I. PENGANTAR
“Vox populi vox dei” (suara rakyat suara tuhan) yang digembar-gemborkan
demokrasi hanya sebatas jargon semata. Bagaimana tidak? Dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat bagaikan halusinasi yang didengungkan di balik hipokrisi demokrasi.
Fakta demokrasi sering mengkhianati jargon yang mereka suarakan. Sebagaimana
kasus baru-baru yang mencuat perihal seragam jilbab. Hanya karena sati siswi non
Muslim di sana, pejabat dan publik gaduh mendiskreditkan aturan seragam jilbab.
Seyogyanya jika demokrasi ini sesuai dengan jargonnya, tidak ada yang keliru daerah
yang nuansa Islami begitu kuat memberlakukan aturan wajib seragam jilbab. Tetapi, hal
itu berbeda dengan fakta yang ditemui.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim turut mempersoalkan
seragam jilbab di Padang. Ia mengatakan, akan memberikan sanksi hingga pemecatan
kepada Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang Sumatera Barat
lantaran membuat aturan seragam wajib jilbab (Ahad, 24/1/2021). Sebenarnya seragam
jilbab di Sumatera Barat sudah lama diberlakukan. Alasan dari pemerintah setempat
memberlakukan seragam jilbab karena nuansa Islami di sana begitu kental. Mantan
Wali Kota Padang Fauzi Bahar Effendi sudah menjelaskan sejak zaman dirinya menjadi
wali kota, yakni tahun 2005 sekitar 16 tahun yang lalu, seragam jilbab diwajibkan hanya
untuk Muslimah. Bagi yang non Muslimah tidak ada paksaan.
Tuduhan negatif sempat dialamatkan kepada pihak sekolah tersebut. Dilansir
dari CNN Indonesia (23/1/2021), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) Retno Listyarti menyebut kasus intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang,
termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dia menegaskan bahwa peserta didik
tidak boleh dipaksa mencopot maupun mengenakan maupun jilbab seperti yang dialami
siswi non Muslim di SMKN 2 Padang. Kasus pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi
non Muslim di SMKN 2 Padang terus berlanjut. Sabtu lalu (25/1/2021) Komnas HAM
bertemu dengan pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk membahas kasus ini.
Aneh tapi nyata. Penolakan satu siswi non Muslim terhadap aturan sekolah
seragam jilbab membuat banyak pejabat publik hingga menteri ikut berkomentar
memojokkan kebijakan seragam jilbab yang sudah lama diterapkan di Padang. Di sisi
lain, mereka diam dan tak peduli terhadap kasus pelarangan busana Muslimah di Bali
(2014) dan Manokwari (2014) beberapa tahun lalu.
Seharusnya jika ingin dikritisi dan dibuat heboh adalah aturan yang melarang
pelajar Muslim mengenakan busana sesuai keyakinan Islam yang hal itu dilindungi oleh
undang-undang di negeri ini. Sekali lagi, tak ada komentar heboh seperti yang terjadi
hari ini. Selain itu, adanya pakaian atau busana asusila yang kerap dikenakan peserta
didik atau pendidik juga tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah. Jika
ditelisik lebih jauh ada apa di balik kehebohan tersebut? Apakah ini bukti bahwa
demokrasi telah mengkhianati dirinya sendiri?
1
II. PERMASALAHAN
III. PEMBAHASAN
2
dikatakan jika seragam jilbab intoleransi, sejatinya yang intoleransi adalah mereka yang
memojokkan aturan seragam jilbab.
Soal pelanggaran HAM. Ya, negara ini sesuai gembar-gembor demokrasi
menyuarakan perlindungan HAM. Justru, jika benar melindungi HAM, pemerintah
membela dan tidak memojokkan aturan seragam jilbab. Pemerintah juga tidak boleh
mendesak pemerintah daerah melakukan sanksi atau pemecatan kepada pihak terkait
aturan tersebut. Mengapa? Karena seragam jilbab ini sesuai dengan kearifan lokal di
sana yang Islami.
