Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

SEORANG PENDERITA HIV + HIPOKALEMIA BERAT DI RSUD JAYAPURA

PAPUA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Kepaniteraan Klinik Madya

di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Disusun oleh:

Ferdinand Kapisa

0110840126

Dokter Pembimbing:

dr. Gery Dala P. Baso Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA-PAPUA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat

menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah

untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain 1

Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul

akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat dan disebabkan oleh infeksi HIV.

Pada tahun 2013 diperkirakan 1,1 juta (11%) pasien HIV menderita TB dan sebanyak

360.000 orang diantaranya meninggal dunia (WHO, 2014). Pada tahun 2014 diperkirakan 1,2

juta (12%) pasien HIV menderita TB dan sebanyak 0.4 juta orang penderita TB-HIV

meninggal dunia, diantaranya 890.000 orang pria, 480.000 orang wanita dan 140.000

anak-anak. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan sebesar 0,1% pada pasien HIV

dengan TB positif 1

Di Indonesia sendiri penderita HIV yang dilaporkan dari bulan oktober sampai

desember 2017 sebanyak 14.640 orang, presentani HIV tertinggi pada kelompok umur 25 –

49 tahun (69,2 %) diikuti kelompok 20-24 tahun (16,7) dan kelompok umur > 50 tahun 7,6

%, laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita, presentasi faktor resiko penularan HIV

adalah hubungan seks beresiko pada heteroseksual 22 %, homoseksual 21% dan penggunaan

alat suntik tidak steril 2 %, jumlah kasus HIV yang dilaporkan tahun 2005 – 2017

mengalami kenaikan tiap tahunnya ± 280.623 jumlah tertinggi DKI Jakarta 51.981, Jawa

Timur 39.633, Papua 29.083. Jumlah AIDS yang dilaporkan dari bulan oktober sampai

desember 2017 sebanyak 102.667 orang dengan daerah yang paling tinggi Papua 19.729

orang, Jawa Timur 18,243, DKI Jakarta 9.215 orang 5


Kalium penting untuk fungsi normal dari otot, jantung, dan saraf. Hal ini memainkan

peran penting dalam mengontrol aktivitas otot polos, otot rangka, serta otot jantung. Hal ini

juga penting untuk transmisi normal sinyal listrik seluruh sistem saraf dalam tubuh. Kadar

normal kalium sangat penting untuk menjaga irama jantung normal listrik.

Hipokalemia adalah ketidakseimbangan elektrolit dan diindikasikan oleh tingkat


rendah kalium dalam darah. Nilai dewasa normal untuk kalium 3,5-5,3 mEq / L.

Walaupun kadar kalium dalam serum hanya sebesar 2% dari kalium total tubuh dan
pada banyak kasus tidak mencerminkan status kalium tubuh; hipokalemia perlu dipahami
karena semua intervensi medis untuk mengatasi hipokalemia berpatokan pada kadar kalium
serum (1)

Kalium biasanya dapat dengan mudah digantikan dengan mengkonsumsi makanan


yang banyak mengandung kalium atau dengan mengkonsumsi garam kalium per oral. Kalium
dapat mengiritasi saluran pencernaan, sehingga diberikan dalam dosis kecil, beberapa kali
sehari.

Studi lebih lanjut di Amerika Serikat angka kejadian hipokalemia pasien rawat inap
adalah 20%, walaupun hanya 4-5 % dari pasien hipokalemia tersebut yang gejala klinisnya
terlihat. Pada hipokalemia yang ringan ( Serum K+ : 3,0 – 3,5) gejala klinisnya asimptomatik.
Namun, pada hipokalemia yang berat (serum kalium sangat rendah) bisa sangat berbahaya,
apalagi pada pasien jantung.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien

A. Identitas Pasien

Nama : Nn. V.Y.

Umur : 21 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Belakang varian

Pekerjaan : -

Agama : Kristen Protestan

Tanggal MRS : 15 Oktober 2019

Tanggal Pemeriksaan : 15 Oktober 2019

No. RM : 179481

2.2 Anamnesis

Alloanamnesis dilakukan kepada pasien pada tanggal 18 Oktober 2019 di Ruang

Bangsal Penyakit Dalam wanita.

