Anda di halaman 1dari 68

LONGCASE

LAKI-LAKI USIA 69 TAHUN DENGAN ACUTE


RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) EC
POST COVID 19

Oleh :

Juwita Intan Purnama Sari, S.Ked


Jihan Vira Yuniar, S.Ked
H1AP13017
H1AP20013
Pembimbing

dr. Ferdi, Sp. An

KEPANITRAAN KLINIK ANASTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021

1
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit
paru akut yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan
mempunyai angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%. Estimasi yang akurat
tentang insidensi ARDS sulit karena definisi yang tidak seragam serta heterogenitas
penyebab dan manifestasi klinis. Estimasi insidensi ARDS di Amerika Serikat
sebesar 100.000-150.000 jumlah penduduk per tahun (1996) (Ghoshal U, Vasanth
S, and Tejan N, 2020; WHO, 2020).
Dahulu ARDS memiliki banyak nama lain seperti wet lung, shock lung,
leaky-capillary pulmonary edema dan adult respiratory distress syndrome. Tidak
ada tindakan yang spesifik untuk mencegah kejadian ARDS meskipun faktor risiko
sudah diidentifikasi sebelumnya. Pendekatan dalam penggunaan model ventilasi
mekanis pada pasien ARDS masih kontroversial. American European Concencus
Conference Committee (AECC) merekomendasikan pembatasan volume tidal,
positive end expiratory pressure (PEEP) dan hiperkapnea (WHO, 2020).
Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh coronavirus yang baru muncul yang pertama dikenali muncul
di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019 (WHO, 2020) . Coronavirus
merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen.
Pengurutan genetika virus ini mengindikasikan bahwa virus ini berjenis
betacoronavirus yang terkait erat dengan virus SARS (Ghoshal U, Vasanth S, and
Tejan N, 2020).
Menurut WHO, per 12 November 2020 dilaporkan sebanyak 51.848.261
kasus COVID-19 terkonfirmasi di seluruh dunia. Kasus di Indonesia, menurut
Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per 12 November tercatat sebanyak 452.291
kasus terkonfirmasi dan 14.933 orang meninggal akibat pandemi ini. Sebagian
besar orang yang terjangkit COVID-19 hanya mengalami penyakit yang ringan atau
tanpa komplikasi, hanya 14% menderita penyakit parah yang memerlukan

2
perawatan rumah sakit dan dukungan oksigen, dan sebanyak 5% perlu dimasukkan
ke unit perawatan intensif (WHO, 2020).
Angka kematian tertinggi pada mereka yang berusia >70 tahun, terlepas dari
kondisi medis kronis. Kondisi lain yang dapat menyebabkan risiko tinggi untuk
COVID-19 yang parah termasuk kanker, penyakit ginjal, obesitas, penyakit sel
sabit, penerima transplantasi, dan kondisi imunokompromi lainnya (Cai, Q. et al.,
2020; NIH, 2020). Dalam kasus-kasus parah, COVID-19 dapat diperburuk dengan
sindrom gawat pernapasan akut (ARDS), sepsis dan septic shock, gagal multiorgan,
termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut (Yang, X. et al., 2020).
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi
Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara
sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Intubasi endotrakeal diindikasikan pada semua keadaan yang memerlukan
pengawalan jalan nafas definitif. Intubasi endotrakeal ini biasanya dilakukan untuk
memfasilitasi pengawalan jalan nafas pada pasien yang akan diberikan anestesi
umum. Ini juga dilakukan sebagai bagian dari perawatan pasien-pasien kritis
dengan kelainan multisistem atau dengan trauma. Indikasi gawat darurat
pemasangan intubasi termasuk henti jantung atau henti nafas, kegagalan untuk
melindungi jalan nafas dari aspirasi, oksigenasi atau ventilasi yang tidak adekuat
dan adanya obstruksi jalan nafas atau untuk mengantisipasi suatu obstruksi jalan
nafas.

3
1.2 Tujuan
Tujuan laporan kasus ini sebagai berikut.
1. Mengetahui tentang acute respiratory distress syndrome (ARDS).
2. Mengetahui tentang COVID 19.
3. Mengetahui hubungan antara acute respiratory distress syndrome (ARDS)
dengan COVID 19.

1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat bagi Penulis
1. Laporan kasus ini diharapkan bisa menjadi kesempatan bagi penulis untuk
mengintegrasikan ilmu yang telah didapat selama stase anastesi dan terapi
intensif dengan melakukan pembedahan kasus secara ilmiah.
2. Laporan kasus ini diharapkan bisa menambah pengetahun dan pengalaman
bagi penulis mengenai respiratory distress syndrome (RDS) ec post COVID
19.

1.3.2. Manfaat bagi Akademisi


Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pembelajaran
dan menambah sumber kepustakaan mengenai general anastesi pada pasien
dengan diabetes mellitus post covid 19.

4
BAB II. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. ZH
Usia : 69 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Asahan 1 Padang harapan
Tanggal masuk : 13 Desember 2019
Jenis Anestesi :General Anastesi

B. ANAMNESIS
▪ Keluhan Utama : Sesak nafas.
▪ Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien merupakan pasien rujukan dari RS
Tiara Sella dengan keluhan demam, batuk, disertai sesak nafas. Pasien juga
mengeluh nyeri ulu hati disertai mual dan muntah.
▪ Riwayat Penyakit Dahulu :
▫ Pasien memiliki riwayat DM, riwayat hipertensi, tidak memiliki riwayat
asma, dan alergi makanan maupun obat – obatan.
▫ Riwayat penggunaan gigi palsu disangkal.
▪ Riwayat Penyakit Keluarga :
▪ R. Asma : (-)
▪ R. Alergi : (-)
▪ R. DM : (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
KU : tampak sakit berat
BB/TB : 90 kg/ 175 cm
Gizi : baik
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 117/69 mmHg

5
Nadi : 85 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 38,6  C
Spo2 : 91% dengan ventilator 02 100% / PEEP 12 /Psupp 32
3. Pemeriksaan fisik Fisik generalis :
a. Kepala : Normocephali
b. Mata : Konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil isokor,
c. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret/darah (-)
d. Mulut : dalam batas normal
e. Telinga: dalam batas normal
f. Leher : dalam batas normal
g. Paru : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, vesikuler
(+/+)
h. Jantung: BJ I-II intensitas normal, reguler, murmur (-) gallop (- /-)
i. Abdomen: abdomen cembung, lemas, simetris, nyeri tekan (-), tanda
cairan bebas (-)
j. Ekstremitas: akral hangat (+/+) oedem (-/-), CRT <2’’ (+/+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium tanggal 14-12-2020

Hemoglobin : 13,1 g/dl


Hematocrit : 39 %
Leukosit : 11.000 mm3
Trombosit : 185.000 sel/mm3
Protein total : 6,2 g/dL
Albumin : 2,6 g/dL
Globulin : 3,6 g/dL
SGOT : 121 ul
SGPT : 150 ul
Ureum : 63 mg %

6
Creatinin : 1,2 mg %
GDS : 156 mg/dl
PT : 19.00 detik
APTT : 57,9 detik
D-Dimer : 3201.0 mg/dl
Natrium : 139 mmol/L
Kalium : 3,6 mmol/L
Chloride : 101 mmol/L

Hasil laboratorium tanggal 15 desember 2020


pH : 7,49
pC02 : 43 mmHg
P02 : 35 mmHg
BE : 7,5 mmol/L
HC03 : 31,6 mmol/L
Saturasi 02 : 66 %
Natrium : 145 mmol/L
kalium : 3,0 mmol/L
CL- : 109 mmol/L

7
Rontgen Toraks tanggal 26 November 2020

Thoraks AP:
• Foto asimetris dan inspirasi cukup
• Trakea masih di tengah
• Cor membesar ke lateral kiri dengan apeks tertanam di diafragma pinggang
jantung normal
• Sinuses dan diafragma normal
• Pulmo:
a. Hilli normal
b. Coracan bronkovaskuler normal
c. Tampak perselubungan opak inhomogen di lapang tengah-bawah
kedua paru yang berada di bagian perifer.
d. Tampak selang CVC setinggi ICS anterior 3 kanan.
Kesan: - pneumonia bilateral (tipikal covid)
- kardiomegali

Rontgen toraks tanggal 01 Desember 2020

8
Rontgen toraks tanggal 04 Desember 2020

Rontgen toraks tanggal 07 Desember 2020

9
Foto dibandingkan dengan tanggal 04 Desember 2020
Thoraks AP:
• Foto asimetris dan inspirasi cukup
• Trakea masih di tengah
• Cor membesar ke lateral kiri dengan apeks tertanam di diafragma pinggang
jantung normal
• Sinuses dan diafragma normal
• Pulmo:
a. Hilli normal
b. Coracan bronkovaskuler normal
c. Tampak perselubungan opak inhomogen di lapang tengah-bawah
kedua paru yang berada di bagian perifer.
d. Tampak selang CVC setinggi ICS anterior 3 kanan.
Kesan: - pneumonia bilateral sedikit perbaikkan (tipikal covid)
- kardiomegali

10
E. KESAN ANESTESI
Laki-laki usia 69 tahun menderita respiratory distress syndrome (RDS) ec post
covid dengan ASA IV.

11
FOLLOW UP RUANGAN

Follow up Kami, 17 Desember 2020


Pukul 12.00 WIB
O/ S/ Sulit dinilai
St. Present
KU:Tampak sakit berat A/ acute respiratory distress syndrome (RDS)
Sens :Sopor, E2M1V(ett) ec post COVID 19
TD : 112/71 mmHg
Nadi: 124 x/min P/ - Ringer laktat 1200 cc/24 jam
RR : 34 x/min - Norephinephrine 0,2 mcg iv
T : 37,5oC
- Fentanyl 600 mcg iv
SpO2: 88% dengan ventilator FiO2
100%, PEEP 12%, ΔPsupp 32% - Furosemid 5 mg iv
- Propofol 25 mg/jam iv
Hasil Laboratorium 17/12/2020:
- Dopamin 2 mcg iv
SGOT : 2742 U/L
- Midazolam iv
SGPT : 1936 U/L
- Fluconazole iv
- Tramus iv
- Paracetamol Infus 6 x 1
- Hidrokortison 1 x 100 mg
- Omeparazole 2 x 40 mg
- Citicoline 2 x 500 mg
- Nebu Combivent 3 x 1
- Nebu Heparin 3 x 1
- Respar 3 x 200 mg
- Vit C 1000 mg dalam NaCl 100 cc 1 x 1
- Asam Folat 1 x 3 tab PO
- Fluimucil 2 x 1 PO
- Curcuma 3 x 1 PO
- Omega 3 1 x 1 PO
- Pradaxa 2 x 1 PO
- Inbumin 2 x 1 tab PO
- Clopidogrel 1 x 1 PO

