENSE :


TIDAK DAPAT DIJADIKAN PENGURANG PENGHASILAN
BRUTO
Skema Rekonsiliasi Fiskal

Dokumen Sumber Jurnal Buku Besar

Laba Rugi Rekonsiliasi Laba Rugi


Komersial Fiskal Fiskal

Koreksi Koreksi Koreksi


Positif Fiskal Negatif

Beda Waktu PSAK 46 Beda waktu

Beda Tetap Beda Tetap


ISTILAH DALAM REKONSILIASI FISKAL

BEDA TETAP
(PERMANENT DIFFERENCE)
BEDA
FISKAL BEDA SEMENTARA
(TEMPORARY DIFFERENCE)

POSITIF
PENYESUAIAN
FISKAL
NEGATIF

78
Koreksi Positif

Keperluan
Perpajakan

Koreksi Negatif

Koreksi Fiskal

Beda Waktu

Keperluan
Penerapan
PSAK 46

Beda Permanen
KOREKSI FISKAL

Jenis Koreksi Lap.


Fiskal Komersial VS Lap. Fiskal

Koreksi Positif Penghasilan < Penghasilan

Biaya > Biaya

Koreksi Negatif Penghasilan > Penghasilan


Biaya < Biaya

80
Koreksi Fiskal Positif
Menyebabkan Bertambahnya jumlah pajak penghasilan terutang

Contoh:
a. Biaya yang dibebakan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang
yang menjadi tanggungannya
b. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh WP
c. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan
d. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
e. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan
f. Pajak penghasilan
g. Gaji yang dibayarkan kepada pemilik
h. Sanksi administrasi
i. Selisih penyusutan/amortisasi komersial di ats penyusutan/ amortisasi fiskal
j. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan Final dan penghasilan yang tidak termasuk Objek
Pajak
Koreksi Fiskal Negatif
Menyebabkan Berkurangnya jumlah pajak penghasilan terutang

Contoh:
a. Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan penghasilan
yang tidak termasuk Objek Pajak tetapi termasuk dalam peredaran
usaha
b. Selisih penyusutan/amortisasi komersial dibawah penyusutan atau
amortisasi fiskal
Beda Tetap dan Beda
Sementara
BEDA TETAP (Permanent Different) :
Perbedaan antara laba akuntansi dan penghasilan kena pajak
yang disebabkan ketentuan perpajakan dan tidak akan
menimbulkan permasalahan akuntansi serta tidak
memberikan pengaruh terhadap kewajiban perpajakan masa
mendatang.

- Penghasilan yang telah dipotong PPh final


- Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
- Pengeluaran yang termasuk dalan non deductible expense
(pasal 9 ayat 1 UU PPh) dan tidak termasuk dalam deductible
expense (pasal 6 ayat 1 UU PPh)
REKONSILIASI FISKAL

PENYESUAIAN FISKAL – BEDA TETAP

1. Komersial = Penghasilan v.s


Fiskal = Bukan Penghasilan
• Misal:
dividen yg diterima oleh PT sbg WP DN dg
penyertaan modal >= 25% yg didirikan dan
berkedudukan di Indonesia.

2. Komersial = Penghasilan v.s.


Fiskal = PPh yang bersifat final
• Misal:
Penghasilan atas bunga deposito atau tabungan
lainnya yg tlh dipotong PPh Final oleh Bank sebesar
20%.
84
REKONSILIASI FISKAL
PENYESUAIAN FISKAL – BEDA TETAP

3. Komersial = Beban (biaya) v.s.


Fiskal = Non Deductible Expense
Misal:
 Biaya-biaya utk memperoleh penghasilan yg bukan obyek
pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
 Penggantian/imbalan sehubungan dalam bentuk natura atau
kenikmatan.
 Sanksi perpajakan spt bunga, denda, dan kenaikan.
 Biaya-biaya yg menurut Fiskal tidak dapat dibebankan
karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu
• Seperti : daftar nominatif biaya entertainment, daftar
nominatif atas penghapusan piutang
85
BEDA SEMENTARA (Temporary Different)
Perbedaan antara laba akuntansi dan penghasilan kena
pajak yang disebabkan oleh ketentuan perpajakan dan
memberikan pengaruh di masa mendatang dalam jangka
waktu tertentu sehingga pengaruh terhadap laba
akuntansi dan penghasilan kena pajak akhirnya menjadi
sama.

