Anda di halaman 1dari 8

POLEMIK DINAR-DIRHAM DI PASAR MUAMALAH:

Inikah Islamopobhia di Tengah Gagasan MES?

Oleh: Ervan Liem

I. PENGANTAR

Tak bisa disangkal, sejarah telah memberikan kabar bahwa emas dan perak merupakan alat tukar
yang bernilai paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Tak heran pula jika pada masa
kejayaannya, Islam sudah memiliki mata uang sendiri bernama dirham (koin perak) dan dinar
(koin emas). Dengan menggunakan keduanya, perekonomian di Dunia Islam saat itu tumbuh
begitu pesat.

Sejarah penggunaan perak dan emas sebagai alat tukar, sejatinya telah berkembang jauh sebelum
Islam datang. Jadi meskipun istilah dinar dan dirham di era sekarang dianggap identik dengan
aroma Islam, sesungguhnya yang terpenting dan perlu diketahui adalah peranannya yang
memang bisa tahan terhadap inflasi dan penyebab jatuhnya krisis ekonomi yang lainnya.

Hal ini penting karena menengok pada kejadian akhir-akhir ini yang menimpa berbagai simbol
yang bernuansa Islam yang terkesan seolah tampak terdeskreditkan keberadaannya oleh aturan
zaman.

Memang, selama ini dinar dan dirham hanya dianggap cocok untuk investasi sebagaimana
perhiasan, namun kenyataannya di masyarakat ada antusiasme yang besar untuk menggunakan
koin dinar dan dirham sebagai alat tukar untuk jual-beli. Inilah yang kemudian menimbulkan
polemik pro dan kontra dari berbagai pihak, disisi lain pemerintah sedang banyak mengeluarkan
mantra ekonomi untuk mengembangkan dan mendorong implementasi ekonomi syariah tapi juga
terasa membingungkan ketika transaksi muamalah yang berbasis syariah seperti penggunaan
dinar dan dirham berujung pada pemenjaraan bagi pelakunya.

II. PERMASALAHAN

Untuk mengulik uraian singkat diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut:

(1) Mengapa Dinar dan Dirham seolah dijadikan 'momok' ditengah antusiasme tinggi masyarakat
terhadap ekonomi syariah?

(2) Bagaimana dampak diberlakukannya Dinar-Dirham terhadap kestabilan nilai tukar dan
kesejahteraan rakyat?

(3) Bagaimana strategi penggunaan dinar-dirham agar mampu berfungsi sebagai solusi
pembayaran yang stabil di tengah ekonomi kapitalistik?

III. PEMBAHASAN

A. Maraknya Penggunaan Dinar dan Dirham oleh Masyarakat Seakan dinilai


Menakutkan
Merujuk pada kejadian yang menghebohkan beberapa hari terakhir ini, pendiri pasar muamalah
Zaim Saidi ditahan karena bertransaksi menggunakan dinar dan dirham sebagai mata uangnya di
pasar Muamalah Depok yang didirikannya.

Bareskrim Mabes Polri menangkap Zaim Saidi pendiri Pasar Muamalah Depok, Jawa Barat pada
Selasa 2 Febuari 2021. Ditangkapnya Zaim lantaran mendirikan pasar yang alat tukarnya
menggunakan dinar dan dirham.

Menanggapi kejadian tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen
MUI) bidang Hukum dan HAM, Ikhsan Abdullah, menyarankan sebaiknya pendiri pasar
muamalah itu dibina. "Jadi bila masih bisa dibina ya diusahakan dilakukan pembinaan," kata
Ikhsan kepada Republika.co.id, Rabu (3/2).

Ikhsan mengatakan, muamalahnya sudah benar karena muamalah yang baik itu dengan cara-cara
syariah. Muamalah syariah juga sedang digalakkan pemerintah melalui berbagai macam
instrumen termasuk memperkuat ekonomi syariah. Dulu hanya disebut keuangan syariah
sekarang menjadi ekonomi syariah. Pemerintah telah memperluas dari hanya keuangan menjadi
ekonomi syariah. Termasuk di dalamnya ada zakat, infak, sedekah, wakaf, filantropi dan lain-
lain itu semua berbasis syariah. "Hanya saja ada kekeliruan dalam praktik transaksinya (di pasar
muamalah) itu menggunakan dinar dan mata uang lain, sementara kita ketahui di Republik
Indonesia ini alat tukar yang sah hanya satu yaitu rupiah," ujarnya.