12
- Hp pro 3 x 1 PO
- Laxadine sirup 3 x 1 C
- Tutofusin PO

13
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. COVID 19
3.1.1. Epidemiologi
Coronavirus dengan genus betacoronavirus pertama kali dilaporkan pada
tanggal 31 Desember 2019 di Tiongkok. Kasus pneumonia misterius yang tidak
diketahui penyebabnya dimulai dari satu pasar seafood atau live market di Wuhan,
Provinsi Hubei, Tiongkok. Dalam waktu 3 hari, kasus misterius ini menginfeksi 44
pasien (WHO, 2020). Penyebarannya yang cepat dari manusia ke manusia
menyebabkan virus ini menjadi kejadian luar biasa. Pada 11 Februari, WHO
memberi nama virus tersebut sebagai Severe acute respiratory syndrome
coronavirus (SARS-CoV-2) dan nama penyakitnya sebagai Coronavirus disease
2019 (COVID-19) (NIH, 2020).
Indonesia adalah negara dengan populasi terbanyak nomor empat di dunia,
dan diperkirakan lebih terbebani dengan COVID-19 dibandingkan dengan negara
lainnya yang memiliki populasi lebih sedikit (Pradana, M., Rubiyanti, N., S., W.,
Hasbi, I. & Utami, D. G, 2020). Ketika kasus SARS-CoV2 merebak di China pada
bulan Desember 2019-Februari 2020, Indonesia melaporkan tidak ada kasus infeksi
sama sekali. Indonesia pertama kali melaporkan kasus terkonfirmasi pada 2 Maret
2020. Pada bulan November tercatat sebanyak 452.291 kasus terkonfirmasi dan
14.933 orang meninggal akibat pandemi ini (SATGAS COVID-19, 2020).
Kasus COVID-19 terus meningkat setiap harinya di dunia terutama di
Indonesia. Penyebaran melalui kontak dengan orang terkonfirmasi kasus
merupakan jalur transmisi paling tinggi. Faktor yang menyebabkan peningkatan
kasus diantaranya overpopulasi, lingkungan kerja yang tinggi risiko terpapar
COVID-19, ketidakseimbangan ekonomi, lingkungan rumah yang tidak memadai,
dan terbatasnya akses ke fasilitas kesehatan (Kim, S. J. & Bostwick, W., 2020).
Faktor yang memperparah kasus COVID-19 pada individu yaitu usia tua,
penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), kanker,
penyakit ginjal, obesitas, penyakit sel sabit, dan penerima transplatasi organ
(Williamson, E. J. et al., 2020). Persentase individu dengan komorbiditas yang

14
meninggal 12 kali lebih besar (19,5% vs. 1,6%) dan yang dirawat dirumah sakit 6
kali lebih besar (45,4% vs. 7,6%) daripada orang-orang yang tidak memiliki kondisi
medis (Cai, Q. et al., 2020).

3.1.2. Etiologi
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan
tidak bersegmen. Pengurutan genetika virus ini mengindikasikan bahwa virus ini
berjenis betacoronavirus yang terkait erat dengan virus SARS (Ghoshal, U.,
Vasanth, S. & Tejan, N., 2020). Virus ini memiliki diameter 50-200m. Struktur
coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan protein S berlokasi di
permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satu protein antigen
utama virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen. Protein S ini
berperan dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host (interaksi protein
S dengan reseptornya di sel inang) (Fehr, A. R. & Perlman, S., 2015).

Gambar 1.1 Struktur Coronavirus

Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat


diinaktifkan oleh desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu 56℃
selama 30 menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik, formalin,
oxidizing agent dan kloroform. Klorheksidin tidak efektif dalam menonaktifkan
virus (Fehr, A. R. & Perlman, S., 2015).

15
Coronavirus disebut sebagai virus zoonotic yaitu virus yang ditransmisikan
dari hewan ke manusia. Hewan liar dapat membawa patogen dan bertindak sebagai
vektor untuk penyakit menular seperti Coronavirus. Pada kasus COVID-19, virus
pertama kali ditransmisikan dari kelelawar liar yang banyak dijual pada pasar di
Wuhan (WHO, 2020).
Virus tidak bisa hidup tanpa sel host. Coronavirus hanya bisa memperbanyak
diri melalui sel host-nya. Berikut siklus dari Coronavirus setelah menemukan sel
host sesuai tropismenya.

Gambar 1.2 Siklus Hidup Coronavirus12

Pertama, penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh Protein S
yang ada dipermukaan virus (WHO, 2020). Protein S penentu utama dalam
menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya. Pada studi SARS-CoV
protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin
converting enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal,

16
nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang,
limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel
arteri vena, dan sel otot polos (Du, L. et al., 2009).
Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom
virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus. Setelah terjadi transmisi,
virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas
atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah.
Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut
meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa
inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari (Du, L. et al., 2009)..
Studi pada SARS menunjukkan virus bereplikasi di saluran napas bawah
diikuti dengan respons sistem imun bawaan dan spesifik. Faktor virus dan sistem
imun berperan penting dalam patogenesis. Pada tahap pertama terjadi kerusakan
difus alveolar, makrofag, dan infiltrasi sel T dan proliferasi pneumosit tipe 2. Pada
rontgen toraks diawal tahap infeksi terlihat infiltrat pulmonar seperti bercak-bercak.
Pada tahap kedua, organisasi terjadi sehingga terjadi perubahan infiltrat atau
konsolidasi luas di paru. Infeksi tidak sebatas di sistem pernapasan tetapi virus juga
bereplikasi di enterosit sehingga menyebabkan diare dan luruh di feses, juga urin
dan cairan tubuh lainnya (Du, L. et al., 2009)..
Pandemi COVID-19 mirip dengan kejadian luar biasa SARS di Guangdong
pada tahun 2002. Apabila dibandingkan dengan SARS, Pneumoni COVID-19
cenderung lebih rendah dari segi angka kematian. Angka kematian SARS mencapai
10% dan MERS 37% (Yang, X. et al., 2020). Namun, saat ini tingkat infektivitas
virus pneumoni COVID-19 ini diketahui setidaknya setara atau lebih tinggi dari
SARS-CoV. Hal ini ditunjukkan oleh R0 (basic reproduction number), dimana
penelitian terbaru menunjukkan R0 dari virus pneumoni SARSCoV- 2 ini adalah
4,08. Sebagai perbandingan, R0 dari SARS-CoV adalah 2,0 (D’Arienzo, M. &
Coniglio, A. , 2020; Dharmaratne, S. et al. , 2020).

3.1.3. Patofisiologi

17
Secara patofisiologi, pemahaman mengenai COVID-19 masih perlu studi
lebih lanjut. Pada SARS-CoV-2 ditemukan target sel kemungkinan berlokasi di
saluran napas bawah. Virus SARS-CoV-2 menggunakan ACE-2 sebagai reseptor,
sama dengan pada SARS-CoV. Sekuens dari RBD (Reseptor-binding domain)
termasuk RBM (receptor binding motif) pada SARS-CoV-2 kontak langsung
dengan enzim ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2). Hasil residu pada SARS-
CoV-2 RBM (Gln493) berinteraksi dengan ACE 2 pada manusia, konsisten dengan
kapasitas SARS-CoV-2 untuk infeksi sel manusia. Beberapa residu kritis lain dari
SARS-CoV-2 RBM (Asn501) kompatibel mengikat ACE2 pada manusia,
menunjukkan SARS-CoV-2 mempunyai kapasitas untuk transmisi manusia ke
manusia.15

Gambar 1.3 Jalur metabolisme angiotensin menjadi Angiotensin II dan Angiotensin (1-7)
yang melibatkan ACE dan ACE2

18
Gambar 1.4 Respon Imunologi Normal dari Dewasa Muda terhadap Infeksi COVID-19
Ringan

Pada penelitian 41 pasien pertama pneumonia COVID-19 di Wuhan


ditemukan nilai tinggi dari IL1β, IFNγ, IP10, dan MCP1, dan kemungkinan
mengaktifkan respon sel T-helper-1 (Th1).15 Selain itu, berdasarkan studi terbaru
ini, pada pasien-pasien yang memerlukan perawatan di ICU ditemukan konsentrasi
lebih tinggi dari GCSF, IP10, MCP1, MIP1A, dan TNFα dibandingkan pasien yang
tidak memerlukan perawatan di ICU. Hal tersebut mendasari kemungkinan adanya
cytokine storm yang berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. Selain itu, pada
infeksi SARS-CoV-2 juga menginisiasi peningkatan sekresi sitokin T-helper-2
(seperti IL4 dan IL10) yang berperan dalam menekan inflamasi, yang berbeda
dengan infeksi SARS-CoV.16
Orang lanjut usia lebih beresiko dengan COVID-19 karena memiliki
beberapa faktor penuaan yang memperparah inflamasi dari COVID-19. Beberapa
faktor tersebut yaitu perubahan reseptor ACE2, produksi ROS yang berlebih,
perubahan pada autofagi dan defisiensi vitamin D.17

19
Gambar 1.5 Peran Perubahan Mitofagi pada Peradangan dan Badai Sitokin Pada Orang
Lanjut Usia17

Sejumlah analisis menyebutkan bahwa infeksi SARS-CoV 2 menyebabkan


peningkatan bradikinin dalam sel. Bradikinin menginduksi nyeri dan menyebabkan
pembuluh darah melebar. Peningkatan bradikinin dapat menyebabkan kebocoran
dan mengarah ke pembengkakakan dan peradangan di jaringan sekitar. Bradikinin
diproduksi dari inactive pre-protein kininogen melalui aktivasi serine protease
kallikrein. Kallikrein dipresentasikan melalui sekelompok serine proteases (KLK1-
KLK15) pada kromosom 19 dengan distribusi jaringan yang berbeda-beda; KLKB1
(pada kromosom 4) normalnya diekspresikan dalam pancreas dan bertanggung
jawab pada sirkulasi (plasma) kallikrein. Protease ini diinaktifkan melalui zinc dan
beberapa ko-reseptor untuk virus termasuk influenza18. KLKB1 diaktivasi melalui
FXII di jalur koagulasi intrinsik yang mana normalnya diatur oleh C1-Inhibitor
yang dikode oleh SERP- ING1. Hal ini vital untuk efek tambahan menghambat
feedback loop dari aktivasi FXII oleh kallikrein.19

