Anda di halaman 1dari 4

Demokrasi, Alat Perjuangan Syariah ?

Posted By farid On 26 Mar 2009 @ 05:49 In Headline |

HTI-Press. Pro kontra tentang demokrasi dan Islam terus bergulir ditengah umat, apalagi
menjelang pemilu. Bagaimana Islam mensikapi Demokrasi ? Sejauhmana demokrasi bisa
dijadikan alat perjuangan untuk penegakan syariah Islam ? Masalah ini akan dijelaskan
Ustadz Muhammad Ismail Yusanto dalam wawancara berikut ini. (redaksi)

Menurut Ustadz, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap Demokrasi?

Harus diakui, demokrasi kini telah menjadi sistem politik yang paling banyak dianut di dunia. Ini
karena hampir semua negara, termasuk negeri – negeri muslim semenjak runtuhnya
kekhilafahan Utsmani pada 1924, menganut sistem politik ini. Tapi penerimaan dunia Islam
terhadap demokrasi tidaklah mulus. Bila kita ringkas, kiranya ada tiga kelompok sikap.
Pertama, yang mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Islam bukan saja menerima
ajaran demokrasi, bahkan mereka mengatakan Islam adalah agama yang sangat demokratis
seperti tampak pada anjuran untuk bermusyawarah dan sebagainya. Kedua, pandangan yang
menolak sama sekali demokrasi. Sebagai anak kandung sekularisme, demokrasi dikatakan
bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Sementara kelompok ketiga
mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tapi Islam bisa memberikan nilai-
nilai dalam demokrasi. Dari kalangan mereka muncul istilah demokrasi yang Islami. Perbedaan
ini muncul karena masing-masing memahami demokrasi dalam perspektif yang berbeda-beda.
Dalam menyikapi demokrasi mestinya kita harus kembali kepada inti dari paham demokrasi itu
sendiri, yakni kedaulatan rakyat dimana makna praktis dari kedaulatan adalah hak membuat
hukum. Dari sini jelas bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan
bahwa kedaulatan atau hak membuat hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan rakyat atau
wakil rakyat.
Adanya anjuran musyawarah dalam Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa
demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Bila kita telaah sungguh-sungguh nyata sekali bahwa
musyawarah bukanlah satu-satunya jalan pengambilan keputusan. Dalam masalah tasyri’
(penetapan hukum), keputusan diambil dengan cara merujuk kepada sumber hukum yakni al
Quran dan As Sunnah atau ijtihad. Musyawarah hanya dilakukan dalam teknis pelaksanaan
suatu perkara. Rasulullah bermusyawarah dengan para shahabat tentang dimana mereka
harus menghadapi pasukan kafir Quraisy dalam perang Uhud, apakah di dalam atau di luar
kota Madinah. Rasul tidak bermusyawarah tentang apakah jihad itu wajib atau tidak.

Salah satu unsur penting dari demokrasi adalah pemilu. Bagaimana sikap HT sendiri
terhadap pemilu, Ustadz?

Memang di dalam Islam juga ada pemilu, yakni untuk pemilihan kepala negara atau khalifah
dan pemilihan wakil rakyat dalam majelis ummat. Sesuai dengan prinsip bahwa kekuasaan di
tangan rakyat (al-sultotu lil ummah), maka khalifah dipilih umat. Tidak seorang pun bisa
menjadi seorang khalifah kecuali jika dipilih dan dibaiat oleh umat. Baiat adalah satu-satunya
metode pengangkatan (thariqah in’iqadz) dalam sistem khilafah. Adapun metode pemilihan
(uslub intikhab) khalifah bisa dilakukan melalui pemilihan langsung (one man one vote), bisa
juga melalui ahl al-halli wa al-aqd atau majelis umat yang menjadi perwakilan dari umat.