Ikhsan menerangkan, terjadi pelanggaran di penggunaan mata uang asing itu. Menurutnya,
pendekatan hukum seharusnya bisa dilakukan dengan cara persuasif. Pendiri pasar muamalah itu
sebaiknya dipanggil dulu untuk diperingatkan agar tidak melakukan hal-hal yang demikian.
Artinya dilakukan semacam pembinan. Kalau dia masih melakukan pelanggaran setelah dibina,
maka dia melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena tidak menggunakan mata uang
yang sah.

"Sebaiknya sih kalau bisa dilakukan pembinaan agar pasar muamalahnya berjalan, tetapi dengan
menggunakan instrumen alat tukar yang sah yaitu Rupiah," jelasnya. Ikhsan mengingatkan
bahwa kewajiban Polisi melakukan pembinaan ke masyarakat. Masyarakat perlu diedukasi
dengan cara yang baik dan diperingatkan dengan keras bila perlu. "Kalau dia terus melakukan
dan melanggar ya baru terapkan pidananya, sehingga tujuan dari penegakan hukum dan
pembinaan ke masyarakat juga tercapai, hukum itu untuk keadilan kan?," kata Ikhsan.

Sementara itu mantan Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain mempertanyakannya selama ini pun
alat tukar uang sudah dijalankan menggunakan e-money seperti kartu tol dan yang lainnya.
Pertanyaan itu disampaikan Tengku Zulkarnain melalui akun twitternya @ustadtengkuzul
kepada Bank Indonesia.

“Kepada yth @bank_indonesia jika dinar dan dirham bkn alat tukar, apakah kartu tol, kartu
parkir dll itu alat tukar? Kan juga bukan alat tukar yg sah.Dlm prinsip Muamalat jual beli sah
dgn sistem barter, tukar barang, atau tukar dgn emas perak yg dilakukan. Beri jalan keluar...,”
tanya Tengku Zulkarnain.

Sebelumnya warga digegerkan dengan toko di pasar muamalah Depok yang bertransaksi
menggunakan dinar, dirham serta metode barter. Zaim Saidi sebagai penggagas pasar muamalah
tersebut mengklaim bahwa transaksi tersebut meniru ala jaman Rasulullah SAW.

Dilapak muamalah tersebut dijual seperti brownies dihargai dengan setengah dirham, 6 buah roti
seharga 1 dirham, hingga sandal seharga 2 dirham. Tampak salah satu penjual menunjukkan
hasil jual beli berupa koin emas senilai 1 dinar dan koin silver senilai 2 dirham.

Memang cukup mencengangkan bagi kita yang hidup di era sekarang ini yang mana hal itu
terlihat tidak lumrah, namun perlu diketahui juga bahwa dinegeri inipun sudah banyak marak
penggunakan e-money, Coin game dan sejenisnya, tentu hal ini juga penting untuk dijelaskan
oleh pihak berwenang agar dimasyarakat tidak serampangan dan timbul prasangka buruk.
Apalagi istilah Dinar dan dirham ini identik dengan Islam yang mana disepanjang sejarahnya
memang dipergunakan di pemerintahan Islam selama 14 abad lebih.

Sejarah penggunaan perak dan emas sebagai alat pertukaran, sejatinya telah berkembang jauh
sebelum Islam hadir. Para peneliti sejarah Dirham menemukan fakta bahwa perak sebagai alat
tukar sudah digunakan pada zaman Nabi Yusuf AS. Hal itu diungkapkan dalam Alquran, surat
Yusuf ayat 20. Dalam surat itu tercantum kata darahima ma'dudatin (beberapa keping perak).

''Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yakni beberapa dirham saja, dan mereka
tidak tertarik hatinya kepada Yusuf,'' (Alquran, surat 12:20).

Tiga peneliti jejak dirham yakni MSM Syaifullah, Abdullah David, dan Muhammad Ghoniem
dalam tulisannya berjudul Dirham in the Time of Joseph menuturkan pada masa itu peradaban
Mesir Kuno telah menggunakan perak sebagai alat tukar.

