Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep NAPZA (Narkotika Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainya)

1. Pengertian NAPZA

Narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) merupakan zat yang

memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang

mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA

bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara

menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang

dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010). Narkoba adalah singkatan dari

narkotika dan bahan obat berbahaya. Narkoba atau NAPZA merupakan

kelompok senyawa yang umumnya meneyebabkan kecanduan bagi para

penggunanya (BNN, 2017).

Beberapa pakar berpendapat bahwa NAPZA merupakan singkatan

dari Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lain, yang bekerja pada

pusat penghayatan kenikmatan otak sebagaimana kenikmatan sensasi,

makan, dan stimulasi seksual. Sehingga sering muncul dorongan kuat

menggunakan NAPZA untuk memperoleh kenikmatan lahir dan batin

atau euphoria (Martono & Joewana, 2006).

2. Jenis Jenis NAPZA

Badan Narkotika Nasional membagi NAPZA menjadi 3 jenis, yaitu

narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, setiap jenis dibagi ke

13
14

dalam beberapa kelompok.

a) Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya

rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan

dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi

(ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran

(penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi.

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika

dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan

II, dan golongan III.

1) Narkotika golongan I adalah : narkotika yang paling berbahaya.

Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh

digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian

atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin,

opium, dan lain-lain.

2) Narkotika golongan II adalah : narkotika yang memiliki daya

adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.

Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin,

betametadol, dan lain-lain.

3) Narkotika golongan III adalah : narkotika yang memiliki daya


15

adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.

Contohnya adalah kodein dan turunannya.

b) Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah

maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas

pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang

digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche)

Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat

dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :

1) Golongan I adalah : psikotropika dengan daya adiktif yang

sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan,

dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA,

ekstasi, LSD, dan STP.

2) Golongan II adalah : psikotropika dengan daya adiktif kuat

serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya

adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan

sebagainya.

3) Golongan III adalah : psikotropika dengan daya adiksi sedang

serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya

adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya.

4) Golongan IV adalah : psikotropika yang memiliki daya adiktif

ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.


16

Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid),

diazepam, dan lain-lain.

c) Bahan Adiktif Lainnya

Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan

psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya :

1) Rokok

2) Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan

menimbulkan ketagihan.

3) Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair,

aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat

memabukkan.

Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan

menimbulkan ketagihan tergolong NAPZA (BNN, 2017).

B. Konsep penyalahgunaan NAPZA

1. Definisi penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA merupakan penggunaan NAPZA yang bersifat

patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga

menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. NAPZA

banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan

klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya dapat

menenangkan pemakai maka NAPZA kemudian di salah gunakan, yaitu

bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.


17

Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna

ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan

fisik ( Sumiati, 2009).

Pengertian dari penyalahgunaan atau dalam istilah asing abuse adalah

penggunaan NAPZA diluar tujuan pengobatan dan tanpa pengawasan

dokter (Hafidz, 2007). Pengertian lain yaitu bahwa penyalahgunaan

adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara

berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan

gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial NAPZA

(Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif).

2. Tahapan Pemakaian NAPZA

Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut :

a) Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental)

Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu

atau coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau

minum-minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba

memakai putaw atau minum pil ekstasi.

b) Tahap pemakaian sosial

Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada

acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula

NAPZA diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Seseorang

belum secara aktif mencari NAPZA.


18

c) Tahap pemakaian situasional

Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres.

Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini

pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.

d) Tahap habituasi (kebiasaan)

Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering),

disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal

tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan teman pecandu.

Seseorang menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, dan sulit

tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari

kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Orang tersebut

sering membolos dan prestasi sekolahnya menurun. Orang tersebut

lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.

e) Tahap ketergantungan

Pada tahap ini seseorang berusaha agar selalu memperoleh NAPZA

dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi

kebiasaannya. Orang tersebut sudah tidak dapat mengendalikan

penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya.

Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak. Pada

ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai,

agar dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, orang

tersebut tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika

pemakaiannya dikurangi atau dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini


19

disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya bergantung pada jenis zat

yang digunakan, pengguna mencoba mencampur berbagai jenis

NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan

risiko meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh.

Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana

jumlah NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan

pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu,

jumlah yang diperlukan meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai

berlebihan (overdosis) akan menyebabkan terjadinya kematian (Harlina,

2008)

Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah

kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika

secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar

menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi

dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan

psikis yang khas. Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2,

yaitu (Sumiati, 2009):

a) Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau

menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa di gunakan,

seseorang akan mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan

gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan


20

adanya toleransi.

b) Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti

menggunakan NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami

kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut

walaupun seseorang tidak mengalami gejala fisik.

C. Konsep Remaja

1. Definisi Remaja

Istilah adolesce atau ramaja berasal dari kata latin (adolesce) (kata

bedanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau

“tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence seperti yang dipergunakan

saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental,

emosional, sosial, dan fisik Remaja adalah periode antara pubertas dan

kedewasaan, untuk anak gadis lebih cepat matang dari pada laki-laki

(Hurlock, 2002).

Menurut Santrock masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-

kanak menuju masa dewasa awal, individu yang berada pada masa

remaja ini adalah individu dengan rentang usia 12 sampai dengan 21

tahun dengan tiga pembagian fase yaitu remaja awal (12-15tahun), remja

tengah (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun) (Ilahi, 2015).

Menurut Depkes 2009 membagi masa remaja menjadi masa dua yaitu

Masa remaja awal (12-16 tahun) dan Masa remaja akhir (17-25
21

tahun).

WHO (1974) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat

konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu

biologik, psikologik,dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi

tersebut berbunyi sebagai berikut:

a) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-

tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan

seksual

b) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi

dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh

kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2003)

Selanjutnya WHO menyatakan walaupun definis di atas terutama

didasarkan pada usia kesuburan wanita, batasan tersebut berlaku juga

untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua

bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

Dalam pada itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan

usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda dalam rangka keputusan mereka

untuk menetapkan tahun 1985 sebagai tahun pemuda internasional

(Sarwono, 2003).

2. Ciri –ciri masa remaja

Menurut Havighurst (Hurlock,1999) ciri-ciri masa remaja antara lain:


22

a) Masa remaja sebagai masa yang penting

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan

penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya

penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

b) Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang

telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan

dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya,

dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi

sebelumnya akan meninggalkan bekas pada pada apa yang terjadi

sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku

dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

c) Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja

sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi

dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang

juga berlangsung pesat. Perubahan fisik menurun , maka perubahan

sikap dan perilaku juga akan menurun.

d) Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri- sendiri, namun

masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi

baik oleh anak laki-laki maupun perempuan. Ada dua alasan bagi

kesulitan ini, yaitu :


23

1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian

diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga

kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi

masalah.

2) Remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi

masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

e) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak,

penyesuaian diri dengan standar kelompok pada remaja awal masih

tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat

laun mereka ingin mulai mendambakan identitas diri dengan kata

lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.

f) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak yang tidak

rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cendrung merusak dan

berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa harus

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut

bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku

remaja normal.

g) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain

sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya,

terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia


24

semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa

apabila orang lain mengecewakanya atau kalau ia tidak berhasil

mencapai tujuan yang ditetapkanya sendiri.

h) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekanya usia kematangan , para remaja menjadi

gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja

mulai memutuskan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan

status dewasa yaitu merokok, minum-minuman keras,

menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks.

Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang

mereka inginkan.

3. Tugas –tugas Perkembangan Remaja

Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai

kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas

perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1997) adalah sebagai

berikut:

a) Mampu menerima keadaan fisiknya.

b) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

c) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlainan jenis.

d) Mencapai kemandirian emosional.


25

e) Mencapai kemandirian ekonomi.

f) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat

diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

g) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan

orang tua.

h) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan

untuk memasuki dunia dewasa.

i) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

j) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan

keluarga.

k) Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan

perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal.

Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu

kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu

dengan baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas

perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan

kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan

Asrori, 2004)

4. Remaja Sebagai Kelompok Risiko Menyalahgunakan NAPZA

Risiko dalam bahasa Inggris risk, istilah risiko (risk) dapat juga

berarti bencana atau bahaya yang dapat menimbulkan kerugian bila

terjadi (kamus bahasa Indonesia). Remaja merupakan kelompok


26

risiko yaitu suatu kondisi yang dihubungkan dengan peningkatan

kemungkinan adanya kejadian penyakit. (McMurray, 2003). Hal ini

bukan berarti jika faktor risiko tersebut ada pasti akan menyebabkan

penyakit, tetapi dapat berakibat potensial terjadi sakit atau kondisi

yang membahayakan kesehatan secara optimal dari populasi.

Selanjutnya McMurray (2003) menjelaskan bahwa remaja merupaka

populasi resiko karena beberapa hal:

a) Tahap perkembangan remaja cukup rawan, sehingga perlu

antisipasi dengan cara mencegah timbulnya berbagai masalah

baik individu, keluarga, maupun kelompok.

b) Transisi dari anak-anak menjadi dewasa, dimana remaja

mempunyai karakteristik: suka ingin tahu, suka tantangan, ingin

coba-coba sesuatu hal yang baru, dan ingin mencari identitas diri.

Inilah yang sering membuat remaja gagal menemukan identitas

yang sebenarnya.

c) Usia menjadi salah satu faktor risiko, dimana remaja berada pada

masa mencari identitas diri. Remaja mempunyai rasa ingin tahu

yang tinggi, sehingga akan mencoba sesuatu yang menurutnya

menarik dan tidak peduli dengan akibatnya, maka jika tidak

tersedia informasi yang benar akan mengakibatkan perilaku yang

merugikan remaja termasuk menyalahgunakan NAPZA.

d) Besarnya pengaruh lingkungan fisik, menyebabkan remaja

terbawa arus menyalahgunakan NAPZA.


27

e) Sistem layanan kesehatan yang belum memadai khususnya remaja

dengan NAPZA.

Sedangkan Satanhope & Lancaster, (2018) menjelaskan At risk terdiri

dari beberapa kategori, diantaranya sebagai berikut; 1) Biologic risk,

yaitu faktor genetik atau fisik yang berkontribusi terjadinya resiko

menyalahgunakan pada remaja. 2) Social risk, yaitu faktor kehidupan

yang tidak teratur, tingkat kriminal yang tinggi, lingkungan yang

terkontaminasi oleh pengguna NAPZA. 3) Economic risk, dalam hal

ini bisa jadi remaja yang mempunyai ekonomi berlebihan, sehingga

rasa ingin coba-coba terhadap NAPZA dapat dipenuhi dengan adanya

dana. 4) Life-style risk, yaitu perubahan paradigma remaja terhadap

kondisi lingkungan modern, dan 5) Life-event risk, yaitu kejadian

dalam kehidupan yang dapat beresiko terjadinya masalah kesehatan,

seperti; pindah tempat tinggal, adanya anggota keluaga baru.


28

D. faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyalahgunaan NAPZA

pada remaaja.

Menurut Sumiati (2009) Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

penyalahgunaan NAPZA pada seseorang, faktor faktor tersebut adalah

sebagai berikut:

a) Faktor zat

Tidak semua zat yang digunakan akan memberikan pengaruh yang

sama bagi pemakai. Dalam hal ini hanaya obat dengan pengaruh

farmakologik tertentu yang akan menimbulkan gangguan

penyalahgunaan NAPZA,baik yang menimbulkan ketergantungan

maupn yang tidak menimbulkan ketergantungan.

b) Faktor individu

Tiap individu memeiliki perbedaan tingkat resiko untuk

menyalahgunakan NAPZA. Faktor yang memepengaruhi individu

terdiri dari faktor kepribadian dan faktor konstitusi. Adapun alasan

yang berasal dari diri sendiri seperti:

1) Keingintahuan yang besar untuk mencoba,tanpa sadar atau

berpikir panjang mengenai akibatnya.

2) Keinginan untuk bersenang senang

3) Keinginan untuk mengikuti trend dan gaya

4) Keinginan diterima oleh lingkungan dan kelompok

5) Lari dari kebosanan,masalah atau kesusahan hidup

6) Pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-sekali tidak


29

menimbulkan ketagihan

7) Tidak berani atau tidak mampu menghadapi tekanan dari

lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan

NAPZA

8) Tidak dapat berkata tidak pada NAPZA

c) Faktor lingkungan sosial

Faktor lingkungan sosial adalah faktor dimana individu melakukan

interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya, faktor ini

mencakup faktor keluarga dan faktor sosial lainya, misalnya pada

keluarga yang tidak harmonis, lingkungan pergaulan individu, pola

asuh keluarga yang kurang baik, komunikasi antara orang tua dan

anak kurang baik, orang tua yang bercerai ataupun kawin lagi, orang

tua yang terlampau sibuk, orang tua yang acuh dan otoriter,

kurangnya orang yang menjadi teladan dalam hidupnya dan

kurangnya kehidupan beragama.

Menurut Green ada tiga faktor utama yang mempengaruhi remaja

menyalahgunakan NAPZA, Ketiga faktor tersebut adalah faktor

predisposisi, faktor kontribusi, dan faktor pencetus (Notoatmodjo,

2003)

a) Faktor predisposisi

Faktor-faktor ini mencakup semua yang ada pada diri remaja.

Remaja sebagai makhluk yang terdiri dari biologis, psikologis,


30

sosial dan spiritual yang banyak mengalami perubahan

perkembangan baik fisik, sosia, dan mental- emosional-spiritual.

Yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, dan

pekerjaan.

1) Biologis

Pertumbuhan fisik yang sangat pesat pada masa remaja awal

ternyata berdampak pada kondisi psikologis remaja, baik putri

maupun putra yaitu canggung, malu, dan kecewa adalah

perasaan yang umumnya muncul pada saat itu (Latifah,

2008). Hampir semua remaja memperhatikan perubahan pada

tubuh serta penampilannya. Perubahan fisik dan perhatian

remaja berpengaruh pada citra jasmani (body image) dan

kepercayaan dirinya (self-esteem).