- Penyisihan / Akrual dan Realisasi


- Penyusutan
- Amortisasi
- Kompensasi rugi
- Rugi – Laba selisih kurs
PERBEDAAN TEMPORER YANG BOLEH
DIKURANGKAN
Contoh:
a) Beban piutang tak tertagih
Secara komersial: metode pencadangan
Secara fiskal: PMK No. 105/PMK.03/2009 tanggal 10 Juni 2009
b) Beban pesangon
Secara komersial: metode pencadangan
Secara fiskal: pada saat pembayaran pesangon
c) Beban penyusutan:
Perbedaan timbul mungkin karena beda penggunaan metode penyusutan
atau umur manfaat ekonomis. Penyusutan fiskal harus mengacu ke PMK No.
96/PMK.03/2009 tanggal 15 Mei 2009.
d) Lainnya: pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible expense) kecuali: yang
sesuai dengan PMK No. 81/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009.
PERBEDAAN TEMPORER YANG BOLEH
DIKURANGKAN
No Uraian Akuntansi Perpajakan

1. Penentuan masa manfaat Tergantung pada justifikasi Sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
manajemen secara kaku
2. Besaran nilai perolehan Mengenal prinsip materialitas, bila Tidak mengenal prinsip materialitas. Bila memiliki
tidak material bisa dibebankan masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus
sekaligus sebagai biaya dibebankan melalui penyusutan sesuai Keputusan
Menteri Keuangan

3. Metode penyusutan Metode garis lurus Kelompok bangunan harus menggunakan metode garis
Metode saldo menurun lurus,
Metode satuan produksi Kelompok selain bangunan boleh memilih antara
Metode identifikasi khusus metode garis lurus atau saldo menurun

4. Aset yang boleh disusutkan Semua aset tetap yang dimiliki badan Hanya aset yang dimiliki dan digunakan untuk
usaha, kecuali tanah. memelihara (3M) penghasilan yang merupakan obyek
pajak tidak final
5. Penghitungan jumlah bulan Jumlah bulan dapat dibulatkan ke atas Jumlah bulan selalu dibulatkan ke atas, walaupun
sejak saat dimulainya atau ke bawah. Misalnya pembelian di dibeli di atas tanggal 15 setiap bulannya.
penyusutan atas tanggal 15 dibulatkan ke bawah
dan belum diakui penyusutannya
JENIS-JENIS KOREKSI FISKAL

PERKIRAAN AKUNTANSI PAJAK BEDA

I. Peredaran Usaha
1.1 Potongan Penjualan Realisasi Realisasi No
Penyisihan - Temporer

1.2 Retur Penjualan Realisasi Realisasi No


Penyisihan - Temporer

1.3 Jasa Konstruksi oleh Pengusaha Kecil Pendapatan PPh Final Tetap
(2%, 3%, 4% atau 6%)

1.4 Penghasilan Perusahaan Pendapatan PPh Final Tetap


Pelayaran DN (1,2%*peredaran)

1.5 Penghasilan Perusahaan Pendapatan PPh Final Tetap


Pelayaran/Penerbangan LN (2,64%*peredaran)

1.6 Penghasilan BUT Perwakilan Pendapatan PPh Final Tetap


Dagang Asing (0,44*ekspor)

1.7 Penghasilan BUT Perwakilan Pendapatan PPh Final Tetap


Dagang Asing (0,44*ekspor)

89
JENIS-JENIS KOREKSI FISKAL

PERKIRAAN AKUNTANSI PAJAK BEDA


1.8 Penghasilan atas distributor Pendapatan PPh Final Tetap
produk Pertamina dan Premix (0,25% / 0,3%)
1.9 Penghasilan atas penyalur gula Pendapatan PPh Final Tetap
pasir dan tepung terigu Bulog

1.10 Penghasilan sebagai Distributor Pendapatan PPh Final Tetap


Kertas (0,10% * H Jual)

1.11 Penghasilan atas Distributor Pendapatan PPh Final Tetap


Industri Rokok DN (0,15%*H Bandrol)