20
Gambar 1.6 Jalur RAS dan Bradikinin yang Terganggu Pada Sampel COVID-19

Bradikinin menginduksi vasodilation, natriuresis, dan hipotensi melalui


aktivasi BDKRB2 receptor. Bradikinin berhubungan dekat dengan RAS karena
pensinyalan reseptor bradikinin diperbanyak oleh Ang1-9 melalui resensitasi
reseptor BDKRB2, dan kemudian jika ACE terdegradasi maka bradikinin juga
inaktif. Bradikinin berperan dalam homeostasis cairan, karena bradikinin adalah
bagian dari peradangan setelah adanya cidera dan bekerja untuk menginduksi nyeri
melalu reseptor BDKRB1 melalui BK1-8,20 yang juga menyebabkan pemanggilan
neutrophil dan meningkatkan permeabilitas vaskular.21
Seperti sistem RAS yang terganggu oleh COVID-19, jalur bradikinin juga
terdampak parah. Terdapat ekspresi dari prekursor kininogen bradikinin dan hampir
semua kallikreins tidak terdeteksi pada sampel kontrol namun terekspresi pada
sampel bronchoalveolar lavage COVID-19. Kebanyakan enzim yang
mendegradasi bradikinin termasuk ACE turun pengaturannya (-8x) pada sampel
COVID-19 dibandingkan dengan kontrol, mengarahkan BK1-9 and BK1-8 untuk

21
menaikkan regulasi reseptor BKB2R (207x) dan BKB1R (2945x), masing-masing.
Gen SERPING1 (-33x) yang mengkode C1-Inhibitor untuk menghambat FXII
turun pengaturannya, yang kemudian menaikkan lagi bradikinin pada pasien
COVID-19 karena adanya aktivasi KLKB1 activation. Hal ini disebut sebagai badai
bradikinin yang sering terlihat pada gejala COVID-19.22
Produksi substansi asam hialuronat dapat meningkat dan enzim yang
seharusnya memecah substansi tersebut menurun. Asam hialuronat dapat menyerap
1000 kali berat air untuk membentuk hydrogel. Badai bradikinin menginduksi
kebocoran cairan ke paru ditambahn banyaknya asam hialuronik yang
menyebabkan terbentuknya substansi lengket seperti Jell-O yang mencegah uptake
oksigen dan rilis karbondioksida pada pasien COVID-19.21

Gambar 1.7 Formasi dari HA-Hidrogel yang Menghambat Pertukaran Gas pada Alveolus
COVID-19

Asam hialuronat adalah polisakarida yang dapat ditemukan pada kebanyakan


jaringan ikat. Asam hialuronat menyerap air dan membuat hydrogel yang pekat
seperti agar. Gen yang mengkode sintesis hyaluronan yaitu HAS1, HAS2, HAS3
merupakan protein membrane integral yang bertanggung jawab pada produksi asm
hialuronat. Asam hialuronat didegradasi oleh hialuronidase HYAL1 dan HYAL2.
Pada COVID-19, terdapat peningkatan sintesis asam hialuronat dari pengatur
sintesisnya, sementara gen CD44 turun sintesisnya. Hasilnya jumlah asam
hialuronat pada bronkoalveolar bertambah dan hiperpermeabilitas vascular
meningkat. Hal ini mempersulit pertukaran gas pada alveolus pasien.21

3.1.4. Gejala Klinis

22
Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat.
Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >380C), batuk kering
(sebagian berdahak) dan kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak
memberat, fatigue, mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran
napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu.23
Pada kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok
septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem
koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien, gejala yang muncul ringan,
bahkan tidak disertai dengan demam. Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik,
dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan meninggal.23
Definisi kasus menurut Pedoman COVID PAPDI;
1. Kasus Suspek
a) Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah satu kriteria
epidemiologis:
Kriteria Klinis:
• Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam* dan batuk;
ATAU
• Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat
demam*, batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri
tenggorokan, coryza/ pilek/ hidung tersumbat*, sesak nafas,
anoreksia/mual/muntah*, diare, penurunan kesadaran
DAN
Kriteria Epidemiologis:
• Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal
atau bekerja di tempat berisiko tinggi penularan**; ATAU
• Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal
atau bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi
lokal***; ATAU
• Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis,

23
serta petugas yang melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan
kasus dan kontak; ATAU
• Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak
dengan kasus konfirmasi/probable COVID-19.
b) Seseorang dengan ISPA Berat****;
c) Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra
penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak
ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi.

2. Kasus Probable
Kasus suspek yang meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan
COVID-19; DAN memiliki salah satu kriteria sebagai berikut:
a) Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium RT-PCR; ATAU
b) Hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR satu kali negatif dan tidak
dilakukan pemeriksaan laboratorium RT-PCR yang kedua.

3. Kasus Terkonfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi
dibagi menjadi 2:
a) Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik).
b) Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)24

4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a) Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi
dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.
b) Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).

24
c) Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d) Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian
risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat

Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,


ringan, sedang, berat dan kritis.
a) Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
b) Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek,
mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti
hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, hilang pembau (anosmia) atau
hilang perasa (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga
sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal
seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu
makan, delirium, dan tidak ada demam.
c) Sedang/Moderat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien
dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas
cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia
berat). Kriteria napas cepat : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11 bulan,
≥50x/menit ; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit ; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
d) Berat/Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30
x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.
ATAU

25
Pada pasien anak: pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan
bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
• Sianosis sentral atau SpO2<93% ;
• Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan
dinding dada yang sangat berat);
• Tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusui atau minum,
letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
• Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan,
≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun,
≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
e) Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan
syok sepsis.

3.1.5. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tergantung ringan atau beratnya
manifestasi klinis.
• Tingkat kesadaran: kompos mentis atau penurunan kesadaran
• Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat, tekanan
darah normal atau menurun, suhu tubuh meningkat. Saturasi oksigen dapat
normal atau turun.
• Dapat disertai retraksi otot pernapasan
• Pemeriksaan fisis paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris statis dan
dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah konsolidasi, suara
napas.

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan diantaranya:
1. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks
Pada pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi
subsegmental, lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass. Pada

26
stage awal, terlihat bayangan multiple plak kecil dengan perubahan intertisial
yang jelas menunjukkan di perifer paru dan kemudian berkembang menjadi
bayangan multiple ground-glass dan infiltrate di kedua paru. Pada kasus
berat, dapat ditemukan konsolidasi paru bahkan “white-lung” dan efusi pleura
(jarang).

Gambar 1.8 Hasil Radiologi Pasien Positif COVID-19 dengan Berbagai Kondisi26
Keterangan : A= Foto toraks pada pasien 69 tahun, opasitas meningkat sedikit pada lobus
bawah B=Foto toraks normal pada pasien perempuan 32 tahun C=CT scan perempuan 49
tahun, dengan gambaran ground glass opacity bilateral D=Pasien laki-laki 34 tahun dengan
hasil CT scan toraks normal.

2. Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah


• Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring)
• Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan
endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal).

Untuk pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2, (sequencing bila tersedia).


Ketika melakukan pengambilan spesimen gunakan APD yang tepat. Ketika
mengambil sampel dari saluran napas atas, gunakan swab viral (Dacron steril atau
rayon bukan kapas) dan media transport virus. Sampel Pada pasien dengan curiga

27
infeksi COVID-19 terutama pneumonia atau sakit berat, sampel tunggal saluran
napas atas tidak cukup untuk eksklusi diagnosis dan tambahan saluran napas atas
dan bawah direkomendasikan. Klinisi dapat hanya mengambil sampel saluran
napas bawah jika langsung tersedia seperti pasien dengan intubasi. Jangan
menginduksi sputum karena meningkatkan risiko transmisi aerosol. Kedua sampel
(saluran napas atas dan bawah) dapat diperiksakan jenis patogen lain. Bila tidak
terdapat RT-PCR dilakukan pemeriksaan serologi.4
Pada kasus terkonfirmasi infeksi COVID-19, ulangi pengambilan sampel dari
saluran napas atas dan bawah untuk petunjuk klirens dari virus. Frekuensi
pemeriksaan 2-4 hari sampai 2 kali hasil negative dari kedua sampel serta secara
klinis perbaikan, setidaknya 24 jam. Jika sampel diperlukan untuk keperluan
pencegahan infeksi dan transmisi, specimen dapat diambil sesering mungkin yaitu
harian.

3. Bronkoskopi
4. Pungsi Pleura Sesuai Kondisi
5. Pemeriksaan Kimia Darah
Yaitu; darah perifer lengkap, analisis gas darah, fungsi ginjal, gula
darah sewaktu, elektrolit, faal hemostasis (PT/APTT, d-Dimer) pada kasus
berat, d-Dimer meningkat, prokalsitonin (bila dicurigai bakterialis), laktat
(Untuk menunjang kecurigaan sepsis)

6. Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas (sputum,
bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah.
7. Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan).

28
Gambar 1.9 Alur Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia COVID-19

29
3.1.7. Tatalaksana
3.1.7.1. Non Farmakologis
1. Skrining dan Triase
Dalam penatalaksanaan COVID-19, skrining dan isolasi penting dilakukan
untuk meminimalisasi risiko bagi pasien maupun tenaga kesehatan. Semua pasien
suspek COVID-19 pada titik kontak pertama dengan sistem pelayanan kesehatan
(seperti bagian gawat darurat atau bagian/klinik rawat jalan) di skrining. Jadikan
COVID-19 sebagai kemungkinan etiologi untuk pasien-pasien dengan penyakit
saluran pernapasan akut dalam kasus supek/probable. Triase pasien menggunakan
panduan triase standar yang diberlakukan di pelayanan kesehatan masing-masing.1
Meskipun sebagian besar orang terjangkit COVID-19 mengalami penyakit
tanpa komplikasi atau ringan (81%), beberapa pasien akan mengalami penyakit
parah serta memerlukan terapi oksigen (14%) dan sekitar 5% perlu masuk unit
perawatan intensif. Pada pasein dengan kasus ringan, pengenalan dini pasien suspek
memungkinkan dimulainya implementasi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
(PPI) yang sesuai secara tepat waktu. Identifikasi kasus berat memungkinkan
dilakukannya perawatan suportif optimal. Sebagian besar pasien yang sakit kritis
akan memerlukan ventilasi mekanis5,27. Diagnosis paling umum pada pasien
COVID-19 parah adalah pneumonia berat.

