Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN ATRIAL

FIBRILASI DI RUANG INTENSIVE CORONARY CARE UNIT (ICCU)


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Moh. Kholil Fadel Rabbani, S.Kep
NIM 192311101223

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1. KONSEP PENYAKIT

1.1 Review Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Jantung

Jantung merupakan organ penting yang berfungsi untuk mengalirkan darah yang
mengandung oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh guna untuk proses
metabolisme (Ramli dan Karani, 2018). Jantung terletak di rongga toraks (dada) sekitar
garis tengah antara sternum dan tulang punggung (vetebra). Menurut Ramli dan Karani
(2018) bagian depan diatasi oleh sternum dan costae 3, 4, dan 5. Jantung terletak di atas
diafragma, miring ke depan kiri dan apex cordis berada paling depan dalam rongga
thorax. Dinding jantung terbagi menjadi 3 lapisan yaitu pericardium, miokardium dan
endocardium. Jantung terdiri dari 4 ruang yaitu artrium pada 2 ruang jantung atas dan
ventrikel pada 2 ruang jantung bawah. Atrium berfungsi untuk menerima darah yang
kembali ke jantung dan memindahkannya ke ruang di bawahnya, sedangkan ventrikel
memompa darah dari jantung. Atrium dan ventrikel dipisahkan menjadi bagian kanan dan
kiri oleh septum. Pemisahan ini sangat penting, karena bagian kanan jantung menerima
dan memompa darah beroksigen rendah dan sisi kiri jantung menerima dan
memompa darah beroksigen tinggi.
Menurut Wahyuningsih dan Kusmiyati (2017) katub jantung dibagi menjadi 2
yaitu katub atrioventikuler dan katub semilunar. Katub atrrioventikuler terletak antara
atrium dan ventrikel, katub yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan
yang mempunyai tiga katub disebut katub trikuspidalis, sedangkan katub yang
letaknya diantara atrium atrium kiri dan ventrikel kiri mempunyai dua katub yang
disebut katub mitral (bikuspidalis). Katub seminular terletak pada arteri pulmonalis
yang memisahkan pembuluh dari ventrikel kanan. Katub aorta terletak antara
ventrikel kiri dan aorta. Adanya katub semilunar ini memungkinkan darah mengalir
dari masing-maing ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selama sistole ventrikel,
dan mencegah aliran balik waktu diastole ventrikel (Wahyuningsih dan Kusmiyati,
2017).

Gambar 2. Anatomi Arteri Koroner

Suplai darah pada otot-otot jantung diperoleh dari arteri koroner kanan dan kiri.
Darah mengalir dari pembuluh darah epicardial menuju endocardial. Setelah perfusi
myocard, darah kembali ke atrium kanan melalui sinus koronaria dan vena anterior
jantung. Sejumlah kecil aliran darah yang kembali secara langsung masuk ke dalam
ruang-ruang jantung melalui vena Thebessy (Sofyan, 2016).

Arteri koroner kanan (RCA) secara normal menyuplai arteri kanan, sebagian besar
ventrikel kanan dan dalam jumla bervariasi pada ventrikel kiri (dinding inferior).
Arteri descent posterior (PDA), adalah cabang dari arteri koroner kiri dimana
sirkulasi di kiri lebih dominan (Sofyan, 2016). Arteri koroner kiri secara normal
mensuplai atrium kiri dan sebagian besar septum interventrikuler dari ventrikel kiri
(septum anterior dan dinding lateral). Setelah perjalanan pendek dari bifurcatio arteri
koroner utama kiri ke dalam arteri descent anterior kiri (LAD) dan arteri sirkumfleksi
(CX); bentuk ini menyuplai septum dan dinding anterior. Pada sirkulasi diminan kri,
CX sepanjang AV dan berlanjut kembali sebagai PDA untuk mensuplai juga sebagian
besar septum posterior dari dinding anterior (Sofyan, 2016).

Arteri menyuplai simpul AV yang dapat berasal dari RCA (60 % dari individu atau
yang lainnya (sisanya 40 %). Simpul AV biasanya melalui RCA (85 %-90 %, atau
sering tidak ada, dari derivat PDA dan LAD. Dinding anterior dari katup mitral juga
memiliki daerah yang ganda yang memberikan suplai melalui cabang diagonal dari
LAD dan berasal dari cabang CX. Sebaliknya, postkapiler dari katup mitral biasanya
disuplai dari PDA sangat banyak memiliki disfungsi iskemik daerah-daerah yang
berharga (Sofyan, 2016).