II. Harga Pokok Penjualan


2.1 Penilaian Persediaan Harga Perolehan Harga Perolehan No
COMWIL - Temporer
Prosentase Laba Bruto - Temporer
Harga Eceran - Temporer

2.2 Metode FIFO FIFO No


Rata-rata Rata-rata No
LIFO - Temporer

90
JENIS-JENIS KOREKSI FISKAL

PERKIRAAN AKUNTANSI PAJAK BEDA


III. Penghasilan Di Luar Usaha
3.1 Deviden dari Penyertaan DN Pendapatan Bukan Obyek Pajak Tetap
(minimal 25% dan ada usaha lain) (Equity Method)

3.2 Bunga Deposito dan Tabungan Pendapatan PPh Final Tetap


(termasuk Jasa Giro dan SBI) (20%)

3.3 Keuntungan Penjualan Saham di Pendapatan PPh Final Tetap


Bursa Efek Indonesia (0,1% x H Jual

3.4 Keuntungan pengalihan tanah dan


bangunan:
- oleh orang pribadi dan yayasan Pendapatan PPh Final (5%) Tetap
- oleh badan (bukan usaha pokok) Pendapatan PPh 25 (5%) No
- oleh badan (usaha pokok) Pendapatan PPh 23 No

3.5 Penghasilan Sewa


- Badan Pendapatan PPh Final (10%) Tetap
- Orang Pribadi Pendapatan PPh Final (10%) Tetap

3.6 Penghasilan dari Hadiah atas Undian Pendapatan PPh Final (25%) Tetap

91
JENIS-JENIS KOREKSI FISKAL

PERKIRAAN AKUNTANSI PAJAK BEDA


3.7 Bunga atau diskonto Obligasi yang Pendapatan PPh Final Tetap
diperdagangkan di Bursa Efek (15% * bunga)

IV. Beban Usaha


4.1 Biaya yang dipergunakan untuk Realisasi Realisasi No
mendapatkan, menagih dan Penyisihan - Temporer
memelihara penghasilan yang meru-
pakan Obyek Pajak
4.2 Biaya yang dipergunakan untuk Biaya Undeductible Tetap
mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang bukan
merupakan Obyek Pajak
4.3 PPh pasal 21 (karyawan) Tunjangan PPh 21 Deductible No
Ditanggung Perush Undeductible Tetap
4.4 Pemberian kenikmatan dalam bentuk - Umum -Undeductible Tetap
natura - Makan minum di -Deductible No
tempat kerja
- Berkaitan dg -Deductible No
pekerjaan
- Daerah terpencil -Deductible No

92
JENIS-JENIS KOREKSI FISKAL

PERKIRAAN AKUNTANSI PAJAK BEDA


4.5 Sumbangan Biaya Undeductible Tetap
4.6 Entertainment Daftar Nominatif Deductible No
Tdk Daftar Nominatif Undeductible Tetap
4.7 Penyusutan -Sesuai pajak Deductible No
- Beda Metode -Beda Metode Deductible Temporer
- Beda umur ekonomis -Beda umur eko. Deductible Temporer
4.8 Kendaraan dibawa pulang Biaya 50% Undeductible Tetap
50% Deductible
4.9 Sewa rumah karyawan Tidak diberi tunjangan Undeductible Tetap
Diberi tunjangan Deductible No
4.10 Biaya pengobatan Penggantian Deductible No
Tunj. Pengobatan Deductible No
Cuma-Cuma Undeductible Tetap

4.11 SGU dengan hak opsi


Penyusutan aktiva SGU Biaya Undeductible Temporer
Bunga SGU Biaya Undeductible Temporer
Jumlah Pembayaran Non Biaya Deductible Temporer

4.12 Biaya lain-lain Tidak dirinci Undeductible Tetap


Dirinci Deductible No 93
KOMPENSASI KERUGIAN

KERUGIAN DAPAT DIKOMPENSASIKAN DENGAN


PENGHASILAN MULAI TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
BERTURUT-TURUT SAMPAI DENGAN 5 (LIMA) TAHUN

PENANAMAN MODAL DI BIDANG USAHA PERKEBUNAN


TANAMAN KERAS DAN PERTAMBANGAN, DI DAERAH
TERPENCIL, KOMPENSASI KERUGIAN PALING LAMA 10
TAHUN

PENANAMAN MODAL DI BIDANG USAHA PERKEBUNAN


TANAMAN KERAS DAN PERTAMBANGAN DI LUAR DAERAH
TERPENCIL, KOMPENSASI KERUGIAN DIBERIKAN PALING
LAMA 8 TAHUN

Kerugian yang diakibatkan karena penghasilan


yang telah dikenakan pajak final, tidak dapat
dikompensasikan ke tahun pajak berikutnya