2. Penerapan Langkah Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Kewaspadaan standar harus terus diberlakukan di semua area fasilitas
pelayanan kesehatan. Kewaspadaan standar meliputi menjaga jarak (setidaknya 1
meter dari pasien lain), kebersihan tangan dan penggunaan alat perlindungan diri
(APD) saat berkontak tidak langsung atau langsung dengan darah, cairan tubuh,
sekresi (termasuk sekresi pernapasan) dan kulit pasien yang tidak utuh. Selain
kewaspadaan standar, petugas kesehatan harus melakukan penilaian risiko titik
perawatan sebelum setiap kontak dengan pasien untuk menentukan apakah
diperlukan kewaspadaan tambahan (mis., kewaspadaan droplet (percik renik),
kontak, atau airborne).1

30
Petugas kesehatan yang melakukan prosedur yang menimbulkan aerosol
(hisap lendir terbuka saluran pernapasan (suction), intubasi, bronkoskopi, resusitasi
jantung paru) harus menggunakan APD, termasuk sarung tangan, jubah lengan
panjang, pelindung mata, dan respirator partikulat yang teruji sesuai (N95 atau yang
setara, atau perlindungan lebih tinggi).
Jika mungkin, gunakan ruang terpisah berventilasi cukup saat melaksanakan
prosedur yang menimbulkan aerosol, yaitu ruang dengan tekanan negatif dengan
penggantian udara setidaknya 12 kali setiap jam atau setidaknya 160 L/detik/pasien
di fasilitas berventilasi alami.4 Hindari adanya orang yang tidak harus ada di dalam
ruangan. Rawat pasien di jenis kamar yang sama setelah mulai ventilasi mekanis
dimulai.

3. Monitoring COVID-19
a. Pasien Tanpa Gejala
• Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen
diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di
fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah. Pasien dipantau
melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP). Kontrol di FKTP terdekat dilakukan setelah 10 hari
karantina untuk pemantauan klinis
• Edukasi mengenai penerapan PPI dirumah dan menjaga kebersihan
diri
• Edukasi mengenai pemantauan kesehatan mandiri seperti mengukur
suhu 2 kali sehari (pagi dan malam). Jika ada kenaikan >38°C maka
disarankan untuk memberitahu FKTP/petugas pemantau.
• Disarankan untuk berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit
setiap harinya (sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore)
b. Pasien dengan Gejala COVID-19 Ringan
• Pasien dengan penyakit ringan tidak memerlukan intervensi rumah
sakit, tetapi isolasi mandiri diperlukan untuk mencegah penularan
virus lebih luas. Isolasi mandiri di rumah/fasilitas karantina selama

31
maksimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala
demam dan gangguan pernafasan. Setelah masa karantina selesai,
pasien diharapkan untuk memeriksakan diri ke FKTP untuk kontrol
kondisi klinis.
• Perlu diimplementasikan PPI yang sesuai dengan standard untuk
mencegah dan memitigasi penularan. Edukasi untuk pasien dengan
gejala ringan sama dengan edukasi pasien tanpa gejala.

c. Pasien dengan Gejala COVID-19 Sedang


• Pasien perlu dirujuk dan diisolasi ke rumah sakit untuk dirawat di
ruang perawatan COVID-19.
• Pasien diedukasi untuk istirahat total.
• Perawatan pada pasien gejala sedang yaitu kontrol elektrolit, status
hidrasi, oksigen. Dilakukan pemantauan laboratorium darah perifer
lengkap berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan
ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan foto toraks
secara berkala.

d. Pasien dengan Gejala COVID-19 Berat atau Kritis


• Pasien kelompok ini harus diisolasi di ruang isolasi rumah sakit
rujukan.
• Pasien istirahat total, monitor asupan kalori adekuat, kontrol
elektrolit, status hidrasi (terapi cairan), dan oksigen
• Pemantauan laboratorium darah perifer lengkap berikut dengan
hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi
ginjal, fungsi hati, hemostasis, LDH, D-dimer.
• Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
• Perlu dimonitor tanda-tanda berikut;
o Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
o Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
o PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,

32
o Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada
pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
o Limfopenia progresif,
o Peningkatan CRP progresif,
o Asidosis laktat progresif
• Monitor keadaan kritis. Pasien dewasa yang menunjukkan tanda-
tanda darurat (pernapasan terhalang atau apnea, gawat pernapasan,
sianosis sentral, renjatan, koma, atau kejang) perlu menerima
tatalaksana saluran pernapasan dan terapi oksigen untuk mencapai
SpO2 ≥ 94%.

Gambar 1.10 Alur Penentuan Alat Bantu Napas Mekanik25

• Untuk mencegah perburukan penyakit, pasien diberikan oksigen


melalui high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive
mechanical ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi
paru luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV. Pasien sadar
diposisikan dalam posisi tengkurap (awake prone position).

33
• Mulai berikan terapi oksigen 5 L/menit dan atur titrasi untuk
mencapai target SpO2 ≥ 93% selama resusitasi; atau gunakan
sungkup tutup muka dengan kantong reservoir (dengan tingkat 10-
15 L/min). Pada HFNC, FiO2 diatur 100% lalu titrasi sesuai dengan
SpO2. Setelah 1 jam lakukan evaluasi Jika pasien mengalami
perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX >4.88
pada jam ke- 2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak
membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan
risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi). Indeks ROX yaitu
(SpO2/FiO2)/Laju nafas. Lakukan pemberian NIV selama 1 jam,
kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan dan
mencapai kriteria ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg, tidak
ada gejala kegagalan pernapasan atau peningkatan FiO2/PEEP)
maka lanjutkan ventilasi dan lakukan penilaian ulang 2 jam
kemudian.
• Pada pasien dengan ARDS berat maka disarankan untuk melakukan
ventilasi invasif. Tatalaksana setting ventilator pada COVID-19
sama seperti protokol ventilator ARDS dimana dilakukan Tidal
volume < 8 mL/kg, plateau < 30 cmH2O, titrasi PEEP dan
Recruitment Maneuver, serta target driving pressure yang rendah.
• Perawatan pasien SARI dengan cairan intravena harus hati-hati
dilakukan, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk
kondisi distress napas atau oksigenasi, terutama di mana ventilasi
mekanis terbatas. Hal ini berlaku untuk perawatan pasien anak dan
pasien dewasa.28

4. Evaluasi Pasien
Pada pasien terkonfirmasi COVID-19 di rumah sakit, sampel saluran
pernafasan atas (SPA, nasofaring dan orofaring) dan sampel saluran pernafasan
bawah (SPB, dahak yang dikeluarkan, aspirasi endotrakera, atau bilasan
bronkoalveolar pada pasien berventilasi) dapat diambil berulang kali untuk

34
menunjukkan bahwa virus sudah bersih untuk uji virus COVID-19 dengan RT-PCR
atau pewarnaan/kultur bakteri. Sampel SPB (dibandingkan SPA) lebih mungkin
positif dan bertahan lama.29 Pengambilan sampel SPB hanya jika tersedia (misalnya
pada pasien berventilasi mekanik) dan menghindari induksi langsung (misalnya
pengeluaran dahak) karena lebih berisiko penularan aerosol.1
Frekuensi pengambilan spesimen bergantung pada ciri dan sumber daya
epidemik setempat. Untuk kasus tanpa gejala, ringan, sedang tidak perlu dilakukan
pemeriksaan PCR untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya dilakukan untuk
pasien yang berat dan kritis menurut pedoman tatalakasana PAPDI.
Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas demam
selama tiga hari namun pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang positif,
kemungkinan terjadi kondisi positif persisten yang disebabkan oleh terdeteksinya
fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif. Pertimbangkan nilai Cycle
Threshold (CT) value untuk menilai infeksius atau tidaknya dengan berdiskusi
antara DPJP dan laboratorium pemeriksa PCR karena nilai cutt off berbeda-beda
sesuai dengan reagen dan alat yang digunakan.Untuk pemulangan dari rumah sakit
pasien yang secara klinis sudah pulih, dianjurkan dilakukan dua uji negatif yang
berjarak setidaknya 24 jam.

3.1.8. Farmakologis
Sejumlah agen investigasi dan obat yang disetujui untuk indikasi lain saat ini
sedang dipelajari dalam uji klinis untuk pengobatan COVID-19 dan komplikasi
terkait. Data dari uji coba terkontrol secara acak, kohort observasi prospektif dan
retrospektif, dan studi seri kasus diterbitkan dengan cepat. Gambar 1.11 merupakan
rekomendasi manajemen terapi dari panel COVID-19 Treatment Guideline.4

35
Gambar 1.11 Rekomendasi Untuk Manajemen Farmakologis Pasien dengan COVID-19
Berdasarkan Keparahan Penyakit

1. Rekomendasi terapi untuk pasien terkonfirmasi COVID-19 tanpa gejala


Menurut pedoman tatalaksana COVID-19 dari PAPDI, pasien tanpa gejala
dapat mengonsumsi vitamin C (untuk 14 hari) dengan pilihan
• Tablet vitamin C non acidic 500 mg /6-8 jam oral (untuk 14 hari).
• Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari).
• Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet/24 jam (selama
30 hari).

36
• Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C, B, E, Zink.
Pasien dengan penyakit penyerta dianjurkan untuk tetap mengonsumsi obat-
obatan rutin. Pedoman tersebut juga merekomendasikan obat-obatan suportif
baik tradisional (fitofarmaka) maupun obat modern asli Indonesia (OMAI)
namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
Pada Guideline Tatalaksana COVID-19 dari National Institutes of Health,
terapi antiviral atau imunomodulator khusus tidak direkomendasikan untuk
pengobatan COVID-19 pasien kelompok ini. Pedoman ini
merekomendasikan untuk melanjutkan terapi rutin pada pasien COVID-19
dengan komorbiditas (termasuk obat-obatan dengan ACE Inhibitor atau ARB
untuk penyakit kardiovaskular). Mengenai suplemen tambahan,
penggunaannya belum direkomendasikan/ditentang karena belum adanya
cukup data untuk mendukung/menolak penggunaan obat tersebut.4,25

2. Rekomendasi terapi untuk pasien COVID-19 dengan gejala ringan.


Pasien dengan gejala ringan dapat diberikan suplemen vitamin C, B, E dan
zink. Selain suplemen, menurut pedoman dari PAPDI, pasien dengan gejala
ringan dapat diberikan
• Azitromisin 1x500mg perhari selama 5 hari
• Salah satu dari antivirus berikut ini:
o Oseltamivir (Tamiflu) 75mg/12 jam/oral selama 5-7 hari atau;
o Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2x400/100mg
selama 10 hari atau;
o Favipiravir (avigan) 600mg/12 jam /oral selama 5 hari.
• Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU
Hidroksiklorokuin (sediaan yang ada 200 mg) dosis 400 mg/24
jam/oral (untuk 5-7 hari) dapat dipertimbangkan apabila pasien
dirawat inap di RS dan tidak ada kontraindikasi.
• Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam
Pasien dengan komorbiditas harus tetap meminum obat rutin. Pada Guideline
Tatalaksana COVID-19 dari National Institutes of Health, terapi antiviral atau