1.2 Definisi

Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan yang terjadi pada ritme jantung ditandai
dengan irama ventrikel denyut jantung yang irregular dan basis osilasi beramplitudo
rendah (gelombang f atau fibrilasi). Laju gelombang f dapat mencapai 300-600 x/menit
dan memiliki variasi pada amplitude, waktu dan bentuk (Andrianto, 2020). Pada
dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi
atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium.
Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung
(Yuniadi, 2014). Fibrilasi atrium merupakan takikardi supraventricular yang khas,
dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari AF yaitu tidak adanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi nodus AV yang normal, AF
biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat
(PERKI, 2014).
Gambar 3. Atrial Fibrilasi

Menurut Camm (2010) pada gambaran EKG atrium fibrilasi umumnya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:

1. EKG permukaan menunjukkan pola inerval RR yang irregular


2. Tidak adanya gelombang P yang jelas pada EKG, kadang dapat dilihat aktivitas
atrium yang irregular pada beberapa sedapan EKG dan yang paling sering pada
sedapan V1
3. Interval diantara dua gelombang aktivasi atrium biasanya bervariasi, dan
umumnya memiliki kecepatan lebih dari 450 x/menit.
1.3 Epidemiologi
Dalam 20 tahun terakhir, atrial fibrilasi sudah menjadi salah satu masalah
kesehatan dunia dan penyebab peningkatan biaya pelayanan kesehatan. Prevalensi
atrial fibrilasi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan prevalensi atrial
fibrilasi akan mencapai 4 juta pada tahun 2030 dan meningkat hingga 5.6 juta pada
tahun 2050. Prevalensi atrial fibrilasi pada jenis kelamin pria di dunia pada tahun
2000 sebesar 586,6 per 100.000 penduduk dan meningkat menjadi 596,2 per 100.000
penduduk pada tahun 2010. Sedangkan pada wanita prevalensi atrial fibrilasi pada
tahun 2000 sebesar 363,4 per 100.000 penduduk dan meningkat menjadi 373,1 per
100.000 penduduk di dunia pada tahun 2010.
Data dari studi observasional (MONICA - Multinational Monitoring of trend and
determinant in cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta ditemukan angka
kejadian atrial fibrilasi sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2. Data di
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita juga menunjukkan persentase
kejadian atrial fibrilasi pada pasien rawat inap meningkat setiap tahun, yaitu 7,1% tahun
2010 meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3%(2012), dan 9,8%(2013).
Pada tahun 2001, atrial fibrilasi merupakan salah satu penyebab utama lebih dari
70.000 kematian. The Framingham Heart Study menyatakan bahwa atrial fibrilasi
secara independen berhubungan dengan adanya peningkatan risiko kematian sebesar
50-90%. Mortalitas yang berkaitan dengan atrial fibrilasi lebih banyak terjadi pada
wanita. Angka mortalitas akibat atrial fibrilasi akan meningkat sebesar 1,6 kali pada
pria dan 1,7 kali pada wanita.

1.4 Etiologi

Atrial fibrilasi dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:

a. Peningkata tekanan atau resistensi atrium


1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltrasi dan inflamasi
1. Pericarditis atau myocarditis
2. Amyloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1) Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan endokrin
1. Hipertiroid
2. feokromositoma
e. Neurogenic
1. Stroke
2. Pendarahan subarachnoid
f. Iskemik atrium (infark myocard)
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. kafein
h. Keturunan atau genetic

1.5 Klasifikasi

Berdasarkan tipe klinis, fibrilasi atrium dapat diklasifikasikan sebagai berikut


(Camm, 2010; Yuniadi, 2014):

1. Fibrilasi atrium pertama (First Onset)


Semua fibrilasi atrium yang pertama sekali diketahui menderita FA tanpa
memandang durasi aritmia ataupun beratnya gejala.
2. Fibrilasi atrium paroksismal
Fibrilasi atrium yang kembali ke irama sinus secara spontan (self terminating),
biasanya kurang dari 48 jam walaupun dapat berlangsung hingga 7 hari.
3. Fibrilasi atrium persisten
Fibrilasi atrium yang berlangsung lebih dari 7 hari atau membutuhkan kardioversi
untuk mengubahnya ke irama sinus, baik secara medikamentosa maupun elektris.
4. Fibrilasi atrium persisten lama (Long Standing Persistent)
Fibrilasi atrium yang berlangsung sudah berlangsung lebih atau sama dengan 1
tahun tetapi masih diinginkan diubah menjadi irama sinus.
5. Fibrilasi atrium permanen
Fibrilasi atrium yang diterima baik oleh pasien maupun dokternya, tanpa
keinginan lagi untuk mengubahnya ke irama sinus.

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-
ciri dari pasien:
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung
seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, miokarditis, hipertiroidisme, emboli
paru, pneumonia, atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang
berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular.
1.6 Patofisiologi

Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau
depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA (Harrison, 2000).
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih
tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi.
Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal
ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor
tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan
depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF (Harrison, 2000).

Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dari Multiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets
yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang
tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi
ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa
otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran
atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara
adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah
yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi
yang tepat untuk sebuah jalur konduksi
yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor
predisposisi bagi fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dapat juga disebabkan oleh
gangguan katup jantung pada demam reumatik, atau gangguan aliran darah seperti
yang terjadi pada penderita aterosklerosis (Yuniadi, 2014).

Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial flow
velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya
trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada
pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke emboli. 2/3
sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena stroke
emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan
thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga
sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF (Sudoyono, 2007).