Keluhan Utama

Sesak ± 1 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Jayapura pada

tanggal 15 Oktober 2019 pukul 00.30 WIT dengan keluhan sesak ± 1 hari, sesak

dirasakan hilang timbul, sesak lebih sering timbul pada saat beraktivitas atau saat

pasien banyak berbicara. Pasien mengaku sesak biasa disertai nyeri pada badan yang

dirasakan ± 1 bulan yang lalu, nyeri badan dirasakan terus-menerus, nyeri lebih terasa

pada saat duduk, dan untuk mengurangi nyeri badan pasien biasanya meminta keluarga
untuk memijat badan pasien. Pasien juga mengaku mencret selama ± 1 bulan, sehari 3 –

4 kali, isi cairan dan makanan, warna cokelat. Sakit kepala (-), pusing (-), demam (-),

mual (+) muntah (-). Pasien mengaku nafsu makan menurun, makan sedikit ± 3 – 4

sendok makan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat pengobatan ARV (+) sejak 2018

Riwayat pengobatan TB (+) tuntas

Riwayat malaria (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat diabetes mellitus (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini

Riwayat pemakaian obat-obatan

Pada pasien ini sebelumnya pernah mengkonsumsi obat anti tuberkulosis dan

obat antiretroviral dalam jangka waktu yang lama.

Riwayat alergi

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan tertentu

maupun obat-obatan tertentu.

Riwayat Sosial

Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol dan mengkonsumsi pinang

sebelum mengalami sakit.

2.3 Pemeriksaan fisik

A. Status Generalis saat MRS


1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4V5M6

3. Tanda-tanda Vital :

Tekanan darah : 120/70 mmhg

Nadi : 98 x/m

Respirasi : 33 x/m

Suhu badan : 37,80 C

Saturasi Oksigen : 93% tanpa O2

B. Status Interna

Kepala : Bentuk : Normocephali


Rambut : Hitam, keriting, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis : (+/+), sklera ikterik : (-/-), eksoftalmus: (-/-),
refleks cahaya : (+/+), mata cowong (+).
Hidung : Sekret (-), perdarahan (-)
Telinga : Sekret (-), perdarahan (-), pendengaran menurun (-/-)
Mulut : Oral candidiasis (+), mukosa bibir kering (+)
Leher : KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
Thoraks : Paru
I : simetris, ikut gerak napas
P : Vokal fremitus (Dextra = Sinistra)
P : Sonor seluruh lapang paru
A : Suara napas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis sulit dinilai
P : Batas jantung kana atas : ICS II, para sternal line
dextra, Batas bawah Jantung : ICS IV parasternalis
line dextra, Batas kiri atas ICS II parasternal line
sinistra, apex jantung di ICS V midclavicula line
sinistra
A : Bunyi jantung I – II regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen : I : Datar, jejas (-)


A : Bising usus (+) meningkat
P : Supel, nyeri tekan pada regio epigastrium
Hepar : Dalam Batas Normal Lien : Dalam batas normal
Perkusi timpani , shifting dullness (-),
P : Rectal Touche (RT): tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, Edema (-/-)
IMT = BB (kg ) : (TB )2
= 39 : (1,6)2 = 15 (Berat badan kurang )

2.4 Pemeriksaan Penunjang

HASIL LABORATORIUM

Tanggal : 16 Oktober 2019

Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan Kadar Hemoglobin 8,4 g/dL,

Hematokrit 27,4 %, Leukosit 8,21 103/uL, Trombosit 322 103/uL, Eritrosit 3,68 106/uL.

Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,1%, Eosinofil 3,9%, Neutrofil

83,6%, Limfosit 4,4%, Monosit 8,0. Pemeriksaan malaria (DDR) negatif. Pada

pemeriksaan Kimia Darah didapatkan Gula Darah Sewaktu 150 mg/dL. Pada

pemeriksaan elektrolit darah di dapatkan Natrium Darah 140,20 mEq/L, Kalium Darah

1,94 mEq/L, Klorida Darah 108,60 mEq/L, Kalsium 1,18 mEq/L.

Tanggal : 18 Oktober 2019

Pada pemeriksaan elektrolit darah di dapatkan Natrium Darah 141,40 mEq/L,

Kalium Darah 1,75 mEq/L, Klorida Darah 111,20 mEq/L, Kalsium 1,19 mEq/L.

Tanggal : 20 Oktober 2019


Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan Kadar Hemoglobin 8,4 g/dL,

Hematokrit 26,7 %, Leukosit 6,88 103/uL, Trombosit 391 103/uL, Eritrosit 3,82 106/uL.

Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,1%, Eosinofil 6,8%, Neutrofil

80,1%, Limfosit 5,7%, Monosit 7,3. Pada pemeriksaan Elektrolit Darah di dapatkan

Natrium Darah 147,90 mEq/L, Kalium Darah 2,00 mEq/L, Klorida Darah 116,40

mEq/L, Kalsium 1,24 mEq/L.

Tanggal : 22 Oktober 2019

Pada pemeriksaan elektrolit darah di dapatkan Natrium Darah 137,40 mEq/L,

Kalium Darah 2,35 mEq/L, Klorida Darah 105,00 mEq/L, Kalsium 1,17 mEq/L.

