Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH MANAJEMEN BISNIS ISLAMI

BISNIS ISLAM SEBAGAI PEKERJAAN MULIA

Dosen Pengampu : Endang Syarif, S.HI.,MM

Disusun :

Dadan Permana (1710013)

Wita Rahmatunnisa (1710014)

Ipan Feriyana (1710017)

Suryani Yuningsih (1710040)

Nisa Khoerul Umah (1710042)

Kusdini Agustian (1710058)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI LATIFAH MUBAROKIYAH


SURYALAYA
Desa Tanjungkerta Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya
Telepon (0265) 453208 Website: www.stielm-suryalaya.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen Bisnis Islami semester empat.

Tak lupa juga shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
junjungan kita, sang revolusioner ternama yaitu Nabi Muhammad SAW, yang
telah gagah berani melawan kemunafikan di muka bumi. Juga menuntun umat
manusia kepada jalan yang benar yang diridhai Allah SWT. Dan kepada para
sahabat, keluarga, serta umatnya hingga akhir zaman.

Dalam proses penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang


penyusun hadapi. Namun terlepas dari itu semua keberhasilan penulis
menyelesaikan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan
berbagai pihak yang terlibat, sehingga hambatan dalam proses penyelesaian
makalah ini dapat penyusun hadapi. Berdasarkan hal diatas penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu.

Penyusun sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar terpacu menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.
Penyusun juga mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penyusun khususnya serta para pembaca, lebih khususnya lagi dapat bermanfaat
bagi kegiatan perkuliahan di STIE Latifah Mubarokiyah Suryalaya.

Tasikmalaya, Februari 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1. Latar Belakang..............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................1

1.3. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Dagang............................................................................................................3

2.2 Fastabiqul Khairat........................................................................................13

2.3 Perdagangan dalam Syariah.........................................................................15

2.4 Berdagang di Mesjid....................................................................................27

2.5 Perilaku Terpuji dalam Perdagangan...........................................................30

2.6 Nabi Sueb Sebagai Nabi Ekonomi Penegak Kejujuran................................31

BAB III PENUTUP...............................................................................................39

3.1 Kesimpulan...................................................................................................39

3.2 Saran.............................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................42
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam ekonomi modern manusia sering mengabaikan aspek aspek syariah dalam
berbisnis dimana manusia di era globalisasi lebih mengedepankan system
ekonomi yang cenderung ke arah riba karna banyak sekali ke untungan yang di
tawarkanya seperti bunga yang besar dalam deposito dan ini jauh dari namanya
hukum ekonomi syariah melenceng dari ajaran dagang islam dimana memakan
uang riba haram hukumnya. Belakangan ini bisnis berbasis islam banyak diminati
dan digeluti oleh masyarakat luas. Khusunya di indonesia, tidak hanya kaum
muslim saja namun kaum nonmuslim pun banyak yang berminat dlam bisnis yang
berbasis syariah ini. Karena dinilai menguntungkan karena banyaknya kaum
muslimin.

Beberapa orang terkaya yang kita sering dengar seperti Bill Gates, Warren
Buffet, Carlos Slim, dan lain sebagainya datang dari kalangan pebisnis. Begitu
juga di Indonesia, kekayaan dikuasai oleh para pebisnis seperti Abu Rizal Bakry,
Antoni Salim, Chairul Tandjung, dan lain-lain. Sesuai dengan hadits Nabi SAW,
fakta ini menunjukkan bahwa berbisnis merupakan pintu utama rezeki. Selain itu,
merujuk pada sejarah, profesi bisnis adalah profesi yang mulia, sebagian besar
Nabi Allah merupakan pebisnis, termasuk Nabi Muhammad SAW.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu dagang?
2.      Apa itu fastabiqul khairat ?
3.      Bagaimana perdagangan dalam syariah?
4.      Bagaimana hukum berdagang di masjid?
5.      Seperti apa perilaku terpuji dalam perdagangan?
6. Kenapa Nabi Sueb dijuluki sebagai Nabi ekonomi penegak kejujuran ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
pebisnis syariah yang merupakan profesi mulia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dagang
2.1.1. Pengertian Dagang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dagang merupakan pekerjaan


yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh
keuntungan.
Berdagang adalah salah satu jenis usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Perdagangan yang dilakukan adalah kegiatan tukar
menukar barang atau jasa antara penjual dan pembeli. Usaha perdagangan dalam
ekonomi Islam merupakan usaha yang mendapatkan penekanan khusus, karena
keterkaitannya secara langsung dengan sektor riil. Penekanan khusus kepada
sektor perdagangan tersebut tercermin pada sebuah hadis Nabi yang menegaskan
bahwa dari sepuluh pintu rezeki, sembilan diantaranya adalah berdagang.
Hadist lain juga menegaskan sebaik-baik usaha adalah berdagang.Dari Mu’az bin
Jabal, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah
usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji
tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk,
jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak
melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit”
(H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani).
Ajaran Islam menempatkan kegiatan usaha perdagangan sebagai salah satu bidang
penghidupan yang sangat dianjurkan, tetapi tetap dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh agama. Dengan demikian, usaha perdagangan akan mempunyai
nilai ibadah, apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan diletakkan ke
dalam kerangka ketaan kepada Sang Pencipta.

2.1.2 Pengertian Dagang Menurut Para Ahli

Dan berikut adalah beberapa definisi dari perdagangan menurut para ahli :
 Marwati Djoened : Perdagangan ialah suatu kegiatan ekonomi yang
menghubungkan produsen dan konsumen. Dan sebagai sebuah kegiatan distribusi,
maka perdagangan menjamin terhadap penyebaran, peredaran dan juga
penyediaan barang dengan melalui mekanisme pasar yang ada.
 Bambang Utoyo : Perdagangan adalah suatu proses tukar menukar baik barang
maupun jasa dari sebuah wilayah ke wilayah lainnya. Kegiatan perdagangan ini
terjadi dikarenakan adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki dan perbedaan
kebutuhan.
 Agus Trimarwanto, Bambang Prishardoyo & Shodiqin : Menurut ketiga orang ini
perdagangan ialah salah satu jenis kegiatan perusahaan dikarenakan menggunakan
sumber daya/faktor-faktor produksi dalam rangka untuk meningkatkan atau
menyediakan pelayanan umum.

2.1.3 Keutamaan Berdagang Dalam Islam


Berdagang adalah profesi yang mulia dalam Islam. Buktinya Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri adalah pedagang dan beliau memuji serta
mendoakan para pedagang yang jujur.

 Rasulullah adalah pedagang


Ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan
membawa modal dari Khadijah radhiallahu’anha yang ketika itu belum menjadi
istri beliau. Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid ketika itu adalah
pengusaha wanita yang memiliki banyak harta dan juga kedudukan terhormat. Ia
mempekerjakan orang-orang untuk menjalankan usahanya dengan sistem
mudharabah (bagi hasil) sehingga para pekerjanya pun mendapat keuntungan.
Ketika itu pula, kaum Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang. Tatkala Khadijah
mendengar tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (yang ketika itu belum
diutus menjadi Rasul, pent.) mengenai kejujuran lisannya, sifat amanahnya dan
kemuliaan akhlaknya, maka ia pun mengutus orang untuk menemui Rasulullah.
Khadijah menawarkan beliau untuk menjual barang-barangnya ke negeri Syam,
didampingi seorang pemuda budaknya Khadijah yang bernama Maisarah.
Khadijah pun memberi imbalan istimewa kepada beliau yang tidak diberikan
kepada para pedagangnya yang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun
menerima tawaran itu dan lalu berangkat dengan barang dagangan Khadijah
bersama budaknya yaitu Maisarah sampai ke negeri Syam” (Sirah Ibnu Hisyam,
187 – 188, dinukil dari Ar Rahiqul Makhtum, 1/51)
 Para sahabat Nabi adalah pedagang
Mungkin kita semua ingat kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu’anhu,
bagaimana kehebatan beliau dalam berdagang,

ِ N‫ع ِد ب ِن الرَّبي‬NN‫هُ وبينَ س‬Nَ‫لَّم بين‬N‫ه وس‬NN‫لَّى هللاُ علي‬N‫ فآخَى النبي ص‬،َ‫َوف المدينَة‬
ِّ‫اري‬NN‫ع األ ْنص‬N ٍ ‫ق ِد َم عب ُد الرح َم ِن بنُ ع‬
،‫وق‬ ُّ ‫ك دُلَّني علَى‬
ِ N‫الس‬ َ N‫ك ومال‬ َ Nِ‫ك في أهل‬NN‫ا َركَ هَّللا ُ ل‬NN‫رح َم ِن ب‬NN‫ ُد ال‬N‫ عب‬:‫ال‬NN‫ فق‬،ُ‫صفَهُ أهلَهُ ومالَه‬ ْ ‫ض علي ِه‬
ِ ‫أن يُنا‬ َ ‫فع َر‬
‫فربِ َح َشيئًا من أَقِ ٍط و َس ْم ٍن‬
َ

“Abdurraman bin Auf ketika datang di Madinah, Nabi Shallallahu’alaihi


Wasallam mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ Al Anshari. Lalu
Sa’ad menawarkan kepada Abdurrahmah wanita untuk dinikahi dan juga harta.
Namun Abdurrahman berkata: ‘semoga Allah memberkahi keluargamu dan
hartamu, tapi cukup tunjukkan kepadaku dimana letak pasar’. Lalu di sana ia
mendapatkan untung berupa aqith dan minyak samin” (HR Al Bukhari 3937)
Dan juga para sahabat Nabi yang lain, banyak yang merupakan pedagang. Abu
Bakar radhiallahu’anhu adalah pedagang pakaian. Umar radhiallahu’anhu pernah
berdagang gandum dan bahan makanan pokok. ‘Abbas bin Abdil Muthallib
radhiallahu’anhu adalah pedagang. Abu Sufyan radhiallahu’anhu berjualan udm
(camilan yang dimakan bersama roti). (Dikutip dari Al Bayan Fi Madzhab Asy
Syafi’i, 5/10)
 Hadits-hadits motivator pedagang
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam seringkali memuji dan memotivasi para
pedagang. Diantaranya beliau bersabda:

‫التاجر الصدوق األمين مع النبيين والصديقين والشهداء‬


“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para Nabi,
orang-orang shiddiq dan para syuhada” (HR. Tirmidzi no.1209, ia berkata:
“Hadits hasan, aku tidak mengetahui selain lafadz ini”)

 ‫ُور‬ ْ َ‫ب أ‬
ٍ ‫ « َع َم ُل ال َّر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبر‬:‫طيَبُ ؟ قَا َل‬ ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا ِ أَيُّ ْال َك ْس‬:‫ قِي َل‬:‫يج قَا َل‬
ٍ ‫»ع َْن َرافِ ِع ْب ِن خَ ِد‬

Dari Rafi’ bin Khadij ia berkata, ada yang bertanya kepada Nabi: ‘Wahai
Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?’. Rasulullah menjawab: “Pekerjaan
yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan juga setiap perdagangan yang
mabrur (baik)” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 5/263, dishahihkan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah 607)