Pada dasarnya pemilihan anggota legislatif sebagai wakil rakyat adalah akad perwakilan
(wakalah), sementara hukum wakalah menurut syariat Islam adalah mubah. Sementara
keabsahan wakalah itu tergantung pada rukun-rukunnya; jika rukun-rukun tersebut sempurna,
maka wakalah tersebut juga sah, dan jika rukun-rukun itu tidak terpenuhi, maka tidak sah.
Rukun wakalah adalah adanya akad atau keterkaitan antara ijab dan qabul, dua orang yang
melakukan akad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl),
perkara yang diwakilkan (al umuur al muawakkal biha), serta bentuk redaksi akad
perwakilannya (shîghat at-tawkîl). Semuanya harus sesuai dengan ketentuan Islam Bila semua
rukun terpenuhi, maka yang akan menentukan kemudian apakah wakalah ini Islami atau tidak
adalah pada amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh wakil. Bila yang dilakukan oleh
wakil adalah menghentikan sekularisme dan menegakkan sistem Islam, maka ini adalah
wakalah Islami. Tapi bila sebaliknya, tentu tidak Islam dan harus ditolak.
Bila pandangan Islam terhadap Demokrasi seperti itu, menurut Ustadz, apakah
Demokrasi bisa dijadikan jalan perjuangan menegakkan syariah Islam? Seperti apa
peluang dan gambarannya?

Bisa, asal seseorang yang berjuang untuk tegaknya syariah melalui jalan itu memenuhi syarat
dan ketentuan, yaitu, a). Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekuler, yang
akan berjuang untuk menjalankan fungsi muhasabah. Bukan legislasi. Dan dalam proses
pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan,
serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekuler; b) Harus menyuarakan secara terbuka
tujuan dari perjuangan itu, yaitu untuk menegakkan

sistem Islam, mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam, dan membebaskan negeri ini
dari pengaruh dan dominasi negara asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan
parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, c) Dalam kampanyenya harus
menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam. d) Harus
konsisten melaksanakan poin-poin di atas.

Kalau Demokrasi dijadikan jalan perjuangan penegakan syariah, adakah bahaya yang
bisa muncul? Kalau ada seperti apa bahaya itu?
Masuknya seorang muslim yang bertaqwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekuler ini
akan sangat berguna dalam satu kondisi, yakni ketikat mereka menjadikan parlemen sebagai
mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyiir), menghentikan
sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam, mengoreksi penguasa, menjelaskan
kebobrokan sistem sekuler itu dan menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada
ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf dan nahi mungkar.

Bila itu tidak dilakukan, maka keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan menjadi
bahaya besar, antara lain: a) Keberadaan mereka di parlemen justru akan digunakan
pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekuler sebagai justifikasi untuk melawan
umat Islam yang berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyiir), bahwa mereka juga
muslim, dan faktanya mereka juga terlibat dan rela terhadap sistem tersebut; c) Mereka akan
menimpakan tanggungjawab kerusakan dan kedzaliman yang lahir dari sistem sekuler itu
kepada umat Islam, padahal seharusnya yang bertanggungjawab adalah kaum sekuler saja. d)
Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada
dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya
wajib diganti semuanya. Tambal sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak,
dan memalingkan perasaan umat Islam sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan
perubahan mendasar dengan cepat.

Kalau melihat partai-partai yang mengklaim berjuang melalui demokrasi, menurut Ustadz
sejauh mana mereka memperjuangkan syariah Islam? Atau jangan-jangan selama ini
tidak ada yang memperjuangkan syariah Islam?

Dari segi platform, ada. Hanya saja perjuangan seperti itu memang tidak mudah. Hasil
perolehan suaranya dalam pemilu lalu jauh di bawah partai sekuler. Sehingga kekuatan
politiknya juga kecil. Akibatnya, gagasan-gagasan politiknya tidak bisa direalisasikan karena
kalah suara. Oleh karena itu, partai-partai Islam tidak boleh menjadikan pemilu sebagai satu-
satunya jalan untuk menegakkan syariat Islam, sedemikian sehingga seolah-olah hidup
matinya tergantung pada pemilu. Parpol Islam harus sungguh-sungguh melaksanakan semua
fungsi parpol, terutama fungsi edukasi agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di
tengah-tengah masyarakat. Juga, wajib melakukan kritik terhadap penguasa atas kebijakan
dzalim yang tidak sesuai dengan syariah, serta mengungkap makar jahat negara asing di
negeri ini dan negara dunia Islam yang lain. Hanya melalui cara ini, kekuatan politik Islam untuk
mewujudkan perubahan mendasar tadi bisa dibentuk.