Tanggal : 24 Oktober 2019

Pada pemeriksaan elektrolit darah di dapatkan Natrium Darah 141,90 mEq/L,

Kalium Darah 3,65 mEq/L, Klorida Darah 109,40 mEq/L, Kalsium 1,10 mEq/L.

2.5 Follow Up

Pada pemeriksaan tanggal 16 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

- Lemas (+) Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


- Leher kaku Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
(+) TTV: TD:100/70 mmHg, - Hipokalemia (target KCL 50 mg)
- Sesak (+) N:72 x/m, SpO2: 98%, RR:18 Berat - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
- BAB cair (-), x/m, SB:36,10C gram
ampas (-) - Inj.omeperazole 1 x
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
- Kembung (+) 1vial
PKGB (-)
- Antasida 3 x 1c
Thorax:
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar , deformitas (-).
A: BU (+)
P: (-)
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 17 Oktober 2019 di RPDW

S O A P

- Lemas (+) Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


- Leher kaku Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
(+) TTV: TD:100/70 mmHg, - Hipokalemia (target KCL 50 mg)
- Sesak (+) N:82 x/m, SpO2: 96%, RR:25 Berat - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
0
- BAB cair (-), x/m, SB:37,5 C gram
ampas (-) - Inj.omeperazole 1 x
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
- Kembung (+) 1vial
PKGB (-)
- Antasida 3 x 1c
Thorax:
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri Tekan (-)
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 18 Oktober 2019 di RPDW

S O A P

- Lemas (+) Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


- Badan kaku Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
(+) TTV: TD:100/70 mmHg, - Hipokalemia (target KCL 50 mg)
- Sesak (+) N:94 x/m, SpO2: 97%, RR:25 Berat - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
0
- BAB cair (-) x/m, SB:36,1 C gram
- Nafsu makan - Inj.omeperazole 1 x
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
menurun 1vial
PKGB (-)
- Antasida 3 x 1c
Thorax:
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-).
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (nafsu makan
menurun) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 19 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


- Badan kaku Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
(+) TTV: TD:110 /70 mmHg, - Hipokalemia Berat (target KCL 50 mg)
- Lemas (+) N:86 x/m, SpO2: 98%, RR:20 - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
- Sesak (-) x/m, SB:36,20C gram
- BAB cair (-) - Inj.omeperazole 1 x
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
- Kaki terasa 1vial
PKGB (-)
sakit (+) - Antasida 3 x 1c
Thorax:
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-).
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (-) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 20 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

- Badan lemas Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


(+) Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
- Kaki terasa TTV: TD:100/60 mmHg, - Hipokalemia Berat (target KCL 50 mg)
sakit (+) N:89 x/m, SpO2: 99%, RR:20 - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
- Sesak (-) x/m, SB:36,50C gram
- BAB cair (-) - Inj.omeperazole 1 x
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
1vial
PKGB (-)
- Antasida 3 x 1c
Thorax:
- KSR 3 x 1 tablet
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-)
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)
Pada pemeriksaan tanggal 21 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

- Badan sakit Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


(+) Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
- Pusing (+) TTV: TD:100/70 mmHg, - Hipokalemia Berat (target KCL 50 mg)
- Lemas (+) N:87 x/m, SpO2: 98%, RR:21 - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
- Sesak (-) x/m, SB:36,50C gram
- BAB cair (-) - Inj.omeperazole 1 x 1
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
- Kaki sakit (+) vial
PKGB (-)
- Antasida 3 x 1c
Thorax:
- KSR 3 x 1 tablet
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-).
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 22 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

- Badan sakit Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


(+) Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
- Pusing (+) TTV: TD:100/60 mmHg, - Hipokalemia Berat (target KCL 50 mg)
- Lemas (+) N:86 x/m, SpO2: 98%, RR:20 - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
0
- Sesak (-) x/m, SB:36,5 C gram
- BAB cair (-) - Inj.omeperazole 1 x 1
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
- Kaki sakit (+) vial
PKGB (-)
- Antasida 3 x 1c
Thorax:
- KSR 3 x 1 tablet
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-).
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 23 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


- Pusing (-) Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
- Lemas (+) TTV: TD:100/60 mmHg, - Hipokalemia Berat (target KCL 50 mg)
- Sesak (-) N:82 x/m, SpO2: 99%, RR:20 - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
- BAB cair (-) x/m, SB:37,10C gram
- Kaki sakit (-) - Inj.omeperazole 1 x 1
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
PKGB (-) vial
Thorax: - Antasida 3 x 1c
I: simetris, ikut gerak napas. - KSR 3 x 1 tablet
P: vokal premitus (+) d = s - Pro periksa elektrolit
P: sonor darah (K+, NaCl)
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-).
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 24 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

Ku: TSS - HIV AIDS - IVFD NS + KCL 25


- Pusing (-) Kes: CM Stadium III mEq 21 tpm
- Lemas (+) TTV: TD:100/70 mmHg, - Hipokalemia Berat (target KCL 50 mg)
- Sesak (-) N:87 x/m, SpO2: 99%, RR:20 - Inj. Ceftriaxone 2 x 1
0
- BAB cair (-) x/m, SB:36,5 C gram
- Kaki sakit (-) - Inj.omeperazole 1 x 1
K/L: CA (+), SI(-), OC (+),
vial
PKGB (-)
- Antasida 3 x 1c
Thorax:
- KSR 3 x 1 tablet
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-).
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

Pada pemeriksaan tanggal 25 Oktober 2019 di RPDW.