1.7 Manifestasi Klinis


Atrial Fibrilasi dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF
sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA,
penyakit yang mendasarinya. Fibrilasi atrium (AF) biasanya menyebabkan ventrikel
berkontraksi lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki
cukup waktu untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru
dan tubuh. Atrial fibrilasi sering tanpa disertai gejala, tapi kebanyakan penderita
mengalami palpitasi (perasaan yang kuat dari denyut jantung yang cepat atau
"berdebar" dalam dada), nyeri dada terutama saat beraktivitas, pusing atau pingsan,
sesak napas, cepat lelah, laju denyut jantung meningkat, intoleransi terhadap
olahraga, sinkop atau gejala tromboemboli, atau dapat disertai gejala-gejala gagal
jantung (seperti rasa lemah, sakit kepala berat, dan sesak nafas), terutama jika denyut
ventrikel yang sangat cepat (sering 140-160 denyutan/menit) (Wattigney, 2002).
Pasien dapat juga disertai tanda dan gejala stroke akut atau kerusakan organ tubuh
lainnya yang berkaitan dengan emboli systemic. AF dapat mencetuskan gejala iskemik
pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat
berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal
jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (Sudoyo, 2007).

1.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, ureum, kreatinin serum untuk
menunjukkan apakah pasien menderita gangguan elektrolit atau gagal ginjal.
Pemeriksaan enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin. Dari pemeriksaan ini
dapat ditemukan tanda-tanda infark miokard sebagai pencetus FA. Pemeriksaan D-
dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru). Pemeriksaan Fungsi tiroid untuk
melihat apakah pasien memiliki gangguan tiroid seperti tirotoksikosis. Pemeriksaan
kadar digoksin untuk mengevaluasi level
subterapeutik dan atau toksisitas (Yuniadi, 2014).
4. Elektrokardiogram (EKG)
Pada penderita FA gambaran EKG umum nya sebagai berikut:
a. Pola interval RR yang irreguler.
b. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas. Gelombang P menjadi fibrilasi
dengan amplitudo, bentuk dan durasi yang bervariasi, hal ini berhubungan
dengan respon ventrikel yang irregulerdan cepat pada sistem konduksi AV
yang utuh. Dan paling sering terjadi pada sadapan V1.
c. Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah foto toraks, uji latih
atau uji berjalan enam menit, ekokardiografi, Computed Tomography (CT) scan dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI), monitor holter atau event recording, studi
elektrofisiologi (Yuniadi, 2014).

1.9 Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan
irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah
adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu
penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi
sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan
irama dan menurunkan denyut jantung (Dinanti, 2009). Pada dasarnya kardioversi
dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan
pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion). Kontrol irama atau kardioversi
mengacu pada upaya untuk mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang.
Rekomendasi kelas 1 sebagai kontrol irama jantung sesuai dengan Guidelines of
the American College of Cardiology, American Heart Association and European
Society of Cardiology 2006 (ACC/AHA/ESC 2006) adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Sedangkan amiodaron, agen anti-aritmia yang paling
umum digunakan, dimasukkanke dalam kelas 2A. Sebaiknya kardioversi
farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium
agarefektivitasnya lebih baik (Dinanti, 2009). Obat-obat anti aritmia dapat
diklasifikasikan menjadi:
1. Obat yang efektif pada aritmia supraventrikular (kanan atas), antara lain
adenosin, digoksin, verapamil.
2. Obat yang efektif pada aritmia ventrikular (kiri bawah), antara lain obat golongan
1B yang terdiri dari lidokain.
3. Obat yang efektif pada kedua jenis aritmia supraventrikular dan ventrikular,
antara lain
a) obat golongan 1A yang terdiri dari disopiramid, kuinidin,
b) obat golongan 1C yang terdiri dari flekainid,
c) obat Golongan III yang terdiri dari amiodaron.
Terapi antitrombotik yang digunakan untuk mencegahan stroke pada pasien FA
meliputi antikoagulan antagonis vitamin k yaitu warfarin dan coumadin dan
antikoagulan baru yaitu dabigatran etexilate, rivaroxaban, apixaban juga
menggunakan antiplatelet. Jenis antitrombolitik tidak digunakan untuk pencegahan
stroke pada pasien FA (Yuniadi, 2014). Pemberian terapi digoxin, dimana obat ini
bekerja untuk membuat irama jantung kembali normal dan memperkuat jantung
dalam memompa darah keseluruh tubuh. Obat ini berbentuk suntik dan tablet.
Kondisi Bentuk Usia dosis
Obat

Gagal suntik Dewasa 0,5-1mg dosis tunggal, infus selama


jantung akut 2 jam

Dewasa Dosis awal 0,75-1mg diberikan


dalam 24 jam sebagai dosis
tunggal, atau dibagi tiap 6 jam.

Bayi dengan berat Dosis awal 25 mcg/KgBB per hari,


badan hingga 1,5kg diberikan dalam 3x1. Dilanjutkan
dengan 4-6 mcg/KgBB perhari
dalam 1 atau 2 kali pemberian

Bayi dengan berat Dosis awal 30 mcg/KgBB perhari,


badan hingga 1,5kg dalam 3x pemberian. Dilanjutkan
– 2,5kg dengan 4-6 mcg/KgBB perhari
dalam 1 atau 2 kali pemberian

Gagal Tablet Bayi dengan BB Dosis awal 45 mcg/kgBB per hari,


jantung, diatas 2,5kg dan dalam 3 kali pemberian.
aritmia balita usia 1 bulan Dilanjutkan 10 mcg/kgBB per hari,
hingga 2 tahun dalam 1 atau 2 kali pemberian.