Demikian juga para ulama salaf, banyak diantara mereka yang merupakan para
pengusaha dan pedagang. Dengan demikian mereka hidup mulia dan tidak
bergantung pada belas kasihan orang. Pernah suatu ketika Sufyan Ats Tsauri
sedang sibuk mengurus hartanya. Lalu datanglah seorang penuntut ilmu
menanyakan sebuah permasalahan kepadanya, padahal beliau sedang sibuk
berjual-beli. Orang tadi pun lalu memaparkan pertanyaannya. Sufyan Ats Tsauri
lalu berkata: ‘Wahai anda, tolong diam, karena konsentrasiku sedang tertuju pada
dirhamku, dan ia bisa saja hilang (rugi)’. Beliau pun biasa mengatakan,

‫لو هذه الضيعة لتمندل لي الملوك‬

“Jika dirham-dirham ini hilang, sungguh para raja akan memanjakan diriku”
Ayyub As Sikhtiani rahimahullah juga berkata:

‫الزم سوقك فإنك ال تزال كريما ً مالم تحتج إلى أحد‬


“Konsistenlah pada usaha dagangmu, karena engkau akan tetap mulia selama
tidak bergantung pada orang lain”

 Jangan jadi pedagang durjana


Walau banyak sekali keutamaan menjadi pedagang, namun Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga mewanti-wanti dengan keras para pedagang.
Beliau bersabda:

 ‫َّار هُ ُم ْالفُجَّا ُر‬


َ ‫إِ َّن التُّج‬
“Para pedagang adalah tukang maksiat”
mendengar ini, para sahabat kaget dan bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah
Allah telah menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab,
 َ‫ُون َويَحْ لِفُونَ فَيَأْثَ ُمون‬
Nَ ‫بَلَى َولَ ِكنَّهُ ْم ي َُح ِّدثُونَ فَيَ ْك ِذب‬
“Ya, namun mereka sering berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah
namun sumpahnya palsu”. (HR. Ahmad 3/428, dishahihkan Al Albani dalam
Silsilah Ahadits Shahihah, 1/707)

Yang beliau maksud adalah para pedagang yang durjana, yang bermaksiat dalam
usaha dagangnya. Dalam Al Mu’tashar (1/334), Imam Jamaludin Al Malathi Al
Hanafi (wafat 803 H) berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebut
pedagang sebagai tukang maksiat secara mutlak karena demikianlah yang paling
banyak terjadi, bukan berarti secara umum mereka demikian. Orang arab biasa
memutlakan penyebutan pujian atau celaan kepada sekelompok orang, namun
yang dimaksud adalah sebagian saja”.

2.1.4 Perdagangan Menurut Ulama Fiqih


A. Madzhab Hanafiyah
Perdagangan adalah : "Menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu,
atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain melalui
tatacara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-Bai', seperti melalui ijab dan
Ta'athi (saling menyerahkan)."
B. Imam Nawawi
Menyampaikan definisi perdaganan sebagai berikut : "Mempertukarkan harta
dengan harta untuk tujuan pemilikan"
C. Ibn Qodamah
"Mempertukarkan harta dengan harta untuk tujuan pemilikan dan menyerahkan
milik"
D. Menurut al-Qurthubi
at-Tijarah merupakan sebutan untuk kegiatan tukar menukar barang didalamnya
mencakup bentuk jual beli yang di bolehkan dan memiliki tujuan.
Di jelaskan dalam surat An-nisa (29) tersebut dapat dipahami bahwa perdagangan
merupakan salah satu profesi yang telah dihalalkan oleh Allah dengan syarat
semua aktivitas yang dilakukan harus beiandaskan kepada suka sama suka dan
bebas dari unsur riba.
Agama Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual
beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara
Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur
bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar
mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.

2.1.5 Hukum Dagang Dalam Islam


Salah satu kebutuhan dasar setiap orang ialah ialah makan dan minum atau segala
sesuatu untuk kehidupan dan kelangsungan hidup, setiap orang wajib berusaha
sendiri semampunya untuk mencukupi segala kebutuhannya yakni dengan bekerja
di bidang apa saja yang halal dengan niat untuk mendaat rezeki yang berkah di
jalan Allah agar tercapai seperti cara berdagang Rasulullah agar sukses dan
berkah.
Salah satu jalan rezeki yang terbaik dan paling luas ialah berdagang, namun dalam
islam, dagang ada begitu banyak dan diatur dalam huku islam, yakni bergama
jenis dagang yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam islam, pada
kesempatan kali ini, penulis mengulas lengkap mengenai hal tersebut, berikut
selengkapnya mengenai Hukum Dagang dalam Islam.
 Dagang Sesuai Syariat Islam Dianjurkan oleh Allah
Tentang dagang di dalam Alquran dengan jelas disebutkan bahwa dagang atau
perniagaan merupakan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk menghindarkan
manusia dari jalan yang bathil atau curang seperti hukum mengurangi timbangan
dalam islam dalam pertukaran sesuatu yang menjadi milik di antara sesama
manusia. Seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa’ 29. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu.
 Jika Tiba Waktu Ibadah (Shalat), Dagang Harus Ditinggalkan
Dalam melakukan perniagaan, Allah juga telah mengatur adab yang perlu dipatuhi
dalam dagang, di mana apabila telah datang waktunya untuk beribadah, aktivitas
perdangan perlu ditingalkan untuk beribadah kepada Allah seperti larangan dalam
hukum tidak shalat jumat karena bekerja, surat Al-Jum’ah 11. Dan apabila mereka
melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan
mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di
sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik
pemberi rezki.
 Dagang Harus Dengan Niat Ibadah Agar Jauh dari Lalai
Dan dalam ayat lain seperti di surat An-Nur 37, dijelaskan bagaimana orang
tidak lalai dalam mengingat Allah hanya karena perniagaan dan jual beli atau
hukum perjanjian jual beli dalam islam. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
 Dagang Harus Dilakukan Sesuai Aturan Islam
Demikain pula tata tertib dalam dagang juga telah digariskan di dalam Alquran,
baik itu dagang yang bersifat tidak tunai dengan tata aturannya, maupun cara
berdagang tunai atau adab bekerja dalam islam, seperti yang tercantum dalam
surat Al-Baqarah 282 berikut : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki,
Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu dagang tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
 Mengambil Keuntungan yang Wajar
Adab tentang perniagaan dengan jelas pula diatur, bahwa manusia tidak boleh
berlebihan dalam melakukan dagang sehingga melupakan kewajibannya terhadap
Allah, seperti dijelaskan dalam Surat At-Taubah 24 berikut : Katakanlah: “Jika
bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan Keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.
 Dagang Harus Jujur dan Adil
Dalam melakukan transaksi dagang Allah memerintahkan agar manusia
melakukan dengan jujur dan Adil. Tata tertib perniagaan ini dijelaskan Allah
seperti tercantum dalam Surat Hud 84-85. Demikian pula dalam Surat Al-An’am
152, yang mengatur tentang takaran dan timbangan dalam perniagaan. Dan
kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. ia berkata:
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya Aku melihat kamu
dalam keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadapmu
akan azab hari yang membinasakan (kiamat).”
 Larangan Menipu dalam Perdagangan
Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
 Larangan Mengubah atau Mengurangi Timbangan Ketika Berdagang
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
 Pembeli Boleh Memeriksa Barang Dagangan dengan Teliti
Dan dalam dagang dilarang sistem jual beli Mulamasah (wajib membeli jika
pembeli telah menyentuh barang dagangan) dan munabazah (sistem barter antara
dua orang dengan melemparkan barang dagangan masing-masing tanpa
memeriksanya). Hal ini tepapar dalam hadist Riwayat Abu Hurairah. Hadis
riwayat Abu Hurairah ra.: Bahawa Rasulullah saw, melarang sistem jual beli
mulamasah (wajib membeli jika pembeli telah menyentuh barang dagangan) dan
munabadzah (sistem barter antara dua orang dengan melemparkan barang
dagangan masing-masing tanpa memeriksanya) (HR. Bukhari dan Muslim).
 Dilarang Dagang Barang Haram (Alkohol, Babi, dsb)
Dalam perdangan Islam, dilarang apabila yang diperdagangkan secara zatnya
adalah Haram, seperti Khamar. Hal ini diriwayatkan oleh Aisyah ra. Hadis
riwayat Aisyah ra., ia berkata: ketika turun beberapa ayat terakhir surat Al-
Baqarah, Rasulullah saw. Keluar lalu membacakannya kepada orang-orang,
kemudian beliau mengharamkan dagang khamar. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis riwayat Barra’ bin Azib ra. : Dari Abul Minhal ia berkata: Seorang kawan
berserikatku menjual perak dengan cara kredit sampai musim haji lalu ia datang
menemuiku dan memberitahukan hal itu. Aku berkata: Itu adalah perkara yang
tidak baik. Ia berkata: Tetapi aku telah menjualnya di pasar dan tidak ada seorang
pun yang mengingkarinya. Maka aku (Abu Minhal) mendatangi Barra’ bin Azib
dan menanyakan hal itu. Ia berkata: Nabi saw. Tiba di Madinah sementara kami
biasa melakukan jual beli seperti itu, lalu beliau bersabda: Selama dengan
serah-terima secara langsung, maka tidak apa-apa. Adapun yang dengan cara
kredit maka termasuk riba. Temuilah Zaid bin Arqam, karena ia memiliki barang
dagangan yang lebi banyak dariku. Aku lalu menemuinya dan menanyakan hal
itu. Ia menjawab seperti jawaban Barra’. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis
riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
Sumpah itu penyebab lakunya barang dagangan, tetapi menghapus keberkahan
laba. (HR. Bukhari dan Muslim). ”Seorang laki-laki menyampaikan kepada
Rasullah saw bahwa dia selalu ditipu dalam dagang. Rasulullah saw
mengatakan padanya, ’Bila engkau masuk dalam transaksi engkau seharusnya
mengatakan: Ini harus tidak ada penipuan.” (HR. Imam Nawawi).

2.1.6 Berdagang Menurut Rasulullah SAW


Berdagang merupakan salah satu bentuk bisnis yang sudah banyak ditekuni
banyak orang. Yang menarik dari usaha berdagang ini adalah karena modal yang
tidak terikat, artinya berapapun modalnya kita bisa mulai bisnis berdagang ini dan
tentu disesuaikan dengan beberapa aspek seperti apa yang ingin kita terapkan,
jenis barang dagangannya apa, bagaimana pemasarannya dan lain sebagainya.
Pada umumnya seseorang malas untuk berdagang karena tidak mau atau takut
mengambil resiko, seperti tidak laku, tidak balik modal, dan lain-lain. Tapi
tahukan kalian berdagang bagi umat islam memiliki berbagai keutamaan, lalu
bagaimana berdagang menurut Rasulullah?
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
‫وا و إذا‬NN‫دوا لم يخلف‬NN‫وا و إذا وع‬NN‫وا لم يخون‬NN‫إن أطيب الكسب كسب التجار الذي إذا حدثوا لم يكذبوا و إذا ائتمن‬
‫)اشتروا لم يذموا و إذا باعوا لم يطروا و إذا كان عليهم لم يمطلوا و إذا كان لهم لم يعسروا‬.

“Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang


mana apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat,
apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila
menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak
menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat
orang yang sedang kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Syu’abul
Iman, Bab Hifzhu Al-Lisan IV/221).

2.2 Fastabiqul Khairat

Fastabiqul khairat adalah sebuah ajakan yang artinya `berlomba-lombalah


berbuat kebajikan` sebuah pesan singkat akan tetapi Masya Allah maknanya.
Kalimat Fastabiqul Khairat bs kamu temukan di dlm QS. Al Baqaroh: 148 n Al
Maa`idah: 48 Kebaikan yang dimaksud pasti kebaikan yang sesuai dengan
perintah Alloh,banyak contoh dari berfastabiqul khairat, menolong sesama, guru
bisa menjadi teladan yang baik bagi siswanya, penjual bisa berdagang dengan
jujur, pemerintah bisa jujur adil dan bijaksana dan banyak lagi.

 Tafsir al Qurtuby (6/153)

‫ل من‬NN‫ات أفض‬NN‫ديم الواجب‬NN‫دل على أن تق‬NN‫ذا ي‬NN‫ات ; وه‬NN‫ سارعوا إلى الطاع‬: ‫ فاستبقوا الخيرات أي‬: ‫قوله تعالى‬
‫رى أن‬N‫ة ي‬N‫ا حنيف‬N‫إن أب‬N‫وقت ; ف‬N‫الة في أول ال‬N‫ا إال في الص‬N‫ادات كله‬N‫ه في العب‬N‫ك ال اختالف في‬N‫ وذل‬، ‫تأخيرها‬
، ‫ر‬NN‫ وفيه دليل على أن الصوم في السفر أولى من الفط‬، ‫ وعموم اآلية دليل عليه ; قاله إلكيا‬، ‫األولى تأخيرها‬
‫ ” وقد تقدم جميع هذا في ” البقرة‬.
Firman Allah ” Maka berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebaikan ”
maksudnya bersegeralah kalian pada keta’atan. Ayat ini menunjukkan bahwa
mendahulukan kewajiban lebih utama daripada mengaakhirkannya, hal ini tdk ada
perbedaan ulama’ dalam hal ibadah semuanya kecuali dalam masalah sholat di
awwal waktu.karena sesungguhnya imam abu hanifah berpendapat bahwa yang
lebih utama adalah mengakhirkan sholat. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa
puasa saat berpergian lebih utama daripada tidak berpuasa, keterangan semuanya
telah ada sebelumnya dalam surat al baqoroh.
 Tafsir Ibnu Katsir (3/130)

‫ة هللا‬NN‫يرات ) وهي طاع‬NN‫ ( فاستبقوا الخ‬: ‫ فقال‬، ‫ثم إنه تعالى ندبهم إلى المسارعة إلى الخيرات والمبادرة إليها‬
‫ والتصديق بكتابه القرآن الذي هو آخر كتاب أنزله‬، ‫ الذي جعله ناسخا لما قبله‬، ‫ واتباع شرعه‬.
Kemudian Allah memberikan anjuran kepada mereka agar bergegas kepada
kebaikan dan bersegera kepada kebaikan, maka Allah berfirman : ” Maka
berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebaikan “ yaitu ta’at kepada Allah dan
mengikuti syare’atnya yang Allah jadikan sebagai penghapus atas syare’at
sebelumnya,dan membenarkan kitab-Nya yaitu al Qur’an yang menjadi akhir
kitab yang diturunkan-Nya. Bersegeralah/berlomba2lah dalam amal shaleh dan
ibadah/mendekatkan diri pada ALLOH :
، ‫رب إلى ربكم‬NN‫ والق‬، ‫ال‬NN‫الحات من األعم‬NN‫ إلى الص‬، ‫اس‬NN‫ا الن‬NN‫ فبادروا أيه‬: ‫ يقول تعالى ذكره‬: ‫قال أبو جعفر‬
‫بين‬NN‫ ليت‬، ‫ا لكم وابتالء‬NN‫ فإنه إنما أنزله امتحان‬، ‫ ] نبيكم‬391 :‫بإدمان العمل بما في كتابكم الذي أنزله إلى [ ص‬
‫يركم‬NN‫ه مص‬NN‫إن إلي‬NN‫ ف‬، ‫ه‬NN‫يركم إلي‬NN‫د مص‬NN‫زاءه عن‬NN‫ه ج‬NN‫ازي جميعكم على عمل‬NN‫ فيج‬، ‫يء‬NN‫ن منكم من المس‬NN‫المحس‬
‫بين‬N‫ وت‬، ‫اء‬N‫ل القض‬N‫ل بينهم بفص‬N‫ فيفص‬، ‫رى‬N‫رق األخ‬N‫ه الف‬N‫الف في‬N‫ان يخ‬N‫ فيخبر كل فريق منكم بما ك‬، ‫جميعا‬
‫ق منهم من‬NN‫ المح‬، ‫ا‬NN‫زب عيان‬NN‫ل ح‬NN‫ حينئذ ك‬N‫ فيتبين‬، ‫ من المسيء بعقابه إياه بالنار‬، ‫المحق مجازاته إياه بجناته‬
‫المبطل‬

Maksud dari ‫ فاستبقوا الخيرات‬adalah keinginan atau kegemaran bertemu secara tiba2
pada pekerjaan baik dan memperbanyak pekerjaan baik.

‫ع‬NN‫يرات جم‬NN‫ه و الخ‬NN‫فالمراد من االستباق هنا المعنى المجازي وهو الحرص على مصادفة الخير واإلكثار من‬
‫ خير على غير قياس كما قالوا سرادقات وحمامات‬.
‫ذات‬NN‫ادم الل‬NN‫ية ه‬NN‫ة خش‬NN‫ادرة بالتوب‬NN‫ك المب‬NN‫والمراد عموم الخيرات كلها فإن المبادرة إلى الخير محمودة ومن ذل‬
‫وفجأة الفوات‬
Berlomba lomba dalam hal yang kebaikan.

ِ ‫ ﻓَﺎ ْﺳﺘَﺒِﻘُﻮﺍ ْﺍﻟ َﺨ ْﻴ َﺮﺍ‬N: N} ‫ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬


،”‫ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮﺍ‬:”‫ ﻳﻌﻨﻲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺫﻛﺮﻩ ﺑﻘﻮﻟﻪ‬N:‫ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ‬N{ N‫ﺕ‬
‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺳﺤﺎﻕ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ ﻗﺎﻝ‬2288- N:-‫ ﻛﻤﺎ‬N،‫ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺒﺎﺩﺭﺓ ﻭﺍﻹﺳﺮﺍﻉ‬،”‫ ﻣﻦ”ﺍﻻﺳﺘﺒﺎﻕ‬،‫ﻓﺒﺎﺩﺭﻭﺍ ﻭ َﺳﺎﺭﻋﻮﺍ‬
1 ) .‫ ﻓﺴﺎﺭﻋﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ‬N:‫ ﻳﻘﻮﻝ‬N،”‫ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ‬:”‫ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﻗﻮﻟﻪ‬N،‫ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺟﻌﻔﺮ‬،‫ﻗﺎﻝ‬
َّ ‫ ﻗﺪ ﺑﻴّﻨﺖ ﻟﻜﻢ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﺍﻟﺤ‬N:‫ ﺃﻱ‬N،”‫ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ‬:”‫ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﻌﻨﻲ ﺑﻘﻮﻟﻪ‬N* N* N* (
‫ ﻭﻫﺪﻳﺘﻜﻢ ﻟﻠﻘِﺒﻠﺔ ﺍﻟﺘﻲ‬N،‫ﻖ‬
‫ ﻭﺗﺰﻭَّﺩﻭﺍ‬N،‫ ﺷﻜﺮًﺍ ﻟﺮﺑﻜﻢ‬N،‫ ﻓﺒﺎﺩﺭﻭﺍ ﺑﺎﻷﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﺔ‬N،‫ﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻠﻞ ﻏﻴﺮﻛﻢ‬Nُ ‫ﺿﻠَّﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻭﺳﺎﺋ‬
،‫ ﻭﺣﺎﻓﻈﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻗﺒﻠﺘﻜﻢ‬،‫ ( ﻓﻼ ﻋﺬﺭ ﻟﻜﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻂ‬3) ،‫ ( ﻓﺈﻧﻲ ﻗﺪ ﺑﻴّﻨﺖ ﻟﻜﻢ ﺳﺒُﻞ ﺍﻟﻨﺠﺎﺓ‬2) ،‫ﻓﻲ ﺩﻧﻴﺎﻛﻢ ﻵﺧﺮﺗﻜﻢ‬
،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺑﺸﺮ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﻗﺎﻝ‬2289- N:-‫ ﻛﺎﻟﺬﻱ‬N‫ ( ﻓﺘﻀﻠُّﻮﺍ ﻛﻤﺎ ﺿﻠﺖ؛‬4 ) N،‫ﺿﻴَّﻌﺘﻬﺎ ﺍﻷﻣﻢ ﻗﺒﻠﻜﻢ‬
َ ‫ﻓﻼ ﺗﻀﻴِّﻌﻮﻫﺎ ﻛﻤﺎ‬
2290 - N.‫ُﻦ ﻋﻠﻰ ﻗﺒﻠﺘﻜﻢ‬Nَّ ‫ ﻻ ﺗُﻐﻠَﺒ‬N:‫ ﻳﻘﻮﻝ‬N،”‫ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ‬:”‫ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ‬N،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ‬N،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺯﺭﻳﻊ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﺔ‬N،‫ ﻗﺎﻝ‬N”‫ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ‬:”‫ ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ‬N،‫ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺍﺑﻦ ﻭﻫﺐ ﻗﺎﻝ‬N،‫ ﻗﺎﻝ‬N‫ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻳﻮﻧﺲ‬.
***

2.3 Perdagangan dalam Syariah

Agama Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan


atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha
perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan
mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di
bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan
akhirat.
Secara etimologi perdagangan yang intinya jual beli, berarti saling menukar. Al-
Bai' arti nya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang
lainya) dan asy-Syira' artinya beli, adalah dua kata yang dipergunakan dalam
pengertian yang sama tapi sebenarnya berbeda.
Sedangkan pengertian al-Bai' secara terminologi, para ahli fikih menyampaikan
definisi perdagangan yang berbeda-beda antara lain sebagai berikut:

2.3.1 Etika Perdagangan Islam


Perdagangan menurut aturan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus
dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan
diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut,
suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat
lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika
perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing
akan saling mendapat keuntungan.Adapun tersebut antara lain:
a. Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli.Jujur
dalam arti luas.Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak
bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya.Mengapa harus
jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang
jelas-jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal
dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu
sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai
dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau
jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain
kejujuran tersebu –di beberapa ayat– dihuhungkan dengan pelaksanaan
timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152).
Firman Allah SWT:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi ini dengan membuat kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26):
181-183)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar.ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S Al lsraa(17): 35)
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu.” (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)
Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat
mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan
kepada seluruh ummat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang
khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang
dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang
merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak
kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak
kejahatan yang lehih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian,
korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan
melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia
perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih
besar. Sehingga nampak pula bahwa adanya pengharaman serta larangan dari
Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap dan tindakan yang begitu bijak
yakni, pencegahan sejak dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang akan
merugikan manusia itu sendiri.
Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang, menakar
dan mengukur dalam dunia perdagangan, merupakan suatu perbuatan yang sangat
keji dan culas, lantaran tindak kejahatan tersebut bersembunyi pada hukum
dagang yang telah disahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau
mengatasnamakan jua! beli atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan
oleh agama.
Jikapencurian, pemerasan, perampasan, –sudah jelas– merupakan tindakan
memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-
terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang,
menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi.Sehingga para pedagang yang melakukan kecurangan
tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau
penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan,
takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan demikian,
tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat.Maka alangkah kejinya tindakan
mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan
perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan
menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah
SWT dalam Al Qur’an:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi.Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka
akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia
berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)
Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak –bagi orang-orang yang
melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar,
menimhang dan mengukur barang dagangan mereka–, sesungguhnya Al Qur’an
juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang
terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah SWT, lantaran menolak
peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib.
Ia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari
Tuhanmu.Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S Al
A’raaf(7): 85)
Firman Allah SWT:“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib
dan orang-orang yang beriman bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami,
dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu
jadilah mereka mati bergelimpang an di temnpat tinggalnya.” (Q.S Hud(11): 94)
Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa
ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang
dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para
pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah. Sedangkan azab dan siksa
serta hukuman bagi para pelaku kejahatan tersebut, nyatanya tidak selalu
diturunkan Allah SWTI kelak dii akhirat saja, namun juga diturunkan di dunia.
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW –dalam banyak haditsnya–, kerapkali
mengingatkan para pedagang untuk berlaku jujur dalam berdagang.Sabda
Rasulullah SAW:”Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan”. (HR.
Thabrani)
“Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila
berbicara tidak berbohiong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak
ingkar, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada -gada, bila
mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak
menyulitkan”. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)
“Pedagang dan pembeli keduanya boleh memilih selagi belum berpisah. Apabila
keduanya jujur dan terang-terangan, maka jual belinya akan diberkahi. Dan
apabila keduanya tidak rnau berterus terang serta berbohong, maka jual belinya
tidak diberkahi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang jujur dalam
melaksakan jual beli, di akhirat kelak akan ditempatkan di tempat yang mulia.
Suatu ketika akan bersama- sama para Nabi dan para Syahid. Suatu ketika di
bawah Arsy, dan ketika lain akan berada di suatu tempat yang tidak terhalang
baginya masuk ke dalam surga.
Sabda Rasulullah SAW:“Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya)
bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid
pada hari kiamat”. (HR. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
“Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (HR. Al-Ashbihani)
“Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga”. (HR. Tirmidzi)
Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Aku yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang)
selama yang seorang tidak berkhianat (curang) kepada yang lainnya.Apabila
berlaku curang, maka Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
“Sesama Muslim adalah saudara.Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual
barang yang ada cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat
tersebut.” (HR. Ahmad dan lbnu Majaah)
“Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan
(cacat) yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacal) itu, tapi
tidak menerangkannya.” (HR. Baihaqie)
“Sebaik-baik orang Mu‘min itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara
membelinya, mudah cara membayarnya dan mudah cara menagihnya.” (HR.
Thabarani)
b. Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan
atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut.Tanggung jawab di
sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang
memang secara otomatis terbeban di pundaknya.
Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap
pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang, berniaga dan ataujual beli juga
merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi
kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk
kepentingan hidup dan kehidupannya.
Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain:
menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang
wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai. Dan oleh
sebab itu, tindakan yang sangat dilarang oleh Islam –sehubungan dengan adanya
tugas, kewajiban dan tanggung jawab dan para pedagang tersebut– adalah
menimbun barang dagangan.
Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan
harga selangit sesuai keinginan penimbun barang, merupakan salah satu bentuk
kecurangan dari para pedagang dalam rangka memperoleh keuntungan yang
berlipat ganda.
Menimbun barang dagangan –terutama barangbarang kehutuhan pokok– dilarang
keras oleh Islam! Lantaran perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan keresahan
dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya, penimbunan barang kebutuhan pokok
masyarakat oleh sementara pedagang akan menimbulkan atau akan diikuti oleh
berhagai hal yang negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak
terkendali, barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan
penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan kesempatan
dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.
Ada banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang penimbunan barang
dagangan, baik dalam bentuk peringatan, larangan maupun ancaman, yang .ntara
lain sebagai berikut:
Sabda Rasulullah (yang artinya):
“Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai
belas kasihan terhadap orang lain.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin,
Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit
lepra.” (HR. Ahmad)
“Orang yang mendatangkan barang dagangan untuk dijual, selalu akan
memperoleh rejeki, dan orang yang menimbun barang dagangannya akan
dilaknat Allah.” (HR. lbnu Majjah)
“Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang
berdosa.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
“Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari
tanggung jawab Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya.” (HR.
Ahmad)[10]
c. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal
ini lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah
tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu,
keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”.
(HR. Thabrani).“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR.
Bukhari)
Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Dan jika
sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka
akibatnya sangatlah fatal.
Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang
untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung
mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual, lantaran jika
seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya
hanyalah kerugian.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan
nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah
ia harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah.” (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)
“Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-
kata, tidak akan melihat, tidak akanpula mensucikan mereka.Bagi mereka azab
yang pedih.Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu,
dan aku hertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?”Beliau menjawab,
“Orang yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang
menyiarkan pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang
menjual dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)
“Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus
barokah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus
keberkahan”. (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)
“Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan.Itu memang
melariskan jualan tapi menghilangkan barokah (memusnahkan
perdagangan).” (HR. Muslim)
Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan dan atau
perniagaan di zaman sekarang –terutama di pasar-pasar bcbas– tidak banyak lagi
diketemukan orang yang mau memperhatikan etiket perdagangan Islam. Bahkan
nyaris, setiap orang –penjual maupun pembeli– tidak mampu lagi membedakan
barang yang halal dan yang haram, dimnana keadaan ini sesungguhnya sudah
disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam
haditsnya.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: “Akan datang pada manusia suatu
zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan
barang yang halal atau haram.”(HR. Bukhari)
Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara
tidak hanya sekali saja Rasulullah SAW memberi peringatan kepada para
pedagang untuk berbuat jujur, tidak menipu dalam berjual beli agar tidak
merugikan orang lain. Sehagaimana pernyataan beberapa hadits di bawah ini:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang
menjual akan suatu barang yang telah dibeli oleh orang lain”. (HR. Bukhari)
Dari lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia
tertipu ketika berjual heli. Maka Nabi menyatakan: “Jika engkau berjualbeli
maka katakanlah: Tidak boleh menipu”. (HR. Bukhari)
d. Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik
kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja,
harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.
Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat
waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya, warna,
ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi layanan
puma jual, garansi dan lain sebagainya.Sedangkan janji yang harus ditepati
kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu
yang tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim
misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu
beruntung.Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka
bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhutbah). Katakanlah: ”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada
permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al
Jumu’ah (62):10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan atau urusan
jual beli yang sedang ditangani –sebagai pedagang Muslim– janganlah pernah
sekali-kali meninggalkan shalat.Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan
yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah
shalat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi
dengan mengingat Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.
e. Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang
selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli.Murah hati dalam pengertian;
ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh
tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati
ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR.
Bukhari)“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah,
pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
f. Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban
Syariat Islam adalah perdagangan akhirat.Keuntungan akhirat pasti lebih utama
ketimbang keuntungan dunia.Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh
terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi
dengan meninggalkan keuntungan akhirat.Sehingga jika datang waktu shalat,
mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya.Alangkah baiknya, jika
mereka bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan
telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi
rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak
melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan
Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam tempo dulu
mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka dapat terkenal di hampir
seluruh penjuru dunia.

2.3.2 Macam-Macam Jual Beli dalam Islam

Beberapa macam jual beli yang diakui Islam antara lain adalah:
A. Jual beli barang dengan uang tunai
B. Jual Beli barang dengan barang (muqayadlah/barter)
C. Jual beli uang dengan uang (Sharf)
D. Jual Utang dengan barang, yaitu jual beli Salam (penjualan barang dengan hanya
menyebutkan ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan uang kontan dan
barangnya diserahkan kemudian)
E. Jual beli Murabahah ( Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah
keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian
menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Karakteristik Murabahah adalah
si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan
menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.”

2.3.3 Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam


Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu
barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu
barang lain atau uang.Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan
qabul,yaitu suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau
jasa.Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang
bertransaksi. Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal
tersebut:
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.”
Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka ketergantungan
hukum sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak (dhahir) yang
menunjukkan suka sama suka, seperti adanya ucapan penyerahan dan penerimaan.
Dan jual beli (perdagangan) adalah termasuk dalam katagori muamalah yang
dihalalkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al Baqarah: 275).
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam tafsir ayat diatas mengatakan: “Apa-apa yang
bermanfaat bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan apa-apa yang
memadharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka”.
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh bentuk jual beli
hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang oleh Allah dan Rasul-
Nya.Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi syarat sahnya atau
terdapat larangan dalam unsur jual-beli tersebut.