S O A P

Ku: TSS - HIV AIDS - ARV FDC 1 x1 tablet


- Keluhan (-) Kes: CM Stadium III - Omeprazole 2 x1 caps
TTV: TD:100/60 mmHg, - Hipokalemia Berat - BPL (kontrol Poli
N:107 x/m, SpO2: 97%, VCT)
0
RR:20 x/m, SB:36,1 C

K/L: CA (+), SI(-), OC (+),


PKGB (-)
Thorax:
I: simetris, ikut gerak napas.
P: vokal premitus (+) d = s
P: sonor
A: suara napas vesikuler,
Rhonci (-), wheezing (-).
Jantung:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Thrill (-), Ictus cordis
teraba.
P: Redup, batas jantung
normal
Abdomen
I: Datar, deformitas (-)
A: BU (+)
P: Nyeri tekan (-).
Extremitas: akral hangat,
CRT <2”, udem(-).
Vegetatif:
Makan (+) Minum (+)
BAB (+) & BAK (+)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel

darah putih yang menyebabkan kekebalan tubuh manusia menjadi menurun,

sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan

gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV 6 4 2

Human Immunodeficiency Virus menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih,

yaitu limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan

berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam

mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem

kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang

dengan sistem kekebalan yang terganggu nilai CD4 semakin lama akan semakin

menurun, bahkan dapat mencapai nol 8

Human immunodeficiency virus (HIV) telah menjadikan tuberkulosis menjadi

suatu penyakit yang epidemis di seluruh dunia, sedangkan tuberkulosis adalah

infeksi oportunistik yang menyebabkan angka kematian paling tinggi pada

penderita HIV/AIDS 9

Pada tahun 2013 diperkirakan 1,1 juta (11%) pasien HIV menderita TB dan

sebanyak 360.000 orang diantaranya meninggal dunia (WHO, 2014). Pada tahun 2014

diperkirakan 1,2 juta (12%) pasien HIV menderita TB dan sebanyak 0.4 juta orang

penderita TB-HIV meninggal dunia, diantaranya 890.000 orang pria, 480.000

orang wanita dan 140.000 anak-anak. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan

sebesar 0,1% pada pasien HIV dengan TB positif 1

Stadium klinis HIV / AIDS WHO 2016

a. Stadium klinis 1 : Asimtomatik

 Asimtomatik

 Limfadenopati generalisata persisten

b. Stadium klinis II : Sakit Ringan

 Penurunan berat badan < 10 %


 ISPA berulang (Sinusistis, tonsilitis, otitis media dan farangitis )

 Herpez soster

 Kelingitis angularis

c. Stadium klinis III: sakit sedang

 Penurunan berat badan > 10%

 Diare kronis > 1 bulan

 Suhu tubuh > 37,5 0C, intermiten/persisten > 1 bulan

 Kandidiasis oral

 Oral hairy leukoplakia

 Tb paru

d. Stadium klinis IV: sakit berat (AIDS)

 HIV wasting syndrome

 Pneumonia pneumosistis

 Pneumonia bakterialis berat dan berulang

 Herpes simplek > 1 bulan

 Kandidiasis esofagus

 TB ekstra paru

 Sarkoma kaposi
 Retinitis CMV

 Toksoplasmosis otak

 Ensofalopati HIV

 Meningitis kriptokokus

Penularan HIV dapat melalui :

a. Transmisi melalui kontak seksual

Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai

belahan dunia. Dilihat dari cara penularan, proporsi penularan HIV melalui

hubungan seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat

mendominasi yaitu mencapai 60%. Sedangkan penularan melalui jarum suntik

sebesar 30%, dan sebagian lainnya tertular melalui ibu dan anak

b. Transmisi melalui darah atau produk darah

Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV-1 melalui

transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV

c. Transmisi secara vertikal

Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya

sewaktu hamil , persalinanan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu

Ibu (ASI). Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan

10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20%

d. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium.


Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV

setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh

darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko

penularan HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah

sekitara 0,09% 9 38

3.2 Patofisiologi

HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah yang terinfeksi atau

sekret dari kulit yang terluka, dan oleh ibu yang terinfeksi kepadajaninnya atau melalui

laktasi8

Molekul reseptor membran CD4 pada sel sasaran akan diikat oleh HIV

dalam tahap infeksi. HIV terutama akan menyerang limfosit CD4. Limfosit CD4

berikatan kuat dengan gp120 HIV sehingga gp41 dapat memerantarai fusi

membrane virus ke membran sel. Dua ko-reseptor permukaan sel, CCR5 dan

CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan

reseptor CD4. Koreseptor menyebabkan perubahan konformasi sehingga gp41

dapat masuk ke membran sel sasaran. Selain limfosit, monosit dan makrofag juga

rentan terhadap infeksi HIV. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi

sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat

politronik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel Natural Killer

(NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel mikroglia

dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4, maka

berlangsung serangkaian proses kompleks kemudian terbentuk partikel-partikel virus

baru dari yang terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam

keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi sehingga


menghasikan banyak virus. Infeksi pada limfosit CD4 juga dapat menimbulkan

sitopatogenitas melalui beragam mekanisme termasuk apoptosis (kematian sel

terprogram) anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan sinsitium (fusi

sel) 9

3.3 Pemeriksaan penunjang

Menentukan adanya antibodi : Rapid tes (dipstick) (3 tes yg berbeda) untuk

pemeriksaan cepat mendeteksi anti HIV atau antibodi tubuh terhadap virus HIV,

pemeriksaan standar dengan ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV, tes

antigen HIV untuk mendeteksi antigen HIV, Menentukan adanya virus : DNA PCR,

HIV RNA , Jumlah sel CD4, Resistensi tes, Darah lengkap, Kimia darah, Serologis :

sifilis,toksoplasma, hbv, hcv dan cmv, TB dan Malaria, Lab untuk infeksi oportunistik
931

3.4 Penatalaksanaan

a. POKJA AIDS AND VCT CENTRE RSUD Jayapura

 Care, Support and Treatment for PLWA:

Pengobatan pendukung : Nutrisi, cairan, home care, up, rumah singgah ?

menjaga kebersihan, dukungan psikososial, agama, sosial ekonomi, dukungan

keluarga, pendampingan , kelompok dukungan sebaya, dukungan HAM dan hukum

 Pengobatan khusus :

Pengobatan infeksi oportunistik (PCP,TB,JAMUR), Pengobatan antiretroviral,

Pengobatan kanker (kaposi, limfoma, cervix dll), Infeksi yang lain (malaria, pms) 10

b. Obat Profilaksis
PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) diberikan pada ODHA dengan

stadium klinis 2, 3, dan 4 pada CD4 <200 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4 bila

tidak tersedia pemeriksaan CD4. Dosis PPK untuk orang dewasa 1x960 mg (dua tablet

atau satu tablet forte), Efek samping yang mungkin timbul antara lain ruam kulit

(alergi) dari tingkat ringan sampai berat. Bila timbul ruam kulit yang luas atau basah

disertai gejala sistemik seperti deman, secepatnya mencari pertolongan, Desensitisasi

tidak dianjurkan pada pasien dengan riwayat alergi berat (Steven Johnson Syndrome),

Kotrimoksasol tidak menggantikan terapi ARV. Oleh karena itu perlu direncanakan

pemberian ARV setelah kotrimoksasol, idealnya sekitar 2 minggu setelah pemberian

kotrimoksasol. Profilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien mendapatkan

pengobatan untuk IO-nya. Profilasis kotrimoksasol dihentikan satu tahun setelah

pasien sehat kembali dengan tingkat kepatuhan minum obat ARV baik dan CD4 >200

setelah pemberian terapi ARV pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut. Profilaksis

primer untuk mencegah infeksi yang belum pernah didapatkan.dan Profilaksis

sekunder untuk mencegah kekambuhan dari infeksi yang sama 4 6

c. Anti Retro Virus 4 6 10

NsRTI NNRTI PI
Nucleoside reverse Non Nucleoside Protease
transcriptase inhibitor reverse transcriptase inhibitor
inhibitor

zidovudine (ZDV) nevirapine (NVP) saquinavir


100mg 200 mg (SQV)
didanosine (ddI) efavirenz (EFV) ritonavir (RTV)
200mg dan 600 mg
zalcitabine (ddC) delavirdine indinavir (IDV)
(DLV)
stavudine (d4T) nelfinavir
(NFV)
lamivudine (3TC) NtRTI amprenavir
150 mg (APV)
abacavir (ABC) Tenofovir (TDF) lopinavir/r
300 mg (LPV/r)
emtricitabine atazanavir
(FTC) (ATV)
Obat ARV lini : 1) TDF + 3TC (atau FTC) + EFV 3)AZT + 3TC +EFV
2) TDF + 3TC (atau FTC + NVP 4) AZT + 3TC +NVP