Remaja yang mempunyai citra diri negatif dalam mengatasi

kurang percaya dirinya berisiko dengan menyalahgunakan

NAPZA sebagai akibat dari pelariannya. Tahapan remaja

memulai menggunakan NAPZA terdapat lima tahapan yaitu,

1) remaja meminum alkohol, dapat dalam bentuk bir atau

anggur, 2) menghisap rokok, 3) meminum minuman keras, 4)

mengisap ganja, dan 5) mencoba menggunakan NAPZA

lainnya. Dari kelima tahap tersebut tidak lepas dari

karakteristik remaja yang selalu mempunyai keinginan besar

untuk mencoba segala sesuatu yang belum pernah


31

dialaminya.

2) Sosial

Sosial dapat diartikan yaitu berkenaan dengan sifat sosial

(Hartono, 2001), penyalahgunaan NAPZA pada remaja

disebabkan oleh faktor sosial baik internal maupun eksternal.

Faktor internal adalah kepribadian remaja sendiri seperti:

keinginan coba-coba, ingin diterima, ikut trend, cari

kenikmatan sesaat, cari perhatian sensasi, ikut tokoh idola

(Wresniwiro, et. All. 2005).

Rasa solidaritas yang tinggi terhadap teman, menyebabkan

remaja tidak mampu menolak ajakan teman, bahkan rokok

dilambangkan sebagai media persahabatan, dan alkohol

dilambangkan sebuah kejantanan. Sedangkan faktor eksternal

yaitu faktor dari luar individu yaitu hubungan atau interaksi

dengan lingkungannya. Mekanisme perilaku menyimpang

pada remaja dalam kehidupan sehari-hari berada dalam tiga

kutub, yaitu kutub keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Kondisi masing-masing kutub dan interaksinya antara ketiga

kutub itu, akan menghasilkan dampak yang positif maupun

negative pada remaja. Dampak positif misalnya prestasi

sekolahnya baik (Hawari, 2002).

Dampak negative dari interaksi lingkungan yang ikut menjadi


32

penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna

NAPZA antara lain adalah:

a. Lingkungan keluarga, dalam hal ini, Kominikasi orang

tua-anak kurang baik/efektif, hubungan dalam keluarga

kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga, orang tua

terlalu sibuk atau tidak acuh, pola asuh orang tua otoriter

atau serba melarang, orang tua yang serba membolehkan

(permisif), kurangnya orang yang dapat dijadikan model

atau teladan, orang tua kurang peduli dan tidak tahu

dengan masalah NAPZA, tata tertib atau disiplin

keluarga yang selalu berubah (tidak konsisten),

kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah

dalam keluarga, dan orang tua atau anggota keluarga

yang menjadi penyalahguna NAPZA.

b. Lingkungan sekolah, antara lain lingkungan sekolah

yang kurang disiplin, sekolah yang terletak dekat tempat

hiburan dan penjual NAPZA, sekolah yang kurang

memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan

diri secara kreatif dan positif, dan adanya murid

pengguna NAPZA.

c. Lingkungan masyarakat, meliputi: lemahnya penegakan

hukum, situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang

mendukung.
33

Perspektif psikososial tentang penyalahgunaan dan

ketergantungan NAPZA juga dijelaskan berdasarkan

perspektif yang dikemukakan oleh Nevid, dkk (1997).

Perspektif sosiokultural masalah penyalahgunaan dan

ketergantungan NAPZA dihubungkan dengan faktor-faktor

budaya dan agama. Tingkat penyalahgunaan NAPZA sangat

erat kaitannya dengan norma-norma sosial dan budaya yang

mengatur perilaku individu. Kebiasaan minum alkohol

ditentukan oleh dimana dan dengan siapa individu tinggal.

Individu yang tinggal di lingkungan budaya yang permisif

terhadap penggunaan alkohol maka kecenderungan individu

untuk menggunakan alkohol juga tinggi. Dan hampir mirip

dengan teori belajar sosial.

3) Regiliusitas yang rendah

Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu

di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal

(Mangunwijaya, 1986). Anak yang bertumbuh dan berkembang

didalam keluarga yang religiusitasnya rendah, bahkan tidak

pernah mendapatkan pengajajaran dan pengertian mengenai

tuhannya secara benar, maka biasanya memeiliki kecerdasan

spiritual yang rendah. Sehingga tidak ada control untruk

perilakunya, yang meneyebabkan berperilaku sesuka hatinya,


34

tidak mampu memebedakan antara yang baik dan burukdan

tidak takut bebrbuat dosa sangat mudah terjerumus dalam

penyalahgunaan NAPZA (Yanny, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Stinson (2013)

dengan menggunakan pendekatan qualitative dengan judul

agama sebagai pendekatan perawatan pada penyalahgunaan zat

didapatkan bahwa agama mempengaruhi perasaan, agama

memainkan peran penting dalam pemulihan klien, klien dengan

iman kuat kambuh lebih jarang daripada klien tanpa agama,

klien yang terbuka terhadap pandangan spiritual cenderung

mampu mengatasi dan menangani stress. Adapun penelitian

yang dilakukan oleh Rahmadona dan Agustin (2013) tentang

faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan NAPZA

didapatkan bahwa responden yang menyalahgunakan NAPZA

memiliki tingkat religiusitas yang rendah, dibandingkan dengan

responden yang tidak menyalhgunakan narkoba yaitu sebanyak

16,4% dengan OR=175.

4) Usia

Keadaan transisi pada remaja selalu menimbulkan gejolak,

goncangan, dan benturan, yang kadang-kadang berakibat

sangat buruk bahkan fatal (mematikan). Penyalahgunaan

NAPZA pada remaja terbukti sesuai dengan hasil penelitian


35

Hawari (1990) di peroleh data bahwa pada umumnya kasus

penyalahgunaan NAPZA dilakukan pada usia remaja antara

umur 13 tahun sampai dengan 19 tahun. Sedangkan data ini

berasal dari hasil survei nasional yang dilakukan BNN bahwa

penyalahgunaan NAPZA usia 10 sampai dengan 19 tahun

menjadi kelompok pengkonsumsi NAPZA tertinggi di

Indonesia Pada usia 10 tahun dapat diprediksi remaja masih

duduk di kelas 4 SD (Hawari, 2000)

5) Jenis kelamin

Jenis kelamin yaitu sesuatu yang mengkondisikan perbedaan

gender pada remaja. Saat ini penyebaran penyalahgunaan

NAPZA berdasarkan hasil riset BNN bahwa laki-laki

mendominasi pengguna NAPZA dengan angka 12,0% dan

pada perempuan 4,6%.

6) Tingkat pendidikan

Diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok dengan cut off

point wajib belajar 9 tahun sesuai dengan UU No.20 thn 2003

tentang Pendidikan Nasional. Kendal dan Yamaguchi

(Hikmat, 2008) meneliti anak SMU kelas satu dan dua

selama sepuluh tahun, dengan hasil bahwa urutan siswa SMU

mulai menggunakan NAPZA, remaja memulai mencoba

alkohol dan rokok sebesar 70% pada pria dan sebesar 55%

pada wanita. Kemudian mereka menggunakan ganja sebesar


36

67% pada pria dan sebesar 72% pada wanita. Selain itu sekitar

sebesar 20% dari remaja telah mencoba beberapa bentuk

amphetamine, seperti: speed, upper, meth, atau dex, stimulan

ini kebanyakan berbentuk pil. Berdasarkan riset BNN tahun

2017 didapatkan bahwa tingkat pendidikan SD dan SMP

menduduki peringkat pertama penyalahgunaan NAPZA yaitu

sekitar 3,8 dan 4,6%.

7) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi merupakan kedudukan suatu individu

dan keluarga berdasarkan unsure unsure ekonomi (Mayer

dalam Soekanto,2007)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Evie dkk

(2002) yang meneliti tentang faktor faktor yang berhubungan

dengan penyalahguannaan NAPZA pada siswa SMU dikota

bekasi didapatkan bahwa tingkat sosial ekonomi

berhubungan dengan penyalahgunaan NAPZA pada siswa

SMU.

b) Faktor kontribusi

Pada faktor kontribusi remaja menggunakan NAPZA lebih

kepada lingkungan keluarga, meliputi: kondisi keluarga, keutuhan

keluarga, kesibukan orang tua dan kesibukan interpersonal

didalam keluarga itu sendiri. Teori belajar sosial menekankan

pentingnya peran model (role model). Individu yang tinggal


37

dalam keluarga alkoholik mengalami peningkatan resiko

alkoholisme karena ia belajar secara terus menerus dengan

mengamati perilaku orang tuanya atau saudaranya yang juga

alkoholik. Demikian pula individu yang tinggal bersama

kelompok sosial dengan pemimpin yang alkoholik maka tingkat

resiko menjadi alkoholikpun menjadi bertambah karena ia belajar

dari pemimpinannya dan cenderung mengikuti pemimpinnya

untuk juga menggunakan alkohol. Sedangkan penangannya salah

satunya dengan pendekatan model psikososial (Martono &

Joewana, 2006).

c) Faktor pencetus

Faktor pencetus remaja menggunakan NAPZA bisa dipengaruhi

oleh teman sebaya (peer group), dan kemudahan memperoleh

NAPZA itu sendiri. Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan

tekanan kelompok, dengan cara remaja seusianya untuk

mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok. Bila

remaja tidak bisa berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih

popular atau yang berprestasi, dapat menyebabkan frustrasi

sehingga ia mencari kelompok lain yang dapat menerimanya

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oetting dan Beauvais

(1987) dalam Hikmat, 2007) terhadap 415 remaja dari komunitas

Midsize Western, menunjukkan hasil bahwa faktor-faktor sosial


38

yang berpengaruh secara langsung terhadap keterlibatan remaja

dalam penyalahgunaan NAPZA adalah kelompok teman sebaya

yang kecil, dan kelompok teman sebaya yang kohesif yang

membentuk sejumlah perilaku termasuk dalam penyalahgunaan

NAPZA. Sementara faktor- faktor sosialisasi yang secara tidak

langsung berpengaruh terhadap keterlibatan remaja dalam

penyalahgunaan NAPZA adalah identifikasi religiusitas, dan

penyesuaian diri di sekolah.

Penyalahgunaan narkoba yang terjadi dikalangan remaja merupakan

penggunaan yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi

karena remaja ingin menikmati pengaruhnya dalam jumlah berlebih

serta kurang teratur dan berlangsung cukup lama, sehingga

menyebabkan gangguan fisik, mental dan kehidupan sosial (Martono &

Joewana, 2006). Partodiharjo (2010), menjelaskan beberapa faktor

penyebab remaja melakukan penyalahgunaan narkoba, diantaranya yaitu

faktor internal berupa rasa ingin tahu para generasi muda untuk mencoba

hal baru seperti narkoba, ingin dianggap hebat oleh teman sebayanya

dengan memakai narkoba, rasa setia kawan jika sama-sama melakukan

apa yang dilakukan oleh teman sebaya, dan rasa kecewa serta frustasi

akibat masalah yang dihadapi seperti masalah keluarga, teman, dan

sekolah. Selain faktor internal dari individu itu sendiri, penyalahgunaan

narkoba pada remaja juga disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu


39

lingkungan keluarga yang tidak harmonis, komunikasi yang buruk

antara anak dan orang tua dikarenakan orang tua yang sibuk, selalu

mengatur, dan bahkan orang tua juga pengguna narkoba. Selain

lingkungan keluarga, juga ada pengaruh dari seseorang untuk

menyalahgunakan narkoba, seperti pengaruh dari orang yang baru

dikenal atau teman yang berusaha membujuk untuk menggunakan

narkoba. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan remaja tentang

bahaya narkoba sehingga mereka mudah terjerumus oleh rayuan

tersebut.

E. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Dampak penyalahgunaan narkoba adalah efek yang timbul sebagai akibat

dari menggunakan narkoba dan ini akan dirasakan tidak hanya oleh

seorang saja tapi berdampak pula pada kelompok/masyarakat.

a) Dampak langsung pemakaian

Budiyanto (1989) dalam Simangunsong (2015), dampak langsung

dari pemakaian narkoba berdasarkan efek yang ditimbulkan

dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1) Depresan, yaitu menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi

aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan

bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan

dosis bisa menyebabkan kematian. Contoh; opium, morfin, heroin.

2) Stimulan, yaitu merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan


40

kegairahan serta kesadaran. Contoh: ekstasi, sabu, kokain.

3) Halusinogen, efeknya utamanya adalah mengubah daya persepsi atau

mengakibatkan halusinasi. Contoh: ganja dan asam lisergad (LSD).

b) Dampak negatif narkoba secara luas

Martono dan Joewana (2006) menjelaskan bahwa dampak negatif

penyalahgunaan NAPZA, yaitu :

1) Bagi diri sendiri

Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya

fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi

(keracunan), overdosis (OD) yang menyebabkan kematian karena

terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, relaps (kekambuhan),

gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan,

menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi serta hukum.

2) Bagi keluarga

Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan ketidakharmonisan

dalam suatu keluarga, dimana orang tua akan merasa malu karena

memiliki keluarga seorang pecandu, merasa bersalah dan berusaha

menutupi perbuatan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Selain

itu, stres keluarga akan meningkat sehingga menimbulkan perasaan

putus asa yang disebabkan karena pengeluaran yang meningkat

akibat pemakaian narkoba atau melihat anggota keluarga

berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni rumah tahanan

maupun lembaga pemasyarakatan.


41

3) Bagi sekolah atau pendidikan

Narkoba akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi

untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan

dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu

suasana tertib dan aman di sekolah, rusaknya fasilitas sekolah dan

meningkatnya agresivitas siswa.

4) Bagi masyarakat, bangsa dan negara

Penyalahgunaan NAPZA memungkinkan terciptanya hubungan

pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar

gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputus mata

rantainya. Masyarakat yang rawan terkena narkoba seperti remaja

tidak memiliki daya tahan yang kuat untuk mengendalikan diri

menjadi ancamaan bagi pembangunan sumber daya manusia suatu

bangsa.