37
imunomodulator khusus masih tidak direkomendasikan untuk pengobatan
COVID-19 pasien kelompok ini. Namun jika terdapat situasi klinis dimana
remsedivir dibutuhkan, maka penggunaannya dibolehkan (contohnya pada
pasien yang memiliki risiko tinggi deteriorasi klinis).4,25

3. Rekomendasi terapi untuk pasien COVID-19 dengan gejala sedang


Tatalaksana untuk pasien gejala sedang menurut pedoman PAPDI yaitu
diberikan vitamin C 200-400mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam
1 jam, kemudian diberikan secara drip intravena selama perawatan.
Terapi farmakologis pada kelompok ini yaitu
• Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) atau
Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari pertama 400 mg/12
jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah;
• Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif. Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada
infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7
hari). Ditambah;
• Salah satu antivirus berikut :
o Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari, atau;
o Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2x400/100mg
selama 10 hari, atau;
o Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600
mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke
2-5), atau;
o Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV
drip/3 jam selama 9 – 13 hari.
• Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP untuk pasien
dengan hiperkoagulasi. Pada pasien dengan infeksi COVID-19 dapat
terjadi gangguan koagulasi, terutama peningkatan D-dimer dan
fibrinogen-degradation product (FDP). Pada pasien dengan risiko

38
perburukan koagulopati menjadi DIC, maka dapat diberikan
tromboprofilaksis dengan penilaian kelainan sistem/organ dan
komorbiditas serta kontraindikasinya.
• Pengobatan simptomatis (parasetamol dan lain-lain)
• Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada.
Pada kelompok ini, penggunaan remdesivir terbukti memberikan
manfaat (HR untuk kematian 0.30; 95% CI, 0.14–0.64) melalui hasil analisis
final Adaptive COVID-19 Treatment Trial (ACTT-1). Remdesivir dikaitkan
dengan peningkatan waktu untuk pemulihan (rasio tingkat pemulihan 1,45;
95% CI, 1,18-1,79) dalam subkelompok yang terdiri dari 435 peserta.30
Pemberian remdesivir yang telah direkomendasikan oleh FDA yaitu 200mg
IV untuk 1 hari, dilanjutkan dengan 100mg IV selama 4 hari atau sampai
keluar rumah sakit, ATAU kombinasi remdesivir (dosis dan durasi seperti
sebelumnya) ditambah dexamethason 6mg IV atau oral sampai 10 hari atau
sampai keluar rumah sakit.4 Keamanan dan kemanjuran penggunaan
remdesivir plus deksametason untuk pengobatan COVID-19 belum
dievaluasi dalam uji klinis. Meskipun kurangnya data uji klinis, ada alasan
teoretis untuk menggabungkan remdesivir dan deksametason. Pasien dengan
COVID-19 yang parah dapat mengembangkan respons inflamasi sistemik
yang menyebabkan cedera paru-paru dan disfungsi organ multisistem. Efek
antiinflamasi yang kuat dari kortikosteroid dapat mencegah atau mengurangi
efek hiperinflamasi ini. Dengan demikian, menggabungkan antivirus dengan
agen anti-inflamasi dapat mengobati infeksi virus serta mengurangi respons
inflamasi yang berpotensi merugikan yang merupakan konsekuensi dari
infeksi.31

4. Rekomendasi terapi untuk pasien COVID-19 dengan gejala berat/kritis


Pasien gejala berat/kritis menurut pedoman PAPDI yaitu diberikan vitamin C
200-400mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam, kemudian
diberikan secara drip intravena selama perawatan. Dapat diberikan vitamin
B1 1 ampul/24 jam/intravena.

39
Obat-obatan yang dapat diberikan pada pasien yaitu
• Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250
mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) atau Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /24
jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG.
• Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada
infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
• Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi
bakteri, pemilihan antibiotic disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus
infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Tanda syok sepsis pada
orang dewasa ialah saat infeksi dicurigai atau dikonfirmasi DAN
vasopressor diperlukan untuk mempertahankan mean arterial pressure
(MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat ≥2 mmol/L tanpa hipovolemi.Syok
harus ditatalaksana dalam waktu 1 jam sejak terdeteksi dengan terapi
antimikroba, loading cairan, vasopressor jika hipotensi.25
• Antivirus yang dapat diberikan yaitu;
o Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari, atau;
o Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2x400/100mg selama 10
hari, atau;
o Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12
jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5), atau;
o Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3
jam selama 9 – 13 hari.
• Antikoagulan LMWH/UFH sesuai dengan evaluasi hiperkoagulasi. Jika
tidak terdapat kontraindikasi (absolut/relatif) pemberian antikoagulan
profilaksis berupa heparin berat molekul rendah (LMWH) 1 x 0,4 cc
subkutan atau unfractionated heparin (UFH) 5.000 unit 2x sehari secara
subkutan. Peningkatan dosis profilaksis antikoagulan direkomendasikan
pada pasien COVID-19 yang dirawat ICU atau post-ICU.

40
Tabel 1.1 Penggunaan Antikoagulan Pada Pasien Kritis

• Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau


kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat
yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
• Pengobatan komorbiditas dan komplikasi yang ada pada individu
• Obat suportif sesuai indikasi
Pada Guideline Tatalaksana COVID-19 dari National Institutes of Health,
penggunaan dexamethasone monoterapi lebih direkomendasikan daripada
penggunaan remdesivir monoterapi atau kombinasi remdesivir dan
dexamethasone. Dalam ACTT-1, tidak ada perbedaan yang diamati dalam
waktu pemulihan antara kelompok remdesivir dan kelompok plasebo (rasio
tingkat pemulihan 1,09; 95% CI, 0,76-1,57) pada subkelompok peserta yang
membutuhkan oksigen aliran tinggi atau ventilasi noninvasif (n = 193).
Analisis post hoc tidak menunjukkan manfaat kelangsungan hidup pada Hari
29.30
Sementara itu, pada studi oleh Horby et al., ada manfaat dari pemberian
dexamethasone pada partisipan yang memerlukan ventilasi mekanik invasif
pada pengacakan. Terdapat 29,3% peserta dalam kelompok deksametason
meninggal dalam 28 hari pendaftaran dibandingkan dengan 41,4% pada

41
kelompok kontrol (rasio tingkat 0,64; 95% CI, 0,51-0,81). Setelah publikasi
studi RECOVERY, beberapa uji coba acak yang lebih kecil diterbitkan yang
meneliti peran kortikosteroid pada pasien sakit kritis dengan COVID-19.
Sebuah meta-analisis dari tujuh uji coba terkontrol secara acak
membandingkan mortalitas 28 hari dari pasien sakit kritis dengan COVID-19
yang menerima kortikosteroid (deksametason, hidrokortison, atau
metilprednisolon) kepada mereka yang menerima perawatan biasa atau
plasebo. Dalam meta-analisis ini, 92% dari 1.703 pasien yang dievaluasi
menggunakan ventilasi mekanis invasif. Kematian adalah 32,7% pada pasien
yang secara acak menerima kortikosteroid dan 41,4% pada pasien yang secara
acak menerima perawatan biasa atau plasebo (OR 0,66; 95% CI, 0,53-
0,82).31,32
Pada pedoman PAPDI, pasien dengan kondisi berat/kritis dapat
dipertimbangkan pemberian anti-IL 6 (tocilizumab), plasma konvalesen,
IVIG atau Mesenchymal Stem Cell (MSCs)/Sel Punca.
• Anti-IL-1 (anakinra) yaitu antagonis reseptor IL-1 rekombinan yang
memiliki mekanisme menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang sering
terjadi pada kondisi ARDS yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV—
2. Dosis yang dapat diberikan adalah 100mg/12 jam selama 72 jam
dilanjutkan dengan 100mg/24 jam selama 7 hari. Pemberian anti IL-1
oleh panel Guideline National Institutes of Health masih dipertanyakan
karena belum ada cukup data.
• Anti-IL-6 (tocilizumab) merupakan antibody monoclonal kelas IgG1
yang telah terhumanisasi yang bekerja sebagai antagonis reseptor IL-6.
Tocilizumab dapat diberikan secara intravena atau subkutan untuk
pasien COVID-19 berat dengan kecurigaan hiperinflamasi.
Tocilizumab diberikan dengan dosis 8 mg/kgBB (maksimal 800mg
perdosis dengan interval 12 jam). Tocilizumab menurut beberapa studi
retrospektif menunjukkan efektivitas terapi untuk pasien kasus berat
karena menurutnkan risiko cytokine storm. Namun, pada panel

42
Guideline National Institutes of Health, penggunaan tocilizumab tidak
direkomendasikan kecuali pada clinical trial.
• Mesenchymal Stem Cell (MSCs)/ Sel Punca, pada prinsipnya
menyeimbangkan proses inflamasi yang terjadi pada kondisi ALI/
ARDS yang ditandai dengan eksudat fibromixoid seluler, inflamasi
paru yang luas, edema paru, dan pembentukan membran hyalin. MSCs
bekerja sebagai imunoregulasi dengan menekan proliferasi sel T. Selain
itu, sel punca dapat berinteraksi dengan sel 29 dendritic sehingga
menyebabkan pergeseran sel Th-2 pro inflamasi menjadi Th anti-
infamasi, termasuk perubahan profil sitokin menuju anti-inflamasi.
Pemberian sel punca pada panel Guideline National Institutes of Health
juga masih belum direkomendasikan karena belum adanya penelitian
yang memaparkan dengan jelas manfaat terapi ini pada pasien COVID-
19 dengan kondisi berat. Pemberian sel punca hanya pada clinical trial.
• Intravenous immunoglobulin (IVIG) merupakan produk derivatif
plasma pendonor yang dapat memberikan proteksi imun secara pasif
terhadap berbagai macam patogen. Terapi IVIG dari pendonor yang
telah sembuh COVID-19 dapat diberikan pada pasien COVID-19 kasus
berat dengan dosis IVIg 0.3 – 0.4 g/kg BB per hari untuk 5 hari.
Pemberian IVIG oleh panel Guideline National Institutes of Health
masih dipertanyakan karena belum ada cukup data.
• Plasma Konvalesen diperoleh dari pasien COVID-19 yang telah
sembuh, diambil melalui metoda plasmaferesis dan diberikan kepada
pasien COVID-19 yang berat atau mengancam nyawa. Terapi plasma
konvalesen diberikan bersama-sama dengan terapi standar COVID-19
(anti virus dan berbagai terapi tambahan/suportif lainnya). Pemberian
plasma konvelsan oleh panel Guideline National Institutes of Health
masih dipertanyakan karena belum ada cukup data.