Anak usia 2-5 tahun Dosis awal 35 mcg/kgBB per hari,


dalam 3 kali pemberian.
Dilanjutkan 10 mcg/kgBB per hari,
dalam 1 atau 2 kali pemberian.

Anak usia 5-10 Dosis awal 25-750 mcg/kgBB per


tahun hari, dalam 3 kali pemberian.
Dilanjutkan 6-250 mcg/kgBB per
hari, dalam 1 atau 2 kali pemberian.

Anak usia 10 tahun – Dosis awal 0,75-1,5 mg/kgBB per


18 tahun hari, dalam 3 kali pemberian.
Dilanjutkan 62,5-750 mcg per hari,
dalam 1 atau 2 kali pemberian.
1.10 Clinic Pathway
Kardiomiopati, Pericarditis,
Faktor usia, obat-obatan (akohol), tumor miocarditis
keturunan

Kelainan katup atrium Tekanan Atrium sinistra


meningkat

Resistensi atrium dextra


Tekanan vena
Pulmonalis meningkat
Suplai O2 Otak Vol. Atrium meningkat
menurun
Hipertensi kapiler paru
Pengosongan atrium
Sinkop inadekuat
Edema paru

ADL menurun Antrium Fibrilasi (AF)


Gangguan Pertukaran
Gas
Tachicardia
Supraventrike dextra

Pengisian darah ke paru-


paru menurun
Renal Flow menurun Suplai darah
jaringan menurun
Atrial flow velocities
RAA meningkat menurun
Metabolisme anaerob
Trombus atrium sinistra
Aldosteron meningkat
Asidosis metabolik
Disfungsi ventrikel
ADH meningkat
sinistra
Penimbunan as.Laktat &
ATP menurun
Retensi Na+ + H2O Penurunan Curah
Jantung
Intoleransi
Hipervolemia
Aktivitas
Narasi Klinis:
Penyakit atrium fibrilasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti usia,
obat obatan (alkohol), dan keturunan. Selain itu juga terdapat penyakit penyerta
seperti kardiomiopati, tumor, perikarditis, dan juga miokarditis. Keadaan semacam ini
berdampak terjadinya kelainan terhadap katup atrium. Katup atrium akan mengalami
resistensi dan kemudian menimbulkan pengosongan terhadap volume atrium itu
sendiri.
Atrial fibrilasi ditandai dengan terjadinya takikardi supraventrikel, yaitu suatu
keadaan detak jantung yang cepat yang terjadi ketika impuls listrik normal jantung
terganggu. Gejala dapat berupa jantung berdebar-debar, atau tidak ada gejala sama
sekali. Takikardi supraventrikel menimbulkan beberapa masalah, seperti peningkatan
terhadap tekanan antrium kiri dan peningkatan tekanan vena pulmonal dan penurunan
pengisian darah. Peningkatan tekanan antrium kiri dan peningkatan tekanan vena
pulmonal ini kemudian menyebabkan hipertensi kapiler paru sehingga akan terjadi
pembengkakan paru, yaitu suatu keadaan yang disebabkan oleh kelebihan cairan di
paru-paru. Dengan keadaan semacam ini, proses pertukaran gas tang seharusnya bisa
terjadi di paru paru akan mengalami gangguan sehingga pasien akan mengalami suatu
keadaan yang disebut dengan Gangguan Pertukaran Gas.
Penurunan pengisian darah oleh karena takikardi supraventrikel menimbulkan
beberapa masalah seperti penurunan kecepatan aliran darah, penurunan suplasi darah
ke jaringan, penurunan suplasi oksigen ke otak, dan juga peningkatam aliran ginjal.
Penurunan kecepatan aliran darah akan menyebakan trombus pada atrium dan
disfungsi vetrikel sehingga keadaan yang bisa muncul adalah terjadinya Risiko
Penurunan Curah Jantung.
Penurunan suplai darah ke jaringan oleh karena penurunan pengisian darah
berdampak pada gangguan terhadap proses metabolisme. Keadaan semacam ini
memunculkan suatu kodisi yaitu asidosis metabolik sehingga akan terjadid
penimbunan asam laktat dan ATP. Kelelahan menjadi masalah yang palimg sering
muncul dalam kondisi seperti ini, sehingga diagnosa yang ditetapkan berupa
Intoleransi Aktivitas. Intoleransi aktivitas juga dapat disebabkan oleh faktor
penurunan suplai oksigen ke otak, yaitu pasien dapat mengalami kehilangan
kesadaran sementara secara tiba tiba atau disebut dengan sinkop.
Penurunan kemampuan pengisian darah juga akan menyebabkan penurunan
aliran ginjal. Keadaan ini menimbulkan penurunan terhadap RAA (renin-angiotensin-
aldosteron). Penurunan RAA menyebabkan retensi ion NA+ sehinggan masalah yang
muncul adalah hipervolemia.
BAB. 2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada klien dengan kasus
trauma servikal adalah sebagai berikut :
a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pendidikan, pekerjaan, hubungan pasien dengan penanggung
jawab, dll.
b. Status Kesehatan Saat Ini
Pasien datang dengan keluhan jantung berdebar-debar, mudah lelah saat aktivitas