F. Konsep Religiusitas

1. Definisi religiusitas

Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (inggris),

religie (belanda), religio (latin), dan dien (arab). Agama dalam kehidupan

individu berfungsi sebagai suatu nilai yang memuat norma-norma tertentu,

dan dalam membentuk sistem nilai pada diri individu tersebut adalah

dengan agama (Jalaluddin, 2010)


42

Menurut Drikarya, kata religi berasal dari bahasa latin religio yang akar

katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu

kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang

kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang

atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama

manusia, serta alam sekitar (Dirkarya, 1987).

Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan

oleh Glock dan Stark adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh

keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam

penghayatan agama yang dianut seseorang.(Suroso Dan Ancok, 2005)

2. Dimensi religiusitas

Terdapat lima dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark yaitu, dimensi

keyakinan (religious belief), dimensi peribadatan atau praktek agama

(religious practice), dimensi pengalaman (religious feeling), dimensi

intelektual dan pengetahuan agama (rligious knowledge), dimensi

penerapan (religious effect), (Suroso Dan Ancok, 2005).

1) Ideologis atau keyakinan (Religious belief)

Dimensi ideologis menunjuk pada tingkat keyakinan atau keimanan

seseorang terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap ajaran-

ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Misalnya

seseorang percaya akan adanya malaikat, surga, neraka serta hal-hal

lainnya yang bersifat dogmatik. Keimanan terhadap Tuhan akan


43

mempengaruhi terhadap keseluruhan hidup individu secara batin

maupun fisik yang berupa tingkah laku dan perbuatannya. Individu

memiliki iman dan kemantapan hati yang dapat dirasakannya sehingga

akan menciptakan keseimbangan emosional, sentimen dan akal, serta

selalu memlihara hubungan dengan Tuhan karena akan terwujud

kedamaian dan ketenangan sehingga ketika mendapat tekanan,

individu dapat berpikir logis dan positif dalam memecahkan

permasalahan yang sedang dihadapinya. Dengan indikatornya antara

lain:

a) Percaya kepada Allah

b) basrah pada Allah

c) Percaya kepada Malaikat, Rosul dan Kitab suci.

d) Melakukan sesuatu dengan Ikhlas

e) Percaya akan takdir Tuhan

2) Dimensi Praktik Agama (Religious Practice)

Merupakan dimensi ritualitik atau peribadatan, yakni sejauh mana

seseorang menjalankan kewajiban-kewajiban ritual agamanya.

Misalnya sholat, puasa, zakat dan nilai-nilai terutama bagi umat Islam.

Dengan indikatornya antara lain:

a) Selalu menjalankan sholat lima dengan tertib

b) Membaca Al-quran

c) Melakukan puasa dan sholat sunnah sesuai ajaran rosul.


44

d) Melakukan kegiatan keagamaan seperti mendengarkan

ceramah agama, melakukan dakwah, kegiatan amal,

bersedekah dan berperan dalam kegiatan keagamaan

3) Eksperensial atau pengalaman (Religious Feeling)

Dimensi pengalaman menunjukkan tentang perasaan-perasaan

keagamaan yang dialami oleh individu. Dimensi ini berkaitan dengan

pengalaman yang diperoleh dan dirasakan individu selama

menjalankan ajaran agama yang diyakini. Misal kedekatan dengan

suatu Dzat Yang Maha Esa (Allah), kekuatan dari doa, rasa syukurnya

dan lain-lain yang berkaitan dengan perasaan keagamaannya. Dengan

indikatornya antara lain:

a) Sabar dalam menghadapi cobaan

b) Perasaan selalu bersyukur kepada Allah

c) Menganggap kegagalan yang dialami sebagai musibah yang ada

hikmahnya (tawakkal)

d) Takut ketika melanggar aturan dan merasakan tentang kehadiran

Tuhan.

4) Intelektual dan pengetahuan (Religious Knowledge)

Dimensi ini tingkat pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran

agamanya tentunya dengan pedoman pada kitab suci dan karya

lainnya dari Nabi atau ahli agama yang acuannya kitab suci. Misal

apakah makna dari hari raya idul fitri, romadhon dan hal-hal lainnya.
45

Indikatornya antara lain: Pengetahuan mengenai agama dengan

membaca kitab suci (Alqur’an), mendalami agama dengan membaca

kitab suci, membaca buku-buku agama.

5) Konsekuensi atau penerapan/pengamalan (Religious Effect)

Dimensi konsekuensial/pengamalan, yakni mengungkap tentang

perilaku seseorang yang dimotivasi oleh ajaran agama dalam

kehidupannya sehari-hari. Perilaku ini lebih bersifat hubungan

horizontal yakni hubungan manusia dengan sesama dan lingkungan

sekitarnya. Indikatornya antara lain:

a) Perilaku suka menolong

b) Berlaku jujur dan pemaaf

c) Menjaga amanat

d) bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dan

menjaga kebersihan lingkungan.

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Thouless (1995), membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

keagamaan menjadi empat macam, yaitu:

1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan

keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi

sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri


46

dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan

itu.

2) Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap

keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik

moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya

berupa pengamalan spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi

perilaku individu.

3) Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat,

yaitu: (a) kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, (b) kebutuhan

akan cinta kasih, (c) kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d)

kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

4) Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau

rasionalisasi. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan

bahwa setiap individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya.

Berdasarkan faktor tersebut diatas faktor pengajaran atau pendidikan dan

tekanan dari sosial merupakan faktor pertama yang mempengaruhi

religiusitas seseorang, faktor pengajaran atau pendidikan berupa

pengajaran orang tua termasuk pola asuh orang tua berpengaruh terhadap

religiusitas seorang remaja selain itu faktor sosial mempengaruhi

religiusitas seseorang.
47

G. Konsep Pola Asuh keluarga

1. Definisi Pola Asuh Keluarga

Pola asuh adalah suatu cara atau metode yang dilakukan oleh seseorang

kepada anak didiknya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya,

agar anak tersebut dapat diarahkan sesuai dengan yang diinginkan oleh

pendidik tersebut (Edwards, 2006).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pola asuh orang tua adalah model,

cara atau ragam yang digunakan oleh ayah dan ibu dalam menjaga, merawat

dan mendidik anak-anaknya (Poerwadaramita, 1976). Pola asuh orang tua

dapat pula merupakan interaksi sosial awal yang berguna untuk

mengenalkan anak pada aturan, norma dan tata nilai yang berlaku pada

masyarakat (Hurlock, 1978).

2. Tipe-Tipe Pola Asuh

Santrock (2007) membagi empat tipe pengasuhan orang tua yang

dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dari perkembangan sosio

emosional (socioemotional development) pada anak dan remaja.

Meliputi: (athoritarian parenting, authoritative parenting, neglectful

parenting, and indulgent parenting).

a) Pengasuhan Otoriter (Authoritarian Parenting) Adalah model

pengasuhan orang tua yang cenderung menetapkan standar yang

mutlak harus dituruti, biasanya diiringi dengan ancaman-ancaman.

