Anda di halaman 1dari 7

Hipokrisi Demokrasi: Seragam Jilbab Dihujat, Larangan Siswi Berjilbab

Dibiarkan Oleh: Ika Mawarningtyas

Diambil dari materi Kuliah on line Uniol Diponorogo


https://www.uniol4-0diponorogo.com/2021/02/hipokrisi-demokrasi-seragam-
jilbab.html

I. PENGANTAR
“Vox populi vox dei” (suara rakyat suara tuhan) yang digembar-gemborkan
demokrasi hanya sebatas jargon semata. Bagaimana tidak? Dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat bagaikan halusinasi yang didengungkan di balik hipokrisi demokrasi.
Fakta demokrasi sering mengkhianati jargon yang mereka suarakan. Sebagaimana
kasus baru-baru yang mencuat perihal seragam jilbab. Hanya karena sati siswi non
Muslim di sana, pejabat dan publik gaduh mendiskreditkan aturan seragam jilbab.
Seyogyanya jika demokrasi ini sesuai dengan jargonnya, tidak ada yang keliru daerah
yang nuansa Islami begitu kuat memberlakukan aturan wajib seragam jilbab. Tetapi, hal
itu berbeda dengan fakta yang ditemui.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim turut mempersoalkan
seragam jilbab di Padang. Ia mengatakan, akan memberikan sanksi hingga pemecatan
kepada Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang Sumatera Barat
lantaran membuat aturan seragam wajib jilbab (Ahad, 24/1/2021). Sebenarnya seragam
jilbab di Sumatera Barat sudah lama diberlakukan. Alasan dari pemerintah setempat
memberlakukan seragam jilbab karena nuansa Islami di sana begitu kental. Mantan
Wali Kota Padang Fauzi Bahar Effendi sudah menjelaskan sejak zaman dirinya menjadi
wali kota, yakni tahun 2005 sekitar 16 tahun yang lalu, seragam jilbab diwajibkan hanya
untuk Muslimah. Bagi yang non Muslimah tidak ada paksaan.
Tuduhan negatif sempat dialamatkan kepada pihak sekolah tersebut. Dilansir
dari CNN Indonesia (23/1/2021), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) Retno Listyarti menyebut kasus intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang,
termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dia menegaskan bahwa peserta didik
tidak boleh dipaksa mencopot maupun mengenakan maupun jilbab seperti yang dialami
siswi non Muslim di SMKN 2 Padang. Kasus pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi
non Muslim di SMKN 2 Padang terus berlanjut. Sabtu lalu (25/1/2021) Komnas HAM
bertemu dengan pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk membahas kasus ini.
Aneh tapi nyata. Penolakan satu siswi non Muslim terhadap aturan sekolah
seragam jilbab membuat banyak pejabat publik hingga menteri ikut berkomentar
memojokkan kebijakan seragam jilbab yang sudah lama diterapkan di Padang. Di sisi
lain, mereka diam dan tak peduli terhadap kasus pelarangan busana Muslimah di Bali
(2014) dan Manokwari (2014) beberapa tahun lalu.
Seharusnya jika ingin dikritisi dan dibuat heboh adalah aturan yang melarang
pelajar Muslim mengenakan busana sesuai keyakinan Islam yang hal itu dilindungi oleh
undang-undang di negeri ini. Sekali lagi, tak ada komentar heboh seperti yang terjadi
hari ini. Selain itu, adanya pakaian atau busana asusila yang kerap dikenakan peserta
didik atau pendidik juga tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah. Jika
ditelisik lebih jauh ada apa di balik kehebohan tersebut? Apakah ini bukti bahwa
demokrasi telah mengkhianati dirinya sendiri?

1
II. PERMASALAHAN

Dari paparan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.


(1) Mengapa tindakan menghujat seragam jilbab di Sumbar dan pembiaran pelarangan
siswi berjilbab di Bali sebagai bentuk hipokrisi demokrasi?
(2) Bagaimana dampak kontroversi seragam jilbab terhadap hak menjalankan
keyakinan agama Islam di sekolah?
(3) Bagaimana strategi Islam menjaga kehormatan muslimah di area publik, khususnya
di sekolah untuk menjaga peradaban Islam?