Ada anggapan bahwa demokrasi itu bisa dijadikan alat atau strategi untuk perjuangan
penegakan syariah, bagaimana Ustadz menilai anggapan ini?
Jika yang dimaksud dengan penerapan syariat itu adalah penerapan syariat secara parsial, hal
itu sudah bisa diwujudkan. Misalnya adanya ketentuan hukum waris, nikah talak rujuk dan cerai
serta perkara ahwâl syakhshiyyah (perdata), UU Zakat, UU Perbankan Syariah dan lainnya.
Tapi bila yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam secara kaffah tentu ini belum
terwujud. Mengapa? Karena partai politik yang mengikuti pemilu harus mengakui, tunduk, dan
terikat dengan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagian orang beranggapan, bila sistem perundang-undangan diubah, misalnya mengikuti
prinsip the winner takes all, di mana pemenang pemilu selain berhak membentuk pemerintahan
juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan, maka
perjuangan untuk menerapkan syariat Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Tampaknya logis,
tapi faktanya pemerintahan sekuler yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah
mentolelir keberhasilan sebuah partai Islam dalam pemilu yang bisa merugikan kepentingan
mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, juga Hamas di Palestina
membuktikan hal itu.

Selama ini HT selalu mengkritisi dan menolak demokrasi, tapi ada sebagian orang yang
menganggap HT justru mendapat manfaat dari demokrasi. Karena dengan demokrasi HT
leluasa mengkampanyekan ide-idenya. Bagaimana tanggapan Ustadz?
Pertama, harus dipahami bahwa sebagai bagian dari warga negara ini, anggota HT mempunyai
hak dan sekaligus kewajiban untuk turut serta berusaha membawa negara ini ke arah yang
lebih baik. Hak dan kewajiban ini tidak boleh dihalangi bahkan semestinya diberi jalan.
Karenanya, bila sekarang HT mendapatkan tempat untuk menyebarkan ide-idenya, ya memang
semestinya seperti itu. Ini tidak ada urusannya dengan demokrasi. Karenanya, HT tidak merasa
berutang budi terhadap demokrasi, dan akan tetap menuntut supaya syariah Islam sebagai
dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan sistem sekuler, termasuk
demokrasi itu sendiri.

Ada anggapan, karena Demokrasi sudah mendunia dan diadospi oleh hampir semua
negara, maka perjuangan syariah tidak bisa tidak harus melalui jalan Demokrasi itu.
Muncul pertanyaan, kalau tidak dengan Demokrasi lalu dengan apa? Bagaimana Ustadz
menanggapi anggapan dan pertanyaan itu?
Memang ada yang mengambil demokrasi bukan dari segi paham tapi sebagai cara untuk
meraih kekuasaan. Demorasi dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-
cita politik. Tidak ada cara lain selain demokrasi. Persis seperti pertanyaan tadi, bila tidak
melalui cara demokrasi lantas menggunakan apa?

Sikap seperti ini menunjukkan kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan kita akibat telah masuk
pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap). Padahal sesungguhnya masih ada
jalan lain. Itu yang kita sebut sebagai thariqah dakwah Rasulullah. Ini metode perjuangan yang
Islami, dan insha Allah akan bisa menghantarkan pada terwujudkanya cita-cita politik kita, yakni
tegaknya kembali kehidupan Islam.

Ustadz, sebagian orang memandang bahwa perjuangan melalui Demokrasi akan lebih
cepat mencapai hasil, sementara perjuangan penerapan syariah melalui penegakan
Khilafah jelas membutuhkan waktu yang panjang, bagaimana tanggapan Ustadz?

Lama atau sebentar sebenarnya sangat relatif. Fakta membuktikan justru cara-cara
konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan.
Lihatlah, perubahan Orde Baru tidak terjadi melalui pemilu meski telah diadakan berulang kali
selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang hanya
beberapa bulan. Tapi karena reformasi juga tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan
fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan
dibanding sebelumnya. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah
reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada
sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi
makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi dan sebagainya. Maka tak
heran, bila upaya memerdekakan negeri ini tak kunjung berhasil, meski sudah lebih dari 50
tahun kita berharap. Andai kita dari dulu sungguh-sungguh menyiapkan langkah-langkah yang
benar bagi perubahan fundamental yang dicita-citakan, mungkin kita tidak memerlukan waktu
sepanjang ini.

