1
1 Saoki, (Online), “Islam Sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Majelis
Konstituante)”, 7 Januari 2014, http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764 , diakses 2 April 2015
Islam sebagai dasar negara. Perdebatan antara kedua kubu tersebut dalam sidang
BPUPKI akhirnya diselesaikan dengan “Piagam Jakarta”.
BPUPKI sendiri merupakan realisasi janji Jepang mengenai kemerdekaan
Indonesia yang didirikan pada tanggal 9 April 1945, dan Hanya 15 dari 68 anggota
BPUPKI dianggap benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam, yakni
K.H.A. Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), K.H. Mas
Mansur (Muhammadiyah), Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), K.H.A.
Wachid Hasjim, K.H. Masjkur (NU), Sukiman Wirjosandjojo (PII sebelum perang),
Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang), dan K.H.
Abdul Halim (PU). Sedangkan perwakilan dari kelompok nasionalis adalah Dr.
Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI), Soekarno, Mohammad Hatta,
Profesor Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan
Dr. Buntaran Martoatmodjo. 2
Perdebatan tersebut secara genealogis merupakan bagian dari
konsekuensi problematis penggunaan model negara-bangsa (nation-state).
Kecenderungan pemaksaan artifisial mengenai keseragaman untuk mencapai cita-
cita persatuan bangsa terjadi di dalam model negara-bangsa adalah
konsekuensi problematis tersebut. Ide mengenai penyatuan bangsa tersebut
ditemukan pada kisaran tahun 1920 yang menjadi topik diskusi gerakan-
gerakan kemerdekaan. Ide penyatuan tersebut mendapatkan momen ketika
Belanda jatuh, dan Jepang dalam perang Asia Pasifik menderita kekalahan.
Penting untuk melihat bahwa kondisi diskursus antara kelompok Islam Politik
dan kelompok Nasionalis-Sekuler pasca kemerdekaan berakar dari
apa yang disebut Syafii Maarif sebagai “kevakuman politik-intelektual” 3 yang
ditinggalkan oleh PKI setelah tahun 1927. Kevakuman politik intelektual
sebenarnya mengafirmasi tiga ideologi politik yang bersaing dalam sejarah
awal Indonesia, yakni Islam, Marxisme, dan Nasionalisme-Sekuler. Meskipun
ketiga ideologi besar tersebut pada saat Jepang masuk ke Indonesia tahun 1930
hingga 1942 tidak menjadi ideologi dominan disebabkan oleh perpecahan
internal semisal yang terjadi dalam kubu Marxisme dan kubu Nasionalisme-
Sekuler.
Pasca kolonialisme Belanda, dan penguasaan Jepang atas Indonesia,
usaha-usaha perumusan dan penyusunan dasar negara merupakan hal yang paling
krusial pasca kemerdekaan Indonesia. Berkaitan dengan kepentingan menyusun
dasar negara, pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuk Badan Usaha Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Islam sebagai konsep, dipahami oleh masyarakat Indonesia dengan
berbagai pengertian yang pada sisi lain turut mempengaruhi implikasinya dalam
persoalan-persoalan lebih luas. Clifford Geertz membagi pemahaman dan praktik
masyarakat Jawa yang dengan tiga konsep; santri, abangan, priyayi. Selain trikotomi
Geertz tersebut, secara umum masyarakat muslim Indonesia dapat dilihat juga
menggunakan dua kategori identitas yakni kelompok modernis dan kelompok
pesantren. Dua kelompok tersebut berbeda dalam persoalan perilaku spiritual
maupun sosial, namun sama-sama memandang bahwa demokrasi merupakan
2
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi Tentang Perdebatan
dalam Konstituante, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hlm. 92
3
Ibid
mekanisme politik yang paling baik bagi pencapaian tujuan dan cita-cita Islam.
Meskipun demikian, tetapi menjadi kesulitan tersendiri untuk melacak isu tentang
kapan konsep negara Islam muncul dalam sejarah Indonesia modern.