Pemerintah seharusnya membantu pihak sekolah mengedukasi orang tua siswi
non Muslim tersebut, agar tidak salah paham. Karena, seragam jilbab hanya untuk
Muslim dan kepada non Muslim tidak paksaan. Dari sini, seharusnya negara hadir
sebagai juru damai, bukan malah membuat panas kondisi.
Mengamati poin kedua, pemerintah belum hadir dalam kasus siswa Muslim dan
Muslimah yang kesusahan untuk mengenakan baju takwanya. Seperti kejadian di
Manokwari dan Bali beberapa tahun yang lalu. Mengapa kasus tersebut tidak dianggap
kasus intoleransi dan pelanggaran HAM? Yang mampu membuat pihak sekolah
mendapat sanksi hingga pemecatan? Dari sini saja sudah terlihat sikap diskrimatif yang
dialami oleh umat Islam. Bahkan, umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini tidak
bebas untuk melaksanakan syariat-Nya.
Bagaimana tidak dikata diskriminatif, jika ada pelajar yang rajin ngaji, taat,
gemar berdakwah tak luput dari stereotip radikalis, teroris, dan ekstremis. Wajar, jika
umat Islam mempertanyakan di mana keadilan untuk umat Islam sebagai warga
mayoritas. Katanya demokrasi? Katanya melindungi HAM? Giliran umat Islam
berusaha menjalankan perintah agamanya malah dituduh macam-macam. Umat Islam
bagaikan terjerembab dalam tirani minoritas yang diciptakan demokrasi.
Menyoal poin ketiga, diamnya pemerintah terhadap busana asusila yang
dipertontonkan oleh peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sudah
menjadi rahasia umum, di sekolah dituntun menjadi anak yang baik, tetapi di televisi
dan sosial media dipertontonkan menjadi generasi yang hedonis dan liberalis. Lalu, di
mana peran negara melindungi generasi bangsa? Di mana suaranya yang lantang
menghapus konten-konten merusak generasi bangsa?
Diketahui bersama bagaimana aurat dipamerkan dengan busana yang minim.
Artis-artis yang berperan sebagai pelajar juga memamerkan gaya pelajar hedon,
liberalis, dan membuka auratnya. Nah, di mana suara Mendikbud, di mana suara KPAI,
di mana suara Komnas HAM untuk melindungi generasi dari paparan hedonisme atau
liberalisme yang dibawa konten-konten sosmed? Mengapa pemerintah tidak hadir
dalam kasus ini? Padahal busana asusila selain dosa di dalam pandangan Islam, juga
dapat memicu kejahatan seksual. Karena, aurat yang terbuka tersebut sebagai pembisik
kejahatan seksual itu terjadi.
Membahas poin keempat, didengungkan narasi intoleransi menyerang Islam.
Benar, isu intoleransi dan HAM bagaikan pisau bermata dua yang bebas menebas ke
atas dan ke bawah tak ada tolok ukur yang jelas. Jika umat Islam yang tidak bisa
menjalankan aturan agamanya tidak dibela dengan isu toleransi. Giliran umat Islam
ingin mentaati aturan-Nya dicap intoleran dan melanggar HAM. Hal itu
mengindikasikan isu toleransi dan HAM adalah narasi yang dijadikan dalil pembenaran
untuk seeorang bebas melanggar syariat-Nya. Ini jahat sekali, narasi yang dibuat untuk
mendiskreditkan Islam.
Apabila mencermati hal tersebut dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah
telah mengidap fobia Islam. Fobia Islam tersebut menyebabkan munculnya fobia
3
terhadap jilbab. Fobia tersebut membuat pemerintah bersikap bukan sebagai pengayom
umat Islam sebagai umat mayoritas, tetapi pemerintah malah mendiskreditkan Islam.