Sejarah mencatat, masyarakat Muslim sendiri mengadopsi penggunaan dirham dan dinar dari
peradaban Persia yang saat itu dipimpin oleh Raja Sasan bernama Yezdigird III. Bangsa Persia
menyebut mata uang koin perak itu dengan sebutan drachm. Sedangkan umat Islam mulai
memiliki dirham dan dinar sebagai alat transaksi dimulai pada era kepemimpinan Khalifah Umar
bin Khattab RA.

Meski begitu, Rasululah SAW sudah memprediksikan bahwa manusia akan terlena dan tergila-
gila dengan uang. Dalam salah satu hadits, Abu Bakar ibnu Abi Maryam meriwayatkan bahwa
beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, ''Masanya akan tiba pada umat manusia, ketika
tidak ada apapun yang berguna selain dinar dan dirham.'' (Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal).

Pertama kali umat Islam menggunakan dirham pada tahun 642 M atau satu dasawarsa setelah
Rasulullah SAW wafat. Khaifah Umar bin Khattab memutuskan untuk menggantikan drachma
dengan dirham. Sedangkan koin dirham pertama kali dicetak umat Islam dicetak pada tahun 651
M pada era kepemimpinan Utsman bin Affan. Dirham pertama itu mencantumkan tulisan
bismillah.

Laiknya drachm, dirham berbentuk ceper serta tipis. Diameternya mencapai 29 mm dan beratnya
antara 2,9 - 3,0 gram. Dari sisi berat, dirham lebih ringan dari drachm yang mencapai 4 gram.
Sejak itulah, tulisan 'bismillah' menjadi salah satu ciri khas koin yang dicetak oleh peradaban
Islam.

Selain itu, koin dirham-dinar yang dicetak umat Islam pada masa keemasan mencantumkan
nama penguasa atau amir atau khalifah. Fakta sejarah menunjukan bahwa kebanyakan kepingan
dirham dan dinar yang dicetak pada masa Khulafa' Arrasyidin mencantumkan tahun Hijriyah
sebagai penanda waktu koin dirham atau dinar itu dicetak.

B. Dampak Penggunaan Dinar-Dirham Terhadap Kestabilan Nilai Tukar dan


Kesejahteraan Rakyat
Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi
permasalahan moneter seperti inflasi, fluktuasi nilai tukar, dan anjloknya daya beli. Profesor Roy
Jastram dari Berkeley University AS, dalam bukunya The Golden Constant, telah membuktikan
sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi
dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil.

Masalah-masalah moneter itu justru terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan
perak serta berpindah ke sistem uang kertas (fiat money), yaitu mata uang yang berlaku semata
karena dekrit pemerintah, yang tidak ditopang oleh logam mulia seperti emas dan perak. Dalam
sistem Bretton Woods yang berlaku sejak 1944, dolar masih dikaitkan dengan emas, yaitu uang
$35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ons emas (31 gram). Namun, pada 15 Agustus 1971, karena
faktor ekonomi, militer dan politik, Presiden AS Richard Nixon akhirnya menghentikan sistem
Bretton Woods itu dan dolar tak boleh lagi ditukar dengan emas. (Hasan, 2005). Mulailah era
nilai tukar mengambang global yang mengundang banyak masalah. Dolar semakin terjangkit
penyakit inflasi. Pada tahun 1971 harga resmi emas adalah $38 dolar AS per ons. Namun, pada
tahun 1979 harganya sudah melonjak jadi $450 dolar AS per ons (El-Diwany, 2003).

Masalah-masalah moneter seperti itu hanya dapat diatasi oleh mata uang emas dan perak saja.
Mengapa? Sebab, emas dan perak mempunyai banyak keunggulan. Syaikh Abdul Qadim Zallum
dalam kitabnya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (2004), menerangkan setidaknya terdapat 6
(enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut (h. 224-227).

Pertama: emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal unta,
kambing, besi, atau tembaga. Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi.
Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang. Jadi, emas dan
perak termasuk uang komoditi/uang barang (commodity money). Artinya, emas dan perak
mempunyai nilai intrinsik (qîmah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang
tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri.

