Anda di halaman 1dari 19

ISLAM DAN SEBUAH IDENTITAS IDEOLOGIS

(Membicarakan Kembali Percaturan Dalam Majelis Konstituante Tahun 1956-1959)

A. Latar Belakang Masalah

Perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara pasca kemerdekaan


Indonesia tahun 1945 tidak pernah lepas dari diskursus kelompok Islam Politik
yang menghendaki Islam menjadi dasar negara, dan gagasan kelompok Nasionalis-
Sekular yang menghendaki pembagian wilayah politis antara kepercayaan dan
ruang publik. Indonesia sebagai negara dengan dominasi kuantitatif penduduk
beragama Islam mengalami problematika yang sama dengan negara-negara di
Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Asia Selatan dalam perihal mendudukkan
agama dalam kehidupan bernegara pada masa-masa awal kemerdekaan. 1 Dalam
konteks kehidupan politik abad modern, arus demokrasi dan nasionalisme turut
mendapat perhatian negara-negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaan-
nya awal abad 20, termasuk intelektual Muslim di Indonesia.
Terdapat empat isu yang mendapat perhatian intelektual Muslim di
Indonesia awal abad 20, antara lain; pertama, bagaimana menyesuaikan Islam
dengan bangsa dan budaya lokal; kedua, bagaimana menerapkan kepercayaan dan
praktik kehidupan ala Islam sebagai modus operandi dalam daerah atau wilayah di
Indonesia yang berarti merumuskan stuktur politik yang secara tepat merefleksikan
nilai Islam dan mempertimbangkan kehidupan Islami; keempat, bagaimana
mengadaptasi pemikiran dan teknologi modern sesuai dengan kultur Muslim
Indonesia. Selain empat hal tersebut, seperti yang sudah dikemukakan di atas,
pertemuan antara Islam, Nasionalisme, dan demokrasi juga turut memberikan
informasi penting untuk menelusuri latar belakang peristiwa perdebatan antara
kelompok Islam Politik dan Nasionalis-Sekuler tentang dasar negara di Indonesia.
Respon terhadap dinamika arus nasionalisme dan demokrasi di Indonesia
menyebabkan gesekan-gesekan antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis-
Sekuler. Gesekan dua kubu tersebut sebenarnya merupakan proses dikotomi
varian antara kelompok muslim yang menghendaki kaitan formal agama dan
negara, dan yang menghendaki pembagian ruang antara politik dan dimensi
keagamaan.
Salah-satu sejarah perdebatan antara kedua kelompok tersebut terjadi
sepanjang awal-awal pembentukan dan setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia tahun 1945 hingga ditetapkannya demokrasi terpimpin oleh Soekarno
pada tahun 1959-1965 sebagai respon dari kebuntuan perdebatan antara kelompok
Islam dan kelompok Nasionalis-Sekuler dalam Majelis Konstituante.
Akar perdebatan antara kelompok Islam Politik dan kelompok Nasionalis-
Sekular bersumber dari masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan antara Natsir dan
Soekarno pada tahun 1930-1940 tentang hubungan antara negara dan agama
berlanjut hingga sidang BPUPKI. Perdebatan dalam sidang BPUPKI antara
kelompok yang mengajukan argumen bahwa Indonesia sebagai negara
sebaiknya mengacu pada ideologi kebangsaan, dan kelompok yang mengajukan

1
1 Saoki, (Online), “Islam Sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Majelis
Konstituante)”, 7 Januari 2014, http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764 , diakses 2 April 2015
Islam sebagai dasar negara. Perdebatan antara kedua kubu tersebut dalam sidang
BPUPKI akhirnya diselesaikan dengan “Piagam Jakarta”.
BPUPKI sendiri merupakan realisasi janji Jepang mengenai kemerdekaan
Indonesia yang didirikan pada tanggal 9 April 1945, dan Hanya 15 dari 68 anggota
BPUPKI dianggap benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam, yakni
K.H.A. Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), K.H. Mas
Mansur (Muhammadiyah), Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), K.H.A.
Wachid Hasjim, K.H. Masjkur (NU), Sukiman Wirjosandjojo (PII sebelum perang),
Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang), dan K.H.
Abdul Halim (PU). Sedangkan perwakilan dari kelompok nasionalis adalah Dr.
Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI), Soekarno, Mohammad Hatta,
Profesor Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan
Dr. Buntaran Martoatmodjo. 2
Perdebatan tersebut secara genealogis merupakan bagian dari
konsekuensi problematis penggunaan model negara-bangsa (nation-state).
Kecenderungan pemaksaan artifisial mengenai keseragaman untuk mencapai cita-
cita persatuan bangsa terjadi di dalam model negara-bangsa adalah
konsekuensi problematis tersebut. Ide mengenai penyatuan bangsa tersebut
ditemukan pada kisaran tahun 1920 yang menjadi topik diskusi gerakan-
gerakan kemerdekaan. Ide penyatuan tersebut mendapatkan momen ketika
Belanda jatuh, dan Jepang dalam perang Asia Pasifik menderita kekalahan.
Penting untuk melihat bahwa kondisi diskursus antara kelompok Islam Politik
dan kelompok Nasionalis-Sekuler pasca kemerdekaan berakar dari
apa yang disebut Syafii Maarif sebagai “kevakuman politik-intelektual” 3 yang
ditinggalkan oleh PKI setelah tahun 1927. Kevakuman politik intelektual
sebenarnya mengafirmasi tiga ideologi politik yang bersaing dalam sejarah
awal Indonesia, yakni Islam, Marxisme, dan Nasionalisme-Sekuler. Meskipun
ketiga ideologi besar tersebut pada saat Jepang masuk ke Indonesia tahun 1930
hingga 1942 tidak menjadi ideologi dominan disebabkan oleh perpecahan
internal semisal yang terjadi dalam kubu Marxisme dan kubu Nasionalisme-
Sekuler.
Pasca kolonialisme Belanda, dan penguasaan Jepang atas Indonesia,
usaha-usaha perumusan dan penyusunan dasar negara merupakan hal yang paling
krusial pasca kemerdekaan Indonesia. Berkaitan dengan kepentingan menyusun
dasar negara, pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuk Badan Usaha Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Islam sebagai konsep, dipahami oleh masyarakat Indonesia dengan
berbagai pengertian yang pada sisi lain turut mempengaruhi implikasinya dalam
persoalan-persoalan lebih luas. Clifford Geertz membagi pemahaman dan praktik
masyarakat Jawa yang dengan tiga konsep; santri, abangan, priyayi. Selain trikotomi
Geertz tersebut, secara umum masyarakat muslim Indonesia dapat dilihat juga
menggunakan dua kategori identitas yakni kelompok modernis dan kelompok
pesantren. Dua kelompok tersebut berbeda dalam persoalan perilaku spiritual
maupun sosial, namun sama-sama memandang bahwa demokrasi merupakan
2
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi Tentang Perdebatan
dalam Konstituante, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hlm. 92
3
Ibid
mekanisme politik yang paling baik bagi pencapaian tujuan dan cita-cita Islam.
Meskipun demikian, tetapi menjadi kesulitan tersendiri untuk melacak isu tentang
kapan konsep negara Islam muncul dalam sejarah Indonesia modern.