Apabila disesuaikan dengan jargon demokrasi yang memihak suara mayoritas,
seharusnya pemerintah mendukung aturan wajib seragam berjilbab, karena memang di
Padang khususnya, dan di negeri ini pada umumnya adalah umat mayoritas yang
seyogyanya dilindungi hukum dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-
Nya. Jangan hanya karena satu orang non Muslim yang keberatan, seluruh umat Islam
harus mengalah dengan dalil toleransi dan HAM. Karena seharusnya satu orang ini
yang seharusnya menghargai nuansa Islami di sana. Inilah wujud hipokrisi demokrasi,
kebebasan dilindungi, ajaran Islam diserang.
Sejatinya, jika pemerintah mau bersikap adil sebagai negara demokratis yang
mengambil suara terbanyak, harusnya pemerintah menerapkan syariat Islam untuk
mengatur urusan rakyat. Karena apa? Karena umat Islam menjadi umat mayoritas.
Nyatanya, syariat Islam juga terbukti mampu menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan
membawa rahmat bagi semua. Tetapi faktanya, umat Islam semakin susah untuk taat
kepada ajaran agamanya. Bahkan, cenderung mendapat perlakuan yang tidak baik.
Contohnya saja, ulama yang getol menyuarakan Islam dan mengoreksi penguasa yang
keliru kerap mendapatkan tudingan radikal, ekstrem, dan mendapat persekusi hingga
kriminalisasi.
Jika, faktanya demikian lalu di mana demokrasi? Di mana HAM? Di mana
toleransi kepada umat Islam? Jika gegara penolakan satu siswi non Muslim tentang
4
seragam jilbab dijadikan alasan untuk mengebiri perda syariah di Padang, hal itu adalah
bukti ketidakadilan yang nyata. Pemerintah telah berlaku hipokrit terhadap demokrasi
yang selama mereka puja. Kembali ditanyakan, di mana posisi pemerintah, ketika umat
Islam di Bali kesusahan menjalankan syariah Islam?
Pada faktanya, jika umat Islam yang kesusahan menjalankan tuntunan agamanya
para pendekar toleransi membisu. Tetapi, ketika umat Islam menerapkan aturannya
karena kearifan lokal dicap intoleransi. Ini adalah contoh standar ganda yang
menyerang Islam. hal tersebut telah memverifikasi bahwa hipokrisi demokrasi itu nyata
adanya. Umat Islam harus memahami bahwa demokrasi bukan rumah mereka. Syariat
Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara totalitas (kaffah) dalam rumah
demokrasi. Justru demokrasi yang mencabut dan menjauhkan Islam dari umatnya.
Mengapa syariat Islam banyak menuai penolakan, padahal keadilan dan
kesejahteraan jaminannya? Tidak lain ini karena nafsu manusia yang congkak tidak
mau tunduk dan patuh kepada syariat Islam. Walhasil, berbagai bentuk perlawanan
dilakukan untuk memerangi dakwah Islam. Begitu juga dengan cara membuat narasi
negatif yang dialamatkan kepada umat Islam dan ajarannya. Syariat Islam hanya dapat
diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Insyaallah, keberkahan akan turun
dari langit dan keluar dari bumi.
5
perintah kepada perempuan muslimah untuk memakai jilbab, yakni mengenakan kain
untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
Pernyataan Syaikh Atha juga menjelaskan, di masa kekhilafahan semua
perempuan mengenakan jilbab baik Muslimah maupun non Muslimah. “ Sebagian
kampung yang di situ ada wanita muslimah dan non-muslimah, pakaian mereka tidak
bisa dibedakan. Hingga setelah tiadanya khilafah, pengaruh hal itu masih ada sampai
pada batas tertentu. Seandainya Anda tanya wanita yang berusia lanjut di atas tujuh
puluh dan delapan puluh tahun, niscaya mereka mengatakan kepada Anda tentang
kesaksian mereka untuk sebagian kampung di Palestina bagaimana mereka melihat
para wanita nasrani dan muslimah dalam pakaian yang serupa di kampung-kampung
itu.” (Tanya Jawab asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di akun
Facebooknya, 18/8/2014)
Mengutip dari tintasiyasi.com, KH Hafidz Abdurrahman mengatakan, di dalam
Islam menutup aurat yaitu dengan jilbab wajib untuk Muslim dan non Muslim. Hal ini,
bukan bentuk diskriminatif, tetapi bentuk penjagaan Islam kepada seluruh perempuan.