Dengan menggunakan mata uang emas dan perak, suatu negara tidak akan dapat mencetak mata
uang sesukanya lalu mengedarkannya ke pasar. Ini berbeda dengan uang kertas; negara dapat
saja mencetak uang kertas berapa pun ia mau, karena uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik
pada dirinya sendiri. (Zallum, 2004: 224). Ilustrasinya, untuk mencetak lembaran uang satu dolar
AS, biayanya 4 sen dolar. Dengan anggapan 1 dolar senilai Rp 10.000, maka nilai 4 sen dolar
hanya Rp 400 (1 dolar=100 sen dolar). Kalau mau mencetak lembaran uang 100 dolar, biayanya
juga masih sekitar 4 sen dolar itu. Inilah yang mengakibatkan The Fed (Bank Sentral AS) sangat
leluasa mencetak dolar hampir unlimited sehingga menimbulkan inflasi permanen.

Namun, untuk mencetak uang senilai 1 dinar emas, diperlukan emas seberat 4,25 gram. Negara
yang menggunakan standar dinar tidak bisa mencetak uang semaunya, kecuali dalam batas
kuantitas emas yang dimilikinya. Uang yang beredar hanya bisa ditambah ketika negara
menerima sejumlah emas baru dari pihak luar. Sebaliknya, uang yang beredar bisa berkurang
kalau ada orang yang menukarkan sebagian uangnya dengan emas.

Kedua: sistem emas dan perak akan menjamin kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang
kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia karena penambahan uang kertas yang beredar
secara tiba-tiba. Emas biasanya tidak mudah ditemukan dalam jumlah berlimpah. Dalam
perkiraan terbaik, persediaan emas global dalam 300 tahun terakhir hanya bertambah rata-rata
2% pertahun. Tingkat pertumbuhan ini jauh di bawah pertumbuhan uang beredar berdasarkan
perbankan modern yang menggunakan uang kertas. Dalam setahun, seluruh industri tambang
emas dunia hanya menghasilkan kira-kira 2000 ton emas, sangat jauh di bawah produksi baja di
AS saja yang menghasilkan 10.500 ton perjamnya pada tahun 1995.
Ketiga: sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara
secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral.
(Zallum, 2004: 226). Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian
otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance)
antar negara.

Mekanismenya: jika suatu negara (misal negara A) impornya dari negara B lebih besar daripada
ekspornya, maka akan makin banyak emas dan perak yang mengalir dari negara A itu ke negara
B. Ini karena emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran. Kondisi ini akan
mengakibatkan harga-harga di dalam negara A turun, lalu menyebabkan harga-harga komoditi
dalam negara A lebih murah daripada komoditi impor dari negara B, dan pada gilirannya akan
mengurangi impor dari negara B. Sebaliknya, dalam sistem uang kertas, jika terjadi ketekoran
semacam ini, negara A akan mencetak lebih banyak uang, sebab tak ada batasan untuk
mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli pada
uang di negara A.

Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi, selama uang yang
beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Sebab, negara khawatir
tidak akan mampu melayani penukaran tersebut.

Keempat: sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapapun
kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan
pasar dalam pertukaran mata uang. (Zallum, 2004: 227). Jika jumlah uang tetap, sementara
barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara
maksimal. Jika jumlah uang tetap, sedangkan barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya
mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk
membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001:
144).

Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin
banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Jelaslah, sistem emas
dan perak akan menghapuskan inflasi. Sebaliknya, sistem uang kertas akan menyuburkan inflasi.
(Zallum, 2004: 227).

Kelima: sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antar negara. Ini karena mata
uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan
demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang, yaitu emas atau perak,
meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara (Zallum, 2004: 227).

Benar hanya ada satu mata uang, karena satu ons koin emas (31 gram) di AS tidak akan berbeda
dengan satu ons koin emas di Jepang, Jerman, atau Prancis. Mungkin satu ons emas itu akan
diberi nama yang berbeda-beda di masing-masing negara ini, apakah diberi nama 20.000 Yen
(Jepang), 200 Deutschemark (Jerman), 10.000.000 Rupiah (Indonesia), atau 1000 Franc
(Prancis). Namun, tidak akan ada biaya transaksi signifikan yang menggambarkan perbedaan
kurs. Konsekuensinya, spekulasi mata uang asing (valas) tidak akan dapat lagi dilakukan dan
perdagangan internasional pun akan makin bergairah, karena emas dan perak telah
menghindarkan para eksportir/importir dari sumber ketidakpastian yang terbesar, yaitu kurs yang
tidak tetap (fluktuatif).