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah politik kontemporer
Indonesia khususnya mengenai perjalanan merumuskan dasar negara yang
diwarnai oleh perdebatan antara kelompok Islam Politik dan kelompok
Nasionalis-Sekuler. Di samping itu juga untuk mengetahui mengapa
perjuangan politik kelompok Islam tidak dapat berkembang dalam kontestasi
politik modern Indonesia.
Hasil dari penelitian ini diharapkan (1) dapat menjadi sumber tentang
kontestasi politik yang terjadi pada awal-awal proses perumusan dasar negara
pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, (2) dapat mengungkap dinamika
perjalanan politik berbagai kelompok di Indonesia, khususnya kelompok
Islam dan kelompok Nasionalis-Sekuler, (3) dapat dipergunakan sebagai
penyempurnaan bagi penelitian-penelitian sejenis.

C. Rumusan Masalah
Rumusan dalam penelitian ini berangkat dari dari latar belakang
masalah yang berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana perdebatan
antara kelompok Islam Politik melalui Partai Masyumi dan kelompok
Nasionalis-Sekuler mengenai dasar negara Indonesia dalam persidangan
Majelis Konstituante melalui dua dari tiga draft rancangan yang diajukan oleh
tiga fraksi yakni Pancasila, dan Islam. Perdebatan dalam Konstituante
terutama yang ditunjukkan oleh kelompok Islam menjadi informasi penting 6

tentang bagaimana situasi intelektual ummat Islam Indonesia berkaitan


dengan masalah-masalah politik kenegaraan.

D. Metodologi
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, kajian ini menggunakan
pendekatan sejarah yang bertumpu pada
1. Sumber Penelitian
Terdapat dua jenis sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini, yakni: sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer terdiri atas
(a) dokumen mengenai catatan-catatan yang berkaitan dengan proses sidang
dalam Majelis Konstituante, (b) wawancara dengan subjek-subjek yang
terlibat dalam proses-proses sidang dan rapat Majelis Konstituante, (c)
dokumen resmi yang berkaitan dengan Majelis Konstituante.
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
penelitian-penelitian yang membahas mengenai perdebatan dalam Majelis
Konstituante, kajian sejarah politik pasca tahun 1945, dan kajian mengenai
politik Islam.

2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data


Data yang diperoleh melalui arsip dan kepustakaan dianalisis secara
kritis. Validasi data menggunakan trianggulasi subjek yakni suatu upaya
memverifikasi validitas data melalui penelusuran data teks dan data verbatim.

E. Eksplorasi Kepustakaan
Eksplorasi kepustakaan tentang perdebatan antara kelompok Islam
Politik dan kelompok Nasionalis-Sekuler akan menyinggung tentang sumber-
sumber akademis yang mengkaji situasi politik pada masa-masa awal
kemerdekaan. Terdapat banyak kajian mengenai hal ini, oleh karenanya akan
difokuskan pada beberapa kajian saja tetapi mewakili representasi kajian
yang meliputi pada proses-proses sejarah berkenaan dengan perdebatan
dalam Majelis Konstituante, diantaranya mengenai (A) Piagam Jakarta, (B) 7

proses penerimaan kelompok Islam atau Muslim terhadap Pancasila, (C)