III. PEMBAHASAN

A. Membedah di Balik Tindakan Menghujat Seragam Jilbab di Sumbar dan


Pembiaran Pelarangan Siswi Berjilbab di Bali sebagai Bentuk Hipokrisi
Demokrasi
Menilik laporan Komnas HAM 2014 lalu, hampir seluruh sekolah di Bali
melarang Muslimah untuk mengenakan kerudung (21/2/2014). Pada saat itu tidak ada
kehebohan yang tercipta hingga ancaman sanksi dan pemecatan dari pejabat negara.
Padahal, hal itu menimpa hampir semua siswi Muslim di Bali. Berbeda dengan kasus
wajib seragam jilbab di Padang. Tanpa ada komando yang satu, seolah semua berirama
ramai-ramai membela satu siswi non Muslim yang keberatan soal kebijakan seragam
berjilbab.
Polemik seragam jilbab yang masih panas diperbincangkan dan mendapat
tanggapan berbagai kalangan telah menyisakan banyak tanya. Pertama, kekompakan
pejabat publik, dari Mendikbud Nadiem Makarim, KPAI, hingga Komnas HAM ikut
turun gunung memberikan tanggapan dan penanganan. Padahal, masih banyak kasus
pelanggaran HAM yang dialami rakyat dalam kasus yang lain. Kedua, tidak hadirnya
pemerintah di kala ada siswi Muslim yang kesusahan berjilbab. Ketiga, diamnya
pemerintah terhadap banyaknya busana asusila yaitu yang melanggar norma hingga
mengundang syahwat dikenakan. Keempat, didengungkan kembali narasi intoleransi
yang menyerang syariat Islam.
Mencermati poin pertama, kekompakan pejabat publik menanggapi satu siswi
non Muslim di Padang yang kebaratan dengan aturan seragam jilbab di sekolahnya.
Melihat hal tersebut, seolah menunjukkan bahwa pemerintah mengidap fobia Islam
yang berdampak kepada fobia jilbab. Hanya karena aduan via sosial media yang viral,
tanggapan dan tindakan dilakukan untuk membela kasus ini. Padahal, aturan tersebut
sudah berjalan lama, maka, aneh jika pemerintah sahut-sahutan menggoreng isu
intoleransi dan pelanggaran HAM.
Berbicara tentang toleransi, Wali Kota Padang Fauzi Bahar Effendi sudah
mengatakan aturan itu lahir karena nuansa Islami di sana begitu kuat. Seharusnya, jika
berbicara toleransi, umat bearagama lain mengikuti kearifan lokal yang ada di daerah
tersebut. Selain itu, soal busana, tidak ada aturan khusus dari agama lain yang melarang
untuk menutup aurat sebagaimana aurat ditutup meggunakan jilbab.
Nah, dari sini kiranya intoleransinya di mana soal seragam jilbab? Bukankah
seragam terdebut mencerminkan kearifan lokal di sana? Maka dari itu, tak pantas