Keenam: sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh
setiap negara. Jadi, emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain. Negara
manapun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Mengapa? Sebab,
emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal. Emas dan perak tidak akan
berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syariah
(Zallum, 2004: 227; An-Nabhani, 2004:277). Contoh: untuk mengimpor bahan pangan, alat-alat
berat, persenjataan, atau untuk membayar tenaga ahli dari berbagai bidang dari luar negeri yang
diperlukan untuk membangun negara Khilafah. Dengan kata lain, tidak akan ada keuntungan
investasi asing yang dapat diterjemahkan sebagai kerugian mata uang dalam negeri.

Dengan memahami berbagai keunggulan itu, kita tak perlu lagi meragukan kemampuan mata
uang emas dan perak dalam mengatasi masalah-masalah moneter yang menyengsarakan rakyat
selama ini.

C. Strategi Penggunaan Dinar dan Dirham Agar Mampu Berfungsi Sebagai Solusi
Pembayaran Yang Stabil di Tengah Ekonomi Kapitalistik

Tinjauan Fiqih terhadap Dinar, Dirham dan Fulus sebagai Media Transaksi di Indonesia Jika
melihat adanya standarisasi karat, berat, dan nilai kadar yang dimiliki oleh Coin logam tersebut,
maka bisa disepakati bahwa ketiga produk itu kedudukannya sah sebagai barang nilai
(mutaqawwam) dan memiliki nilai (qimah). Artinya, ketiga entitas itu bisa dijamin dan
dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun perniagaan.

Permasalahnya yang muncul adalah apakah produk itu sudah dapat diberlakukan sebagai uang
dan sebagai alat transaksi pembayaran? Maka, dalam hal ini, kita perlu merujuknya ke teori
terbentuknya uang. Uang merupakan sesuatu yang berlaku sebagai unit penyimpan kekayaan,
dan alat atau wasilah alat tukar pembayaran dan ganti rugi. Sebagai alat penyimpan kekayaan,
maka uang harus memiliki nilai yang dibentuk dari aset yang dijamin. Jaminan aset ini bisa
berupa nilai bahan, namun bisa juga berupa nilai yang dijamin (dzimmah).

Uang kertas merupakan uang yang berjamin aset, oleh karenanya ia bisa dikategorikan sebagai
mal maushuf fi al-dzimmah (harta utang). Jaminan itu terdiri dari simpanan cadangan emas atau
terdiri dari cadangan aset lain yang diketahui besarannya. Selain itu, suatu produk uang bisa
disebut tepat guna apabila produk itu memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Menyatakan unit penyimpan kekayaan sehingga harus bisa disimpan
(b) Praktis dibawa
(c) Menyatakan satuan unit terbesar alat tukar dan satuan terkecil
(d) Tidak gampang rusak
(e) Mendapat penerimaan dari pemerintah dan diakui oleh umum.

Dari semua unsur di atas, hal yang tidak terpenuhi oleh dinar, dirham dan fulus produk Wakala
adalah: Keberadaan satuan terkecil mata uang (fulus) yang masih belum standar dengan satuan
terkecil rupiah di Indonesia. Jikapun terpenuhi maka tidak lazim dipergunakan sebagai alat tukar,
sebab tidak dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai media tukar (uang). Penting artinya
memandang keberadaan legitimasi dari pemerintah ini, khususnya bila dikaitkan dengan produk
keuangaan. Mengapa? Sebab, uang merupakan unit satuan yang diakui sebagai pernyataan ganti
rugi. Bila misal merusakkan barang, atau menempuh kasus hukum sehingga kemudian diputus
perlunya membayar ganti rugi, maka pernyataan ganti rugi ini harus menggunakan mata uang
yang paling banyak digunakan di dalam negeri.

Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala menyampaikan: “Penetapan nilai kadar harga barang yang
dirusakkan oleh seseorang adalah dengan berdasar pada nuqud (mata uang) negeri itu. Jika di
negeri itu berlaku dua jenis nuqud atau lebih, sementara tidak ada satu pun darinya yang
diutamakan, maka boleh bagi hakim menetapkan nilai harga barang itu berdasar salah satu nuqud
yang dipergunakan. Bagaimana bila suatu ketika ada jenis ‘urudl (komoditas) yang berlaku
umum sebagai alat tukar di negeri tersebut? Apakah boleh dialihkan dengan menyebut nilai
komuditas itu sebagai ganti ketika memutuskan perkara? Dalam hal ini ada dua pendapat
jawaban. Yang paling shahih adalah dialihkan ke komuditas dan berlaku layaknya nuqud.
Sampai kemudian beliau menyampaikan: “Maka sebagaimana suatu akad ditetapkan berdasar
nuqud yang berlaku di suatu negeri, maka segala sifat yang berkaitan dengan nuqud ghalib (mata
uang yang berlaku) juga diserupakan dengan nuqud (emas dan perak)” (Raudlatu al-Thalibin, juz
3, h. 32 dan Majmu’ Syarah al-Muhaddzab, juz IX, h. 329).