perjalanan dialektika politik antara Islam, Pancasila, dan (D) Asas Tunggal,
serta berkenaan dengan studi kasus pemikiran masing-masing kelompok
terkait dengan perdebatan dalam Majelis Konstituante.
Tesis Saifuddin Anshari yang berjudul The Jakarta Charter of June
1945: A History of the Gentlemen’s Agreement between the Islamic and the
Secular Nationalist in Modern Indonesia 4 membahas perdebatan antara
kelompok Islam dan kelompok Nasionalis-Sekuler tentang Islam atau
Pancasila sebagai dasar negara. Dalam penelitian ini, Anshari menemukan
bahwa problem Piagam Jakarta menjadi salah-satu penyebab mengapa
perdebatan soal dasar negara tidak pernah tuntas hingga dekrit Presiden 5 Juli
1959 dikeluarkan sebagai respon atas kebuntuan dalam persidangan Majelis
Konstituante.
Disertasi Faisal Ismail yang berjudul Islam, Politics and Ideology in
Indonesia: a Study of the Purpose of Musli Acceptance of the Pancasila, 5
membahas tiga respon mayor Muslim terhadap Pancasila. Tiga respon
tersebut berkaitan dengan Pancasila sebagai dasar negara, P4 sebagai
elaborasi formal Pancasilan, dan Pancasila sebagai asas tunggal bagi
organisasi sosial dan politik. penelitian ini menemukan bahwa untuk
persoalan Pancasila sebagai dasar negara dan elaborasi formalnya melalui P4
diterima secara terpaksa. Tetapi proses panjang yang mewarnai respon
kelompok Islam dengan memilih terpaksa diawali oleh perdebatan yang
panjang.
Buku Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal 6 karya Deliar Noer
merupakan salah-satu rujukan yang singkat tetapi sangat penting mengenai
proses-proses perjalan politik modern di Indonesia. Noer dalam buku ini

4 Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945: A History of the


Gentlemen’s
Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern
Indonesia, tesis M.A.,
(Montreal: McGill University, 1976).
5 Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Purpose of
Musli
Acceptance of the Pancasila, disertasi Ph.D, (Montreal: McGIll University, 1995).
6 Deliar Noer, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, (Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan, 1984). 8

hendak menjelaskan bagaimana proses sejarah yang sebenarnya terjadi


selama masa perdebatan panjang antara kelompok Islam dan kelompok
Nasionalis-Sekuler sebelum keluarnya Dekrit pembubaran Majelis
Konstituante. Noer menenggarai pihak Tentara dan PNI yang dipimpin
Suwirjo mendesak Presiden mengeluarkan Dekrit. Meskipun demikian, buku
ini lebih merupakan respon terhadap kebijakan rezim pemerintah orde baru
yang menyerukan Asas Tunggal, yang berarti bukan saja negara dan partai
politik yang berkewajiban menggunakan Pancasila sebagai dasar, tetapi juga
organisasi sosial keagamaan.
Buku Polemik Negara Islam 7 yang ditulis oleh Ahmad Suhelmi
membahas polemik dan debat antara Soekarno dan Mohammad Natsir.
Suhelmi menganalisis rantai keberlanjutan sejarah politik yang terjadi pada
awal-awal masa kemerdekaan dan realitas politik pasca reformasi. Suhelmi
menganalisis diskursus konsep Negara Islam melalui analisa pemikiran
Soekarno dan Natsir. Suhelmi menggunakan dokumen-dokumen primer dan
bahan sekunder untuk menganalisis latar belakang, perkembangan, dan
dinamika seputar gagasan Natsir tentang Negara Islam, dan Soekarno sebagai
represantasi dari Nasionalis-Sekuler terhadap gagasan Negara Islam tersebut.

F. Ruang Lingkup Pembahasan


1. Deskripsi Seputar Negara Islam
Konsep awal negara Islam masa Muhammad di Madinah bukan
merupakan bentuk teokratik. Asghar Ali Engineer menjelaskan bahwa bentuk
awal negara Islam lebih berkaitan dengan usaha klausul atau perundang-
undangan yang mengatur sistem hubungan sosial antara kaum Muhajirin
sebagai imigran, kaum Anshar, dan kaum Yahudi. 8 Kekuasaan Muhammad
terhadap madinah menurut Engineer sebagai bagian dari praktik kenegaraan.
Engineer bahkan menyatakan bahwa dalam praktiknya, Muhammad telah

7 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, (Jakarta: Teraju,
2002).
8 Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Mutaqin, (Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 2000), hlm. 32. 9

menjadi eksekutif, yudikatif, sekaligus legislatif. Dengan mengutip Taha


Husein bahwa Muhamad selalu menyerahkan perihal di luar wahyu kepada
para Sahabat, Engineer hendak mengafirmasi corak negara pada masa
pemerintahan Muhammad bukan merupakan teokrasi. 9
Istilah kelompok Islam Politik dan kelompok Nasionalis-Sekuler
dipergunakan dalam berbagai literatur dengan bermacam-macam variasi.
Deliar Noer 10 misalnya menggunakan istilah kelompok Umat yang berarti
kelompok muslim yang mempercayai Islam sebagai cara dan pandangan
hidup, yang dengan demikian meyakini tidak ada hal lain di dunia kecuali
mengakar dengan keimanan. Definisi kelompok Umat tersebut dipergunakan
secara bergantian dengan Kelompok Islam Politik disebabkan oleh
kecocokan kategoris antara dua istilah tersebut. Dalam kajian literatur
kontemporer tentang kelompok Islam Politik yang dekat dengan diskursus
agama dan negara juga muncul istilah semacam Islam Radikal, atau Islamis. 11
Dua istilah itu juga mengacu pada kelompok yang menginginkan berdirinya
kekhalifan atau negara Islam, atau kelompok yang menghendaki Syariah
sebagai sumber hukum.
Abdullahi Ahmed An-Na’im menggunakan istilah kelompok Islamis
untuk menjelaskan varian kelompok yang menginginkan penerapan Syariah
di Indonesia. 12 Kelompok Islamis ala An-Na’im termasuk gerakan Islam
yang menghendaki penerapan Syari’ah di tingkat Negara seperti Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Komite Indonesia untuk Solidaritas
Dunia Islam (KISDI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan beberapa gerakan
Islam lainnya. Haedar Nashir melakukan pembagian kelompok Islamis atau
gerakan Islam tersebut menjadi lima varian, yakni; Revivalisme Islam,