3.1.9. Prognosis

43
Hingga saat ini mortalitas mencapai 2% tetapi jumlah kasus berat mencapai
10%. Prognosis bergantung pada derajat penyakit, ada tidaknya komorbid dan
faktor usia.
Tabel 1.2. Derajat Penyakit Infeksi COVID

44
45
3.2. Acute Respiratory Distress Syndrome
3.2.1. Epidemiologi
Di Amerika Serikat insidens ARDS pada orang dewasa tahun 2005
diperkirakan 200.000 kasus per tahun dengan angka mortalitas 40%. Acute
Respiratory Distress Sindrome dapat terjadi pada semua kelompok umur, dari anak-
anak sampai dewasa. Insidens ARDS meningkat dengan pertambahan usia, berkisar
16 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia 15-19 tahun dan meningkat
menjadi 306 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia 75-84 tahun (JAMA,
2012).

3.2.2. Definisi
Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi
kegawat daruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi
cairan di alveoli yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga
distribusi oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Definisi ARDS mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Adult Respiratory Distress Syndrome
didefinisikan pertama kali tahun 1994 oleh AECC (American-European Consensus
Conference) (JAMA, 2012). Definisi ARDS menurut AECC adalah:
1. Gagal napas dengan onset yang bersifat akut
2. Rasio PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg
3. Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru kardiogenik.
4. Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-
tanda peningkatan tekanan pada atrium kiri.
Dalam penggunaan kriteria AECC tersebut, terdapat beberapa keterbatasan
sehingga definisi ARDS diperbaharui di tahun 2011 dalam Kriteria Berlin.
Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS didefinisikan berdasarkan waktu, gambaran
foto toraks, penyebab edema paru, dan derajat hipoksemia. Definisi ARDS
berdasarkan Kriteria Berlin dapat dilihat pada tabel 1. Pada kriteria Berlin, PAWP
tidak digunakan

46
lagi dalam kriteria diagnosis, demikian juga dengan terminologi ALI dan digantikan
dengan pembagian subgroup ARDS berdasarkan tingkat keparahan hipoksemia
(JAMA, 2012).
Tabel 2.1. Definisi ARDS berdasarkan Kriteria Berlin, 2011

3.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Adult Respiratory Distress Syndrome dapat disebabkan karena inflamasi,
infeksi, gangguan vaskular dan trauma di intratorakal maupun ekstratorakal.
Menentukan etiologi ARDS sangat penting secara klinis agar dapat dilakukan
tatalaksana dengan tepat. Acute Respiratory Distress Syndrome dapat disebabkan
oleh mekanisme langsung di paru maupun mekanisme tidak langsung di luar paru.
Etiologi ARDS akibat kelainan primer paru dapat terjadi akibat aspirasi,
pneumonia, inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan ektraparu terjadi
akibat sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan
seperti heroin (tabel 2). Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik
yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak
selanjutnya adalah sepsis berat akibat infeksi lain di luar paru (Matthay MA, 2011;
Pierrakos C et al., 2011).
Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan terjadinya
ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus trauma),
riwayat merokok, dan riwayat alkoholik. Skor APACHE (Acute Physiology and
Chronic Health Evaluation) yang semakin besar juga meningkatkan risiko kejadian
ARDS paru (Amin Z, 2013; Koh Y, 2014; Pierrakos C et al., 2011).

47
Tabel 2.2. Etiologi ARDS

3.2.4. Klasifikasi
Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok
berdasarkan nilai PaO2/FiO2. Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) dalam
kriteria ini. Berikut merupakan definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin (Ina J
CHEST Crit and Emerg Med, 2016):
a. ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang dari dan
sama dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure (PEEP)
atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O.
b. sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari dan sama
dengan 200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
c. c. berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.

3.2.5. Patogenesis dan Patofisiologi


Kelainan utama pada ARDS adalah adanya inflamasi yang disebabkan oleh
aktivasi neutrophil, dan untuk mengerti patogenesisnya perlu diperhatikan hal-hal
berikut (Pierrakos C et al., 2011; Koh Y, 2014):
1. Faktor-faktor yang menyebabkan akumulasi cairan di interstitial paru
dan di distal alveolus.
2. Mekanisme yang mengganggu reabsorpsi cairan edema.

48
Berdasarkan karakteristik gambaran histopatologinya, ARDS dibagi
menjadi 3 fase seperti tampak pada gambar 1 yaitu:
1. Fase akut (hari 1-6) = tahap eksudatif
- Edema interstitial dan alveolar dengan akumulasi neutrofil, makrofag,
dan sel darah merah.
- Kerusakan endotel dan epitel alveolus.
- Membran hialin yang menebal di alveoli
2. Fase sub-akut (hari 7-14) = tahap fibroproliferatif
- Sebagian edema sudah direabsorpsi.
- Proliferasi sel alveolus tipe II sebagai usaha untuk memperbaiki
kerusakan.
- Infiltrasi fibroblast dengan deposisi kolagen.
3. Fase kronis (setelah hari ke-14) = tahap resolusi
- Sel mononuclear dan makrofag banyak ditemukan di alveoli
- Fibrosis dapat terjadi pada fase ini

Gambar 2.1. Fase ARDS

Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel kapiler paru


dan sel epitel alveolus karena produksi mediator proinflamasi lokal maupun yang
terdistribusi melalui arteri pulmonalis. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas
barrier alveolar-kapiler sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya protein.
(Gambar 2) (Amin Z, 2013; Koh Y, 2014; Matthay MA, Zemans RL, 2011;
Pierrakos C et al., 2011).

1. Kerusakan endotel kapiler paru


Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya ARDS.
Kerusakan endotel tersebut menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat

49
sehingga terjadi akumulasi cairan yang kaya akan protein. Kerusakan endotel ini
dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Mekanisme yang utama adalah
terjadinya kerusakan paru melalui keterlibatan netrofil.
Pada ARDS (baik akibat infeksi maupun non-infeksi) menyebabkan neutrofil
terakumulasi di mikrovaskuler paru. Neutrofil yang teraktivasi akan berdegranulasi
dan melepaskan beberapa mediator toksik yaitu protease, reactive oxygen species,
sitokin pro-inflamasi, dan molekul pro-koagulan. Mediator-mediator inflamasi
tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan hilangnya fungsi
endotel yang normal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang
berlebihan di interstitial dan alveoli.
Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga mempunyai peran yang
penting. Studi yang ada membuktikan efek sinergisme antara platelet dengan
neutrofil yang menyebabkan kerusakan paru.

2. Kerusakan epitel alveoli


Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup menyebabkan
ARDS. Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan faktor yang penting.
Neutrophil berperan dalam meningkatkan permeabilitas paraselular pada ARDS.
Dalam keadaan normal neutrophil dapat melintasi ruang paraselular dan menutup
kembali intercellular junction sehingga barrier epitel dan ruang udara di distal
alveoli tetap utuh. Pada kondisi patologis neutrofil dalam jumlah besar dapat
merusak epitel alveoli melalui mediator inflamasi yang dapat merusak intercellular
junction dan melalui mekanisme apoptosis atau nekrosis sel epitel.

Sel alveolus tipe I (yang menyusun 90% epitel alveoli) merupakan jenis sel yang
paling mudah rusak. Kerusakan sel tersebut menyebabkan masuknya cairan ke
dalam alveoli dan menurunnya bersihan cairan dari rongga alveoli. Sel tipe II
bersifat tidak mudah rusak dan memiliki fungsi yang penting dalam memproduksi
surfaktan, transport ion, dan lebih lanjut dapat berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel alveoli tipe I. Kerusakan pada kedua sel tersebut menyebabkan
penurunan produksi surfaktan dan penurunan elastisitas paru.

50
3. Resolusi dari inflamasi dan edema alveoli
Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan pembersihan cairan edema
dari rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan direabsorpsi ke sistem limfatik
paru, mikrosirkulasi paru dan rongga pleura. Pembersihan cairan edema dari rongga
alveoli membutuhkan transport aktif sodium dan klorida yang akan membuat
gradient osmosis sehingga air dapat direabsorpsi. Pada kondisi ARDS, pembuangan
cairan edema dari alveoli terjadi lebih lambat karena epitel alveoli mengalami
kerusakan.

Gambar 2.2. Perbandingan alveolus normal dan alveolus pada ARDS.


Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi pada ARDS berdampak pada:
- Ketidak sesuaian antara ventilasi (V) dan perfusi (Q) V/Q mismatching
disertai dengan shunting
- Hipertensi pulmonal
- Penurunan elastisitas paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang tersisa
- Gangguan proses perbaikan paru yang normal fibrosis paru pada stadium
lanjut

3.2.6. Gambaran Klinis dan Diagnosis

51
Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang
berkembang dengan cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma, sepsis,
overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis, maupun aspirasi. Pada sebagain besar
kasus faktor predisposisi ARDS jelas didapat, namun pada beberapa kasus (seperti
pada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit diidentifikasi. Manifestasi ARDS
bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat injuri paru, dan ada
tidaknya disfungsi organ lainnya (Amin Z, 2013; Koh Y, 2014; Matthay MA,
Zemans RL, 2011; Pierrakos C et al., 2011).
Pada pemeriksaan fisis ARDS akan didapatkan temuan yang bersifat non-
spesifik seperti takipnea, takikardi dan kebutuhan FIO2 yang semakin bertambah
untuk menjaga agar saturasi oksigen tetap normal. Karena ARDS sering terjadi
pada sepsis, maka hipotensi dan tanda-tanda vasokonstriksi perifer (akral dingin
dan sianosis perifer) dapat ditemukan. Pada pemeriksaan fisis toraks dapat
ditemukan ronkhi basah bilateral. Suhu pasien dapat febris maupun hipotermia.
Edema paru kardiogenik harus dibedakan dengan ARDS. Pada ARDS tidak
didapatkan gejala dan tanda-tanda gagal jantung (non-cardiac pulmonary edema)
Tanda-tanda gagal jantung harus diperhatikan dengan baik untuk menyingkirkan
diagnosis tersebut seperti peningkatan JVP, murmur, gallops, hepatomegali dan
edema tungkai (Amin Z, 2013; Koh Y, 2014; Matthay MA, Zemans RL, 2011;
Pierrakos C et al., 2011).
Gambaran foto toraks pada ARDS secara umum berupa opasifikasi
bilateral, konsolidasi yang bisa simetris maupun asimetris disertai dengan air
bronchogram (Gambar 3). Diagnosis banding meliputi pneumonia terutama akibat
aspirasi, perdarahan alveolar difus dan edema paru karena penyebab lainnya (Bruce
DL, Augustine MKC, 2015).

52
Gambar 2.3. Gambaran foto thoraks pada ARDS

3.2.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding ARDS adalah gagal napas akut hipoksemik, gagal
jantung kiri, penyakit akut parenkim paru seperti pneumonia akut eosinofilik,
bronchitis obliterans organizing pneumonia (BOOP), pneumonia akut intersisial,
karsinoma sel bronkoalveolar, proteinosis alveolar pulmonal, perdarahan alveolar
pada penyakit Goodpasture’s, granulomatosis Wegener’s, dan Lupus eritematosus
sistemik (Ina J CHEST Crit and Emerg Med, 2016).