2
dikatakan jika seragam jilbab intoleransi, sejatinya yang intoleransi adalah mereka yang
memojokkan aturan seragam jilbab.
Soal pelanggaran HAM. Ya, negara ini sesuai gembar-gembor demokrasi
menyuarakan perlindungan HAM. Justru, jika benar melindungi HAM, pemerintah
membela dan tidak memojokkan aturan seragam jilbab. Pemerintah juga tidak boleh
mendesak pemerintah daerah melakukan sanksi atau pemecatan kepada pihak terkait
aturan tersebut. Mengapa? Karena seragam jilbab ini sesuai dengan kearifan lokal di
sana yang Islami.
Pemerintah seharusnya membantu pihak sekolah mengedukasi orang tua siswi
non Muslim tersebut, agar tidak salah paham. Karena, seragam jilbab hanya untuk
Muslim dan kepada non Muslim tidak paksaan. Dari sini, seharusnya negara hadir
sebagai juru damai, bukan malah membuat panas kondisi.
Mengamati poin kedua, pemerintah belum hadir dalam kasus siswa Muslim dan
Muslimah yang kesusahan untuk mengenakan baju takwanya. Seperti kejadian di
Manokwari dan Bali beberapa tahun yang lalu. Mengapa kasus tersebut tidak dianggap
kasus intoleransi dan pelanggaran HAM? Yang mampu membuat pihak sekolah
mendapat sanksi hingga pemecatan? Dari sini saja sudah terlihat sikap diskrimatif yang
dialami oleh umat Islam. Bahkan, umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini tidak
bebas untuk melaksanakan syariat-Nya.
Bagaimana tidak dikata diskriminatif, jika ada pelajar yang rajin ngaji, taat,
gemar berdakwah tak luput dari stereotip radikalis, teroris, dan ekstremis. Wajar, jika
umat Islam mempertanyakan di mana keadilan untuk umat Islam sebagai warga
mayoritas. Katanya demokrasi? Katanya melindungi HAM? Giliran umat Islam
berusaha menjalankan perintah agamanya malah dituduh macam-macam. Umat Islam
bagaikan terjerembab dalam tirani minoritas yang diciptakan demokrasi.
Menyoal poin ketiga, diamnya pemerintah terhadap busana asusila yang
dipertontonkan oleh peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sudah
menjadi rahasia umum, di sekolah dituntun menjadi anak yang baik, tetapi di televisi
dan sosial media dipertontonkan menjadi generasi yang hedonis dan liberalis. Lalu, di
mana peran negara melindungi generasi bangsa? Di mana suaranya yang lantang
menghapus konten-konten merusak generasi bangsa?
Diketahui bersama bagaimana aurat dipamerkan dengan busana yang minim.
Artis-artis yang berperan sebagai pelajar juga memamerkan gaya pelajar hedon,
liberalis, dan membuka auratnya. Nah, di mana suara Mendikbud, di mana suara KPAI,
di mana suara Komnas HAM untuk melindungi generasi dari paparan hedonisme atau
liberalisme yang dibawa konten-konten sosmed? Mengapa pemerintah tidak hadir
dalam kasus ini? Padahal busana asusila selain dosa di dalam pandangan Islam, juga
dapat memicu kejahatan seksual. Karena, aurat yang terbuka tersebut sebagai pembisik
kejahatan seksual itu terjadi.
Membahas poin keempat, didengungkan narasi intoleransi menyerang Islam.
Benar, isu intoleransi dan HAM bagaikan pisau bermata dua yang bebas menebas ke
atas dan ke bawah tak ada tolok ukur yang jelas. Jika umat Islam yang tidak bisa
menjalankan aturan agamanya tidak dibela dengan isu toleransi. Giliran umat Islam
ingin mentaati aturan-Nya dicap intoleran dan melanggar HAM. Hal itu
mengindikasikan isu toleransi dan HAM adalah narasi yang dijadikan dalil pembenaran
untuk seeorang bebas melanggar syariat-Nya. Ini jahat sekali, narasi yang dibuat untuk
mendiskreditkan Islam.
Apabila mencermati hal tersebut dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah
telah mengidap fobia Islam. Fobia Islam tersebut menyebabkan munculnya fobia

3
terhadap jilbab. Fobia tersebut membuat pemerintah bersikap bukan sebagai pengayom
umat Islam sebagai umat mayoritas, tetapi pemerintah malah mendiskreditkan Islam.
Apabila disesuaikan dengan jargon demokrasi yang memihak suara mayoritas,
seharusnya pemerintah mendukung aturan wajib seragam berjilbab, karena memang di
Padang khususnya, dan di negeri ini pada umumnya adalah umat mayoritas yang
seyogyanya dilindungi hukum dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-
Nya. Jangan hanya karena satu orang non Muslim yang keberatan, seluruh umat Islam
harus mengalah dengan dalil toleransi dan HAM. Karena seharusnya satu orang ini
yang seharusnya menghargai nuansa Islami di sana. Inilah wujud hipokrisi demokrasi,
kebebasan dilindungi, ajaran Islam diserang.

