19-223 - Moh. Kholil Fadel LP Atrial Fibrilasi
19-223 - Moh. Kholil Fadel LP Atrial Fibrilasi
oleh
Moh. Kholil Fadel Rabbani, S.Kep
NIM 192311101223
Jantung merupakan organ penting yang berfungsi untuk mengalirkan darah yang
mengandung oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh guna untuk proses
metabolisme (Ramli dan Karani, 2018). Jantung terletak di rongga toraks (dada) sekitar
garis tengah antara sternum dan tulang punggung (vetebra). Menurut Ramli dan Karani
(2018) bagian depan diatasi oleh sternum dan costae 3, 4, dan 5. Jantung terletak di atas
diafragma, miring ke depan kiri dan apex cordis berada paling depan dalam rongga
thorax. Dinding jantung terbagi menjadi 3 lapisan yaitu pericardium, miokardium dan
endocardium. Jantung terdiri dari 4 ruang yaitu artrium pada 2 ruang jantung atas dan
ventrikel pada 2 ruang jantung bawah. Atrium berfungsi untuk menerima darah yang
kembali ke jantung dan memindahkannya ke ruang di bawahnya, sedangkan ventrikel
memompa darah dari jantung. Atrium dan ventrikel dipisahkan menjadi bagian kanan dan
kiri oleh septum. Pemisahan ini sangat penting, karena bagian kanan jantung menerima
dan memompa darah beroksigen rendah dan sisi kiri jantung menerima dan
memompa darah beroksigen tinggi.
Menurut Wahyuningsih dan Kusmiyati (2017) katub jantung dibagi menjadi 2
yaitu katub atrioventikuler dan katub semilunar. Katub atrrioventikuler terletak antara
atrium dan ventrikel, katub yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan
yang mempunyai tiga katub disebut katub trikuspidalis, sedangkan katub yang
letaknya diantara atrium atrium kiri dan ventrikel kiri mempunyai dua katub yang
disebut katub mitral (bikuspidalis). Katub seminular terletak pada arteri pulmonalis
yang memisahkan pembuluh dari ventrikel kanan. Katub aorta terletak antara
ventrikel kiri dan aorta. Adanya katub semilunar ini memungkinkan darah mengalir
dari masing-maing ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selama sistole ventrikel,
dan mencegah aliran balik waktu diastole ventrikel (Wahyuningsih dan Kusmiyati,
2017).
Suplai darah pada otot-otot jantung diperoleh dari arteri koroner kanan dan kiri.
Darah mengalir dari pembuluh darah epicardial menuju endocardial. Setelah perfusi
myocard, darah kembali ke atrium kanan melalui sinus koronaria dan vena anterior
jantung. Sejumlah kecil aliran darah yang kembali secara langsung masuk ke dalam
ruang-ruang jantung melalui vena Thebessy (Sofyan, 2016).
Arteri koroner kanan (RCA) secara normal menyuplai arteri kanan, sebagian besar
ventrikel kanan dan dalam jumla bervariasi pada ventrikel kiri (dinding inferior).
Arteri descent posterior (PDA), adalah cabang dari arteri koroner kiri dimana
sirkulasi di kiri lebih dominan (Sofyan, 2016). Arteri koroner kiri secara normal
mensuplai atrium kiri dan sebagian besar septum interventrikuler dari ventrikel kiri
(septum anterior dan dinding lateral). Setelah perjalanan pendek dari bifurcatio arteri
koroner utama kiri ke dalam arteri descent anterior kiri (LAD) dan arteri sirkumfleksi
(CX); bentuk ini menyuplai septum dan dinding anterior. Pada sirkulasi diminan kri,
CX sepanjang AV dan berlanjut kembali sebagai PDA untuk mensuplai juga sebagian
besar septum posterior dari dinding anterior (Sofyan, 2016).
Arteri menyuplai simpul AV yang dapat berasal dari RCA (60 % dari individu atau
yang lainnya (sisanya 40 %). Simpul AV biasanya melalui RCA (85 %-90 %, atau
sering tidak ada, dari derivat PDA dan LAD. Dinding anterior dari katup mitral juga
memiliki daerah yang ganda yang memberikan suplai melalui cabang diagonal dari
LAD dan berasal dari cabang CX. Sebaliknya, postkapiler dari katup mitral biasanya
disuplai dari PDA sangat banyak memiliki disfungsi iskemik daerah-daerah yang
berharga (Sofyan, 2016).
1.2 Definisi
Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan yang terjadi pada ritme jantung ditandai
dengan irama ventrikel denyut jantung yang irregular dan basis osilasi beramplitudo
rendah (gelombang f atau fibrilasi). Laju gelombang f dapat mencapai 300-600 x/menit
dan memiliki variasi pada amplitude, waktu dan bentuk (Andrianto, 2020). Pada
dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi
atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium.
Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung
(Yuniadi, 2014). Fibrilasi atrium merupakan takikardi supraventricular yang khas,
dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari AF yaitu tidak adanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi nodus AV yang normal, AF
biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat
(PERKI, 2014).