3.2.8. Tatalaksana
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses
inflamasi, penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu mencegah lesi
paru iatrogenik, mengurangi cairan dalam paru dan mempertahankan oksigenasi
jaringan. Ketiga hal tersebut harus selalu diupayakan dalam tatalaksana awal ARDS
(gambar 4) (Bruce DL, Augustine MKC, 2015) .

53
Gambar 2.4. Algoritma tatalaksana awal ARDS yang meliputi ventilasi mekanik dini,
oksigenasi, penanganan asidosis, dan diuresis.

1. Terapi Umum

• Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya).


• Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, karena penderita
akan memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama.
Berikan dosis minimal yang masih memberikan efek sedasi yang
adekuat.
• Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau
diuretic (Amin Z, 2013; Bruce DL, Augustine MKC, 2015; Koh Y,
2014).
2. Terapi Ventilasi
• Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakeal merupakan terapi
yang mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas >
30x/menit atau terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 > 60% (dengan

54
menggunakan simple mask) untuk mempertahankan PaO2 sekitar 70
mmHg atau lebih dalam beberapa jam.
• Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik
disertai dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang
tertimbun di alveoli dan mengatasi mikro-atelektasis sehingga akan
memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q).
• Tergantung tingkat keparahannya maka penderita dapat diberi
ventilasi non-invasif seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure
Ventilation. Metode ini tidak direkomendasikan bagi penderita
dengan penurunan kesadaran atau dijumpai adanya peningkatan
kerja otot pernafasan disertai peningkatan laju nafas dan
peningkatan PCO2 darah arteri.
• Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 - 15 ml/kg
dapat mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal
sehingga dapat terjadi rupture alveolus, deplesi surfaktan dan
kerusakan pada membra alveolar-kapiler. Untuk menghindari hal
tersebut maka digunakan volume tidal yang rendah (6 ml/kg) dengan
tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O, plateu inspiratory pressure
< 30 cmH2O serta pemberian PEEP antara 8-14 cm H2O untuk
mencegah atelektasis dan kolaps alveoli.
• Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure
Control.
• Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter
keberhasilan dan panduan terapi.
• Restriksi cairan dan diuresis yang cukup akan mengurangi
peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru dan mengatasi
kelebihan cairan paru (lung water). Akan tetapi harus diingat bahwa
dehidrasi yang berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan
mencetuskan gagal ginjal.
• Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan
cairan darah sehingga tidak terjadi atelektasis.

55
• Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi
pembuluh darah di paru sehingga secara nyata memperbaiki
hipertensi pulmonal dan oksigenasi arteri. Pemberian nitric oxide
tidak akan berpengaruh terhadap tekanan darah sistemik, namun
demikian efek samping subproduk NO berupa peroksi nitrit dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan paru. Oleh karena itu
pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana
terjadi hipoksemia akut yang refrakter terhadap tindakan suportif
yang diberikan.
3. Terapi Penyakit Dasar
Terapi penyakit dasar ARDS tergantung dari penyebabnya dimana
penyebab tersering adalah infeksi baik di paru maupun di luar paru. Untuk
infeksi paru sendiri karena ARDS merupakan bagian dari kondisi sepsis yang
berat maka dalam pemilihan antibiotik dianjurkan dengan kombinasi dua
antibiotik dari golongan yang berbeda yang mempunyai efek antipseudomonas.
Kombinasi tersebut misalnya dari golongan sefalosporin yang mempunyai efek
antipseudomonas (seftasidim, sefoperazon) atau golongan karbapenem
(imipenem, meropenem) diberikan bersama dengan golongan kuinolon
(siprofloksasin, levofloksasin) atau dengan golongan aminoglikosid (Amikin).
Untuk meningkatkan angka keberhasilan pengobatan maka antibiotik tersebut
harus diberikan sedini mungkin (< 4 jam) sejak diagnosis pneumonia
ditegakkan. Untuk penyakit dasar lain yang potensial dapat diatasi yaitu pada
ARDS akibat overdosis obat yang diatasi dengan pemberian antidotumnya bila
ada, pada TB yang berat, immune reconstitution inflamation syndrome (IRIS)
dan juga pada ARDS akibat infeksi pneumocystic jiroveci, pada semua keadaan
tersebut selain terapi untuk penyakit dasarnya diberikan juga terapi tambahan
dengan steroid.
4. Targeted Drug Treatment
Terapi target difokuskan pada regresi lesi patologi dan mengurangi
jumlah cairan dalam paru, namun sayangnya tidak ada bukti objektif akan
keberhasilan metode tersebut (table 3) (Amin Z, 2013; Bruce DL, Augustine

56
MKC, 2015; Koh Y, 2014; Matthay MA, Zemans RL, 2011; Perrakos C et al.,
2011).
• Surfaktan sintetik secara aerosol ternyata bermanfaat untuk ARDS
pada neonatus, tetapi tidak pada ARDS.
• Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi reaksi inflamasi pada
jaringan paru terutama pada ARDS akibat TB yang berat, infeksi
pneumocystic jiroveci dan pada IRIS. Pada inflamasi akibat penyakit
dasar yang lain pemberian steroid menunjukkan hasil yang tidak
memuaskan, sehingga tidak direkomendasikan pada ARDS
terutama pada fase awal. Beberapa sumber menyarankan pemberian
metilprednisolon secara pulsed untuk mencegah fase fibrosis yang
destruktif.
• Pemberian N-asetil-sistein banyak memberikan harapan namun
masih dalam penelitian
• Ketokonazol diharapkan dapat menghambat pelepasan TNF oleh
makrofag, tetapi masih diperlukan penelitian dalam jumlah sample
yang lebih besar.
• Diuretik ditujukan untuk mencegah kelebihan cairan, dan hanya
diberikan bila eksresi cairan oleh ginjal terganggu. Dengan demikian
penggunaan diuretik tidak rutin, karena tidak sesuai dengan
patogenesis ARDS.
• Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10
gr%, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya TRALI
(Transfusion-Related Acute Lung Injury) maka tranfusi hanya
diberikan bila ada oksigenasi jaringan yang inadekuat.
• Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) adalah suatu
sistem prolonged cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil
mengobati bayi baru lahir yang mengalami gagal nafas akibat
aspirasi mekonium, hernia diafragma dan infeksi virus yang berat.
Penggunaan EMCO untuk ARDS hasilnya masih kontroversial.
Tabel 2.3. Rekomendasi Terapi ARDS

57
3.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah (Amin Z, 2013; Bruce DL, Augustine MKC, 2015; Koh Y,
2014; Matthay MA, Zemans RL, 2011; Perrakos C et al., 2011):
1. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi.
2. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka
panjang seperti edema laring dan stenosis subglotis.
3. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-
Associated Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut
terjadi pada 55% kasus ARDS.
4. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis.
5. Multisystem organ failure.
6. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka
panjang.
7. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.

3.2.9. Prognosis

58
Faktor yang mempengaruhi mortalitas adalah usia pasien >65 tahun, adanya
penyakit hepar kronik, dan disfungsi organ multipel. Lebih dari setengah pasien
akan bertahan dengan sisa kerusakan paru walaupun masalah fungsi neuromuskular
atau depresi dapat menyertai (Ina J CHEST Crit and Emerg Med, 2016).

3.3. Ventrikel Ekstrasistol


3.3.1. Definisi
Kelainan irama yang ditandai dengan timbulnya kompleks QRS lebar (LBBB atau
RBBB) yang datang lebih awal dari pada interval irama dasarnya.

3.3.2. Diagnosis
1. Anamnesis
• Berdebar
• Kehilangan denyut (skip pedbeat)
• Nyeri dada
• Denyut yang tiba-tiba terasa keras
• Sesak nafas
• Dizziness
2. Pemeriksaan fisik: laju nadi teraba ireguler dengan adanya pause
kompensator.
3. Kriteria diagnosis:
➢ EKG 12 sadapan:
a. QRS lebar yang datang lebih awal, kadang disertai pause
kompensatoar.
b. Dengan melihat morfologi kompleks QRS, dapat diketahui
dimana sumber ekstra sistol, misalnya :
• Morfologi sebagai LBBB, aksis inferior, lokasi di
right ventrikular outflow tract.
• Morfologi sebagai
➢ EKG Holter

59
a. Menilai seberapa sering timbulnya ekstra sistol
(arrhythmic burden).
b. Menilai adanya takikardia.
c. Kriteria VES benigna vs maligna:
▪ 6 dalam 1 menit (10% dalam 24 jam)
▪ R on T
▪ Infarkmiokard
▪ Polimorfik
▪ Repetitif dan konsekutif (bigeminy, couplet,triplet)
➢ Uji latih jantung dengan beban
a. Iskemia sebagai pencetus
b. Mencetuskan takikardia ventrikel

3.3.3. Pemeriksaan Penunjang


1. EKG
2. Lab: elektrolit, hematologirutin, factor koagulasi, fungsi tiroid, fungsi
ginjal, Hbs Ag, anti HCV, dan HIV
3. Foto rontgen toraks
4. Pemantauan Holter
5. Uji latih jantung dengan beban (TMT)
6. Ekokardiografi
7. Studi elektrofisiologi

3.3.4. Terapi
1. Asimptomatik
a. Observasi
b. Pada penderita dengan jantung yang normal, hanya perlu
reassurance dan tidak perlu obat-obatan.
c. Pada penderita dengan penyakit jantun koroner, perlu dilakukan
disingkirkan kemungkinan iskemia, dan dinilai risiko terjadinya
VT.

60
2. Simtomatik
a. Farmakologis dengan beta bloker, nondihydropiridin calcium
channel blocker, amiodaron; atau kombinasi.
b. Koreksi elektrolit, terutama magnesium dan kalium.
c. Terapi definitif: ablasi radio frekuensi (konvensional atau 3-
dimensi).

3.3.5. Edukasi
1. Edukasi mengenali tanda dan gejala secara mandiri. Ajarkan cara
menghitung nadi, mengukur tekanan darah, mengelah berdebar, rasa
melayang seperti akan pingsan, keringat dingin, lemas.
2. Edukasi tindakan awal yang harus dilakukan ketika timbul tanda dan
gejala, seperti: istirahat, bila keluhan tidak hilang harus segera ke
pelayanan kesehatan terdekat.
3. Edukasi tindakan lanjut / terapi definitif: Radio Frekuensi Ablasi.
4. Edukasi reassurance: meyakinkan pasien kondisinya tidak berbahaya
(PERKI, 2016).