Dalam pola asuh ini orang tua cendrung memaksa, memerintah,


48

menghukum, apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan

oleh orang tua, maka tidak segan untuk memberikan hukuman

terhadap anak. Orang tua tipe ini tidak mengenal kompromi dan dalam

berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. Unsur kepatuhan dan

ketaatan anak terhadap peraturan orang tua dalam pengasuhan ini

sangat tinggi, ketaatan dan kepatuhan terhadap nilai budaya, nilai

agama, adat istiadat, norma, dan moral yang berlaku didalam

masyarakat dianggap sebagai keberhasilan pendidikan orang tua

terhadap anaknya, tanpa memperhatikan apakah anaknya suka atau

tidak. Pada pengasuhan ini orang tua sering menggunakan kekuatan

fisik, ancaman, yang berupa sanksi (punihsment) untuk mendapatkan

kepatuhan anak terhadap aturan orang tua.

b) Pengasuhan Demokratis (Authoritative Parenting)

Adalah model pengasuhan orang tua yang memprioritaskan

kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu mengendalikan mereka.

Orang tua dengan dengan pengasuhan seperti ini bersikap rasional,

selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran.

Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak,

tidak berharap yang berlebihan yang melapaui kemampuan anak.

Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan terhadap anak untuk

memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada

anak bersifat hangat. Pengasuhan ini memberikan kebebasan pribadi

untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya dengan sempurna bila


49

individu mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta

menyesuaikan diri dengan lingkungan baik keluarga maupun

masyarakat. Keadaan ini memberikan kebebasan pada individu, namun

di tuntut untuk mengatur dan mengendalikan serta menyesuaikan diri

dan keinginannya dengan tuntutan lingkungan. Perlu disadari bahwa

pengawasan atau kontrol yang ketat harus diimbangi dengan stimulus

positif yang kuat agar individu tidak merasa tertekan dan merasa

dihargai sebagai pribadi yang bebas.

c) Pengasuhan Penelantar (Neglectful Parenting)

Adalah model pengasuhan orang tua yang membiarkan atau

menelantarkan anak, orang tua sangat tidak perduli dengan kehidupan

anaknya. Pengasuhan ini mengakibatkan anak kurang cakap secara

sosial, memiliki kontrol diri yang lemah, dan kurang mampu mandiri.

Mereka juga memiliki harga diri yang rendah, tidak matang, suka

membolos, nakal, dan mungkin diasingkan dari lingkungan

masyarakat. Ketidakperdulian orang tua terhadap kehidupan anak, juga

berdampak pada rendahnya kepatuhan anak terhadap nilai-nilai sosial

dan religius.

Pengasuhan ini bila diterapkan kedalam keluarga akan menghasilkan

generasi yang tidak tumbuh kesadaran religiusnya, dan secara

mentalpun mereka tidak sehat. Anak-anak yang dibesarkan dengan

cara seperti ini akan menambah populasi yang buruk, karna mereka
50

cendrung ingin hidup bebas dan melakukan apa yang dia mau tanpa

ada kontrol dari masyarakat, yang selanjutnya tumbuh menjadi

“penyakit masyarakat” pada akhirnya mengakibatkan masalah sosial.

d) Pengasuhan Pemanja (Indulgent Parenting)

Adalah model pengasuhan orang tua yang menerapkan pengasuhan

permisif atau pemanja, yang biasanya memberikan pengawasan yang

sangat longgar kepada anaknya. Memberikan kesempatan kepada

anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa adanya pengawasan yang

cukup dari orang tua. Para orang tua cendrung tidak menegur atau

memperingatkan apabila anaknya sedang dalam kodisi menyimpang,

sementara sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua.

Namun pada orang tua model seperti ini biasanya bersifat hangat,

sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola pengasuhan ini didasari

oleh pemahaman pemikiran psikoanalitis yang memandang bahwa

setiap manusia dilahirkan sudah memiliki kebutuhan dasar pribadi

yang menuntut untuk dipenuhi. Apabila tuntutan kebutuhan dasar dan

keinginan anak tidak terpenuhi maka akan terjadi hambatan, serta

timbul penyimpangan dalam proses pertumbuhan dan

perkembangannya.

3. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh keluarga

Menurut Hurlock (1999) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

pola asuh orang tua, yaitu karakteristik orang tua yang berupa:
51

2) Kepribadian orang tua

Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, intelegensi,

sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi

kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang

tua dan bagaimana tingkat sensifitas orang tua terhadap kebutuhan

anak-anaknya.

3) Keyakinan

Keyakinan yang dimiliki orang tua mengenai pengasuhan akan

mempengaruhi nilai dari pola asuh dan akan mempengaruhi tingkah

lakunya dalam mengasuh anak-anaknya.

4) Persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua

Bila orang tua merasa bahwa orang tua mereka dahulu berhasil

menerapkan pola asuhnya pada anak dengan baik, maka mereka akan

menggunakan teknik serupa dalam mengasuh anak bila mereka

merasa pola asuh yang digunakan orang tua mereka tidak tepat, maka

orang tua akan beralih ke teknik pola asuh yang lain:

a) Penyesuaian dengan cara disetujui kelompok

Orang tua yang baru memiliki anak atau yang lebih muda dan

kurang berpengalaman lebih dipengaruhi oleh apa yang dianggap

anggota kelompok (bisa berupa keluarga besar, masyarakat)

merupakan cara terbaik dalam mendidik anak.


52

b) Usia orang tua

Orang tua yang berusia muda cenderung lebih demokratis dan

permissive bila dibandingkan dengan orang tua yang berusia tua.

c) Pendidikan orang tua

Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan

mengikuti kursus dalam mengasuh anak lebih menggunakan

teknik pengasuhan authoritative dibandingkan dengan orang tua

yang tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam

mengasuh anak.

d) Jenis kelamin

Ibu pada umumnya lebih mengerti anak dan mereka cenderung

kurang otoriter bila dibandingkan dengan bapak.

e) Status sosial ekonomi

Orang tua dari kelas menengah dan rendah cenderung lebih keras,

mamaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari

kelas atas.

f) Konsep mengenai peran orang tua dewasa

Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional cenderung

lebih otoriter dibanding orang tua yang menganut konsep modern.

g) Jenis kelamin anak

Orang tua umumnya lebih keras terhadap anak perempuan

daripada anak laki-laki.


53

h) Usia anak

Usia anak dapat mempengaruhi tugas-tugas pengasuhan dan

harapan orang tua.

i) Temperamen

Pola asuh yang diterapkan orang tua akan sangat mempengaruhi

temperamen seorang anak. Anak yang menarik dan dapat

beradaptasi akan berbeda pengasuhannya dibandingkan dengan

anak yang cerewet dan kaku.

j) Kemampuan anak

Orang tua akan membedakan perlakuan yang akan diberikan

untuk anak yang berbakat dengan anak yang memiliki masalah

dalam perkembangannya.

k) Situasi

Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya tidak

diberi hukuman oleh orang tua. Tetapi sebaliknya, jika anak

menentang dan berperilaku agresif kemungkinan orang tua akan

mengasuh dengan pola outhoritatif.