A. Rukun Jual Beli


Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:
1) Al- ‘Aqid (orang yang melakukan transaksi/penjual dan pembeli),
2) Al-‘Aqd (transaksi),
3) Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang).
B. Syarat Jual Beli
1) Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli)
haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz
(sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan
harga).Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas
izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang
memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli
mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.”(HR. Bukhari dan
Muslim).Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-
belinya, berdasarkan firman Allah:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
Para ulama ahli tafsir mengatakan:“Ujilah mereka supaya kalian mengetahui
kepintarannya”, dengan demikian anak-anak yang belum memiliki kecakapan
dalam melakukan transaksi tidak diperbolehkan melakukannya hingga ia baligh.
Dan di dalam ayat ini juga Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang
tidak bisa mengendalikan harta.
2) Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur keterpaksaan dari
pihak manapun meskipun tidak diungkapkan.Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An-Nisaa’: 29).
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah
II/737 no. 2185 dan Ibnu Hibban no. 4967)
Maka tidak sah jual-beli orang yang dipaksa. Akan tetapi di sana ada kondisi
tertentu yang mana boleh seseorang dipaksa menjual harta miliknya, seperti bila
seseorang memiliki hutang kepada pihak lain dan sengaja tidak mau
membayarnya, maka pihak yang berwenang boleh memaksa orang tersebut untuk
menjual hartanya, lalu membayarkan hutangnya, bila dia tetap tidak mau
menjualnya maka dia boleh melaporkan kepada pihak yang berwenang agar
menyelesaikan kasusnya atau memberikan hukuman kepadanya (bisa dengan
penjara atau selainnya). Nabi bersabda: “Orang kaya yang sengaja menunda-
nunda pembayaran hutangnya telah berbuat zhalim. Maka dia berhak diberikan
sanksi.” (HR. Abu Daud)
3) Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga
sekian”.Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau
saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan
mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-
beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”
Pendapat kedua: Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap
bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i-
melemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang tidak mensyaratkan
ijab-qabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali.
(lihat. Raudhatuthalibin 3/5).
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya
mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan
mengucapkan lafaz ijab-qabul.Dan saling ridha antara penjual dan pembeli
sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan
adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu
membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada
riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan
lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan. (lihat. Kifayatul
akhyar hal.283, Al Mumti’ 8/106).
Imam Baijuri –seorang ulama dalam mazhab Syafi’i- berkata, “mengikuti
pendapat yang mengatakan lafaz ijab-qabul tidak wajib sangat baik, agar tidak
berdosa orang yang tidak mengucapkannya… malah orang yang mengucapkan
lafaz ijab-qabul saat berjual beli akan ditertawakan…” (lihat. Hasyiyah Ibnu
Qasim 1/507).
Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada mesin lalu
barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak di super market dan
membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul.Wallahu a’lam.
4) Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang ).
Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
o Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan
najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‫ثَ َمنَهُ َح َّر َم َش ْى ٍء أَ ْك َل قَوْ ٍم َعلَى َح َّر َم إِ َذا هَّللا َ إِ َّن‬
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan
sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan
Baihaqi dengan sanad shahih)
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai
berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing
dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‫ير َو ْال َم ْيتَ ِة ْالخَ ْم ِر بَ ْي َع َح َّر َم َو َرسُولَهُ هَّللا َ إِ َّن‬
ِ ‫َواألَصْ ن َِام َو ْال ِخ ْن ِز‬
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai,
babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist yang lain riwayat Ibnu Mas’ud beliau berkata:
“Sesungguhnya Nabi Saw melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur dan
hasil perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau
VCD musik dan porno.Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal
dan tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:“Akan ada diantara umatku
sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR.
Bukhari no.5590)
o Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah
barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya
transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang,
kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil
uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud II/305
no.3503)
Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun belum terjadi
serah-terima barang.Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku
bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang
dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku!Bila engkau membeli barang
jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad)
o Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli,
maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh
orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau
ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi
shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur”.
(HR.Ahmad)
o Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan
penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan
dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi
rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli
tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang
dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-
beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual
bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang
bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal
dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari
jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang
diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli
yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)
Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si
penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga
yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini
juga termasuk jual-beli gharar (penipuan). wallahu a’lamu bish-
showab.Demikianlah penjelasan singkat tentang rukun dan syarat sahnya jual beli.
Semoga dapat difahami dan bermanfaat bagi kita semua.

2.3.4 Fenomena Perdagangan di Era Global


Pada zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan antara
produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang yang
memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan.
Secara khusus dibidang perekonomian, banyak hal terasa lebih mudah dari
sebelumnya.Seperti pengolahan faktor produksi, desain produk, pengangkutan
hasil produksi, promosi dan penjualan, dan masih banyak lagi. Hal ini terjadi
karena munculnya berbagai teknologi baru yang mendukung untuk memudahkan
pekerjaan-pekerjaan dalam bidang tersebut. Munculnya berbagai teknologi dan
berbagai media elektronik yang canggih menjadi jawaban atas perkembangan
diberbagai bidang di negara Indonesia saat ini.Tidak jauh adalah internet dan
berbagai media elektronik yang mendukung penggunaannya, Seperti gadget-
gadget yang kini sedang populer, Laptop, Smarphone, dan masih banyak lagi.Hal
itu sangat menunjang kemajuan perekonomian di Indonesia, bahkan termasuk
kemajuan diantara rakyat Indonesia itu sendiri.
Namun terlepas dari segudang keuntungan yang dimiliki, ternyata kita tidak bisa
menghindari kalau globalisasi juga memberikan pengaruh yang kurang bahkan
sama sekali tidak diharapkan untuk terjadi di perekonomian negara Indonesia.
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak hubngan secara internasional
kepada negara-negara di dunia.Negara kita melakukan perdagangan secara
Internasional baik itu melalui aktivitas ekspor maupun impor. Melalui aktivitas
ekspor, Indonesia akan menjual dan mengirim produk/hasil bumi dari negara
Indonesia sendiri ke negara lain, seperti negara-negara di kawasan Asia dan juga
ke negara-negara di luar kawasan Asia sendiri. Melalui aktivitas impor, Indonesia
akan menerima/membeli kebutuhan yang dibutuhkan oleh negara kita untuk
menunjang kelanjutan kelangsungan hidup negara kita kedepannya. Lewat kedua
aktivitas ini, Indonesia selalu berhadapan dengan Ekonomi secara global.Ekonomi
yang tanpa ada batasan negara dan diperhadapkan dengan berbagai kondisi
ekonomi secara global.
Dengan meluasnya globalisasi dalam perdagangan, menyebabkan banyak ketidak
murnian dalam menjalankan kegiatan ini. Yang tidak lain melanggar dari halal
haramnya sebuah fenomena perdagangan yang tidak lagi menerapkan system yang
bersih.Dan hal ini masih berlanjut hingga detik ini. Dinama seseorang sudah tidak
memokirkan akibat akhir dari system yang tidak patut, melanggar norma-norma
bahkan agama sekalipun.

2.3.5 Upaya Mengatasi Masalah Perdagangan


Banyak usaha dan upaya dalam meningkatkan system perdagangan dengan
memberi beberapa landasan-landasan akhlak serta sikap yang bermoral padadiri
seseorang. Diantaranya adalah:
A. Menanamkan Sikap dan etika berdagang yang sudah di ulas diatas tadi
B. Meningkatkan moral dan akhlak seseorang sebelum berdagang
C. Memiliki sikap yang jujur dan bersih serta mengutamakan akibat dari kegiatan
tersebut
Dengan terlaksananya misi-misi tersebut, maka niscaya kesejahteraan negara kita
akan semakin membaiki kedepannya dan Indonesia akan mampu berdiri kokoh
ditengah-tengah arus globalisasidengan sistem perdagangan yang bersih dan sehat.

2.4 Berdagang di Mesjid

Jual beli merupakan salah satu aktifitas manusia yang mendapatkan apresiasi
dan pembahasan yang sangat banyak dalam syariat Islam, karena kehidupan
manusia tidak akan bisa tegak dan maksimal tanpa adanya praktek jual beli
(bisnis) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu bentuk apresiasi Islam
sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt dalam berfirman:

)275 :2 ،‫ (البقرة‬...‫ َوأَ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَوا‬... 3


"... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ...." [QS.
al-Baqarah (2): 275]

ْ َ‫ب أ‬
‫ ُل‬N‫ َع َم‬ :‫ا َل‬NNَ‫طيَبُ ق‬ ِ N‫ول هللاِ أَىُّ ْال َك ْس‬
َ N‫ا َر ُس‬NNَ‫ل ي‬N َ Nَ‫يج ق‬
َ N‫ال قِي‬N ٍ ‫ ِد‬Nَ‫ع ب ِْن خ‬N ِ Nِ‫ َراف‬ ‫عن‬ 4
)‫أحمد والحاكم‬ ‫(رواه‬ . ‫ُور‬ ٍ ‫ال َّر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبر‬
“Dari Rafi’ bin Khadij  ia berkata: dikatakan kepada Rasulullah saw, pekerjaan
apa yang paling baik? Beliau menjawab: Hasil kerja seseorang dengan
tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur”. [HR. Ahmad]

ُ ‫ ُد ْو‬N ‫الص‬
‫ق‬ َّ ‫اج ُر‬ َ ‫َع ْن أَبِى َس ِع ْي ٍد َع ِن النَّبِ ِّي‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ِ َّ‫ الت‬:‫ال‬ 5
)‫األَ ِمي ُْن َم َع النَّبِيِّي َْن َولصِّ ِّد ْيقِي َْن َوال ُّشهَ َدا ِء (رواه الترمذى‬
“Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: Pedagang yang jujur dan terpercaya
bersama para Nabi, orang-orang yang jujur dan syuhada’”. (HR. Tirmidzi)
6
Meskipun jual beli merupakan perkara yang dihalalkan dalam syariat Islam,
namun bukan berarti boleh melakukannya tanpa batasan dan aturan. Karena itu
dalam syari’at Islam dikenal ada jenis jual beli yang dihalalkan dan jual beli yang
diharamkan atau dilarang. Jenis jual beli yang diharamkan antara lain; jual beli
barang haram, jual beli dengan penipuan, dan lain sebagainya.
Sedangkan terkait dengan hukum jual beli di area masjid, Secara khusus  memang
terdapat hadis danatsar sahabat  yang melarang praktik jual beli di dalam masjid.
Namun demikian, harus dicermati betul maksud dan kreteria area masjid, jenis
barang yang diperjual belikan, cara berjualan sampai dampak yang ditimbulkan
terhadap pelaksanaan ibadah, kebersihan dan kesucian masjid. Sehingga praktek
jual beli di area masjid dapat ditetapkan status hukumnya, apakah halal, haram
ataukan sesuatu hal yang harus dihindari (makruh).
Dalam hadis nabi saw dan atsar sahabat dijumpai beberapa larangan berjualan di
area masjid, antara lain:

a.    Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw  bersabda:

َ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ أَ َّن َرس ُْواَل هلل‬


‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫َع ْن أَبِى هُ َري َْرةَ َر‬ 7
:‫ا َل‬NNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNَ‫ق‬
‫ارتَك‬ َ ‫تِ َج‬ ُ‫هللا‬ ‫أَرْ بَ َح‬  ‫فَقُولُوااَل‬ ‫ْج ِد‬
ِ ‫ ْال َمس‬ ‫فِي‬ ‫ع‬ُ ‫يَ ْبتَا‬ ‫أَ ْو‬ ‫يَبِي ُع‬ ‫ َم ْن‬ ‫ َرأَ ْيتُ ْم‬ ‫إِ َذا‬
(‫)رواه الترمذى‬.
“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah:
Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” [HR. at-Tirmidzi]
b.    Umar pernah melihat seorang bernama al-Qashir sedang berdagang di masjid,
lalu beliau berkata:

. ‫ال ُّد ْنيَا‬ ‫ُوق‬ ْ َ‫ف‬ ‫ ْالبَ ْي َع‬ ‫ت‬


ِ ‫س‬ ‫إِلَى‬  ْ‫اخرُج‬ ْ  ‫ق‬
َ ‫أَ َر ْد‬ ‫فَإِ ْن‬ ‫اآل ِخ َر ِة‬ ُ ‫سُو‬ ‫هَ َذا‬ ‫إِ َّن‬ ‫هَ َذا‬ ‫يَا‬ 8
“Hei ..! sesungguhnya ini adalah pasar akhirat. Jika engkau mau jualan,
keluarlah ke pasar dunia” 

c.       Dalam kitab Muwattha’ Imam Malik disebutkan :