61
BAB IV. PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini termasuk dalam kategori ASA IV karena berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan kelainan
sistemik yang dimilikinya saat ini adalah Acute Respiratory Distress Syndrome
e.c Post Covid 19 dengan komorbid diabetes mellitus yang merupakan penyakit
sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
acaman kehidupannya setiap saat.
Pasien pada kasus ini merupakan pasien Post COVID -19 terkonfirmasi
dengan gejala (simptomatik) yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19
yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Pasien menderita Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) akibat
pneumonia yang disebabkan oleh COVID 19. Gejala yang dialami pasien juga
sesuai dengan kriteria Berlin tahun 2011. Pasien mengalami gejala respirasi yang
baru dirasakan maupun yang memberat dalam 1 minggu terakhir, pada foto toraks
pasien terdapat gambaran opasitas bilateral, terdapat edema paru, dan derajat
hipoksemia sedang hingga berat.
Pasien pada kasus ini memiliki riwayat Diabetes Melitus yang merupakan
salah satu faktor resiko meningkatnya keparahan infeksi COVID 19. Diabetes yang
berusia lebih tua (>60 tahun), kadar gula darah tidak terkontrol, dan adanya
komplikasi diabetes dikaitkan dengan prognosis COVID 19 yang buruk. Di China,
presentasi tingkat kematian diabetes yang terdiagnosa COVID 19 adalah 7,3 %.
Di italia kematian pada pasien COVID 19 ternyata 36% berkaitan dengan diabetes.
Laporan dari Departemen of Health menunjukan bahwa diabetes dan hipertensi
merupakan komorbid terbanyak pada kematian pasien COVID 19 di Filipina.
Prognosis COVID 19 dipengaruhi banyak factor tingkat mortalitas pasien
COVID 19 berat mencapai 38% dengan median perawatan ICU hingga meninggal
selama 7 hari .
Pasien pada kasus ini dengan berat badan 90 kg mendapatkan kebutuhan
cairan basal sebanyak 2.900 cc/hari. Pada pasien ini diberi obat norepinefrin injeksi
dengan dosis 0,2 mcg x 90 kg x 60 menit/80 mcg per cc= 13,5 cc/jam, midazolam

62
dengan dosis 0,05 mg x 90 kg= 4,5 mg/cc, propofol dosis sudah sesuai, dopamine
dengan dosis 15 mcg x 90 kg/4000 mcg/cc= 20,25 cc/jam, tramus dengan dosis 0,65
mg x 90 kg= 58,5 mg/jam, hidrokortison dosis sudah sesuai, citicoline dosis sudah
sesuai, respar dosis sudah sesuai, asam folat dengan dosis 0,4 mg/hari, fluimucil
dosis sudah sesuai, curcuma dosis sudah sesuai, Pradaxa dosis sudah sesuai, omega
3 dosis sudah sesuai, hp pro dosis sudah sesuai, inbumin dosis lazim orang dewasa
1-2 x 250 mg, CPG dosis sudah sesuai, laxadine sirup dosis sudah sesuai.

63
BAB IV. KESIMPULAN

Laki- laki usia 69 tahun dengan Acute Respiratory Distress Syndrome e.c
Post Covid 19 dengan komorbid diabetes mellitus termasuk dalam kategori ASA
IV yang merupakan penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakitnya merupakan acaman kehidupannya setiap saat. Riwayat penyakit
yang dimiliki pasien sekarang memerlukan perawatan intensif untuk mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas.

64
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat ( SARI )


suspek penyakit COVID-19. WHO 4, 1–25 (2020).
2. Ghoshal, U., Vasanth, S. & Tejan, N. A guide to laboratory diagnosis of
Corona Virus Disease-19 for the gastroenterologists. Indian J.
Gastroenterol. 39, 236–242 (2020).
3. Cai, Q. et al. Obesity and COVID-19 Severity in a Designated Hospital in
Shenzhen, China. Diabetes Care 43, 1392–1398 (2020).
4. NIH. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Treatment Guidelines. Nih
2019, 130 (2020).
5. Yang, X. et al. Clinical course and outcomes of critically ill patients with
SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan, China: a single-centered,
retrospective, observational study. Lancet Respir. Med. 8, 475–481 (2020).
6. WHO. Wuhan 2019 Novel Coronavirus - 2019-nCoV. WHO 10, 1–5
(2020).
7. Pradana, M., Rubiyanti, N., S., W., Hasbi, I. & Utami, D. G. Indonesia’s
fight against COVID-19: the roles of local government units and
community organisations. Local Environ. 25, 741–743 (2020).
8. Data Sebaran COVID-19 di Indonesia. SATGAS COVID-19
https://covid19.go.id/ (2020).
9. Kim, S. J. & Bostwick, W. Social Vulnerability and Racial Inequality in
COVID-19 Deaths in Chicago. Heal. Educ. Behav. 47, 509–513 (2020).
10. Williamson, E. J. et al. Factors associated with COVID-19-related death
using OpenSAFELY. Nature 584, 430–436 (2020).
11. Fehr, A. R. & Perlman, S. Coronaviruses: an overview of their replication
and pathogenesis. Methods Mol. Biol. 1282, 1–23 (2015).
12. Du, L. et al. The spike protein of SARS-CoV--a target for vaccine and
therapeutic development. Nat. Rev. Microbiol. 7, 226–236 (2009).
13. D’Arienzo, M. & Coniglio, A. Assessment of the SARS-CoV-2 basic
reproduction number, R (0), based on the early phase of COVID-19

65
outbreak in Italy. Biosaf. Heal. 2, 57–59 (2020).
14. Dharmaratne, S. et al. Estimation of the basic reproduction number (R0) for
the novel coronavirus disease in Sri Lanka. Virol. J. 17, 144 (2020).
15. Jin, X. et al. Epidemiological, clinical and virological characteristics of 74
cases of coronavirus-infected disease 2019 (COVID-19) with
gastrointestinal symptoms. Gut 69, 1002–1009 (2020).
16. Tang, Y. et al. Cytokine Storm in COVID-19: The Current Evidence and
Treatment Strategies. Front. Immunol. 11, 1708 (2020).
17. Meftahi, G. H., Jangravi, Z., Sahraei, H. & Bahari, Z. The possible
pathophysiology mechanism of cytokine storm in elderly adults with
COVID-19 infection: the contribution of “inflame-aging.” Inflamm. Res.
69, 825–839 (2020).
18. Kalinska, M., Meyer-Hoffert, U., Kantyka, T. & Potempa, J. Kallikreins -
The melting pot of activity and function. Biochimie 122, 270–282 (2016).
19. Kaplan, A. P. & Ghebrehiwet, B. The plasma bradykinin-forming pathways
and its interrelationships with complement. Mol. Immunol. 47, 2161–2169
(2010).
20. Jacox, L. et al. The Extreme Anterior Domain Is an Essential Craniofacial
Organizer Acting through Kinin-Kallikrein Signaling. Cell Rep. 8, 596–609
(2014).
21. Garvin, M. R. et al. A mechanistic model and therapeutic interventions for
COVID-19 involving a RAS-mediated bradykinin storm. Elife 9, 1–16
(2020).
22. Schmaier, A. H. The contact activation and kallikrein/kinin systems:
pathophysiologic and physiologic activities. J. Thromb. Haemost. 14, 28–
39 (2016).
23. PDPI. Pneumonia COVID-19 Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2020).
24. RI, K. K. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi COVID-19.
Kementrian Kesehat. Republik Indones. 75 (2020).
25. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis

66
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestisiologi
dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) & Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). Pedoman Tatalaksana COVID-19. Pedoman
Tatalaksana COVID-19 (2020).
26. Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E. & Agustin, H.
Penyakit Virus Corona 2019. J. Respirologi Indones. 40, 119–123 (2020).
27. Wu, Z. & McGoogan, J. M. Characteristics of and Important Lessons From
the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary
of a Report of 72 314 Cases From the Chinese Center for Disease Control
and Prevention. JAMA 323, 1239–1242 (2020).
28. Schultz, M. J. et al. Current challenges in the management of sepsis in
ICUs in resource-poor settings and suggestions for the future. Intensive
Care Med. 43, 612–624 (2017).
29. Park, W. B. et al. Replicative virus shedding in the respiratory tract of
patients with Middle East respiratory syndrome coronavirus infection. Int.
J. Infect. Dis. IJID Off. Publ. Int. Soc. Infect. Dis. 72, 8–10 (2018).
30. Beigel, J. H. et al. Remdesivir for the Treatment of Covid-19 — Final
Report. N. Engl. J. Med. 383, 1813–1826 (2020).
31. Horby, P. et al. Dexamethasone in Hospitalized Patients with Covid-19 -
Preliminary Report. N. Engl. J. Med. (2020) doi:10.1056/NEJMoa2021436.
32. Sterne, J. A. C. et al. Association Between Administration of Systemic
Corticosteroids and Mortality Among Critically Ill Patients With COVID-
19: A Meta-analysis. JAMA 324, 1330–1341 (2020).
33. Zhang, X. et al. Epidemiological, clinical characteristics of cases of SARS-
CoV-2 infection with abnormal imaging findings. Int. J. Infect. Dis. IJID
Off. Publ. Int. Soc. Infect. Dis. 94, 81–87 (2020).
34. Davies, M. et al. Remdesivir in Treatment of COVID-19: A Systematic
Benefit–Risk Assessment. Drug Saf. 43, 645–656 (2020).
35. ARDS Definition Task Force. Acute Respiratory Distress Syndrome, The
Berlin Definition. JAMA. 2012;307(23).

67
36. Matthay MA, Zemans RL. The Acute Respiratory Distress Syndrome:
Pathogenesis and Treatment. Annu Rev Pathol. 2011;6:147-63.
37. Pierrakos C, Karanikolas M, Scoletta S, Karamouzos V, Velissaris D. Acute
Respiratory Distress Syndrome: Pathophysiology and Theurapeutic
Options. J Clin Med Res. 2011;4(1):7-16.
38. Koh Y. Update in Acute Respiratory Distress Syndrome. Journal of
Intensive Care. 2014;2:2.
39. Amin Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Dahlan Z, Amin Z,
Soeroto AY, editors. Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru.
Bandung: PERPARI (Perhimpunan Respirologi Indonesia); 2013.
40. Ina J CHEST Crit and Emerg Med. 2016; 3:2.
41 Bruce D. Levy, Augustine M. K. Choi. Acute Respiratory Distress
Syndrome. In: Kasper, Fauci, Longo, Hauser, Jameson, Loscalzo, editors.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19ed. New York: Mc-Graw Hill;
2015.

68

Anda mungkin juga menyukai