9 Ibid, Engineer, Devolusi..., hlm. 56-57


10 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik; Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi
Terpimpin
1959-1965, (Yogyakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 12.
11 Vedi Hadiz, “Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis Terhadap Radikalisme
Islam di
Indonesia”, Jurnal IndoProgress, Edisi I, September 2011.
12 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa
Depan
Syariah, terj. Sri Murniati, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 397. 10

Reformisme/ Modernisme Islam, Fundamentalisme Islam, Neomodernisme


Islam, dan Islam Tradisional. 13
Pada dasarnya secara historis, gagasan tentang negara Islam atau politik
Islam yang dibawa oleh intelektual muslim maupun gerakan-gerakan Islam
mengalami tantangan serius. Gerakan-gerakan Islam yang membawa
platform negara Islam pada umumnya mengidentikkan antara negara Islam
dengan model al-khulafa al-rasyidun atau disebut khilafah dan konsep
imamah. Teori politik Islam tersebut disandarkan pada intelektual-yuris
muslim abad pertengahan seperti al-Baqilani dan al-Mawardi. Doktrin politik
tersebut sebenarnya berhadap dengan teori politik Ibn Taimiyah yang
berusaha membebaskan teori politik Islam bebas dari bias mentalitas
masyarkat Islam abad pertengahan sekalipun belum berhasil. Pekerjaan
intelektual muslim tersebut kian terasa jauh dari perdebatan modern saat
Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa syarat pemimpin dalam Islam
harus berasal dari keturunan Quraisy.
Dalam konteks Indonesia, intelektual muslim semacam Natsir telah
melakukan lompatan intelektual yang cukup baik. Natsir sudah melampaui
Rasyid Ridha berkenaan perkara teori kepemimpinan dalam Islam. Natsir
misalnya tidak mempersoalkan istilah seperti khalifah, amirul mukminin,
imam atau sebagainya, yang penting sifat dan kewajibannya mengikuti apa
yang dikehendaki oleh Islam. Intelektual muslim Indonesia seperti Natsir dan
Zainal Abidin Ahmad dengan masing-masing teori demokrasi ala Islamnya
mencoba merumuskan, mendiskusikan, dan mendebatkannya dengan
kelompok intelektual muslim maupun nasionalis lainnya. Perdebatan tersebut
menjadi arena penting dala melihat pekerjaan intelektual muslim di Indonesia
berkaitan dengan teori negara Islam ataupun teori Politik Islam.

13 Haedar Nashir, Islam Syariat; Reproduksi Syariah Ideologis di Indonesia,


(Bandung:
Mizan, 2013), hlm. 181-213. 11

2. Perjalanan Politik Kelompok Islam di Indonesia


Sidang Pleno pertama BPUPKI pada tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945
membahas dasar negara dan batas-batas daerah. Sidang pleo pertama tersebut
tidak menemukan titik temu. Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno melalui
pidatonya menyatakan bahwa “...saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita
hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu
golongan?...sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang dinamakan kaum
Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan yang demikian itulah kita punya
tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat
satu orang, bukan buat satu golongan.” 14
Pidato Soekarno tersebut tidak memuaskan banyak pihak, termasuk di
antaranya pihak Islam maupun sebagian muslim yang berdiri di jajaran
nasionalis-sekuler. Ketidapuasan tersebut menyebabkan reses selama satu
setengah bulan. Di antara masa reses tersebut, 36 anggota BPUPKI
membentuk panitia-panitia yang lebih kecil untuk membahas beberapa
persoalan termasuk di antaranya pancasila sebagai dasar negara. Hasil dari
sidang panitia kecil tersebut membuahkan apa yang kemudian dikenal
sebagai “Piagam Jakarta” dan ditandatangani pada 22 Juni 1945. Piagam
Jakarta sebagai kesepakatan politis-ideologis antara kelompok Islam dan
Nasionalis-Sekuler sebenarnya dilingkupi oleh perdebatan keras dan
kontroversial. Pada sidang kedua, pertengahan Juli 1945, Soekarno dan Agus
Salim menjadi penengah dan mediator dalam kondisi sidang yang semakin
alot tersebut. BPUPKI dibubarkan pada 17 Agustus 1945 dan perannya
digantikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan
Soekarno dan Hatta masing-masing ketua dan wakil. 15
Piagam Jakarta sebagai hasil dari kompromi tetap menimbulkan
kegelisahan bagi sebagian kelompok. Sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan, dengan Kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” meskipun dalam suasana euforia proklamasi tetap saja