H. Konsep Teman Sebaya

1. Pengertian Teman Sebaya

Dalam kamus besar bahasa indonesia, teman sebaya diartikan sebagai kawan

, sahabat atau orang yang sama – sama bekerja atau berbuat. Menurut

Santrock, (2007) Teman Sebaya adalah anak-anak dengan tingkat kematangan


54

atau usia yang kurang lebih sama. Dari beberapa pengertian di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa teman sebaya adalah hubungan individu pada anak-

anak atau remaja dengan tingkat usia yang sama serta melibatkan keakraban

yang relatif besar dalam kelompoknya.

2. Fungsi Kelompok Teman Sebaya

Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya

merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Fungsi dari

kelompok teman sebaya (Santrock, 2007) adalah :

a) Menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga.

Anak-anak menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka dari

kelompok teman sebaya. Mereka mengevaluasi apa yang mereka

lakukan, apakah hal tersebut lebih baik, sama baik, atau lebih buruk

dari yang dilakukan teman sebayanya.

b) Memenuhi kebutuhan sosioemosional

Melalui interaksi teman sebaya, anak-anak dan remaja belajar

bagaimana berinteraksi dalam hubungan yang simetris dan timbal

balik. Anak-anak yang menarik diri dan ditolak oleh teman sebaya atau

menjadi korban akan memiliki resiko untuk mengalami depresi. Anak

yang bersikap agresif terhadap teman sebaya, mereka memiliki resiko

mengalami beberapa masalah termasuk kenakalan remaja dan putus

sekolah.
55

3. Pengelompokan teman sebaya

Hurlock (1980) berpendapat bahwa terdapat lima kelompok teman sebaya

dalam:

a) Teman dekat (cliques)

Remaja biasanya memiliki dua atau tiga orang teman dekat, atau

sahabat yang memiliki minat dan kemampuan yang cenderung sama.

Dalam hubungan teman dekat, mereka saling mempengaruhi satu sama

lain dan terkadang timbul konflik dalam hubungan pertemanan

tersebut. Kelompok kecil (Chums)

b) Kelompok kecil biasanya terdiri dari kelompok teman-teman dekat.

Pada mulanya terdiri dari jenis kelamin yang sama, tetapi kemudian

meliputi kedua jenis kelamin atau dengan kata lain heterogen.

c) Kelompok besar (crowds)

Kelompok besar terdiri dari beberapa kelompok teman dekat dan

kelompok teman kecil. Kelompok besar memiliki penyesuaian minat

yang berkurang antar anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak

sosial yang lebih besar diantara mereka.

d) Kelompok yang terorganisasi

Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa, dibentuk oleh

sekolah dan orgnanisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial

pada remaja yang tidak memiliki kelompok besar. Banyak remaja yang

mengikuti kelompok seperti ini merasa diatur dan berkurang minatnya

ketika berusia 16-17 tahun.


56

e) Kelompok Gangs

Remaja yang tidak termasuk kelompok besar dan tidak merasa puas

dengan kelompok yang terorganisasi, mungkin akan menjadi

kelompok geng. Anggota gangs biasanya terdiri dari teman sebayanya

yang memiliki minat yang sama untuk menghadapi penolakan teman-

teman melalui anti sosial

Teman sebaya memiliki peranan penting dalam kehidupan remaja.

Menurut Santrock (2003) konforrmitas (conformity) muncul ketika

individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan

yang nyata

maupun yang dibayangkan oleh mereka. konformitas merupakan

perubahan perilaku atau kepercayaan seseorang sebagai hasil dari tekanan

kelompok yang nyata atau hanya berdasarkan imajinasi (Myers, 2012)

menurut Santrock (2003) konformitas muncul ketika individu meniru

sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata

maupun yang dibayangkan oleh mereka.

Baron & Byrne (2005), mengemukakan konformitas sebagai suatu jenis

pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka

agar sesuai dengan norma yang ada. Sejalan dengan itu Umi K. & M.

Jauhar (2014), mengemukakan konformitas sebagai suatu jenis pengaruh

sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar

sesuai dengan norma sosial yang ada.


57

Sedangkan menurut Rakhmat (2004) konformitas adalah tingkah laku atau

perbuatan yang dilakukan sejumlah orang dalam kelompok mengatakan

atau melakukan sesuatu, adanya kecendurungan para anggota untuk

mengatakan dan melakukan hal yang sama.

a) Aspek-Aspek Konformitas

Peplau dkk (1994) mengemukakan aspek-aspek konformitas adalah

sebagai berikut:

1) Kekompakan

Kekompakan adalah jumlah keseluruhan kekuatan yang

membuat individu tertarik dan tetap ingin menjadi anggota

dalam kelompok. Kekuatan yang dimiliki kelompok

menyebabkan anak tertarik dan tetap ingin menjadi anggota

kelompok. Eratnya hubungan anak dengan kelompok

disebabkan perasaan suka antar anggota kelompok serta harapan

memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Adanya

kekompakan yang tinggi menunjukkan semakin tinggi pula

konformitas dalam kelompok.

a) Penyesuaian Diri

Masa pencarian identitas diri pada remaja akan membuat

remaja ingin merasa dekat dan diakui anggota kelompok,

maka akan semakin menyenangkan dan akan semakin

menyakitkan bila anggota kelompok saling mencela.

Penyesuaian dapat dilakukan dalam bentuk pemikiran,


58

tingkah laku, gaya berpakaian, dll. Penyesuaian diri akan

semakin besar bila individu memiliki keinginan yang kuat

untuk menjadi anggota sebuah anggota kelompok tertentu.

b) Perhatian terhadap Kelompok

Kelompok akan menjauh bahkan mengeluarkan anggota

kelompok yang dianggap sudah tidak kompak.

Kekompakan tersebut akan dilihat dari sikap individu yang

tidak menyimpang dari norma atau aturan kelompok.

Penyimpangan tersebut akan menimbulkan risiko ditolak

kelompok. Hal tersebut yang mengakibatkan adanya

perhatian terhadap kelompok. Semakin tinggi perhatian

seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa

takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil

kemungkinan untuk tidak menyetujui atau melanggar norma

kelompok.

2) Kesepakatan

Pendapat kelompok yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat,

sehingga individu harus setia dan menyesuaikan pendapatnya

dengan pendapat kelompok. Konsep diri individu dalam

kelompok acuan akan menentukan perilaku konformitasnya.

a) Kepercayaan

Kepercayaan merupakan salah satu unsur penting dalam

menjalin hubungan dengan teman sebaya. Apabila individu


59

sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat

individu dan kelompok, maka hal tersebut dapat

mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok.

b) Persamaan Pendapat

Persamaan pendapat anggota kelompok akan meningkatkan

konformitas. Apabila dalam suatu kelompok terdapat satu

orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok lain

maka konformitas akan turun.

3) Penyimpangan Terhadap Pendapat Kelompok

Apabila seseorang mempunyai pendapat yang berbeda dengan

anggota lain dia akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang

yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun

dalam pandangan orang lain. Bila orang lain juga mempunyai

pendapat yang berbeda, dia tidak akan dianggap menyimpang

dan tidak akan dikucilkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa orang

yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan

merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas.