fisik, dan pusing.
c. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Pasien mengatakan jantung terasa berdebar-debar, mudah lelah saat aktivitas fisik,
dan pusing
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Haruslah diketahui penyakit atau masalah kesehatan yang pernah dialami pasien
sebelumnya baik yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler maupun
penyakit sistem sistemik lainnya (penyakit kronis). Hal ini sebagai data dasar
dalam memberikan terapi pada pasien dan dapat mempengaruhi prognosa pasien.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah anggota keluarga/generasi sebelumnya yang mengalami penyakit seperti
yang dialami pasien dan/atau penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat
dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti
karena dapat mempengaruhi prognosa pasien.
f. Pola aktivitas/istirahat
Pada pasien ini terjadi keluhan kelemahan fisik secara umum dan keletihan yang
berlebihan. Temuan fisik berupa disritmia, perubahan tekanan darah dan denyut
jantung saat beraktivitas
g. Pola eliminasi
Luaran urin biasanya mengalami penurunan jika terjadi penurunan curah jantung
yang berat
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan napas dan saturasi oksigen
sangan penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang
adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisik, denyut nadi umumnya irregular dan
cepat sekitar 110-140 x/menit, pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas
obat jantung (digitalis) dapat mengalami brakikardi
2) Kepala dan leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis
mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner.
3) Thoraks dan Dada
- Jantung
pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisik pada pasien
dengan atrial fibrilasi. Palpasi da auskultasi yang menyeluruh sangat penting
untuk mengevaluasi penyakit katup atau kardiomiopati. Pergeseran pinctum
maximum atau adanya bunti jantung tambahan (S3) mengindikasikan
pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2)
yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus
defisit, dimana terdapat istilah jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi
jantung dapat ditemukan pada pasien dengan atrial fibrilasi.
- Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan
adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA
(misalnya PPOK,asma)
4) Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embili perifer
5) Sistem neurosensori
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien dengan FA. Peningkatan reflek dapat
ditemukan pada hipertiroidisme.
6) Ekstremitas
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabu atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisaasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
aterial perifer atau penurunan curah jantung
i. Data sosial
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-
orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami
trauma kepala dan rasa aman.
j. Data spiritual
Data spiritual yang diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan
falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang
dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.
k. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
2) Pemeriksaan labolatorium
3) Foto rontgen toraks
4) Ekokardiogenik
5) Pemeriksaan fungsi tiroid
2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan Pertukaran gas b.d Edema paru yang menyebabkan suplai oksigen
tidak adekuat
2) Penurunan curah jantung b.d Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan
inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan
structural.
3) Hipervolemia b.d menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah
jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air ditandai dengan
: Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan,
hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.
4) Intoleransi Aktivitas b.d Ketidakseimbangan antar suplai okigen, Kelemahan
umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan: Kelemahan, kelelahan,
Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.
2.3 Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil

1 Penurunan Curah Tujuan: Setelah Perawatan Jantung (1.02075) Observasi


Jantung dilakukan Observasi 1. Untuk menentukan diagnosa
tindakan keperawatan 1 1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan keperawatan risiko penurunan curah
x 8 jam curah jantung (meliputi dyspnea, kelelahan, jantung diperlukan diperlukan
curah jantung membaik. edema, ortopnea, paroxysmal nocturnal pemeriksaan tanda dan gejala secara
Kriteria hasil: dyspnea, peningkatan CVP) berkala
1. Kekuatan nadi 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder 2. Untuk menentukan diagnosa
perifer meningkat penurunan curah jantung (Meliputi keperawatan risiko penurunan curah
2. Edema (menurun) peningkatan berat badan, hepatomegaly, jantung diperlukan diperlukan
3. Tekanan darah distensi vena jugularis, palpitasi, rochi pemeriksaan tanda dan gejala secara
(membaik) basah, oliguria, batuk, kulit pucat) berkala
4. Pengisian kapiler 3. Monitor tekanan darah (termasuk tekanan 3. Pada gagal jantung kongestis (GJK)
(membaik) darah ostostatik,jika perlu) dini, sedang atau kronis tekanan
4. Monitor intake dan output cairan darah dapat meningkat. Pada HCF
5. Monitor saturasi oksigen lanjut tubuh tidak mampu lagi
6. Monitor keluhan nyeri dada (misal. mengkompensasi dan hipotensi tidak
Intensitas, lokasi, radiasi, duarasi, dapat normal lagi.
presivitasi yang mengurangi nyeri) 4. Karena adanya peningkatan tekanan
7. Monitor aritmia (kelainan irama dan ventrikel kiri, pasien tidak dapat
frekuensi) mentoleransi peningkatan volume
8. Monitor EKG 12 Sadapan cairan (preload). Pasien GJK juga
mengeluarkan sedikit natrium yang
Terapeutik menyebabkan retensi cairan dan
meningkatkan kerja miokard
1. Posisikan pasien semi-fowler atau fowler
dengan kaki kebawah atau posisi nyaman
2. Berikan diet jantung yang sesuai (misal batasi
asupan kaferin, natrium, kolesterol, dan 5. Untuk meningkatkn sediaan oksigen
makanan tinggi lemak) untuk kebutuhan miokard untuk
3. Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi melawan efek hipoksia/iskemia.
gaya hidup sehat 6. Nyeri dapat terjadi karena penurunan
4. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi curah jantung
stress, jika perlu 7. S1 dan S2 mungkin lemah karena
5. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi menurunnya kerja pompa. Irama Gallop
oksigen >94% umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai
aliran darah ke serambi yang distensi.
Edukasi Murmur dapat menunjukkan
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi inkompetensi/ stenosis katup
2. Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap 8. Depresi segmen ST dan datarnya
3. Anjurkan berhenti merokok gelombang T dapat terjadi karena
4. Anjurkan pasien dan keluarga mengukur peningkatan kebutuhan oksigen
berat badan harian miokard, meskipun tak ada penyakit
5. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake arteri koroner. Foto dada dapat
dan output cairan harian menunjukan pembesaran jantung
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika Terapeutik
perlu 1. Untuk meningkatkan rasa nyaman pada
pasien
2. Rujuk ke progam rehabilitasi jantung 2. Untuk membantu pemenuhan nutrisi
yang cukup dan mempercepat proses
Perawatan Jantung Akut (1.02076) pemulihan
Observasi 3. Gaya hidup sehat dapat mencegah
kekambuhan penyakit
1. Ide
ntif
ikas
i
karakteristik nyeri dada (meliputi faktor
pemicu dan pereda, kualitas, lokasi, radiasi,
skala, durasi, dan frekuensi)
2. Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST 4. Relaksasi dapat membuat tubuh lebih
dan T nyaman dan meningkatkan proses
3. Monitor aritmia (kelainan irama dan kesembuhan
frekuensi) 5. Untuk melatih kemandirian pasien dan
4. Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan keluarga
resiko aritmia (misal kalium, magnesium serum)
5. Monitor saturasi oksigen Edukasi
1. Untuk mengetahui karakteristik nyeri
Terapeutik yang dikeluhkan pasien
1. Pertahankan tirah baring minimal 12 jam 2. Mengetahui fungsi kerja jantung
2. Pasang akses intervena 3. Untuk mencegah keparahan penyakit
3. Puasakan hingga bebas nyeri 4. Untuk mengontrol kenaikan berat
4. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi badan yang dapat memperparah
ansietas dan stress penyakit
5. Sediakan lingkungan yang kondusif untuk 5. Guna mencegah penumpukan cairan
beristirahat dan pemulihan yang dapat memperburuk keadaan
6. Siapakan menjalani intervensi koroner pasien
perkutan,j ika perlu
7. Berikan dukungan emosional dan spiritual Kolaborasi
Edukasi 1. Obat antiaritmia berfungsi untuk
1. Anjurkan segera melaporkan nyeri dada mengatasi irama jantung yang tidak
2. Anjurkan menghidari maneuver valsava teratur
(missal mengedan saat baba tau batuk) 2. Untuk mempercepat proses pemulihan
3. Jelaskan tindakan yang dijalani pasien pasien

Perawatan Jantung Akut (1.02076)