C. Rumusan Masalah
Rumusan dalam penelitian ini berangkat dari dari latar belakang
masalah yang berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana perdebatan
antara kelompok Islam Politik melalui Partai Masyumi dan kelompok
Nasionalis-Sekuler mengenai dasar negara Indonesia dalam persidangan
Majelis Konstituante melalui dua dari tiga draft rancangan yang diajukan oleh
tiga fraksi yakni Pancasila, dan Islam. Perdebatan dalam Konstituante
terutama yang ditunjukkan oleh kelompok Islam menjadi informasi penting 6
D. Metodologi
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, kajian ini menggunakan
pendekatan sejarah yang bertumpu pada
1. Sumber Penelitian
Terdapat dua jenis sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini, yakni: sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer terdiri atas
(a) dokumen mengenai catatan-catatan yang berkaitan dengan proses sidang
dalam Majelis Konstituante, (b) wawancara dengan subjek-subjek yang
terlibat dalam proses-proses sidang dan rapat Majelis Konstituante, (c)
dokumen resmi yang berkaitan dengan Majelis Konstituante.
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
penelitian-penelitian yang membahas mengenai perdebatan dalam Majelis
Konstituante, kajian sejarah politik pasca tahun 1945, dan kajian mengenai
politik Islam.
E. Eksplorasi Kepustakaan
Eksplorasi kepustakaan tentang perdebatan antara kelompok Islam
Politik dan kelompok Nasionalis-Sekuler akan menyinggung tentang sumber-
sumber akademis yang mengkaji situasi politik pada masa-masa awal
kemerdekaan. Terdapat banyak kajian mengenai hal ini, oleh karenanya akan
difokuskan pada beberapa kajian saja tetapi mewakili representasi kajian
yang meliputi pada proses-proses sejarah berkenaan dengan perdebatan
dalam Majelis Konstituante, diantaranya mengenai (A) Piagam Jakarta, (B) 7
7 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, (Jakarta: Teraju,
2002).
8 Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Mutaqin, (Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 2000), hlm. 32. 9
16 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi
tentang
Perdebatan Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 114. 13
Masyumi. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) pada bulan Juli tahun 1947
keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai independen,
kemudian disusul NU yang keluar dari Masyumi pada Kongres NU di
Palembang tahun 1952 dan mengubah dirinya dari gerakan sosio-keagamaan
menjadi partai politik.
Perihal perebutan kekuasaan politis menjadi penyebab mengapa
perpecahan dalam tubuh Masyumi terjadi. A.R. Baswedan menyatakan
bahwa watak federatif Masyumi yang dicirikan melalui anggota biasa dan
anggota istimewa dapat menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yang luar
biasa, apalagi jika diikuti oleh sikap sektarian ekstrim. 17 Potensi perpecahan
dalam tubuh Masyumi dimanfaatkan oleh kelompok Nasionalis-Sekuler
untuk menghadapkan secara diametral unsur-unsur yang memang rentan
dalam Masyumi. Maka persatuan yang didaulat oleh kelompok Islam pada
kongres Nopember 1945 tidak dapat dipertahankan.
itu akan merupakan rangkaian butir-butir pasir yang kering, yang tidak ada
mengandung kekuatan apapun juga.” 21 Menurut Ahmad Syafii Maarif
sekalipun Natsir mengungkapkan Islam sebagai dasar penting bagi Negara,
terdapat perbedaan besar dengan Abu A’la Al-Maududi. Bagi Natsir,
demokrasi modern bukan sesuatu yang bersifat syirik, melainkan sebuah
sarana modern mekanisme politik yang dapat membantu Islam mewujudkan
cita-cita politiknya. Meskipun demikian, perihal konsep Kedaulatan Tuhan
(the Sovereignty of God) sama dengan Al-Maududi.
Dalam karangan lain yang berjudul Agama dan Negara, Natsir
menyatakan bahwa Islam dapat dipandang sebagia sintesa antara demokrasi
dan otokrasi atau sistem politik diktatorial. Pandangan Natsir tersebut berbeda
dengan tokoh berikut yang akan disinggung berkaitan dengan pembahasan
Islam sebagai dasar negara, yakni Zainal Abidin Ahmad seorang modernis
Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ahmad dipilih
sebagai ketua IV Parlemen Indonesia mewakili Masyumi sesudah Pemilihan
Umum 1955. Terdapat tiga karangan Ahmad yang langsung berkaitan dengan
teori Politik Islam, yakni: Membentuk Negara Islam, Islam dan
Parlementerisme, dan Republik Islam Demokratis.