Memuliakan perempuan adalah dengan mengajaknya menutup aurat bukan malah
membiarkan mereka mengumbar aurat hingga auratnya dieksploitasi.
Dalam Islam ketika perempuan keluar rumah, untuk menunaikan hajatnya,
mereka diwajibkan untuk menutup aurat. Hal ini bukan untuk mengekang perempuan
tetapi hal ini untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka. Baik ketika mereka
berpergian maupun pergi untuk menuntut ilmu. Kewajiban untuk menutup aurat itu
wajib dilakukan oleh para perempuan. Bahkan dikatakan, dalam penjelasan di atas.
Hampir tidak ada beda antara wanita Muslim dan non Muslim, karena semua
mengenakan jilbab untuk menutup aurat.
Berjilbab selain menjaga perempuan juga membuat kaum adam lebih
menundukkan pandangannya. Karena tidak dipungkiri, dipertontonkannya aurat
perempuan ini menjadi pemicu bangkitnya naluri seksual yang berpotensi
menimbulkan kejahatan jika tidak dipenuhi sesuai syariat Islam. Oleh karena itu,
mengapa jilbab ini dapat dikatakan sebagai langkah menjaga peradaban mulia.
Sedikit contoh, jika sebuah peradaban itu semakin memamerkan auratnya
hingga telanjang, apa bedanya mereka dengan zaman purba kala yang belum ditemukan
pakaian sebagai penutup rasa malunya ketika auratnya terbuka? Dari sini dapat
diketahui semakin tinggi peradaban semakin terjaga pula auratnya, berbeda dengan
peradaban kapitalisme sekuler liberal yang menunjukkan kemundurannya dari cara
mereka berpakaian yang semakin telanjang.
Sebagai bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, seyogyanya
mencampakkan peradaban kufur kapitalisme demokrasi dan menerapkan syariat Islam.
Karena hanya dengan Islam, mampu memanusiakan manusia menjadi manusia
beradab, berbeda dengan peradaban kufur, justru semakin mempertontonkan
kebrutalan hawa nafsu yang membuat mereka kehilangan adab.
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Apabila disesuaikan dengan jargon demokrasi yang memihak suara mayoritas,
seharusnya pemerintah mendukung aturan wajib seragam berjilbab, karena memang
di Padang khususnya, dan di negeri ini pada umumnya adalah umat mayoritas yang
seyogyanya dilindungi hukum dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-
Nya. Jangan hanya karena satu orang non Muslim yang keberatan, seluruh umat
Islam harus mengalah dengan dalil toleransi dan HAM. Karena seharusnya satu
6
orang ini yang seharusnya menghargai nuansa Islami di sana. Inilah wujud hipokrisi
demokrasi, kebebasan dilindungi, ajaran Islam diserang. Hipokrisi demokrasi yang
berdampak fobia kepada Islam telah menjadikan pemerintah bersikap
mendiskreditkan Islam.
3. Di dalam Islam menutup aurat yaitu dengan jilbab wajib untuk Muslim dan non
Muslim. Hal ini, bukan bentuk diskriminatif, tetapi bentuk penjagaan Islam kepada
seluruh perempuan. Memuliakan perempuan adalah dengan mengajaknya menutup
aurat bukan malah membiarkan mereka mengumbar aurat hingga auratnya
dieksploitasi. Sebagai bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
seyogyanya mencampakkan peradaban kufur kapitalisme demokrasi dan
menerapkan syariat Islam. Karena hanya dengan Islam, mampu memanusiakan
manusia menjadi manusia beradab, berbeda dengan peradaban kufur, justru semakin
mempertontonkan kebrutalan hawa nafsu yang membuat mereka kehilangan adab.