Gambar 3. Atrial Fibrilasi
Menurut Camm (2010) pada gambaran EKG atrium fibrilasi umumnya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1.4 Etiologi
1.5 Klasifikasi
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-
ciri dari pasien:
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung
seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, miokarditis, hipertiroidisme, emboli
paru, pneumonia, atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang
berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular.
1.6 Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau
depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA (Harrison, 2000).
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih
tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi.
Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal
ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor
tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan
depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF (Harrison, 2000).
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dari Multiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets
yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang
tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi
ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa
otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran
atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara
adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah
yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi
yang tepat untuk sebuah jalur konduksi
yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor
predisposisi bagi fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dapat juga disebabkan oleh
gangguan katup jantung pada demam reumatik, atau gangguan aliran darah seperti
yang terjadi pada penderita aterosklerosis (Yuniadi, 2014).
Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial flow
velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya
trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada
pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke emboli. 2/3
sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena stroke
emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan
thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga
sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF (Sudoyono, 2007).
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, ureum, kreatinin serum untuk
menunjukkan apakah pasien menderita gangguan elektrolit atau gagal ginjal.
Pemeriksaan enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin. Dari pemeriksaan ini
dapat ditemukan tanda-tanda infark miokard sebagai pencetus FA. Pemeriksaan D-
dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru). Pemeriksaan Fungsi tiroid untuk
melihat apakah pasien memiliki gangguan tiroid seperti tirotoksikosis. Pemeriksaan
kadar digoksin untuk mengevaluasi level
subterapeutik dan atau toksisitas (Yuniadi, 2014).
4. Elektrokardiogram (EKG)
Pada penderita FA gambaran EKG umum nya sebagai berikut:
a. Pola interval RR yang irreguler.
b. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas. Gelombang P menjadi fibrilasi
dengan amplitudo, bentuk dan durasi yang bervariasi, hal ini berhubungan
dengan respon ventrikel yang irregulerdan cepat pada sistem konduksi AV
yang utuh. Dan paling sering terjadi pada sadapan V1.
c. Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah foto toraks, uji latih
atau uji berjalan enam menit, ekokardiografi, Computed Tomography (CT) scan dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI), monitor holter atau event recording, studi
elektrofisiologi (Yuniadi, 2014).
1.9 Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan
irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah
adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu
penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi
sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan
irama dan menurunkan denyut jantung (Dinanti, 2009). Pada dasarnya kardioversi
dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan
pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion). Kontrol irama atau kardioversi
mengacu pada upaya untuk mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang.
Rekomendasi kelas 1 sebagai kontrol irama jantung sesuai dengan Guidelines of
the American College of Cardiology, American Heart Association and European
Society of Cardiology 2006 (ACC/AHA/ESC 2006) adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Sedangkan amiodaron, agen anti-aritmia yang paling
umum digunakan, dimasukkanke dalam kelas 2A. Sebaiknya kardioversi
farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium
agarefektivitasnya lebih baik (Dinanti, 2009). Obat-obat anti aritmia dapat
diklasifikasikan menjadi:
1. Obat yang efektif pada aritmia supraventrikular (kanan atas), antara lain
adenosin, digoksin, verapamil.
2. Obat yang efektif pada aritmia ventrikular (kiri bawah), antara lain obat golongan
1B yang terdiri dari lidokain.
3. Obat yang efektif pada kedua jenis aritmia supraventrikular dan ventrikular,
antara lain
a) obat golongan 1A yang terdiri dari disopiramid, kuinidin,
b) obat golongan 1C yang terdiri dari flekainid,
c) obat Golongan III yang terdiri dari amiodaron.
Terapi antitrombotik yang digunakan untuk mencegahan stroke pada pasien FA
meliputi antikoagulan antagonis vitamin k yaitu warfarin dan coumadin dan
antikoagulan baru yaitu dabigatran etexilate, rivaroxaban, apixaban juga
menggunakan antiplatelet. Jenis antitrombolitik tidak digunakan untuk pencegahan
stroke pada pasien FA (Yuniadi, 2014). Pemberian terapi digoxin, dimana obat ini
bekerja untuk membuat irama jantung kembali normal dan memperkuat jantung
dalam memompa darah keseluruh tubuh. Obat ini berbentuk suntik dan tablet.