3.5 Pencegahan HIV/AIDS

HIV/AIDS dapat di cegah melalui beberapa hal, yaitu serangkaian upaya

yang sering di sebut Abstinance (A), Be Faithfull (B), Condom (C), Don’t Inject

(D) dan Education (E), Abstinance yaitu tidak melakukan seks bebas atau tidak
melakukan hubungan seksual dengan penderita HIV/AIDS, setia kepada pasangan

(Be Faithfull), menggunakan kondom jika melakukan hubungan seks berisiko

(Kondom), tidak menggunakan jarum suntik yang bergantian dengan orang lain

atau pemakaian jarum yang tidak steril, tato atau akupuntur (Don’t inject) dan

mencari informasi yang benar dan tepat tentang HIV/AIDS (Education) 8

3.6 Hipokalemia

 Definisi

Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah


dibawah 3.5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total di tubuh
atau adanya gangguan perpindahan ion kalium ke sel-sel. Penyebab yang umum
adalah karena kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal atau jalur
gastrointestinal.

 Etiologi

1. Deplesi Kalium

Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan kalium

tubuh. Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB

dan kalium plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet

menghasilkan deplesi cadangan kalium tubuh. Walaupun ginjal memberi

tanggapan yang sesuai dengan mengurangi ekskresi K+, melalui mekanisme

regulasi ini hanya cukup untuk mencegah terjadinya deplesi kalium berat. Pada

umumnya, jika asupan kalium yang berkurang, derajat deplesi kalium bersifat

moderat. Berkurangnya asupan sampai <10 mEq/hari menghasilkan defisit

kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira 7-8% kalium total tubuh) dalam 7

—10 hari4. Setelah periode tersebut, kehilangan lebih lanjut dari ginjal minimal.

Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai 85 mmol kalium per hari,
sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah mungkin tidak mendapat

cukup kalium dalam diet mereka.

2. Disfungsi Ginjal

Ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu kondisi yang disebut

Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan mengeluarkan terlalu banyak kalium.

Obat yang menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.

3. Kehilangan K+ melalui jalur Ekstra-renal

Kehilangan melalui feses (diare) dan keringat bisa terjadi bermakna. Pencahar

dapat menyebabkan kehilangan kalium berlebihan dari tinja. Ini perlu dicurigai

pada pasien-pasien yang ingin menurunkan berat badan. Beberapa keadaan lain

yang bisa mengakibatkan deplesi kalium adalah drainase lambung (suction),

muntah-muntah, fistula, dan transfusi eritrosit.

4. Kehilangan K+ Melalui Ginjal

Diuretik boros kalium dan aldosteron merupakan dua faktor yang bisa

menguras cadangan kalium tubuh. Tiazid dan furosemid adalah dua diuretik yang

terbanyak dilaporkan menyebabkan hipokalemia. Obat-obat lain yang bisa

menyebabkan hipokalemia dirangkum dalam tabel:


5. Endrokin dan hormonal

Aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit tertentu

dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom Cushing, dapat

menyebabkan kehilangan kalium.

 Patofisiologi

Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan cadangan kalium sel. Ini disebabkan

faktor-faktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke

intraseluler, antara lain beban glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb.

Insulin dan obat katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium

ke dalam sel otot. Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na +/K+ ATP ase yang

berfungsi sebagai antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah retensi

natrium dan sekresi kalium.

Pasien asma yang dinebulisasi dengan albuterol akan mengalami penurunan

kadar K serum sebesar 0,2—0,4 mmol/L2,3, sedangkan dosis kedua yang diberikan

dalam waktu satu jam akan mengurangi sampai 1 mmol/L3. Ritodrin dan terbutalin,

yakni obat penghambat kontraksi uterus bisa menurunkan kalium serum sampai

serendah 2,5 mmol per liter setelah pemberian intravena selama 6 jam.

Teofilin dan kafein bukan merupakan obat simpatomimetik, tetapi bisa

merangsang pelepasan amina simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas Na+/K+

ATP ase. Hipokalemia berat hampir selalu merupakan gambaran khas dari keracunan

akut teofilin. Kafein dalam beberapa cangkir kopi bisa menurunkan kalium serum
sebesar 0,4 mmol/L. Karena insulin mendorong kalium ke dalam sel, pemberian

hormon ini selalu menyebabkan penurunan sementara dari kalium serum. Namun, ini

jarang merupakan masalah klinik, kecuali pada kasus overdosis insulin atau selama

penatalaksanaan ketoasidosis diabetes.

 Derajat Hipokalemia

Hipokalemia moderat didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5--3 mEq/L,

sedangkan hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar serum < 2,5 mEq/L.

Hipokalemia yang < 2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan jantung dan

mengancam jiwa.