4) Ketaatan

Ketaatan merupakan bentuk pengaruh sosial yang terjadi ketika

satu orang memerintahkan satu atau lebih orang untuk

melakukan suatu tindakan.Tekanan atau tuntutan kelompok pada

individu membuatnya rela melakukannya. Bila ketaatannya

tinggi maka konformitasnya juga akan tinggi.


60

I. Penerapan konsep model keperawatan Transcultural Care Nursing

Madeleine leinenger

Model konsep ini beroreantasi pada sistem pelayanan kesehatan dengan

berbasis budaya pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Target

utama adalah pelembagaan yang permanen untuk penanganan remaja

dengan masalah NAPZA. Teori ini mengatakan pelayanan keperawatan

kepada klien, perlu memperhatikan nilai-nilai budaya dan konteks sehat

sakit. Menurut Leninger, setiap orang dari masing-masing budaya

mengetahui dan dapat mendefinisikan cara-cara sesuai pengalaman dan

presepsi mereka terhadap dunia keperawatan dan dapat menghubungkan

pengalaman dan persepsi mereka terhadap keyakinan sehat secara umum

dan praktiknya. Maka teori ini dikemabngkan dari konteks budaya. Konteks

kultur atau budaya yang di maksud adalah pembelajaran, pertukaran dan

tranmisi nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma dan praktik hidup

dari suatu kelompok khusus yang menjadi petunjuk berpikir, mengambil

keputusan, dan tindakan-tindakan dalam pola-pola tertentu.

teori yang diungkapkan leninger mempunyai 4 level pandangan, level

pertama lebih abstrak, bagaimana pandangan dunia dan level sistem sosial,

megenai dunia di luar budaya, suatu supra sistem, dalam sistem umum.

Level kedua, menyediakan pengetahuan tentang individu, keluarga,

kelompok, dan institusi pada sistem pelayanan kesehatan. Pda level ini

unsur budaya mulai tampak jelas, khususnya budaya tertentu, ekspresi dan
61

hubunganya dengan pelayanan kesehatan yang sudah ada. Levet tiga, fokus

pada sistem adat istiadat, tradisi yang ada di masyrakat, pelayanan

profesional, medis dan keperawatan. Informasi pada level ini menunjukkan

karaktersitiktiap sistem termasuk kehususan masing-masing kesamaan dan

perbedaan pelayanan berdasarkan budaya profesi yang bervariasi dan

pelayanan universal. Level empat, ada pengambilan keputusan keperawatan

dan tindakan-tindakan, melibatkan kultur penyediaan atau mempertahankan

pelayanan, kultur pelayanan, kultur pelayananakomodasi atau negosiasi dan

kultur pelayanan di pola kembali atau restrukturisasi.

Model konsep yang dikembangkan dari sunrise model menurut Leninger,

(2017) teori ini menggambarkan dimensi-dimensi dari dimensi teori Cultre

Care, dengan karakteristik keanekaragaman dan kesemestaan/keseluruhan.

Dimensi struktur sosial budaya dalam suatu masyarakat, saling

mempengaruhi sehingga terbentuk pola dan praktik hidup dimasyrakat.

Pelayanan kesehatan yang ada melayani kebutuhan masyarakat akan

dikembangkan sesuai dengan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh

karena itu selain mengukur model sunrise dari leninger yang ada dlam

masyarakat, akan diukur pula pelayanan kesehatan yang ada dalam

masyarakat tersebut.

Pelayanan kesehatan yang diukur menggunakan teori yang public helath

model dari caplan. Model ini menyebutkan tentang tiga model pencegahan

dalam pelayanan kesehatan masyrakat. Caplan berasumsi bahwa masalah


62

kesehatan jiwa dimasyrakat dapat dicegah dengan pencegahan tingkat

primer, skunder dan tersier, tiga model ini mempunyai tujuan yang berbeda-

beda. Pencegahan primer bertujuan untuk mengintervensi potensial masalah

kesehatan melalui promosi kesehatan dan perlindungan khusus.pencegahan

skunder bertujuan untuk mengintervensi masalah kesehatan actual melalui

diagnosis dini dan terapi tepat waktu. Pencegahan tersier bertujuan

mengintervensi keterbatasan dan ketidak mampuan akibat penyakit kronis

dan rehabilitasi, melalui rehabilitasi keterbatasan dan mencegah komplikasi

terhadap penyalahgunaan NAPZA akan diukur pencegahan primer sebagai

upaya untuk menyelidiki variable apa saja yang berhubungan dan

berpengaruh pada remaja sehingga remaja terlibat dalam penyalahgunaan

NAPZA yaitu melalui upaya promosi kesehatan, pencegahan (preventif),

kuratif, dan rehabilitative.


63

Model Skema 2.1. Medline Lieninger


Sumber: Tomey and Alligood (2017)
64

J. Kerangka Teori

Faktor penyebab penyalahgunaan narkoba 1) Faktor Predisposisi (Green, 1980) Faktor Penyebab Remaja Menyalahgunakan
pada remaja (Yani, 2001) a) Sosial(Lingkungan keluarga, Faktor
NAPZA Penyebab
(Sumiati, 2009) Remaja Menyalahgunakan
1) Faktor individu Lingkungan sekolah, Lingkungan NAPZA
1. Zat(Sumiati, 2009)
a) Adanya gangguan kepribadian masyarakat) 1) 2. ZatIndividu
b) Usia b) Usia 2) 3. Individu
Lingkungan sosial
c) Keyakinan yang keliru c) Agama/keyakinan 3) Lingkungan
a) keluargasosial
yang tidak harmonis
d) Religiusitas yang rendah d) Jenis kelamin a)b) keluarga yang pergaulan
Lingkungan tidak harmonis
individu
2) Lingkungan e) Tingkat pendidikan b)c) Lingkungan
Pola asuhpergaulan
keluargaindividu
yang kurang
a) Keluarga f) Staus sosial ekonomi c) Pola asuh
baik, keluarga
termasuk yangtua
orang kurang
yang baik,
acuh
b) Sekolah termasuk orang tua yang acuh dan
dan otoriter.
2) Faktor pendukung
c) Teman sebaya a) Ketersediaan narkoba di lingkungan d) otoriter.
Kurangnya kehidupan beragama.
d) Keadaan masyarakat. d) Kurangnya kehidupan beragama.
3) Faktor Pendorong
a) Teman sebaya (peer group)

Status Penyalahgunaan NAPZA


pada remaja (Sumiati, 2009)
Dimensi Transcultural care leininger dalam
Alligood & Tomey 2017)
1) Faktor demografi (usia, jenis kelamin)
2) Faktor pendidikan (tingkat pendidikan)
3) Faktor sosial (lingkungan keluarga,dan Pelayanan pencegahan pada individu,
masyarakat atau teman sebaya) keluarga, kelompok, sekolah dan
4) Faktor ekonomi komunitas
(penghasilan/pendapatan orang tua) 1) Tingkat primer
5) Faktor religiusitas(agama) 2) Tingkat skunder
3) Tingkat tersier

Skema 2.2 Kerangka Teori (Alligood & Tomey 2017, Green, 1980 , Hawari 2006, Yani 2001, Sumiati 2009)

Anda mungkin juga menyukai