Perjuangan Rasul saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah dan berbuah setelah hijrah
ke Madinah. Tapi fase ini tidak mungkin terjadi, bila Rasul tidak menempuh fase pengkaderan
dan pembinaan di Makkah yang memang memakan waktu cukup lama yaitu 13 tahun. Waktu
sepanjang itu diperlukan untuk menanamkan fikrah Islam di tengah jamaah. Dan setelah hijrah
ke Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa. Setelah itu orang-orang
berbondong-bondong masuk Islam. Bila perjuangan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh
dengan metode atau thariqah yang dicontohkan oleh Rasulullah sejak negeri ini merdeka, Insya
Allah perjuangan akan cepat berhasil dan negeri ini tidak perlu terpuruk seperti sekarang ini.
Ada pandangan, dengan tidak ikutnya HTI dalam pemilu itu merupakan penggembosan
(tikaman) terhadap perjuangan politik umat?

HTI adalah jamaah dakwah yang berjuang secara politis untuk tegaknya sistem Islam. Melalu
kegiatan pembinaan dan pengkaderan yang dilakukan oleh HTI telah terlahir ribuan kader
dakwah. Ini akan mendorong terciptanya kesadaran politik umat, yang dengan kesadaran itu
memungkinkan adanya tuntutan dari umat untuk terjadinya perubahan politik ke arah Islam. HTI
juga melakukan kritik dan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan
ajaran Islam, membongkar makar jahat negara penjajah dan menjelaskan berbagai solusi atas
persoalan yang dihadapi umat dengan cara Islam. Jadi bagaimana bisa HTI dituduh melakukan
penggembosan perjuangan politik umat?

Juga ada pandangan bahwa kalau HTI tidak terlibat dalam pemilu, berarti hanya menjadi
penonton?
Salah besar. Tudingan semacam ini baru benar bila HTI memang tidak melakukan apa-apa.
Padahal, faktanya HTI telah secara aktif berdakwah, melakukan pembinaan dan pengkaderan
umat melalui berbagai cara (uslub) dan sarana (wasilah) di seluruh penjuru tanah air. Ribuan
forum baik dalam bentuk seminar, diskusi, pengajian, tablig akbar, maupun bentuk yang lebih
bersifat personal telah terselenggara tiap minggunya. Belum lagi bahan terbitan yang
dikeluarkan oleh HTI baik berupa buletin jumat al Islam dengan tiras lebih dari 1 juta eksemplar,
al Waie, Media Umat, makalah dan sebagainya yang tersebar dibaca dan dikaji oleh umat.
Diyakini melalui pembinaan itu umat menjadi sadar mengenai hak, peran dan
tanggungjawabnya sebagai muslim. Dan kesadaran itu berpengaruh besar pada aspek
ekonomi, politik praktis dan lainnya. HTI juga telah melakukan banyak sekali kontak dengan
para tokoh umat, tokoh politik, media massa dan lainnya untuk mendorong peningkatan peran
mereka dalam perjuangan ini. Disamping itu, HTI juga sangat aktif melakukan kritik dan koreksi
terhadap penguasa atas kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan hukum-hukum
syara’, serta mengungkap konspirasi asing —yang dilancarkan oleh negara-negara penjajah—
di negeri ini dan negeri di dunia Islam yang lain. Dengan seabreg kegiatan politik semacam itu,
bagaimana bisa HTI disebut hanya sebagai penonton?

Kepada siapa HT akan memberikan suaranya dalam pemilu?


HTI tidak dalam kedudukan untuk menyebut salah satu parpol atau individu yang layak
didukung. HTI hanya menyebut kriteria dan syarat-syarat, yang kalau dipenuhi oleh calon
legislatif, maka dia boleh dipilih, yakni: a) Pencalonannya didasarkan pada ajaran Islam yang
dilakukan melalui partai politik berasas Islam di mana asas itu harus tercermin dalam fikrah
yang diadopnya baik menyangkut politik dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, ekonomi,
sosial dan pendidikan. Semua fikrah itu tergambar dengan jelas hingga siapa saja dengan
mudah bisa mempelajarinya. Juga harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam kehidupan
berpartainya sehari-hari, dalam konteks hubungannya dengan anggota dan dalam
hubungannya dengan yang lain dalam kehidupan berparlemen, termasuk dalam soal materi
kampanye, strategi dan tatacara yang dilakukan. b) Tujuannya adalah untuk melakukan fungsi
fungsi muhasabah, bukan legislasi; menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan
sistem Islam. Mewujudkan kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat Islam di
bawah naungan khilafah. c) Bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuan
ini, tegas dan terbuka, tanpa rasa takut dan malu.

Artikel ini dicetak dari Hizbut Tahrir Indonesia: http://hizbut-tahrir.or.id

URL to article: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/26/demokrasi-alat-perjuangan-syariah/

Anda mungkin juga menyukai