Pasal 6 ayat (2) dan PP 34 Tahun 1994 94


KOMPENSASI KERUGIAN

KOMPENSASI KERUGIAN 5 (LIMA) TAHUN

CONTOH

PT.A TAHUN 2009 MENDERITA KERUGIAN FISKAL SEBESAR


Rp 1.200.000.000.- DALAM 5 TAHUN BERIKUTNYA RUGI-
LABA FISKAL PT A. MENGGAMBARKAN SEBAGAI BERIKUT:

2010 : LABA FISKAL Rp 200.000.000.-


2011 : RUGI FISKAL Rp 300.000.000.-
2012 : LABA FISKAL NIHIL
2013 : LABA FISKAL Rp 100.000.000.-
2014 : LABA FISKAL RP 800.000.000.-
95
KOMPENSASI KERUGIAN DILAKUKAN Sbb:

RUGI FISKAL TAHUN 2009 (Rp 1.200.000.000.)


LABA FISKAL TAHUN 2010 Rp 200.000.000.(+)

SISA RUGI FISKAL TH 2009 (Rp 1.000.000.000.)


RUGI FISKAL TAHUN 2011 (Rp 300.000.000.)

SISA RUGI FISKAL TH 2009 (Rp 1.000.000.000.)


LABA FISKAL TAHUN 2012 Rp N I H I L (+)

SISA RUGI FISKAL TH 2009 (Rp 1.000.000.000.)


LABA FISKAL TAHUN 2013 Rp 100.000.000.(+)

SISA RUGI FISKAL TH 2009 (Rp 900.000.000)


LABA FISKAL TAHUN 2014 Rp 800.000.000.(+)

SISA RUGI FISKAL TH 2009 (Rp 100.000.000.)

96
- SISA RUGI FISKAL TAHUN 2009 Rp 100.000.000.
YANG MASIH TERSISA PADA AKHIR TH 2014,
TIDAK BOLEH DIKOMPENSASIKAN DGN LABA FISKAL
TAHUN 2015. SEDANGKAN :

- RUGI FISKAL TAHUN 2011 Rp 300.000.000.-


HANYA DIKOMPENSASIKAN DENGAN LABA FISKAL
TAHUN 2015 DAN TAHUN 2016, KARENA JANGKA
WAKTU LIMA TAHUN DIMULAI SEJAK TAHUN 2012
DAN BERAKHIR TH 2016.
PASAL 6 Ayat (2)

97
KREDIT PAJAK
DAN
TARIF PPh BADAN
KREDIT PAJAK
Kredit Pajak adalah:

Pengurang PPh terutang yang merupakan rincian kredit PPh yang


dipotong/dipungut pihak lain tidak termasuk bersifat final dan dikenakan pajak
tersendiri serta rincian penghasilan neto dari luar negeri yang diterima WP sendiri,
isteri dan anak-anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan, kecuali istri yang telah hidup berpisah atau yang mengadakan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.

Dasar:
- UU PPh Pasal 24
- UU PPh pasal 28
- PP Nomor 42 tahun 1995 jo. PP Nomor 25 tahun 2001
Terdiri dari:

1. PPh yang ditanggung pemerintah


2. PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain
dalam negeri meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh pasal 23
3. PPh Pasal 24 sebagai kredit pajak luar negeri
PENJELASAN

1. PPh yang ditanggung pemerintah


Pembahasan PPh yang ditanggung pemerintah adalah jumlah
PPh yang ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2009

2. PPh Pasal 21
Kredit PPh asal 21 adalah jumlah PPh yang telah dipotong
oleh pemotong pajak PPh Pasal 21 dalam tahun pajak yang
bersangkutan, baik terhadap WP sendiri maupun terhadap
istri WP yang bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, dan
anak/ anak angkat yang belum dewasa