Observasi
1. Identifikasi dapat menunjukkan
penyebab nyeri dan dapat memberikan
pengobatan yang tepat
4. Ajarkan teknik menurunkan kecemaskan dan
ketakutan
2. Untuk mengetahui kondisi dan
Kolaborasi perubahan irama jantung
1. Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika 3. Untuk mempertahankan irama jantung
perlu yang normal
4. Untuk mempertahankan elektrolit yang
2. Kolaborasi pemberian antiangina (missal
dibutuhkan oleh tubuh
nitrogliserin,beta blocker, calcium channel
blocker) 5. Untuk mempertahankan kecukupan
oksigen yang dibutuhkan otak
3. Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
4. Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
Terapeutik
5. Kolaborasi pemberian obat maneuver valsava
(missal pelunak tinja,antjemetik) 1. Untuk mengistirahatkan pasien dan
menjaga kondisi fisik pasien
6. Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, bila perlu
2. Untuk mempertahankan kelancaran
darah
3. Keluhan nyeri pasien hilang
4. Memberikan kenyamanan bagi pasien
dan meminimalkan faktor lain yang
memperburuk kondisi pasien
5. Mendukung kesembuhan dengan
memberikan rasa nyaman
6. Untuk mempersiapkan terjadinya
resiko buruk pada pasien
7. Mempertahankan kestabilan kondisi
psikologis pasien.
Edukasi
1. Agar pasien memahami tindakan yang
dapat dilakukan sehingga mencegah
keparahan berlanjut pada kondisi
pasien
2. Menghindari keadaan tekanan
berlebih pada dada
3. Pasien mampu dan memahami
proses intervensi yang sedang dan
akan dilakukan
4. Pasien paham dan mmpu mengontrol
kecemasan dan menjaga kondisi
psikologis secara mandiri
Kolaboras
i
1. Mengencerkan darah guna mencegah
terjadinya trombus atau
penggumpalan darah
2. Mengurangi dan mengobati rasa
nyeri pada dada pasien jika terjadi
3. Untuk mengurangi rasa nyeri jika
terjadi
4. Untuk mempertahankan kemampuan
kontraksi otot sehingga diharapkan
dapat mempertahankan proses
pompa darah
5. Guna mencegah terjadinya gangguan
defekasi jika terjadi
6. Guna mengetahui kelainan pada dada
jika terjadi keluhan
2 Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi Observasi
pertukaran gas b.d tindakan keperawatan 1 Observasi 1. Berguna dalam evaluasi derajat
Edema paru yang x 8 jam gangguan 1. Monitor frekuensi,irama,kedalaman dan distress pernafasan dan kronisnya
menyebabkan upaya napas proses penyaki
suplai oksigen pertukaran gas membaik. 2. Monitor pola napas (seperti 2. Dapat menunjukkan efek
tidak adekuat Kriteria hasil: bradipnea,takipnea,hiperventilasi,kussmaul, hipoksemia sistemik pada fungsi
1. Dispnea menurun cheynestokes,biot,ataksik) jantung serta PaCO2 biasanya
2. Bunyi nafas 3. Monitor kemampuan batuk efektif meningkat, dan PaO2 menurun
tambahan menurun 4. Monitor adanya produksi sputum sehingga hipoksia terjadi derajat
3. Nafas cuping 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas lebih besar/kecil.
hidung menurun 6. Palpasi kesimestrian ekspansi paru 3. Untuk memastikan kepatenan jalan
4. PCO2 membaik 7. Auskultasi bunyi napas nafas
5. PO2 membaik 8. Monitor saturasi oksigen 4. Untuk memastikan kepatenan jalan
6. pH arteri membaik 9. Monitor hasil x-ray toraks nafas
7. Pola nafas membaik 5. Untuk memastikan kepatenan jalan
8. Sianosis membaik Terapeutik nafas
9. Tingkat kesadaran 1. Atur interval pemantuan respirasi sesuai 6. Dada yang tidak simetris sering
meningkat kondisi pasien terjadi karena ketidaknyamanan
2. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan gerakan dinding dada san cairan
3. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu paru
7. Untuk memastikan kepatenan jalan
Edukasi nafas
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara 8. Untuk memantau kebutuhan
menggunakan oksigen dirumah oksigen dalam darah dalam batas
normal
Kolaborasi 9. Untuk melihat cairan paru
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat Terapeutik
aktivitas dan tidur 1. Menyesuaikan kebutuhan pasien
2. Agar tindakan therapeutic dapat
berjalan dengan nyaman
3. Agar pasien dapat melihat
perkembangan kesehatannya
Edukasi
1. Melatih kemandirian pasien dan
keluarga saat pulang RS

Kolaborasi
1. Untuk memenuhi kecukupan dosis
yang dibutuhkan pasien
2. Untuk menghindari adanya
gangguan pertukaran gas saat
istirahat

3 Hipervolemia b.d Setelah dilakukan Manajemen Hipervolemia Observasi


menurunnya laju tindakan keperawatan 1 Observasi
filtrasi glomerulus x 8 jam volume cairan 1. Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis. 1. Untuk menentukan diagnosa
dalam batas normal. Ortopnea, dyspnea, edema, JVP meningkat) keperawatan hypervolemia perlu
Kriteria hasil: 2. Identifikasi penyebab hypervolemia untuk memastikan tanda dan gejala
1. Kekuatan nadi perifer 3. Monitor status hemodinamik (mis. yang pasti
meningkat Frekuensi jantung, tekanan darah, MAP) 2. Untuk memvalidasi faktor
2. Ejection fraction (EF) 4. Monitor intake dan output cairan penyebab hypervolemia
meningkat 5. Monitor efek samping diuretic 3. Hipertensi dan peningkatan CVP
3. Cardiac Index (CI) menunjukkan kelebihan cairan dan
meningkat Terapeutik dapat menunjukkan terjadinya
4. Left Ventricular 1. Timbang berat badan setiap hari pada waktu peningkatan kongesti paru, gagal
Stroke Work Index yang sama jantung
(LVSWI) meningkat 2. Batasi asupan cairan dan garam 4. Pengeluaran urine mungkin sedikit
5. Stroke Volume Index 3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40o dan pekat karena penurunan perfusi
(SVI) meningkat ginjal. Posisi terlentang membantu
6. Palpitasi menurun diuresis sehingga pengeluaran urine
7. Bradikardia menurun Edukasi
8. Takikardia menurun 1. Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5
dapat ditingkatkan selama tirah
9. Gambaran EKG mL/kg/jam dalam 6 jam baring
aritmia menurun 2. Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1
5. Terapi diuretic dapat disebabkan oleh
10. Lelah menurun kg dalam sehari
kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan
11. Edema menurun 3. Ajarkan cara mengukur dan mencatat
(hipovolemia) meskipun edema/asites
12. Distensi vena asupan dan haluaran cairan
masih ada
jugularis menurun 4. Ajarkan cara membatasi cairan
13. Dispnea menurun Terapeutik
14. Oliguria menurun Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretic 1. Untuk melihat perubahan volume
2. Kolaborasi penggantian kehilangan cairan pasien
kalium akibat diuretic 2. Untuk mencegah penambahan
volume cairan di dalam tubuh
3. Agar tidak terjadi penumpukan cairan
pada jantung dan paru-paru