14 Tempo, 18 Agustus 2013


15 Tempo, 18 Agustus 2013 12

dianggap belum memuaskan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, kelompok Islam


setuju untuk menghapus anak kalimat tersebut dengan syarat penambahan
atribut “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasca proklamasi, kesempatan bagi setiap kelompok untuk
mengartikulasikan aspirasinya mendapatkan momentum. Pasal 28 UUD 1945
memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk membentuk partai
politik sebagai sarana demokrasi. Kelompok Islam memanfaatkan
kesempatan tersebut dengan membentuk Masyumi (Majelsi Syura Muslimin
Indonesia) pada 7 Nopember 1945 di Yogyakarta. Masyumi sebagai
kendaraan politik kelompok Islam yang dibentuk ini berbeda dengan
Masyumi versi bentukan Jepang. Selain Perti yang berpusat di Bukittinggi,
Sumatera Barat, Masyumi mendapatkan respon yang hangat dari banyak
gerakan-gerakan Islam.
Kedudukan dan posisi ummat Islam pada bagian sejarah awal Indonesia
tidak menguntungkan, maka satu-satunya cara adalah dengan
mengkonsolidasi kekuatan ummat Islam. Konsolidasi antara kelompok Islam
modernis dan kelompok Islam pesantren sejak pembentukan MIAI pada
tahun 1937 turut membantu menjelaskan mengapa Masyumi mendapat
respon tidak saja dari kelompok Islam modernis seperti Muhammadiyah dan
Sarekat Islam, melainkan juga dari kelompok Islam pesantren lainnya seperti
NU, juga dari pemimpin non-ulama Jawa-Madura, serta dari berbagai
kelompok Islam di luar Jawa.
Dalam tubuh Masyumi terdapat dua arus besar kelompok yang dibagi
berdasarkan orientasi politik, yakni: pertama adalah kelompok konservatif
yang terdiri atas pemimpin-pemimpin agama; kedua, fusi antara kelompok
moderat dan kelompok sosialis-relijius yakni di antaranya, Sjafrudin
Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo, Jusuf Wibisono,
Mohammad Natsir, dan Dr. Soekiman. 16 Dua arus besar kelompok dengan
orientasi politik yang berbeda tersebut merupakan bibit awal dari perpecahan

16 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi
tentang
Perdebatan Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 114. 13

Masyumi. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) pada bulan Juli tahun 1947
keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai independen,
kemudian disusul NU yang keluar dari Masyumi pada Kongres NU di
Palembang tahun 1952 dan mengubah dirinya dari gerakan sosio-keagamaan
menjadi partai politik.
Perihal perebutan kekuasaan politis menjadi penyebab mengapa
perpecahan dalam tubuh Masyumi terjadi. A.R. Baswedan menyatakan
bahwa watak federatif Masyumi yang dicirikan melalui anggota biasa dan
anggota istimewa dapat menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yang luar
biasa, apalagi jika diikuti oleh sikap sektarian ekstrim. 17 Potensi perpecahan
dalam tubuh Masyumi dimanfaatkan oleh kelompok Nasionalis-Sekuler
untuk menghadapkan secara diametral unsur-unsur yang memang rentan
dalam Masyumi. Maka persatuan yang didaulat oleh kelompok Islam pada
kongres Nopember 1945 tidak dapat dipertahankan.

3. Pemilihan Umum 1955 dan Majelis Konstituante


PPKI yang melanjutkan peran BPUPKI membuat UUD 1945 yang
menyatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem kabinet
Presidensial. Berdasarkan model sistem pemerintahan tersebut, Presiden
merupakan mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
bertanggungjawab kepada majelis. Praktik ketatanegaraan yang menyangkut
dengan sistem pemerintahan tersebut berubah disebabkan oleh
dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 sehingga menjadi sistem
pemerintahan Parlementer.
Pasca periode konstitusi RIS yang disebabkan oleh keinginan Belanda
kembali menduduki Indonesia, terjadi problem besar. Berdasarkan UUDS
1950, pemerintahan dapat berjalan maksmimal jika sudah terbentuk Dewan

17 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., hlm. 113. 14

Perwakilan Rakyat (Majelis Kontituante) dari hasil pemilihan umum yang


nantinya akan berperan menyusun UUD untuk mengganti UUDS 1950.
Pada tanggal 29 September 1955, Pemilu pertama Indonesia
diselenggarakan. Hasil pemilu 1955 menyatakan tidak ada satupun dari tiga
aliran besar politik di Indonesia baik Islam, Marxisme-Sosialisme, dan
Nasionalis-Sekuler meraup suara terbanyak mutlak. Masyumi dan PNI
mendapatkan 57 kursi dalam parlemen, NU mendapat 45 kursi, PKI 39 kursi,
dan 10 kursi tersisa dari 257 kursi untuk partai-partai lainnya dari total peserta
pemilu sebanyak 28 partai politik.
Berdasarkan hasil pemilihan umum tersebut, dibentuklah kabinet Ali-
Roem-Idham yang mewakili unsur PNI-Masyumi-NU. Sedangkan PKI tidak
dimasukkan ke dalam kabinet disebabkan oleh penolakan yang diajukan oleh
unsur Masyumi dan NU. Kabinet tersebut mendapatkan kritik dari Soekarno
yang berharap kabinet akan disusun oleh empat kaki politik yakni, PNI,
Masyumi, NU, dan PKI. Pada tahun 1957, kabinet Ali-Roem-Idham jatuh dan
secara otomatis mengubah pertarungan politik kontemporer Indonesia.
Terjadi perubahan arena kontestasi pertarungan politik yang bergerak dari
perjuangan politik praktis bergeser menuju perjuangan ideologi tentang dasar
negara dalam Majelis Konstituante, sebelum akhirnya dekrit Presiden
membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukan Demokrasi
Terpimpin pada tahun 1959.

