Anda di halaman 1dari 4

SSJ

Definisi
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik
dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium. Sindrom Stevens
Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal juga dengan
sebutan eritema multiforme mayor. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi)
terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko
penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia, kasus
lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya (Darmawan, 2014).

Epidemiologi
Di Eropa dan Amerika Serikat, angka kejadian SSJ diperkirakan 1-6 kasus per 1 juta
pasien per tahun, lebih jarang pada pria dengan sex ratio 0,6. Kasus SSJ paling sering
ditemukan setelah dekade ke-4. Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa namun telah
dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. Sindrom Stevens-Johnson juga
dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia (Allanore dan Roujeau, 2008; Foster, 2017).

Pemeriksaan Penunjang SSJ


a. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakteri berat.
 Kultur darah, urin, dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya
infeksi.
 Imunofluoresensi banyak membantu membedakan Sindrom Steven Johnson dengan
penyakit kulit dengan lebuh subepidermal lainnya.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara
klinis.
c. Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan
merupakan prosedur gawat darurat. Gambaran histopatologi SSJ sesuai dengan eritema
multiforme, bervariasi dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang
menyeluruh.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit
yang secara umum meliputi:
a. Rawat inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari
keadaan penderita (Ramayanti, 2011).
b. Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid
yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6
x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila
keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami
involusi, maka dosis segera diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis
mencapai 5mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi
10mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan
preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari (Hamzah, 2007).
c. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas
penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik
yang diberikan hendaknya yang jarang menyebabkan alergi berspektrum luas, bersifat
bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain
siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600mg
intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg (Hamzah, 2007; Ramayanti, 2011).
d. Infuse dan Transfusi Darah
Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan
atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau
minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang
menurun. Infuse yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi
yang telah diberikan dan penderita belum menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari,
maka penderita dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-
turut, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia (Hamzah,
2007 ; Ramayanti, 2011).
e. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium
atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral
(Ramayanti, 2011)
f. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks
adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik
dengan dosis 1 mg (Siregar, 2004).
g. Agen Hemostatik Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura
yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K (Siregar, 2004).

Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia. Komplikasi yang lain ialah
kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat
terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

Prognosis
Skala SCORTEN ialah skala untuk menentukan keparahan dan prognosis penyakit kulit
berlepuh. Awalnya, skala tersebut dikembangkan untuk NET, tetapi kemudian dipakai pada
SSJ, luka bakar, dan reaksi obat. Skala SCORTEN memiliki banyak variabel dan
menggunakannya untuk menentukan faktor resiko kematian pada SSJ dan NET. Variabel
tersebut adalah :
 Usia >40 tahun
 Denyut nadi >120 x /menit
 Kanker atau keganasan hematologis
 Luas permukaan tubuh yang terkena >10%
 Kadar urea serum >10 mmol/L (BUN >27mg/dL)
 Kadar bikarbonat serum <20 mmol/L
 Kadara glukosa serum >14 mmol/L (<250 mg/dL) (Darmawan, 2014)
Setiap variable memikiki nilai 1, angka mortalitasnya sebagai berikut
 SCORTEN 0-1 angka mortalitasnya 3,2%
 SCORTEN 2 angka mortalitasnya 12,1%
 SCORTEN 3 angka mortalitasnya 35,3%
 SCORTEN 4 angka mortalitasnya 58,3%
 SCORTEN >5 angka mortalitasnya 90% (Darmawan, 2014)

Daftar Pustaka
Darmawan, Hari. 2014. Sindrom Stevens-Johnson Diduga Akibat Siprofloksasin. Cermin
Dunia Kedokteran Edisi 217. 41(6) : 432-435.
Allanore LV, Roujeau JC. 2008. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leff el DJ, editors. Fittzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill Companies Inc.
Foster CS. 2017. Stevens-Johnson syndrome [Internet] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview (Accessed 19 September
2018)
Siregar RS. 2004. Sindrom Stevens Johnson. Saripati Penyakit Kulit 2nd edition. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hamzah M. 2007. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ramayanti, Sri. 2011. Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita Sindrom
Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas. 2(35) : 91-97.

Anda mungkin juga menyukai