Secara ringkas, pandangan Islam Politik atau Islam dan Negara menurut
Ahmad berangkat dari interpretasinya terhadap terma Al-Qur’an semisal ulu
l-amr dan ungkatan minkum. Berdasarkan analisisnya, Ahmad melihat bahwa
konsep demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Upaya Ahmad untuk
memberikan landasan bagi teorinya tentang Syura dan ulu l-amr, dilakukan
melalui tiga landasan argumentatif yakni: asy-Syura ayat 38, ali Imran ayat
159, dan an-Nisa ayat 59. Melalui tiga landasan normatif tersebut, Ahmad
bermaksud menunjukkan bahwa Islam sepenuhnya berpihak pada demokrasi.
Pidato Ahmad di hadapan Majelis Konstituante mengajukan dua alasan
mengapa Islam harus dipilih sebagai dasar negara. Pertama, kelompok
penguasa menjalankan pemerintahan harus berdasarkan pada persetujuan
21 Dikutip dari, Ibid, Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., hlm. 132. 17
22 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti, 1987),
hlm.
264. 18
usulan tersebut, jumlah 2/3 suara yang diperlukan dalam Majelis Konstituante
tidak dapat tercapai agar usulan diterima.
G. Kesimpulan
Sumber awal dari perdebatan dalam Majelis Konstituante berasal dari
penafsiran Soekarno terhadap Pancasila. Menurut Soekarno, Pancasila
sejatinya dapat diperas menjadi Ekasila yakni gotong royong. Penafsiran
Soekarno tersebut tidak dapat diterima oleh perwakilan-perwakilan Islam
dalam Konstituante.
Perdebatan yang terjadi antara perwakilan Islam serta perwakilan
kelompok Nasionalis-Sekuler merupakan bagian dari sejarah politik
Indonesia modern. Perdebatan tersebut terjadi pada negara-negara yang
masa-masa pembentukannya berjumpa dengan gelombang demokrasi dan
nasionalisme global. Pengaruh perdebatan ini dalam kajian-kajian lanjutan
mengenai diskursus ketatanegaraan maupun perkembangan pemikiran politik
kenegaraan di Indonesia menjadi topik pembahasan yang selalu menarik.
Argumentasi yang dibangun selama perdebatan dalam sidang-sidang
Majelis Konstituante pada 1956-1959 menunjukkan informasi tentang
kondisi intelektual ummat Islam berkaitan dengan persoalan-persoalan
kenegaraan. Ahmad Syafii Maarif mendeskripsikan bahwa kondsi intelektual
ummat Islam baik pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi mengalami
fragmentasi politik. Namun, permasalahan yang cukup serius justru
ditunjukkan oleh kondisi intelektual ummat Islam itu sendiri secara
keseluruhan yang masih sangat bergantung pada elit-elit politiknya.
Ketergantungan tersebut menyebabkan ummat Islam sulit untuk merumuskan
cita-citanya menghadapi diskursus pemikiran politik modern.
Konsep-konsep negara Islam dengan demikian mengalami dua
persoalan serius. Pertama adalah basis intelektualitas ummat Islam untuk
memainkan peran-perannya tidak cukup kuat berkaitan dengan persoalan
kenegaraan. Kedua, basis sosio-politik hingga ekonomi ummat Islam yang
belum selesai menyebabkan fragmentasi politik sehingga ummat Islam 21
Daftar Pustaka
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik; Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965, Yogyakarta: Gema Insani Pers, 1996.
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam; Soekarno Versus Natsir, Jakarta: Teraju,
2002.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Islam dan Negara Sekuler, terj. Sri Murniati,
Bandung: Mizan, 2007.
Ali Engineer, Asghar, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Mutaqin, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan,
1984.
Engineer, Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Mutaqin, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Purpose of
Musli Acceptance of the Pancasila, disertasi Ph.D, Montreal: McGIll
University, 1995.
Federspiel, Howard M., Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State; The
Persatuan Islam (Persis) 1923-1957, Leiden: Koninklijke Bril NV, Leiden,
2001.
Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentlemen’s
Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern
Indonesia, tesis M.A., Montreal: McGill University, 1976.
Saoki, (Online), “Islam Sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Majelis
Konstituante)”, 7 Januari 2014, http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764, diakses 2
April 2015.