4. Pancasila dan Islam sebagai Dasar Negara


Kejatuhan kabinet Ali-Roem-Idham tahun 1957, dan kondisi transisi
politik Indonesia menuju Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965
memperlihatkan suatu perjalanan sejarah politik kontemporer Indonesia dan
kontestasi kekuatan-kekuatan politiknya. 18 Kontestasi tersebut dapat dilihat
dari pertarungan ideologi-politik antara kelompok Islam dan kelompok
Nasionalis-Sekuler mengenai dasar negara Indonesia dalam Majelis

18 Ibid, Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., hlm. 125. 15

Konstituante. Islam sebagai dasar negara akan dianalisis melalui dua


modernis sekaligus intelektual Islam politik terkemuka yakni Mohammad
Natsir dan Zainal Abidin Ahmad.
Perdebatan mengenai Islam sebagai dasar negara dapat ditelusuri pada
tahun 1951 ketika Natsir menulis buku Islam sebagai Ideologie. 19 Buku
Natsir ini menjadi dokumen penting untuk melihat bagaimana kelompok
Islam mengartikulasikan gagasan Islam sebagai dasar negara dalam masa-
masa awal kemerdekaan. Natsir hendak menyampaikan bahwa Islam sebagai
agama mayoritas penduduk Indonesia tidak dapat begitu saja melepaskan
kepentingannya yang berkaitan dengan dasar negara. Natsir mengatakan
bahwa alternatif pilihan dasar negara bagi Indonesia hanya dua, yakni
sekularisme (la-diniyah), atau paham agama (dini). Argumen Natsir tersebut
didasarkan pada perspektif Khaldunian yang menyatakan hubungan antara
masyarakat dan negara sebagai hubungan antara benda dan bentuknya yang
masing-masing saling membutuhkan. Berdasarkan perspektif tersebut,
menurut Natsir adalah sebuah ketidakmungkinan untuk mencerabut dasar
negara dari basis sosiologisnya. 20
Menurut Natsir, Islam adalah kaidah-kaidah, batas-batas dalam
mu’amalah dan hubungan sosial kemasyrakatan. Islam berdasarkan
pengertian demikian menurut Natsir memerlukan kekuasaan negara agar
dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya. Pandangan Natsir tersebut
mencirikan integralisme antara Islam dan negara. Argumen lain yang
dikemukakan oleh Natsir berkaitan dengan Islam sebagai ideologi yang
sempurna bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Islam
dapat menjamin kehidupan plural di Indonesia yang memiliki komunitas-
komunitas minoritas.
Di depan Majelis Konstituante Natsir mengemukakan: “adapun state
philosophy, atau dasar negara yang akan dirumuskan, apabila tidak berpusat
dan mendapat nucleus di dalam kedaulatan Tuhan yang Mutlak, perumusan

19 Mohammad Natsir, Islam sebagai Ideologie, (Jakarta: Pustaka Aida, 1951).


20 Ibid, Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., hlm. 129-130. 16

itu akan merupakan rangkaian butir-butir pasir yang kering, yang tidak ada
mengandung kekuatan apapun juga.” 21 Menurut Ahmad Syafii Maarif
sekalipun Natsir mengungkapkan Islam sebagai dasar penting bagi Negara,
terdapat perbedaan besar dengan Abu A’la Al-Maududi. Bagi Natsir,
demokrasi modern bukan sesuatu yang bersifat syirik, melainkan sebuah
sarana modern mekanisme politik yang dapat membantu Islam mewujudkan
cita-cita politiknya. Meskipun demikian, perihal konsep Kedaulatan Tuhan
(the Sovereignty of God) sama dengan Al-Maududi.
Dalam karangan lain yang berjudul Agama dan Negara, Natsir
menyatakan bahwa Islam dapat dipandang sebagia sintesa antara demokrasi
dan otokrasi atau sistem politik diktatorial. Pandangan Natsir tersebut berbeda
dengan tokoh berikut yang akan disinggung berkaitan dengan pembahasan
Islam sebagai dasar negara, yakni Zainal Abidin Ahmad seorang modernis
Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ahmad dipilih
sebagai ketua IV Parlemen Indonesia mewakili Masyumi sesudah Pemilihan
Umum 1955. Terdapat tiga karangan Ahmad yang langsung berkaitan dengan
teori Politik Islam, yakni: Membentuk Negara Islam, Islam dan
Parlementerisme, dan Republik Islam Demokratis.
Secara ringkas, pandangan Islam Politik atau Islam dan Negara menurut
Ahmad berangkat dari interpretasinya terhadap terma Al-Qur’an semisal ulu
l-amr dan ungkatan minkum. Berdasarkan analisisnya, Ahmad melihat bahwa
konsep demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Upaya Ahmad untuk
memberikan landasan bagi teorinya tentang Syura dan ulu l-amr, dilakukan
melalui tiga landasan argumentatif yakni: asy-Syura ayat 38, ali Imran ayat
159, dan an-Nisa ayat 59. Melalui tiga landasan normatif tersebut, Ahmad
bermaksud menunjukkan bahwa Islam sepenuhnya berpihak pada demokrasi.
Pidato Ahmad di hadapan Majelis Konstituante mengajukan dua alasan
mengapa Islam harus dipilih sebagai dasar negara. Pertama, kelompok
penguasa menjalankan pemerintahan harus berdasarkan pada persetujuan