 Gejala Klinis

a. SSP dan neuromuskular : lelah, tidak enak badan, reflek tendon dalam

menghilang.

b. Pernapasan : otot-otot pernapasan lemah, napas dangkal (lanjut).

c. Saluran cerna : menurunnya motilitas usus besar, anoreksia, mual muntah.

d. Kardiovaskuler : Hipotensi postural, disritmia, perubahan pada EKG.

e. Ginjal : poliuria, nokturia.

 Penatalaksanaan

Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan, perlu

disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa menyebabkan

hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi

kadar kalium serum.


a. Jumlah kalium

Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk

mengganti kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk menghitung

jumlah kalium yang dibutuhkan pasien. Namun, 40—100 mmol K+ suplemen

biasa diberikan pada hipokalemia moderat dan berat. Pada hipokalemia ringan

(kalium 3—3,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20 mmol per hari dan pasien

dianjurkan banyak makan makanan yang mengandung kalium. KCL oral

kurang ditoleransi pasien karena iritasi lambung. Makanan yang mengandung

kalium cukup banyak dan menyediakan 60 mmol kalium.

b. Kecepatan pemberian Kalium Intravena

Kecepatan pemberian tidak boleh dikacaukan dengan dosis. Jika kadar

serum > 2 mEq/L, maka kecepatan lazim pemberian kalium adalah 10

mEq/jam dan maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah terjadinya

hiperkalemia. Pada anak, 0,5— 1 mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak

boleh melebihi dosis maksimum dewasa. Pada kadar < 2 mEq/L, bisa

diberikan kecepatan 40 mEq/jam melalui vena sentral dan monitoring ketat di

ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl tidak boleh dilarutkan dalam larutan

dekstrosa karena justru mencetuskan hipokalemia lebih berat.

c. Koreksi Hipokalemia Perioperative

 KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K+, karena juga

biasa disertai defisiensi Cl-.


 Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau kalium sitrat mungkin

lebih sesuai.

 Terapi oral dengan garam kalium sesuai jika ada waktu untuk koreksi

dan tidak ada gejala klinik.

 Penggantian 40—60 mmol K+ menghasilkan kenaikan 1—1,5 mmol/L

dalam K+ serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K+ akan

berpindah kembali ke dalam sel. Pemantauan teratur dari K + serum

diperlukan untuk memastikan bahwa defisit terkoreksi.

d. Kalium Intravena

 KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan

mengalami hipokalemia berat.

 Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan

sediaan siap-pakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2

mmol/L), sebaiknya gunakan NaCl, bukan dekstrosa. Pemberian

dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar

0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa.

 Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40

mmol K+ /L. Ini harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+.

 Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban

cairan. Jika ada aritmia jantung, dibutuhkan larutan K+ yang lebih

pekat diberikan melalui vena sentral dengan pemantauan

EKG.Pemantauan teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak

sebelum memberikan > 20 mmol K+/jam.


 Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena perifer,
karena cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.

 Diet Kalium

Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-
100 mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis,
pisang, aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).

 Prognosis

Dengan mengkonsumsi suplemen kalium biasanya dapat mengkoreksi

hipokalemia. Pada hipokalemia berat, tanpa penatalaksanaan yang tepat, penurunan

kadar kalium secara drastis dapat menyebabkan masalah jantung yang serius yang

dapat berakibat fatal.

3.7 Anemia pada HIV AIDS

Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis dimana konsentrasi

hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada laki-laki dan kurang dari 12 g/dl pada

perempuan.17 Khusus untuk wanita hamil, kriteria WHO untuk anemia adalah kadar

hemoglobin kurang dari 11 g/dl.22 Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi

pada infeksi HIV tipe 1 (HIV-1). Penyebab multifaktorial dari komplikasi anemia

menyebabkan sulitnya dalam menentukan penyebab asli dan/atau pengobatan yang

tepat. Sebuah studi menunjukkan prevalensi terjadinya anemia pada pasien HIV/AIDS

sebanyak 71% populasi yang diteliti. Anemia secara fungsional memiliki makna sebagai

penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi

fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer

(penurunan oxygen carrying capacity). Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang

disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya, anemia disebabkan oleh karena:

1).Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar
tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya

(hemolisis).

 Diagnosis Anemia

Anemia bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity) yang dapat disebabkan

oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease), melainkan suatu sindrom.

Penentuan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut sangat diperlukan.

Upaya penegakkan diagnosis anemia memerlukan beberapa tahapan: menentukan

adanya anemia, menentukan jenis anemia, menentukan etiologi atau penyakit dasar

anemia, dan menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan

memengaruhi hasil pengobatan.

Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara lain

adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional, dan probabilistik,

serta pendekatan klinis. Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah: 1).

Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia); 2). Berat ringannya derajat anemia;

3). Gejala yang menonjol. Untuk keperluan klinis, kriteria anemia yang dapat dipakai

adalah kriteria Hb < 10 g/dl atau hematokrit <30%.