B. Membaca Dampak di Balik Kontroversi Seragam Jilbab terhadap Hak


Menjalankan Keyakinan Agama Islam di Sekolah
Memang dapat dilihat bagaimana serangan kaum kufar kepada aturan jilbab
cukup tinggi. Setahun yang lalu saat 1 Februari dijadikan hari hijab internasional. Ada
sekelompok kaum feminis yang mengkampanyekan ‘no hijab day’. Tapi, semakin
kuatnya pemahaman Islam di tengah masyarakat, kampanye itu dapat dikatakan gagal
karena mendapat penolakan keras dari warganet. Dan sekarang narasi penolakan jilbab
kembali dimunculkan di permukaan.
Kontroversi seragam jilbab tidak hanya berhenti di situ. Oleh kaum pembenci
Islam, hal ini digunakan untuk menyerang perda-perda syariah. Dengan senjata narasi
intoleransi dan pelanggaran HAM, perda syariah diserang. Dilansir dari laman
antaranews.com (26/01/2021) Pemerhati Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia,
Indra Charismiadji menyesalkan sikap Mendikbud yang hanya fokus pada sanksi
pendidik. Ia mengatakan aturan seragam jilbab sudah terstruktur sejak lama. Ia
meminta Kemendikbud meninjau perda yang dianggap olehnya memicu diskriminasi.
Kabid Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menyayangkan Nadiem yang hanya
merespon kasus yang sedang menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Ia punn turut
menganggap perda syariah yang telah lama diterapkan di Padang sebagai perda
intoleran. Mengapa perda syariah diserang? Mengapa perda yang melarang siswi
Muslim berjilbab tidak ikut diserang?
Oleh karena itu, terendus upaya menyerang perda Islami yang selama ini sudah
berjalan di Padang. Selain itu, di Padang sudah berjalan lama, banyak siswi non Muslim
yang patuh kepada aturan seragam jilbab tanpa protes dan kerelaan. Aneh jika dikata
ini kasus diskriminatif. Secara, dari puluhan siswi non Muslim hanya satu yang
keberatan. Seharusnya pemerintah mengedepankan edukasi kepada satu orang yang
keberatan ini. Bukan malah merambat hingga ke perda syariah di Padang.

Sejatinya, jika pemerintah mau bersikap adil sebagai negara demokratis yang
mengambil suara terbanyak, harusnya pemerintah menerapkan syariat Islam untuk
mengatur urusan rakyat. Karena apa? Karena umat Islam menjadi umat mayoritas.
Nyatanya, syariat Islam juga terbukti mampu menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan
membawa rahmat bagi semua. Tetapi faktanya, umat Islam semakin susah untuk taat
kepada ajaran agamanya. Bahkan, cenderung mendapat perlakuan yang tidak baik.
Contohnya saja, ulama yang getol menyuarakan Islam dan mengoreksi penguasa yang
keliru kerap mendapatkan tudingan radikal, ekstrem, dan mendapat persekusi hingga
kriminalisasi.
Jika, faktanya demikian lalu di mana demokrasi? Di mana HAM? Di mana
toleransi kepada umat Islam? Jika gegara penolakan satu siswi non Muslim tentang

4
seragam jilbab dijadikan alasan untuk mengebiri perda syariah di Padang, hal itu adalah
bukti ketidakadilan yang nyata. Pemerintah telah berlaku hipokrit terhadap demokrasi
yang selama mereka puja. Kembali ditanyakan, di mana posisi pemerintah, ketika umat
Islam di Bali kesusahan menjalankan syariah Islam?
Pada faktanya, jika umat Islam yang kesusahan menjalankan tuntunan agamanya
para pendekar toleransi membisu. Tetapi, ketika umat Islam menerapkan aturannya
karena kearifan lokal dicap intoleransi. Ini adalah contoh standar ganda yang
menyerang Islam. hal tersebut telah memverifikasi bahwa hipokrisi demokrasi itu nyata
adanya. Umat Islam harus memahami bahwa demokrasi bukan rumah mereka. Syariat
Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara totalitas (kaffah) dalam rumah
demokrasi. Justru demokrasi yang mencabut dan menjauhkan Islam dari umatnya.
Mengapa syariat Islam banyak menuai penolakan, padahal keadilan dan
kesejahteraan jaminannya? Tidak lain ini karena nafsu manusia yang congkak tidak
mau tunduk dan patuh kepada syariat Islam. Walhasil, berbagai bentuk perlawanan
dilakukan untuk memerangi dakwah Islam. Begitu juga dengan cara membuat narasi
negatif yang dialamatkan kepada umat Islam dan ajarannya. Syariat Islam hanya dapat
diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Insyaallah, keberkahan akan turun
dari langit dan keluar dari bumi.