21 Dikutip dari, Ibid, Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..., hlm. 132. 17

golongan mayoritas. Kedua, Islam sebagai agama dapat menjamin hak-hak


kelompok minoritas sebagaimana yang terjadi pada periode Nabi di Madinah.
Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan pertama kali oleh
Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Untuk Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indoensia pada tanggal 1 Juni 1945. Menurut Deliar Noer, Soekarno sejak
zaman pergerakan kebangsaan memang terkenal tidak pernah setuju dengan
gagasan Islam sebagai dasar negara. 22 Sikap menolak Islam sebagai dasar
negara ditunjukkan oleh Soekarno jauh sebelum Majelis Konstituante
terbentuk.
Pada tanggal 27 Januari 1953, Soekarno berpidato untuk menganjurkan
rakyat untuk menolak gagasan Islam sebagai dasar negara di Amuntai,
Kalimantan Selatan. Perlu diketahui bahwa kelompok Islam tidak menolak
Pancasila sebagai sebuah konsep, yang menjadi persoalannya adalah ketika
Soekarno mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dapat diperas menjadi konsep gotong royong diprotes oleh
kelompok Islam. Pernyataan Soekarno tersebut menyebabkan kelompok
Islam tidak terima dan mempertanyakan epistemologi utama dari Pancasila.
Sutan Takdir Alisjahbana, sekalipun seorang sosialis mengeluarkan
pernyataan yang bertentangan dengan arus utama kelompok sosialis, yakni
mempertanyakan kebulatan dan kesatuan logis Pancasila. Meskipun
demikian, Takdir tetap memilih Pancasila sebagai dasar negara dengan alasan
bahwa Pancasila merupakan kompromi politik dalam masa-masa yang kritis
bagi bangsa Indonesia.
Roeslan Abdulgani, ideolog PNI (Partai Nasional Indonesia)
menyatakan bahwa dasar negara adalah suatu prinsip dasar atau principalia.
Maka dasar negara akan menjadi jiwa dari seluruh ayat di dalam konstitusi
dan perundang-undangan serta berbagai peraturan-peraturan. Abdulgani
adalah seorang pendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan mengutip
pendapat Kahin dalam membangun argumentasi. Kahin, sebagaimana dikutip

22 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti, 1987),
hlm.
264. 18

oleh Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah sintesis dari Islam


modern, demokrasi, Marxisme/Sosialisme, dan Komunalisme ala Indonesia.
Intelektual pendukung Pancasila lain sebagai dasar negara di antaranya
ialah Muhammad Yamin. Tokoh ultranasionalis ini menyatakan bahwa
Pancasila merupakan hasil galian Soekarno secara cermat, teliti, dan
mendalam. Pancasila menurut Yamin, adalah hasil refleksi kontemplatif dari
warisan sosiohistoris Indonesia.
Pendirian teguh kelompok Islam menurut Deliar Noer disebabkan tiga
alasan. 23 Pertama, kelompok Islam melihat dasar negara sebagai masalah
yang telah mereka kampanyekan selama masa pemilihan umum 1955.
Kelompok Islam pada masa kampanye mengangkat topik tentang
menjalankan agama dalam negara dan masyarakat. Kelompok Islam
berargumentasi bahwa hal tersebut hanya dapat dijalankan apabila dasar
negara Indonesia adalah Islam. Kedua, kelompok Islam memahami
Konstituante sebagai media untuk mengungkapkan gagasan dan cita-cita
politik masing-masing fraksi. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah
sewajarnya jika kelompok Islam menggunakan forum Konstituante sebagai
cara mereka mengakomodasi aspirasi basis massa mereka. Dan kelompok
Islam sadar bahwa demokrasi merupakan jalan memperjuangkan cita-cita
politik, maka menurut Noer, kelompok Islam tetap berpegang teguh pada
mekanisme pemungutan masalah untuk menghasilkan keputusan agar dapat
bersifat demokratis.
Alasan ketiga, yakni bahwa selain sebagai forum demokratis, Majelis
Konstituante juga merupakan sarana lain untuk mengungkapkan gagasan-
gagasan intelektual muslim mengenai pandangan-pandangannya tentang
relasi antara Islam dan masyarakat serta politik. Keinginan untuk
mengartikulasikan gagasan-gagasan tentang Islam dan masalah kenegaraan
dimanfaatkan secara maksimal oleh kelompok Islam. Sehingga, dalam
momentum sidang Majelis Konstituante, kelompok Islam memanfaatkannya
23 Deliar Noer, Partai Islam..., hlm. 266. 19