Nah, dinar, dirham, dan fulus produksi Wakala ini hingga detik ini tidak dinyatakan secara resmi
sebagai unit pembayar ganti rugi. Oleh karenanya tidak masuk sebagai standar taqwim
(penetapan nilai ganti rugi). Jika demikian, lantas apa kedudukan dinar, dirham, dan fulus produk
Wakala tersebut dalam fiqih muamalah? Karena ketiganya bukan merupakan unit yang “diakui”
sebagai standar pembayar ganti rugi, maka keberadaan tiga produk tersebut adalah sama
perannya sebagai huliyyun mubah (perhiasan yang mubah). Sebagai perhiasan, maka ketiganya
bisa dijualbelikan, dan perannya mengikut status hukum perhiasan.

Bagaimana jika dinar, dirham dan fulus sebagai media tukar? Hukum menggunakan dinar,
dirham, dan fulus sebagai media tukar adalah boleh, akan tetapi kedudukan dinar dan dirham
menjadi berstatus barang ribawi, sehingga wajib berlaku kaidah taqabudl dan hulul. Taqabudl
adalah saling serah terima di majelis akad, atau penyerahan salah satu harga atau barang di
majelis akad. Sementara hulul, adalah diketahui jatuh temponya masa pelunasan. Meski
pertukaran menggunakan ketiganya adalah boleh, namun ketika terjadi suatu kerugian yang
diakibatkan tindakan perusakan, maka dinar, dirham dan fulus tidak bisa dijadikan sebagai alat
pembayar ganti rugi, melainkan harus ditukar ke rupiah terlebih dulu, khususnya bila ganti rugi
itu harus dinyatakan dalam bentuk nilai. Inilah berbagai risiko penggunaan dinar, dirham, dan
fulus di Indonesia. Ketiganya, dalam praktiknya mengalami kendala jika dijadikan alat tukar,
mengingat fungsinya yang diakui oleh negara hanya sebagai perhiasan.

IV. PENUTUP

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1) Semangat masyarakat untuk menjalankan ekonomi syariah patut diapresiasi oleh pihak
berwenang, tujuannya adalah agar pasar muamalahnya bisa terus berjalan, adapun jika
melakukan kekeliruan atau terjadi penyimpangan maka perlu diperingatkan terlebih dulu, dibina
dan diberi penjelasan agar mengerti terhadap ketentuan hukum yang berlaku, jika langsung
dibinasakan maka hal itu justru akan bisa membuat masyarakat lainnya phobia terhadap kata
Dinar, Dirham, Muamalah dan semisalnya, tentu hal ini akan kontardiksi dengan semangat
pemerintah yang hendak membentuk Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).

2) Dampak diberlakukannya dinar-dirham (emas/perak) sesungguhnya sangat positif, baik


kestabilan nilai tukarnya maupun ketahanannya dalam menangkal krisis, karena jika kita tengok
sejarah negara-negara yang menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah
terjadi permasalahan moneter seperti inflasi, fluktuasi nilai tukar, dan anjloknya daya beli. Hal
inilah yang menjadi suatu patokan kesejahteraan bagi rakyat.

3) Tanpa disahkan penggunaannya oleh negara, maka kemampuan mata uang emas dan perak itu
tak ada gunanya, apalagi jika hanya menjadi wacana kosong di negeri-negeri Islam yang masih
rela tunduk pada hegemoni Barat pimpinan AS. Dengan patuh sebagai budak Barat, mereka
memang masih bisa hidup sebagai “rumput”, tetapi bukan sebagai “pohon cemara". Mereka
memang tidak dihempas angin tapi di injak-injak dengan hina.
Hanya negara yang menjalankan syariat secara kaffah lah yang akan mampu mengemban tugas
memuliakan rakyat dengan dinar dan dirham.

Anda mungkin juga menyukai