C. Strategi Islam Menjaga Kehormatan Muslimah di Area Publik,


khususnya di Sekolah untuk Menjaga Peradaban Islam
Islam memuliakan wanita. Islam menjaga kehormatan wanita. Islam mampu
menciptakan keadilan untuk wanita. Justru, mereka yang menanggalkan ketaatan
kepada Islam telah membuka pintu masuk setan untuk melecehkan dan merendahkan
kehormatan wanita. Dalam Islam, aurat dijaga dengan cara menutupinya sesuai syariat.
Berbeda dengan sudut pandang sekuler kapitalisme, yaitu, aurat dieksploitasi untuk
memenuhi syahwat mereka. Mengekang aurat atau menahan nafsu bisa dicap
melanggar HAM dan intoleran. Wajar saja kemaksiyatan berlindung di balik narasi
kebebasan HAM dan kata intoleransi.
Islam melalui syariat yang diterapkan dalam bingkai negara mampu
menciptakan kondisi yang menjaga kehormatan perempuan. Islam mewajibkan
perempuan mengenakan jilbab. Dalam ayat Al-Qur’an yang menyebut kata “jalaabiib”
adalah firman Allah Swt. (artinya),”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-
anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Arab : yudniina ‘alaihinna min
jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59).
Imam Al Qurthubi mengatakan, “Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab,
yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar).
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya
adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Ada yang berpendapat jilbab adalah al
qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju
yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al
Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).
Sedangkan Imam Ibnu Katsir menyebutkan, “Jilbab adalah rida‘ (selendang
untuk menutupi bagian atas) yang dipakai di atas khimar. Ini adalah pendapat Ibnu
Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakha’i,
Atha’ Al Khurasani, dan selain mereka.” (Tafsir Ibni Katsir, 6/481). Dari makna jilbab
yang disampaikan kedua ulama tersebut dapat dikatakan bahwa dalam Al Qur’an ada