sebagai cara untuk “mendakwahkan” Islam sebagai solusi terhadap masalah-


masalah kontemporer. Natsir, Kasman, Ahmad Zainal, dan lain-lain
memanfaatkan momen tersebut untuk mengeluarkan gagasan-gagasanya.
Usaha-usaha untuk meyakinkan 52% suara di Konstituante untuk
menerima Islam sebagai dasar negara ditanggapi oleh Mohammad Hatta.
Menurut Hatta usaha tersebut harus dihadapkan dengan keadaan objektif.
Kelompok yang mendukung Islam sebagai dasar negara hanya berjumlah
48%, yang secara matematis menunjukkan ketidakmungkinan berhasil.
Meskipun demikian, tafsiran Hatta terhadap Pancasila dapat diterima dengan
baik oleh kelompok Islam. Hatta memahami Pancasila berbeda dengan
Soekarno. Konsep gotong-royong sebagai intisari dari Pancasila tidak
ditemukan dalam pemikiran Hatta. Pasca pembubaran Konstituante 1959,
Hatta mengemukakan pemikirannya bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah sila utama yang memimpin empat sila lain.
Hatta mengemukakan bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Tiga sila
berikutnya merupakan ejawantah praksis dari sila pertama. Sedangkan Sila
Kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menjadi tujuan akhir
dari ideologi Pancasila. Sila pertama dipandang Hatta sebagai pembimbing
moral bangsa, sehingga negara memiliki landasan moral yang kokoh.
Dalam sidang-sidang Majelis Konstituante antara tahun 1956-1959,
tugas utama Majelis ini adalah membuat undang-undang dasar. Tugas
tersebut berasal dari amanat Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Awal
tahun 1959, Majelis Konstituante telah menyelesaikan 90% tugasnya, dan
menunda menyelesaikan tugasnya sebab pemerintah mengemukakan usulan
untuk memberlakukan kembali UUD 1945. 24 Majelis Konstituante menunda
menyelesaikan pekerjaannya tersebut karena diperlukan pembahasan khusus
yang berkaitan dengan usulan pemerintah tersebut. Meskipun simpatik atas

24 Deliar Noer, Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, (Jakarta: Yayasan


Perkhidmatan, 1984),
hlm. 8-9. 20

usulan tersebut, jumlah 2/3 suara yang diperlukan dalam Majelis Konstituante
tidak dapat tercapai agar usulan diterima.

G. Kesimpulan
Sumber awal dari perdebatan dalam Majelis Konstituante berasal dari
penafsiran Soekarno terhadap Pancasila. Menurut Soekarno, Pancasila
sejatinya dapat diperas menjadi Ekasila yakni gotong royong. Penafsiran
Soekarno tersebut tidak dapat diterima oleh perwakilan-perwakilan Islam
dalam Konstituante.
Perdebatan yang terjadi antara perwakilan Islam serta perwakilan
kelompok Nasionalis-Sekuler merupakan bagian dari sejarah politik
Indonesia modern. Perdebatan tersebut terjadi pada negara-negara yang
masa-masa pembentukannya berjumpa dengan gelombang demokrasi dan
nasionalisme global. Pengaruh perdebatan ini dalam kajian-kajian lanjutan
mengenai diskursus ketatanegaraan maupun perkembangan pemikiran politik
kenegaraan di Indonesia menjadi topik pembahasan yang selalu menarik.
Argumentasi yang dibangun selama perdebatan dalam sidang-sidang
Majelis Konstituante pada 1956-1959 menunjukkan informasi tentang
kondisi intelektual ummat Islam berkaitan dengan persoalan-persoalan
kenegaraan. Ahmad Syafii Maarif mendeskripsikan bahwa kondsi intelektual
ummat Islam baik pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi mengalami
fragmentasi politik. Namun, permasalahan yang cukup serius justru
ditunjukkan oleh kondisi intelektual ummat Islam itu sendiri secara
keseluruhan yang masih sangat bergantung pada elit-elit politiknya.
Ketergantungan tersebut menyebabkan ummat Islam sulit untuk merumuskan
cita-citanya menghadapi diskursus pemikiran politik modern.
Konsep-konsep negara Islam dengan demikian mengalami dua
persoalan serius. Pertama adalah basis intelektualitas ummat Islam untuk
memainkan peran-perannya tidak cukup kuat berkaitan dengan persoalan
kenegaraan. Kedua, basis sosio-politik hingga ekonomi ummat Islam yang
belum selesai menyebabkan fragmentasi politik sehingga ummat Islam 21

mudah terpecah. Hal tersebut dapat terlihat dari pengalaman-pengalaman


partai politik, terutama dengan melihat hasil pemilu tahun 1955. Pada
akhirnya dua hal tersebut masih relevan untuk menjelaskan situasi politik
Islam hingga era pasca reformasi. Meskipun demikian, perlu dicatat, dalam
Konsituante, politik Islam terfragmentasi tetapi mengkonsolidasi diri untuk
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan muslim
nasionalis. 22

Daftar Pustaka

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik; Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965, Yogyakarta: Gema Insani Pers, 1996.

___________, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi Tentang


Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 2006.

Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam; Soekarno Versus Natsir, Jakarta: Teraju,
2002.

An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Islam dan Negara Sekuler, terj. Sri Murniati,
Bandung: Mizan, 2007.

Ali Engineer, Asghar, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Mutaqin, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1986.

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan,
1984.

__________, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1865, Jakarta: Grafiti Pers,


1987.

Engineer, Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Mutaqin, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.

Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Purpose of
Musli Acceptance of the Pancasila, disertasi Ph.D, Montreal: McGIll
University, 1995.

Federspiel, Howard M., Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State; The
Persatuan Islam (Persis) 1923-1957, Leiden: Koninklijke Bril NV, Leiden,
2001.

Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Jakarta:


Equinox Pub, 2007.
Haedar Nashir, Islam Syariat; Reproduksi Syariah Ideologis di Indonesia,
Bandung: Mizan, 2013.

Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentlemen’s
Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern
Indonesia, tesis M.A., Montreal: McGill University, 1976.

Saoki, (Online), “Islam Sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Majelis
Konstituante)”, 7 Januari 2014, http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764, diakses 2
April 2015.

Vedi Hadiz, “Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis Terhadap Radikalisme Islam


di Indonesia”, Jurnal IndoProgress, Edisi I, September 2011.

Anda mungkin juga menyukai