‫ا‬ ‫فِي‬ ‫يَبِي ُع‬ ‫ َم ْن‬  ُ‫بَعْض‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ‫ َم َّر‬ ‫إِ َذا‬ ‫ان‬ َ ‫ َك‬ ‫ار‬ٍ ‫يَ َس‬ ‫ب َْن‬ ‫ َعطَا َء‬ ‫أَ َّن‬ ُ‫بَلَ َغه‬ ُ‫أَنَّه‬ 9
NN‫يَبِي َع‬ ‫أَ ْن‬ ‫ي ُِري ُد‬ ُ‫أَ ْخبَ َرهُأَنَّه‬ ‫فَإِ ْن‬ ‫تُ ِري ُد‬ ‫ َو َما‬ ‫ك‬َ ‫ َم َع‬ ‫ َما‬ ُ‫فَ َسأَلَه‬ ُ‫ َد َعاه‬ ‫ْج ِد‬
ِ ‫ْل َمس‬
‫مالك في‬ ‫[رواه‬ .‫اآْل ِخ َر ِة‬ ‫ق‬ ُ ‫سُو‬ ‫هَ َذا‬ ‫ َوإِنَّ َما‬ ‫ال ُّد ْنيَا‬ ‫ُوق‬
ِ ‫بِس‬ ‫ْك‬ َ ‫ َعلَي‬ ‫ال‬ َ َ‫ق‬ ُ‫ه‬
]‫الموطأ‬
“Bahwa telah sampai kepadanya tentang Atha’ bin Yasar, bahwa jika lewat di
hadapannya sebagian orang yang berjualan di masjid, dia memanggilnya dan
bertanya: “Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa
orang tersebut mau berdagang, beliau berkata: “Hendaknya  kamu ke pasar
dunia, ini adalah pasar akhirat.” [HR. Malik dalam al-Muwatha’, II: 47]

Dari hadis dan atsar sahabat tersebut tidak dijumpai kalimat yang secara tegas
mengharamkan jual beli di area masjid. Namun hanya terkait dengan keberkahan
atau keuntungan, dan alternatif ideal untuk melakukan jual beli serta fungsi pokok
masjid sebagai rumah Allah (suq al akhirah: pasar akhirat). Oleh sebab itu, dalam
memahami hadis dan atsar tersebut, Imam asy-Syaukani menjelaskan bahwa
jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan makna larangan atau himbauan dalam
hadis tersebut memiliki makna makruh (sesuatu yang tidak disukai atau tidak etis)
melakukan jual beli di masjid, dan tidak sampai haram. (Nail al-Authar, II: 158-
159). Sedangkan mengenai  batasan area masjid yang dilarang untuk melakukan
aktifitas jual beli di dalamnya adalah tempat yang sudah layak untuk
melaksanakan salat tahiyatul masjid. Adapun tempat parkir, taman, halaman
masjid, aula, atau ruang serba guna bukan termasuk area yang dilarang.
Dari ulasan tersebut maka menurut kami, menghukumi kebolehan dan keharaman
berjualan di area masjid harus dilihat secara kasuistis dan praktek yang terjadi di
lapangan. Jika seseorang berjualan di dalam masjid yang merupakan bagian pokok
tempat pelaksanaan ibadah serta dapat mengganggu ketenangan dan kehusyu’an
orang beribadah, dapat mencederai kemuliaan dan kesucian masjid, tentu hal ini
termasuk praktek yang dilarang. Namun jika hal tersebut dilakukan di teras
masjid, halaman atau wilayah sekitar masjid, seperti menjual buku-buku
keislaman, tuntunan shalat, minyak wangi, sajadah, peci untuk mendukung
pelaksanaan beribadah dan dakwah serta barang-barang tertentu yang selaras
dengan syari’at Islam dan kesucian masjid, maka tentu hal ini termasuk hal yang
mubah hukumnya.
Lebih idealnya adalah; jika takmir (pengurus) masjid menyediakan tempat-tempat
khusus di sekitar halaman (area) masjid dengan memberikan regulasi khusus baik
menyangkut jenis-jenis barang yang boleh dijual, waktu operasional dan aturan-
aturan lain yang dapat mendukung dakwah dan fungsi masjid secara umum, maka
hal ini dapat menjadi solusi yang ideal. Sehingga fungsi masjid secara lebih luas
baik untuk ibadah khusus, pusat kajian keislaman (Islamic center), pengajaran,
pemberdayaan ekonomi umat dapat  terealisir dengan tetap menjaga kehormatan
dan kemmuliaan masjid. (Ruslan Fariadi)

2.5 Perilaku Terpuji dalam Perdagangan


Menurut Imam Al-Ghozali ada enam sifat perilaku yang terpuji dalam
perdagangan, yaitu:
1.       Tidak mengambil laba lebih banyak, seperti yang lazim dalam dunia dagang.
Jika dipikirkan perilaku demikian ini, maka dapat dipetik hikmahnya, yaitu
menjual barang lebih murah dari saingan atau sama dengan pedagang lain yang
sejenis, membuat konsumen akan lebih senang dengan pedagang seperti ini,
apalagi diimbangi dengan pelayanan yang memuaskan.
2.       Membayar harga agak lebih mahal kepada pedagang miskin, ini adalah amal
yang lebih baik daripada sedekah biasa.
3.       Memurahkan harga atau memberi potongan kepada pembeli yang miskin, hal
ini dapat mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
4.       Bila membayar hutang, pembayaran dipercepat dari waktu yang telah
ditentukan. Jika  yang dihutang berupa barang, maka usahakan dibayar dengan
barang yang lebih baik, dan yang berhutang datang sendiri kepada yang
berpiutang pada waku pembayaranya. Bila hutang berupa uang, maka lebihkanlah
pembayarannya sebagai tanda terimakasih, walaupun tidak diminta oleh orang
yang berpiutang. Demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
5.       Membatalkan jual beli, jika pihak pembeli menginginkannya. Ini sejalan
dengan “Customer is King” dalam ilmu marketing. Pembeli itu adalah raja, jadi
apa kemauanya perlu diikuti sebab penjual harus tetap menjaga hati langganan,
sampai langganan merasa puas. Kepuasan konsumen adalah merupakan target
yang harus mendapatkan prioritas dari penjual. Dengan adanya kepuasan, maka
langganan akan tetap terpelihara, bahkan akan meningkat karena langganan lama
menarik langganan baru. Ingatlah promosi dari suatu produk yang berbunyi:
“Kepuasan Anda dambaan kami”, Kami Ingin Memberi Kepuasan yang
Istimewa”, “Jika Anda Merasa Puas Beritahu Teman-teman Anda, Jika Anda
Tidak Puas Beritahu Kami”.
6.       Bila menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan, maka jangan
ditagih bila orang miskin itu tidak mampu untuk membayarnya, dan
membebaskan mereka dari utang jika meninggal dunia.

2.6 Nabi Sueb Sebagai Nabi Ekonomi Penegak Kejujuran


Perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seseorang yang sebenarnya tidak terdesak
untuk melakukan perbuatan tersebut dosanya lebih besar daripada orang yang
berbuat maksiat karena memang ia terdesak untuk berbuat demikian. Seperti umat
Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang telah dikaruniai harta yang berlimpah namun
mereka masih berbuat dosa dengan melakukan kecurangan dalam timbangan.
Allah subhanahu wa ta’ala pun mengazab mereka dengan azab yang pedih.
Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat Syu’aib ‘alaihissalam menjadi nabi dan
mengutus beliau ke negeri Madyan. Kejahatan yang dilakukan penduduk Madyan
tidak hanya melakukan kesyirikan, tetapi juga berbuat curang dalam timbangan
dan takaran. Melakukan kecurangan dalam bermuamalah dan mengurangi hak
orang lain mereka lakukan. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengajak mereka untuk
beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja dan melarang mereka
berbuat syirik. Beliau juga memerintahkan agar berbuat adil dan jujur dalam
bermuamalah, serta mengingatkan mereka agar jangan merugikan orang lain.
Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengingatkan kaumnya tentang kebaikan yang telah
Allah ‘alaihissalam limpahkan kepada mereka berupa rezeki yang beraneka
ragam. Sesungguhnya dengan itu semua, mereka tidak perlu sampai menzalimi
manusia dalam urusan harta. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam juga mengancam dengan
azab yang mengepung mereka di dunia sebelum di akhirat nanti. Namun mereka
menyambutnya dengan ejekan dan menolak seruan itu sambil mengejek. Mereka
berkata,
‫صلَ ٰوتُ َك ت َۡأ ُم ُر َك أَن نَّ ۡت ُر َك َما يَ ۡعبُ ُد َءابَٓا ُؤنَٓا أَ ۡو أَن نَّ ۡف َع َل فِ ٓي‬
َ َ‫ب أ‬ ُ َ‫ا ٰي‬cْ‫قَالُو‬
ُ ‫ش َع ۡي‬
ۖ َٓ ٰ َ‫ ما ن‬c‫أَمۡ ٰولنَا‬
٨٧ ‫شي ُد‬ ِ ‫ش ُؤ ْا إِنَّ َك أَل َنتَ ۡٱل َحلِي ُم ٱل َّر‬ َ َِ
“Hai Syu’aib, apakah shalatmu (agamamu) menyuruhmu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami
berperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu
adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)
Yakni, kami tetap akan bertahan menyembah apa yang disembah oleh bapak-
bapak kami. Kami akan tetap berbuat terhadap harta kami dengan berbagai bentuk
muamalah yang kami inginkan, tidak berada di bawah aturan atau ketetapan
Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya.
Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berkata (sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala),
َ ‫قَا َل ٰيَقَ ۡو ِم أَ َر َء ۡيتُمۡ إِن ُكنتُ َعلَ ٰى بَيِّنَ ٖة ِّمن َّربِّي َو َر َزقَنِي ِم ۡنهُ ِر ۡزقًا َح‬
‫س ٗن ۚا‬
“Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari
Rabbku dan dianugerahkan kepadaku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku
menyalahi perintahnya?” (Hud: 88)
Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala telah mencukupi aku (dengan rezeki-
Nya).
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ُ‫… َو َمٓا أُ ِري ُد أَ ۡن أُ َخالِفَ ُكمۡ إِلَ ٰى َمٓا أَ ۡن َه ٰى ُكمۡ َع ۡن ۚه‬
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang
aku larang.” (Hud: 88)
Yakni, tidaklah aku melarang kalian dari berbagai muamalah yang buruk dan di
dalamnya terdapat perbuatan yang menzalimi manusia, melainkan aku adalah
orang pertama yang meninggalkannya, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah
memberi aku harta dan memperluas rezeki untukku. Saya sangat membutuhkan
adanya hubungan muamalah ini. Namun saya terikat dengan kewajiban taat
kepada Rabbku.
Saya tidak bermaksud dengan tindakan dan perintahku ini kepada kalian kecuali
mendatangkan perbaikan. Artinya, semampu saya, saya akan berusaha agar
keadaan dunia dan akhirat kalian menjadi baik.