 Patofisiologi Anemia Terkait Infeksi HIV/AIDS

Patofisiologi anemia terkait HIV/AIDS kemungkinan besar terjadi akibat tiga

mkanisme berikut: 1). Penurunan produksi sel darah merah ; 2). Peningkatan

destruksi sel darah merah ; 3). Inefektivitas produksi sel darah merah. Umumnya,

ketiga mekanisme tersebut termasuk infiltrasi sumsum tulang yang disebabkan oleh

neoplasma atau infeksi, penurunan produksi erythropoietin endogen, anemia

hemolitik, penggunaan obat-obatan mielosupresif seperti Zidovudin, atau akibat

penggunaan berbagai macam obat.


BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa penderita mengeluh keluhan sesak ± 1

hari, sesak dirasakan hilang timbul, sesak lebih sering timbul pada saat beraktivitas atau

saat pasien banyak berbicara. Keluhan sesak merupakan salah satu gejala klinis yang

timbul akibat rendahnya kadar kalium dalam darah yang memperlemah otot-otot

pernapasan. Penderita juga mengaku sesak biasa disertai nyeri pada badan yang

dirasakan ± 1 bulan yang lalu, nyeri badan dirasakan terus-menerus. Keluhan nyeri

badan sesuai dengan teori bahwa salah satu gejala klinis hipokalemia yaitu kelelahan

pada otot, perasaaan lelah dan nyeri otot. Penderita juga mengeluh mencret selama ± 1

bulan, sehari 3 – 4 kali, isi cairan dan makanan, warna cokelat. Keluhan mencret ± 1

bulan sesuai dengan teori merupakan salah satu manifestasi klinis HIV Stadium III

yaitu diare kronik lebih dari 1 bulan.

Pasien sedang dalam pengobatan antiretrovirus sejak tahun 2018 dan pernah

menjalani terapi OAT hingga tuntas.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis. Konjungtiva anemis

merupakan manifestasi klinis yang muncul akibat rendahnya kadar hemoglobin darah <

10 g/dL yang terkait dengan HIV/AIDS dimana terjadi akibat tiga mkanisme berikut:
1). Penurunan produksi sel darah merah ; 2). Peningkatan destruksi sel darah merah ;

3). Inefektivitas produksi sel darah merah yang dikarenakan penggunaan obat-obatan

mielosupresif seperti Zidovudin. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan kandidiasis

oral yang sesuai dengan gejala klinis HIV stadium 3. Pada pemeriksaan fisik juga

ditemukan berat badan pasien kurang dengan nilai indeks massa tubuh 15. Berat badan

kurang sesuai dengan gejala klinis HIV stadium 3 dimana terjadi penurunan berat

badan > 10%.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Kalium Darah sebesar 1,94 mEq/L

yang menjadi penanda adanya hipokalemia berat, dimana kadar kalium < 3,5 mEq,

Hemoglobin 8,4 g/dL yang menandakan adanya anemia dimana kadar hemoglobin

darah < 12 g/dL.

Terapi cairan yang diberikan pada penderita ini adalah Normal Saline + KCL 25

mEq 21 tpm. Cairan Normal Saline merupakan cairan jenis kristaloid yang memiliki

komposisi mirip cairan ekstraseluler yang diberikan untuk memenuhi asupan elektrolit.

Sedangkan pemberian cairan KCL 25 mEq dengan target 50 mEq/hari untuk

mengoreksi kadar kalium penderita.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 2015. Globals TB Report 2013. Zwitzerland

2. KEMENKES, 2018. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.Germas,Jakarta


3. Alvian Dwi, Dewa,2016. Profil pasien koinfeksiTB HIV diRSU Pusang

Sangla Bali. E.Jurnal medika.Denpasar

4. KEMENKES, 2016. Program pengendalian HIV AIDS dan PIMS difasilitas

kesehatan tingkat pertama.Jakarta

5. Riset kesehatan dasar,2013.Badan penelitian dan pengembangan kesehatan

departemen kesehatan RI

6. KEMENKES,2014. Pedoman pengobatan antiretroviral, Jakarta

7. Mirna, Eva dkk, 2016. Karakteristik pasien koinfeksi TB HIV dirumah sakit

mitra masyarakat. Balai penelitian dan pengembangan biomedis. Papua

8. Komisi penanggulangn HIV AIDS,2015. Startegi dan rencana aksi nasional,

penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia

9. Setiati siti, Alwi Idrus dkk,2014. Ilmu Penyakit Dalam. Interna publishing.

Jakarta

10. Baso Samuel. Care, Support and treatment for PLWA. POKJA AIDS and

VCT centre RSU Jayapura

Anda mungkin juga menyukai