Edukasi
1. Haluaran urin menunjukkan proses
peningkatan volume cairan
2. BB menunjukkan penambahan
volume cairan
3. Memandirikan pasien

4. Menambah pemahaman pasien


tentang pembatasan cairan

Kolaborasi
1. Untuk meningkatkan pengeluaran
urin
2. Untuk menjaga kecukupan kalium
dalam tubuh

4 Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen Energi Observasi


Aktivitas b.d tindakan keperawatan 1 Observasi
Ketidakseimbangan x 8 jam terjadi 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang 1. Untuk menggali penyebab
antar suplai okigen peningkatan pada menyebabkan kelelahan kelelahan
aktifitas pasien. 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional 2. Untuk memantau seberapa besar
Kriteria hasil: 3. Monitor pola dan jam tidur kelelahan yang di alami pasien
1. Kemudahan 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan 3. Pola tidur yang kurang dapat
melakukan aktivitas selama melakukan aktivitas memperparah kelelahan
sehari-hari 4. Ketidaknyamanan dalam
meningkat Therapeutic beraktivitas dapat memperburuk
2. Kecepatan berjalan kelelahan
1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
meningkat
stimulus
3. Jarak berjalan
2. Lakukan latihan rentan gerak pasif dan
meningkat Therapeutic
aktif
4. Kekuatan tubuh
3. Berikan aktifitas distraksi yang 1. Lingkungan yang nyaman dapat
bagian atas
menenangkan membuat tubuh lebih rilex sehingga
meningkat
4. Fasilitasi duduk di tempat tidur, jika tidak dapat mengurangi kelelahan
5. Kekuatan tubuh
dapat berpindah atau berjalan 2. Untuk meningkatkan masa otot
bagian bawah
meningkat akibat tirah baring yang disebabkan
Edukasi kelelahan
6. Toleransi menaiki
tangga meningkat 1. Anjurkan tirah baring 3. Untuk melatih kemampuan
7. Keluhan lelah 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara aktivitas pasien
menurun bertahap 4. Untuk membantu pasien berpindah
tempat
8. Dispnea saat
beraktivitas
menurun 3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan Edukasi
9. Dispnea setelah gejala kelelahan tidak berkurang
beraktivitas 4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi 1. Tirah baring dapat membantu
menurun kelelahan menurunkan kelelahan
10. Aritmia saat 2. Untuk mencegah terjadinya
beraktivitas kelelahan yang berkepanjangan
menurun
Kolaborasi 3. Untuk menilai perkembangan
11. Frekuensi nadi penyakit
membaik 1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara 4. Strategi koping dapat membantu
12. Tekanan darah meningkatkan asupan makanan pasien merasa nyaman
membaik
13. Frekuensi napas
membaik Kolaborasi

Asupan makanan dapat menambah


energy tubuh dalam beraktivitas
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto. 2020. Buku Ajar Kegawatdaruratan Kardiovaskuler: Berbasis Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter
2019. Airlangga University Press: Surabaya.

th
Bonow, R. O., Man Dl., Zipesdp., et al. 2012. Braunwald’s Heart Disease : Textboox Of Cardiovascular Medicine 9
Edition. Philadephia: Elsevier Saunders. Pp 107-124, 126-163, 277-291.

Camm, A.j, Kirchhof P, Lip Gyh, et al. 2010. Guidelines For The Management Of Atrial Fibrillation: The Task Force For
The Management Ofatrial Fibrillation Of The European Society Of Cardiology (Esc). Europace : European
Pacing,Arrhythmias, And Cardiac Electrophysiology : Journal Of The Working Groups On Cardiacpacing,
Arrhythmias, And Cardiac Cellular Electrophysiology Of The European Society Of Cardiology.1360-420.

Dinarti, L. K dan Suciadi L. P. 2009. Stratifikasi Risiko Dan Strategi Manajemen Pasien Dengan Fibrilasi Atrium. Maj
Kedokt Indon. 6;59(6):277-284.

Fuster, V., Walsh Ra., Harrington Ra. 2011. Hurst’s The Heart, Thirteenth Edition. China : The Mcgrew-Hill
Companies.1721-1744.

Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC: Jakarta. 1418-87.

Ismail D dan Nasution S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..1522-1527
PERKI. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 1st Ed. Jakarta: Centra Communications.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Wattigney, W. A, Mensah G. A, dan Croft J. B. 2002. Increased Atrial Fibrillation Mortality: United States, 1980-1998. Am.
J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.

Yulita. 2016. Karakteristik Pasien Fibrilasi Atriumyang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Maliktahun 2015. Medan: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yuniadi Y, Tondas Ae, Hanafy Da, Hermanto Dy, Maharani E, Munawar M, et al. 2014. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi
Atrium. 1. Jakarta: Centra Communication. 1-82.

Anda mungkin juga menyukai