ُ ِ‫َو َما ت َۡوفِيقِ ٓي إِاَّل بِٱهَّلل ۚ ِ َعلَ ۡي ِه تَ َو َّك ۡلتُ َوإِلَ ۡي ِه أُن‬
٨٨ ‫يب‬
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya
kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud:
88)
Kemudian beliau mengancam mereka dengan siksaan yang pernah menimpa
umat-umat yang masa dan tempatnya di sekitar mereka.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,


‫وح أَ ۡو قَ ۡو َم‬
ٍ ُ‫اب قَ ۡو َم ن‬
َ ‫ص‬َ َ‫صيبَ ُكم ِّم ۡث ُل َمٓا أ‬
ِ ُ‫شقَاقِ ٓي أَن ي‬ ِ ۡ‫َو ٰيَقَ ۡو ِم اَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكم‬
٨٩ ‫وط ِّمن ُكم بِبَ ِع ٖيد‬ َ ٰ ‫هُو ٍد أَ ۡو قَ ۡو َم‬
ٖ ُ‫صلِ ۚ ٖح َو َما قَ ۡو ُم ل‬
“Janganlah sekali-kali pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan
kamu berbuat aniaya sehingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum
Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih, sedangkan kaum Luth tidak (pula) jauh
dari kalian.” (Hud: 89)
Beliau menawarkan kepada mereka agar bertaubat dan membangkitkan keinginan
mereka untuk bertaubat. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berkata, sebagaimana firman
Allah subhanahu wa ta’ala, ,
ٞ ‫يم َود‬ٞ ‫ا إِلَ ۡي ۚ ِه إِنَّ َربِّي َر ِح‬cْ‫ٱست َۡغفِ ُرو ْا َربَّ ُكمۡ ثُ َّم تُوبُ ٓو‬
٩٠ ‫ُود‬ ۡ ‫َو‬
“Dan mohonlah ampunan kepada Rabb kalian kemudian bertaubatlah kepada-
Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (Hud: 90)
Namun semua seruan itu tidak berfaedah sedikit pun. Mereka berkata,
‫ل‬cُ ‫… َما نَ ۡفقَهُ َكثِ ٗيرا ِّم َّما تَقُو‬
“Kami tidak banyak mengerti apa yang kamu katakan.” (Hud: 91)
Perkataan ini jelas karena sikap keras kepala mereka dan kebencian yang sangat
besar terhadap kebenaran.

ٰ
ٖ ‫ض ِع ٗيف ۖا َولَ ۡواَل َر ۡهطُ َك لَ َر َجمۡ نَ ۖ َك َو َمٓا أَنتَ َعلَ ۡينَا بِ َع ِز‬
٩١ ‫يز‬ َ ‫َوإِنَّا لَنَ َر ٰى َك فِينَا‬
“Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seseorang yang lemah di
antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami sudah merajam
kamu, sedangkan kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi
kami.” (Hud: 91)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
َّ‫قَا َل ٰيَقَ ۡو ِم أَ َر ۡه ِط ٓي أَ َع ُّز َعلَ ۡي ُكم ِّم َن ٱهَّلل ِ َوٱتَّ َخ ۡذتُ ُموهُ َو َرٓا َء ُكمۡ ِظ ۡه ِريًّ ۖا إِن‬
٩٢ ‫يط‬ ٞ ‫ون ُم ِح‬ َ ُ‫َربِّي بِ َما ت َۡع َمل‬
“Syu’aib menjawab, ‘Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut
pandangan kalian daripada Allah, sedangkan Allah kamu jadikan sesuatu yang
terbuang di belakangmu? Sesungguhnya Rabbku meliputi apa yang kamu
kerjakan’.” (Hud: 92)
Ketika melihat kekerasan mereka, beliau berkata,

ٞ ‫ون َمن يَ ۡأتِي ِه َع َذ‬


‫اب‬ َ ‫ف ت َۡعلَ ُم‬ َ ‫س ۡو‬ َ ‫ ۖل‬ٞ ‫ٱع َملُو ْا َعلَ ٰى َم َكانَتِ ُكمۡ إِنِّي ٰ َع ِم‬ ۡ ‫َو ٰيَقَ ۡو ِم‬
٩٣ ‫يب‬ ٞ ِ‫ا إِنِّي َم َع ُكمۡ َرق‬cْ‫ ۖب َو ۡٱرتَقِبُ ٓو‬ٞ ‫يُ ۡخ ِزي ِه َو َم ۡن ُه َو ٰ َك ِذ‬
ِ ‫ين َءا َمنُو ْا َم َع ۥهُ بِ َر ۡح َم ٖة ِّمنَّا َوأَ َخ َذ‬
‫ت‬ ُ ‫َولَ َّما َجٓا َء أَمۡ ُرنَا نَ َّج ۡينَا‬
َ ‫ش َع ۡي ٗبا َوٱلَّ ِذ‬
٩٤ ‫ين‬ َ ‫صبَ ُحو ْا فِي ِد ٰيَ ِر ِهمۡ ٰ َجثِ ِم‬ ۡ َ ‫ص ۡي َحةُ فَأ‬َّ ‫ين ظَلَ ُمو ْا ٱل‬َ ‫ٱلَّ ِذ‬
“Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu,
sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang
akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan
tunggulah (azab Allah), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kalian.’
Dan ketika datang azab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang
beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami. Sedangkan orang-orang yang
zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati
bergelimpangan di rumah-rumah mereka.” (Hud: 93—94)
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan rasa panas yang hebat kepada
mereka yang menyumbat pernapasan mereka sehingga mereka hampir tercekik
karena dahsyatnya. Di saat demikian, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan
awan dingin yang menaungi mereka, lalu mereka pun panggil-memanggil untuk
bernaung di bawahnya. Setelah mereka berkumpul di bawahnya, tiba-tiba
muncullah nyala api demikian hebat membakar mereka hingga mereka pun mati
dalam keadaan mendapat azab, kehinaan, dan kutukan sepanjang masa.
 
Beberapa Pelajaran
1. Merugikan timbangan dan takaran secara khusus ataupun merugikan
manusia secara umum merupakan kejahatan yang pantas menerima azab di dunia
dan akhirat.
2. Kemaksiatan yang terjadi pada seseorang yang sebetulnya tidak ada faktor
pendorong dalam dirinya dan tidak pula berhajat kepada kemaksiatan itu, dosanya
lebih besar dibandingkan orang yang bermaksiat didorong oleh suatu keinginan
atau kebutuhan.
Oleh karena itu, zina yang dilakukan oleh seorang tua atau orang yang sudah
pernah menikah, jauh lebih buruk keadaannya dibandingkan zina yang dilakukan
oleh seorang pemuda atau orang yang belum pernah menikah.

3. Begitu pula kesombongan pada diri seorang fakir (miskin), jauh lebih
buruk keadaannya dibandingkan kesombongan yang dimiliki oleh seseorang yang
mempunyai harta. Demikian pula pencurian yang dilakukan oleh orang yang
sebetulnya tidak membutuhkan harta curian itu, dosanya jauh lebih besar daripada
pencurian yang dilakukan oleh orang yang memang sangat membutuhkan harta
yang dicurinya.
Oleh karena inilah Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengatakan sebagaimana
disebutkan dalam ayat,
‫إِنِّ ٓي أَ َر ٰى ُكم بِ َخ ۡي ٖر‬
“Sesungguhnya aku melihat kalian dalam keadaan yang baik (mampu).” (Hud:
84)
Yakni, kalian dalam keadaan penuh kenikmatan dan kesenangan yang berlimpah,
maka apa sesungguhnya yang mendorong kalian sehingga kalian begitu tamak
kepada apa yang ada di tangan manusia dengan cara yang diharamkan?

4. Pelajaran yang lain, firman Allah subhanahu wa ta’ala,


ۡ‫ر لَّ ُكم‬ٞ ‫بَقِيَّتُ ٱهَّلل ِ َخ ۡي‬
“Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu.” (Hud: 86)
Di dalamnya terdapat dorongan untuk rela dengan apa yang diberikan
Allah subhanahu wa ta’ala, merasa cukup dengan yang halal dan (menjauhi) yang
haram, membatasi pandangan kepada milik sendiri dan tidak perlu melihat kepada
harta benda manusia.
5. Dalam kisah ini, terdapat dalil bahwa shalat merupakan sebab
terlaksananya suatu kebaikan dan meninggalkannya merupakan suatu
kemungkaran serta ditunaikannya nasihat untuk sesama hamba Allah subhanahu
wa ta’ala.
Orang-orang kafir mengetahui hal itu sebagaimana mereka katakan kepada Nabi
Syu’aib ‘alaihissalam. Firman Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang
ucapan mereka,
‫صلَ ٰوتُ َك ت َۡأ ُم ُر َك أَن نَّ ۡت ُر َك َما يَ ۡعبُ ُد َءابَٓا ُؤنَٓا أَ ۡو أَن نَّ ۡف َع َل فِ ٓي أَمۡ ٰ َولِنَا َما‬
َ َ‫أ‬
ۖ َٓ ٰ َ ‫ن‬
٨٧ ‫شي ُد‬ ِ ‫ش ُؤ ْا إِنَّ َك أَل َنتَ ۡٱل َحلِي ُم ٱل َّر‬
“Apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang
disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang
kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang
sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
‫صلَ ٰوةَ ت َۡن َه ٰى َع ِن ۡٱلفَ ۡحشَٓا ِء َو ۡٱل ُمن َك ۗ ِر‬
َّ ‫إِنَّ ٱل‬
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar.” (al-‘Ankabut: 45)
Dari sini, diketahui hikmah dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala mengapa Dia
wajibkan shalat ini kepada kita lima kali sehari semalam, (yaitu) karena begitu
tinggi nilainya, betapa besar manfaatnya, dan sangat indah pengaruhnya. Segala
pujian yang sempurna hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala atas semua
kenikmatan itu.
6. Seorang manusia dalam setiap gerak-geriknya dan dalam bermuamalah
masalah harta berada di bawah ketentuan hukum syariat. Maka apa saja
yang dibolehkan, itulah yang harus dikerjakan dan apa yang dilarang oleh
syariat sudah tentu harus ditinggalkannya.
Barang siapa yang menganggap dia bebas berbuat dengan hartanya dalam
bermuamalah dengan cara yang baik ataupun buruk, maka sama saja keadaannya
dengan orang yang menganggap amalan atau gerak-gerik badannya juga bebas
tidak terikat aturan syariat. Dengan demikian, tidak ada bedanya menurut dia
antara kekafiran dan keimanan, kejujuran dan kebohongan, perbuatan yang baik
dan yang buruk, semua boleh.