Dalam hal WP Orang Pribadi luar negeri berubah status


menjadi WP dalam negeri, PPh Pasal 26 yang telah dipotong
disamakan dengan kredit pajak PPh Pasal 21
3. PPh Pasal 22
Kredit Pajak PPh Pasalm 22 adalah jumlah PPh yang telah dipungut dalam
tahun Pajak yang bersangkutan oleh:

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea Cukai, atas impor barang;
b. Direktorat jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik tingkat pusat
maupun daerah, BUMD dan BUMN, yang melakukan pembayaran atas
pembelian barang dari belanja negra atu belanja daerah;
c. Badan Usaha yang bergerak di bidang industri semen,industri kertas, industri
baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak, atas penjualan hasil produksinya dalam negeri;
d. Pertamina atas penjualan hasil produksi berupa premium, solar, pelumas,
minyak tanah, dan gas LPG kepada pembeli yang bukan sebagai
penyalur/agen/dealer
e. Bulog atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu kepada pembeli yang
bukan penyalur/grosir.
4. PPh Pasal 23
Kredit Pajak PPh Pasal 23 adalah jumlah PPh yang telah dipotong dalam
Tahun Pajak yang bersangkutan oleh pemotong PPh Pasal 23 atas
penghasilan berupa dividen, royalti, hadiah dan penghargaan, sewa,
imbalan atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain
yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak, kecuali PPh yang bersifat
final.

5. PPh Pasal 24
Kredit Pajak PPh Pasal 24 adalah jumlah pajak yang
dibayar/dipotong/terutang di luar negeri atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh di luar negeri dalam tahun yang bersangkutan, sebesar PPh
yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri tetapi tidak bolah melebihi
perhitungan pajak yang terutang berdasarkan UU PPh.
Contoh perhitungan:

Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang pada akhir tahunyang bersangkutan.

Pajak penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,00


Kredit pajak:
Pemotong pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00
Pemungut pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
Pemotong pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,00
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00 (+)
Jumlah pajak penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,00 (-)

Pajak penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,00


PPh Pasal 28A (Lebih Bayar)

Apabila pajak yang terutang untuk satu tahun pajak ternyata


lebih kecil dari jumlah kredit pajak, maka setelah dilakukan
pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
setelah diperhitungan dengan utang pajak berikut sanksi-
sanksinya.

PPh Pasal 29 (Kurang bayar)

Apabila pajak yang terutang untuk satu tahun pajak ternyata


lebih besar dari kredit pajak, kekurangan pembayaran pajak
yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuna
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
BAGAN PAJAK PENGHASILAN (PPH BADAN)

Pembayaran dari Luar Negeri Pembayaran ke Luar


Pasal 24 Negeri
Luar Negeri Pasal 26
Indonesia
WAJIB PAJAK
Pasal 23 BADAN Pasal 23

Laporan Laba / Rugi


Penghasilan xxx Pasal 4
Pasal 6 Biaya (xxx)
Laba xxx
Koreksi Fiskal xxx Pasal 9
Penghasilan Kena Pajak xxx
Pajak Terutang xxx Pasal 17
Pasal 22, 23, Pajak dibayar dimuka (xxx)
24, 25 Pajak yang harus dibayar xxx Pasal 29

UU PPh Pasal
PERHITUNGAN PPH SECARA UMUM

Komersial Fiskal
Penghasilan xxx xxx
Biaya ( dan bukan biaya) (xxx) (xxx)
Laba/Penghasilan netto xxx xxx
Kompensasi rugi tahun sebelumnya (xxx)
Penghasilan kena pajak (PKP) xxx
PPh terhutang (PKP x Tarif) xxx
Kredit Pajak :
- PPh 22/23/24/25 (xxx)
Kurang (lebih) bayar xxx

Penyesuaian Dilakukan dengan


Rekonsiliasi Fiskal

UU PPh Pasal
TARIF PPH BADAN

LAMA BARU

Lapisan Penghasilan
Tarif
Tarif
Kena Pajak
Tunggal
> 0 juta – 50 juta 10%

> Rp 50 juta – Rp 100


Tahun 2009 : 28%
15%
juta

> Rp 100 juta 30% Tahun 2010 & Setelahnya


: 25%

UU PPh Pasal

Anda mungkin juga menyukai