Kondisi Bentuk Usia dosis
Obat
2.1 Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada klien dengan kasus
trauma servikal adalah sebagai berikut :
a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pendidikan, pekerjaan, hubungan pasien dengan penanggung
jawab, dll.
b. Status Kesehatan Saat Ini
Pasien datang dengan keluhan jantung berdebar-debar, mudah lelah saat aktivitas
fisik, dan pusing.
c. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Pasien mengatakan jantung terasa berdebar-debar, mudah lelah saat aktivitas fisik,
dan pusing
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Haruslah diketahui penyakit atau masalah kesehatan yang pernah dialami pasien
sebelumnya baik yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler maupun
penyakit sistem sistemik lainnya (penyakit kronis). Hal ini sebagai data dasar
dalam memberikan terapi pada pasien dan dapat mempengaruhi prognosa pasien.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah anggota keluarga/generasi sebelumnya yang mengalami penyakit seperti
yang dialami pasien dan/atau penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat
dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti
karena dapat mempengaruhi prognosa pasien.
f. Pola aktivitas/istirahat
Pada pasien ini terjadi keluhan kelemahan fisik secara umum dan keletihan yang
berlebihan. Temuan fisik berupa disritmia, perubahan tekanan darah dan denyut
jantung saat beraktivitas
g. Pola eliminasi
Luaran urin biasanya mengalami penurunan jika terjadi penurunan curah jantung
yang berat
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan napas dan saturasi oksigen
sangan penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang
adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisik, denyut nadi umumnya irregular dan
cepat sekitar 110-140 x/menit, pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas
obat jantung (digitalis) dapat mengalami brakikardi
2) Kepala dan leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis
mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner.
3) Thoraks dan Dada
- Jantung
pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisik pada pasien
dengan atrial fibrilasi. Palpasi da auskultasi yang menyeluruh sangat penting
untuk mengevaluasi penyakit katup atau kardiomiopati. Pergeseran pinctum
maximum atau adanya bunti jantung tambahan (S3) mengindikasikan
pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2)
yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus
defisit, dimana terdapat istilah jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi
jantung dapat ditemukan pada pasien dengan atrial fibrilasi.
- Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan
adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA
(misalnya PPOK,asma)
4) Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embili perifer
5) Sistem neurosensori
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien dengan FA. Peningkatan reflek dapat
ditemukan pada hipertiroidisme.
6) Ekstremitas
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabu atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisaasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
aterial perifer atau penurunan curah jantung
i. Data sosial
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-
orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami
trauma kepala dan rasa aman.
j. Data spiritual
Data spiritual yang diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan
falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang
dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.
k. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
2) Pemeriksaan labolatorium
3) Foto rontgen toraks
4) Ekokardiogenik
5) Pemeriksaan fungsi tiroid
2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan Pertukaran gas b.d Edema paru yang menyebabkan suplai oksigen
tidak adekuat
2) Penurunan curah jantung b.d Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan
inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan
structural.
3) Hipervolemia b.d menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah
jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air ditandai dengan
: Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan,
hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.
4) Intoleransi Aktivitas b.d Ketidakseimbangan antar suplai okigen, Kelemahan
umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan: Kelemahan, kelelahan,
Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.
2.3 Intervensi Keperawatan
Kolaborasi
1. Untuk memenuhi kecukupan dosis
yang dibutuhkan pasien
2. Untuk menghindari adanya
gangguan pertukaran gas saat
istirahat
Edukasi
1. Haluaran urin menunjukkan proses
peningkatan volume cairan
2. BB menunjukkan penambahan
volume cairan
3. Memandirikan pasien
Kolaborasi
1. Untuk meningkatkan pengeluaran
urin
2. Untuk menjaga kecukupan kalium
dalam tubuh
Andrianto. 2020. Buku Ajar Kegawatdaruratan Kardiovaskuler: Berbasis Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter
2019. Airlangga University Press: Surabaya.
th
Bonow, R. O., Man Dl., Zipesdp., et al. 2012. Braunwald’s Heart Disease : Textboox Of Cardiovascular Medicine 9
Edition. Philadephia: Elsevier Saunders. Pp 107-124, 126-163, 277-291.
Camm, A.j, Kirchhof P, Lip Gyh, et al. 2010. Guidelines For The Management Of Atrial Fibrillation: The Task Force For
The Management Ofatrial Fibrillation Of The European Society Of Cardiology (Esc). Europace : European
Pacing,Arrhythmias, And Cardiac Electrophysiology : Journal Of The Working Groups On Cardiacpacing,
Arrhythmias, And Cardiac Cellular Electrophysiology Of The European Society Of Cardiology.1360-420.
Dinarti, L. K dan Suciadi L. P. 2009. Stratifikasi Risiko Dan Strategi Manajemen Pasien Dengan Fibrilasi Atrium. Maj
Kedokt Indon. 6;59(6):277-284.
Fuster, V., Walsh Ra., Harrington Ra. 2011. Hurst’s The Heart, Thirteenth Edition. China : The Mcgrew-Hill
Companies.1721-1744.
Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC: Jakarta. 1418-87.
Ismail D dan Nasution S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..1522-1527
PERKI. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 1st Ed. Jakarta: Centra Communications.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Wattigney, W. A, Mensah G. A, dan Croft J. B. 2002. Increased Atrial Fibrillation Mortality: United States, 1980-1998. Am.
J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
Yulita. 2016. Karakteristik Pasien Fibrilasi Atriumyang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Maliktahun 2015. Medan: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yuniadi Y, Tondas Ae, Hanafy Da, Hermanto Dy, Maharani E, Munawar M, et al. 2014. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi
Atrium. 1. Jakarta: Centra Communication. 1-82.