Tentunya jelas bagi kita bahwa ini adalah mazhab (pendapat dan keyakinan)
orang-orang ibahiyyin (yang menganggap mubah atau halalnya segala sesuatu),
dan mereka ini merupakan sejahat-jahatnya makhluk.
Mazhab kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam tidak jauh berbeda dengan mazhab ini.
Karena mereka mengingkari Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang melarang mereka
dari muamalah yang bersifat zalim, dan mengizinkan muamalah yang selain itu.
Mereka menentangnya karena menganggap mereka bebas berbuat apa saja
terhadap harta mereka.
Sama seperti ini adalah perkataan orang-orang yang disebutkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
‫ٱلربَ ٰو ۗ ْا‬
ِّ ‫إِنَّ َما ۡٱلبَ ۡي ُع ِم ۡث ُل‬
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Barang siapa yang menyamakan antara yang dihalalkan dan diharamkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala berarti dia telah menyimpang dari fitrah dan akalnya,
setelah dia melakukan penyimpangan pula dari agamanya.
7. Orang yang memberi nasihat kepada orang lain, memerintahkan
(kebaikan) dan melarang mereka (dari kejelekan), agar sempurna
penerimaan manusia terhadap nasihatnya itu, maka apabila dia
memerintahkan suatu kebaikan hendaklah dia menjadi orang yang mula-
mula mengerjakan kebaikan tersebut. Apabila dia melarang mereka dari
suatu kemungkaran, maka hendaklah dia menjadi orang yang pertama
sekali meninggalkan dan menjauhinya.
Demikianlah yang dikatakan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam sebagaimana firman
Allah subhanahu wa ta’ala,
ُ‫ َو َمٓا أُ ِري ُد أَ ۡن أُ َخالِفَ ُكمۡ إِلَ ٰى َمٓا أَ ۡن َه ٰى ُكمۡ َع ۡن ۚه‬...
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang
aku larang.” (Hud: 88)
8. Para nabi diutus dengan membawa kebaikan dan untuk memperbaiki, serta
mencegah timbulnya kejahatan dan kerusakan.
Seluruh kebaikan dan perbaikan dalam urusan agama dan dunia merupakan ajaran
para nabi, terutama imam dan penutup para nabi tersebut yaitu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah menampakkan dan
mengulang kembali landasan utama ini dan telah pula meletakkan dasar-dasar
yang besar manfaatnya, di mana mereka berjalan di atasnya dalam berbagai
urusan duniawi, sebagaimana juga beliau telah meletakkan dasar-dasar utama
dalam urusan agama.
9. Pada dasarnya wajib bagi tiap orang untuk berupaya dengan sungguh-
sungguh dalam kebaikan dan perbaikan. Wajib pula baginya untuk
meminta pertolongan Rabbnya dalam usaha tersebut agar dia mengetahui
bahwa dia tidak mampu melakukan atau menyempurnakannya kecuali
dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, seperti yang dikatakan
Nabi Syu’aib ‘alaihissalam, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu
wa ta’ala,
ُ ِ‫َو َما ت َۡوفِيقِ ٓي إِاَّل بِٱهَّلل ۚ ِ َعلَ ۡي ِه تَ َو َّك ۡلتُ َوإِلَ ۡي ِه أُن‬
٨٨ ‫يب‬
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya
kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud:
88)
10. Seorang da’i yang mengajak umat kembali kepada Allah subhanahu wa
ta’ala sangat membutuhkan sifat santun, akhlak yang baik, serta
kesanggupan mengimbangi perkataan dan perbuatan yang buruk yang
ditujukan kepadanya dengan perbuatan yang sebaliknya.
Sepantasnya dia tidak memedulikan gangguan orang lain dan jangan sampai
menghalangi mereka sedikit pun dari seruannya. Akhlak seperti ini yang paling
sempurna hanya ada pada diri para rasul ‘alaihimussalam.
Perhatikanlah keadaan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam dan kemuliaan akhlaknya
bersama kaumnya. Bagaimana beliau mengajak kaumnya dengan segala macam
cara, sementara mereka justru memperdengarkan kepada mereka kata-kata yang
buruk dan membalas seruan itu dengan perbuatan-perbuatan yang keji.
Beliau ‘alaihissalam tetap menunjukkan sikap santun, memaafkan mereka dan
berbicara kepada mereka dengan kalimat-kalimat yang tidak keluar dari orang
seperti beliau selain kebaikan.
Akhlak seperti ini adalah akhlak orang-orang yang berhasil dan memiliki
keberuntungan yang besar. Tentunya pemiliknya mempunyai kedudukan mulia
dan kenikmatan yang kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengan ini semua, menjadi ringanlah baginya untuk mengobati umat yang telah
demikian rusak akhlak mereka, (yang bagi orang lain) adalah suatu perkara yang
sangat sulit dan bahkan lebih sulit daripada upaya membongkar sebuah gunung
dari dasarnya.

Sementara itu kaumnya terus-menerus tenggelam dalam keyakinan dan pemikiran


yang rusak, bahkan mereka kerahkan semua harta, jiwa, dan raga mereka untuk
mengutamakan dan melebihkannya di atas segala-galanya.

Apakah Anda mengira, bahwa orang-orang seperti mereka ini akan merasa cukup
puas hanya dengan ucapan semata bahwa keyakinan dan pemikiran yang mereka
anut adalah salah dan rusak? Ataukah Anda mengira bahwa mereka akan
memaafkan orang yang mencaci-maki mereka dan menghina keyakinan mereka?
Sekali-kali tidak, demi Allah.

Sesungguhnya mereka ini betul-betul membutuhkan bermacam-macam cara untuk


memperbaiki keyakinan mereka, dan itu hanya dengan cara yang diserukan oleh
para rasul. Di mana para rasul itu mengingatkan manusia dengan nikmat-nikmat
Allah subhanahu wa ta’ala dan bahwa Dzat yang sendirian memberikan
kenikmatan kepada mereka itulah yang sesungguhnya berhak menerima
peribadahan, apa pun bentuknya. Demikian pula para rasul itu menyebutkan
kepada mereka berbagai kenikmatan yang terperinci dan tidak mungkin dapat
dihitung oleh siapa pun kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Para rasul itu mengingatkan pula bahwa dalam keyakinan dan pendirian mereka
terdapat kerusakan dan penyimpangan, kegoncangan serta pertentangan yang
dapat merusak keyakinan atau keimanan yang mendorong untuk ditinggalkan.
Para rasul juga mengingatkan manusia tentang hari-hari Allah subhanahu wa
ta’ala yang ada di hadapan dan di belakang mereka serta siksaan-Nya yang telah
menimpa umat-umat yang mendustakan para rasul, mengingkari tauhid. Mereka
mengingatkan bahwa hanya dengan beriman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya
akan mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan serta kemanfaatan dalam agama
dan dunia, yang tentunya akan menarik hati siapa pun dan memudahkan untuk
mencapai semua tujuan.
Dengan ini semua maka seseorang membutuhkan sikap yang baik terhadap
mereka. Minimal, adalah bersabar atas gangguan dan semua keburukan yang
muncul dari mereka dan selalu berkata lemah lembut dengan mereka. Perlunya
pula mengupayakan semua jalan yang mengandung hikmah dan berdialog
bersama mereka dalam berbagai urusan dengan mencukupkan sebagian yang
diizinkan (diterima) jiwa mereka untuk menyempurnakannya.

11. Perlu diperhatikan pula perlunya mendahulukan hal-hal yang paling utama
kemudian yang berikutnya. Yang paling besar usahanya melaksanakan
semua ini adalah penutup para nabi dan imam seluruh makhluk ini, yaitu
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
* Pengertian dagang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dagang merupakan pekerjaan


yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh
keuntungan.

Berdagang adalah salah satu jenis usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Perdagangan yang dilakukan adalah kegiatan tukar
menukar barang atau jasa antara penjual dan pembeli. Usaha perdagangan dalam
ekonomi Islam merupakan usaha yang mendapatkan penekanan khusus, karena
keterkaitannya secara langsung dengan sektor riil.

*Fastabiqul Khairat

Fastabiqul khairat adalah sebuah ajakan yang artinya `berlomba-lombalah


berbuat kebajikan` sebuah pesan singkat akan tetapi Masya Allah maknanya.
Kalimat Fastabiqul Khairat bs kamu temukan di dlm QS. Al Baqaroh: 148 n Al
Maa`idah: 48 Kebaikan yang dimaksud pasti kebaikan yang sesuai dengan
perintah Alloh,banyak contoh dari berfastabiqul khairat, menolong sesama, guru
bisa menjadi teladan yang baik bagi siswanya, penjual bisa berdagang dengan
jujur, pemerintah bisa jujur adil dan bijaksana dan banyak lagi.

* Perdagangan dalam syariah

Agama Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan


atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha
perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan
mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di
bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan
akhirat.

Secara etimologi perdagangan yang intinya jual beli, berarti saling menukar. Al-
Bai' arti nya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang
lainya) dan asy-Syira' artinya beli

* Berdagang di mesjid

Jual beli merupakan salah satu aktifitas manusia yang mendapatkan apresiasi dan
pembahasan yang sangat banyak dalam syariat Islam, karena kehidupan manusia
tidak akan bisa tegak dan maksimal tanpa adanya praktek jual beli (bisnis) untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya

*Perilaku terpuji dalam perdagangan

Menurut Imam Al-Ghozali ada enam sifat perilaku yang terpuji dalam
perdagangan, yaitu:
1.       Tidak mengambil laba lebih banyak, seperti yang lazim dalam dunia dagang.
Jika dipikirkan perilaku demikian ini, maka dapat dipetik hikmahnya, yaitu
menjual barang lebih murah dari saingan atau sama dengan pedagang lain yang
sejenis, membuat konsumen akan lebih senang dengan pedagang seperti ini,
apalagi diimbangi dengan pelayanan yang memuaskan.

2.       Membayar harga agak lebih mahal kepada pedagang miskin, ini adalah amal
yang lebih baik daripada sedekah biasa.

3.       Memurahkan harga atau memberi potongan kepada pembeli yang miskin, hal
ini dapat mendapatkan pahala yang berlipat ganda.

* Nabi sueb sebagai nabi ekonomi penegak kejujuran

Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat Syu’aib ‘alaihissalam menjadi nabi dan


mengutus beliau ke negeri Madyan. Kejahatan yang dilakukan penduduk Madyan
tidak hanya melakukan kesyirikan, tetapi juga berbuat curang dalam timbangan
dan takaran. Melakukan kecurangan dalam bermuamalah dan mengurangi hak
orang lain mereka lakukan. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengajak mereka untuk
beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja dan melarang mereka
berbuat syirik. Beliau juga memerintahkan agar berbuat adil dan jujur dalam
bermuamalah, serta mengingatkan mereka agar jangan merugikan orang lain.

3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang telah kami susun ini yang berjudul
bisnis islam sebagai pekerjaan yang mulia, masih memeliki kekurangan-
kekurangan maka dari itu diharapkan para pembaca untuk mengkonsumsi buku-
buku atau sumber lainnya yang penulis pakai dalam menyusun makalah ini untuk
mengetahui terlebih dalam lagi kelengkapan dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
 http://tugasarifitri.blogspot.com/p/makalah-perdagangan.html?m=1
 https://pegadaiansyariah.co.id/manfaat-berdagang-ternyata-luar-biasa-detail-
4839
 https://www.google.com/amp/s/abufawaz.wordpress.com/2012/04/10/hadits-
hadits-shohih-tentang-keutamaan-perniagaan-dan-pengusaha-muslim/amp/
 https://www.google.com/amp/s/anisanurul2728.wordpress.com/2017/06/20/m
emaknai-arti-kata-fastabiqul-khoirot-atau-berlomba-lomba-dalam-
kebaikan/amp/
 https://m.facebook.com/permalink.php?
story_fbid=617699335017056&id=607871769333146
 https://m.facebook.com/riddatunsyadidah/posts/268338196709546
 http://asysyariah.com/kisah-nabi-syuaib/
 http://alvirima.blogspot.com/2013/03/perilaku-terpuji-dalam-
perdagangan.html
 http://ruslanfariadiam.blogspot.com/2017/12/hukum-berjualan-di-area-
masjid.html

Anda mungkin juga menyukai