5
perintah kepada perempuan muslimah untuk memakai jilbab, yakni mengenakan kain
untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
Pernyataan Syaikh Atha juga menjelaskan, di masa kekhilafahan semua
perempuan mengenakan jilbab baik Muslimah maupun non Muslimah. “ Sebagian
kampung yang di situ ada wanita muslimah dan non-muslimah, pakaian mereka tidak
bisa dibedakan. Hingga setelah tiadanya khilafah, pengaruh hal itu masih ada sampai
pada batas tertentu. Seandainya Anda tanya wanita yang berusia lanjut di atas tujuh
puluh dan delapan puluh tahun, niscaya mereka mengatakan kepada Anda tentang
kesaksian mereka untuk sebagian kampung di Palestina bagaimana mereka melihat
para wanita nasrani dan muslimah dalam pakaian yang serupa di kampung-kampung
itu.” (Tanya Jawab asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di akun
Facebooknya, 18/8/2014)
Mengutip dari tintasiyasi.com, KH Hafidz Abdurrahman mengatakan, di dalam
Islam menutup aurat yaitu dengan jilbab wajib untuk Muslim dan non Muslim. Hal ini,
bukan bentuk diskriminatif, tetapi bentuk penjagaan Islam kepada seluruh perempuan.
Memuliakan perempuan adalah dengan mengajaknya menutup aurat bukan malah
membiarkan mereka mengumbar aurat hingga auratnya dieksploitasi.
Dalam Islam ketika perempuan keluar rumah, untuk menunaikan hajatnya,
mereka diwajibkan untuk menutup aurat. Hal ini bukan untuk mengekang perempuan
tetapi hal ini untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka. Baik ketika mereka
berpergian maupun pergi untuk menuntut ilmu. Kewajiban untuk menutup aurat itu
wajib dilakukan oleh para perempuan. Bahkan dikatakan, dalam penjelasan di atas.
Hampir tidak ada beda antara wanita Muslim dan non Muslim, karena semua
mengenakan jilbab untuk menutup aurat.
Berjilbab selain menjaga perempuan juga membuat kaum adam lebih
menundukkan pandangannya. Karena tidak dipungkiri, dipertontonkannya aurat
perempuan ini menjadi pemicu bangkitnya naluri seksual yang berpotensi
menimbulkan kejahatan jika tidak dipenuhi sesuai syariat Islam. Oleh karena itu,
mengapa jilbab ini dapat dikatakan sebagai langkah menjaga peradaban mulia.
Sedikit contoh, jika sebuah peradaban itu semakin memamerkan auratnya
hingga telanjang, apa bedanya mereka dengan zaman purba kala yang belum ditemukan
pakaian sebagai penutup rasa malunya ketika auratnya terbuka? Dari sini dapat
diketahui semakin tinggi peradaban semakin terjaga pula auratnya, berbeda dengan
peradaban kapitalisme sekuler liberal yang menunjukkan kemundurannya dari cara
mereka berpakaian yang semakin telanjang.
Sebagai bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, seyogyanya
mencampakkan peradaban kufur kapitalisme demokrasi dan menerapkan syariat Islam.
Karena hanya dengan Islam, mampu memanusiakan manusia menjadi manusia
beradab, berbeda dengan peradaban kufur, justru semakin mempertontonkan
kebrutalan hawa nafsu yang membuat mereka kehilangan adab.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Apabila disesuaikan dengan jargon demokrasi yang memihak suara mayoritas,
seharusnya pemerintah mendukung aturan wajib seragam berjilbab, karena memang
di Padang khususnya, dan di negeri ini pada umumnya adalah umat mayoritas yang
seyogyanya dilindungi hukum dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-
Nya. Jangan hanya karena satu orang non Muslim yang keberatan, seluruh umat
Islam harus mengalah dengan dalil toleransi dan HAM. Karena seharusnya satu

6
orang ini yang seharusnya menghargai nuansa Islami di sana. Inilah wujud hipokrisi
demokrasi, kebebasan dilindungi, ajaran Islam diserang. Hipokrisi demokrasi yang
berdampak fobia kepada Islam telah menjadikan pemerintah bersikap
mendiskreditkan Islam.

2. Dampak dari kontroversi seragam jilbab digunakan untuk menyerang perda-perda


syariah. Dengan senjata narasi intoleransi dan pelanggaran HAM, perda syariah
diserang. Pada faktanya, jika umat Islam yang kesusahan menjalankan tuntunan
agamanya para pendekar toleransi dan HAM dalam lingkup demokrasi membisu.
Tetapi, ketika umat Islam menerapkan aturannya karena kearifan lokal dicap
intoleransi. Ini adalah contoh standa ganda yang menyerang Islam. Umat Islam
harus memahami bahwa demokrasi bukan rumah mereka. Syariat Islam tidak akan
pernah bisa diterapkan secara totalitas (kaffah) dalam rumah demokrasi. Justru
demokrasi yang mencabut dan menjauhkan Islam dari umatnya.

3. Di dalam Islam menutup aurat yaitu dengan jilbab wajib untuk Muslim dan non
Muslim. Hal ini, bukan bentuk diskriminatif, tetapi bentuk penjagaan Islam kepada
seluruh perempuan. Memuliakan perempuan adalah dengan mengajaknya menutup
aurat bukan malah membiarkan mereka mengumbar aurat hingga auratnya
dieksploitasi. Sebagai bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
seyogyanya mencampakkan peradaban kufur kapitalisme demokrasi dan
menerapkan syariat Islam. Karena hanya dengan Islam, mampu memanusiakan
manusia menjadi manusia beradab, berbeda dengan peradaban kufur, justru semakin
mempertontonkan kebrutalan hawa nafsu yang membuat mereka kehilangan adab.

Anda mungkin juga menyukai