Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang. Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi
kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak
menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun,
angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.
Sementara itu data dari studi observasional (MONICA-multinational MONItoring
of trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di
Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase
populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi
28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka kejadian FA juga akan
meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin
pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang
menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat
setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011),
9,3% (2012) dan 9,8% (2013).
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk
stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki
risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi
dibanding pasien tanpa FA. Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang
paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko
kekambuhan yang lebih tinggi.
Fibrilasi atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti
hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus,
obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati.
Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association

1
(NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA
dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab
dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan gagal jantung
melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume
jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi pada
atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien penyakit katup
jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal atrium.
Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit jantung koroner meskipun
keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Ny. YB
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 78 tahun
Alamat : Polimak II, Jayapura - Papua
Agama : Kristen Protestan
Suku : BIAK - PAPUA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan :-
Status pernikahan :Menikah
Rujuk dari :-
No. Rekam Medik : 29 42 02

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan utama
Pusing, kaki bengkak, sesak napas, nyeri pinggang, batuk, serta
demam.

2.2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien perempuan umur 78 tahun masuk IGD RSUD Jayapura
pada tanggal 27 Februari 2017. Pasien mengeluh merasa sesak napas
disertai batuk-batuk, pusing, nyeri di pinggang, dan kaki bengkak.
Riwayat diabetes disangkal oleh pasien. Demam ada. Pasien
memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung, dan terkahir kali rawat
inap dengan AF Rapid bulan November 2016.

3
2.2.3 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit hipertensi (+), riwayat penyakit jantung (+),
riwayat TBC (-), riwayat Malaria (-), riwayat DM (-).

2.2.4 Riwayat penyakit keluarga


Ada keluarga pasien yang memiliki penyakit hipertensi dan DM.

2.3 Pemeriksaan fisik


2.3.1 Vital Sign
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tanda-Tanda Vital : TD : 140/100 mmHg
Nadi : 170 x/mnt
Respirasi : 40 x/mnt
Suhu Badan : 37ºC
SpO2 : 97%

2.3.2 Status Generalis


Kepala/Leher :
 Mata : Conjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik(-/-)
 Hidung : Deformitas (-), sekret (-)
 Telinga : Deformitas (-), sekret (-)
 Mulut : Deformitas (-), bibir sianosis (-), Oral Candidiasis
(-)
 Leher : Pembesaran KGB (-/-), JVP: dalam batas normal

Thoraks:
Pulmo: Inspeksi : Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-/-)
Palpasi : Vokal Fremitus D = S
Perkusi : Sonor

4
Auskultasi : SN vesikuler (+/+), Rhonki (+/+),
Wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus Cordis tampak
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Redup
Auskultasi : BJ I-II (ireguler), murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), H/L (ttb/ttb)
Perkusi :Timpani
Ekstremitas Atas : Akral teraba hangat,CRT < 2”, edema (-/-)
Ekstremitas Bawah : Akral teraba hangat, CRT < 2”, edema (+/+)
Pitting edema (+/+), ulkus (+/-) regio pedis dex
Vegetatif : Makan/Minum : Baik/Baik, BAB/BAK: +/+.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Darah Hb 13,2 g/dL 11,0 – 14,7 g/dL
Wbc 17,8 x103 ul 3,37 – 8,38
Plt 185 x 103 ul 172 – 378
Kalium 3,8 mEq/L 2,5 – 5,3 mEq/L
Kimia darah Natrium 142 mEq/L 135 – 148 mEq/L
Gula darah sewaktu 155 mg/dL < 200

5
Pemeriksaan Elektrokardiografi (Tanggal 27-02-2017):

Interpretasi
 Irama :
 HR :
 Aksis :
 Regularitas :
 Gel. P :
 Segmen ST :
 Gel. T :
 Kesan :

6
Pemeriksaan Radiologi

2.5 Diagnosa Sementara


- AF Rapid
- DCFC Grade III – IV

2.6 Resume
Pasien perempuan umur 78 tahun, masuk IGD RSUD Jayapura pada
tanggal 27 Februari 2017. Pasien memiliki keluhan sesak napas. Pasien
mengeluh batuk-batuk, nyeri di pinggang. Rasa nyeri disertai demam dan
kaki bengkak. Pasien memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung. Tidak
memiliki riwayat diabetes melitus . Pasien juga memiliki riwayat rawat inap
dengan AF Rapid pada bulan November 2016.
140
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD /100 mmHg, Nadi: 170 x/mnt,
Respirasi: 40 x/mnt, Suhu Badan: 37ºC, SpO2: 97%. Dari hasil lab
ditemukan Hb13,2 g/dL, WBC : 17,8 x103 ul, Trombosit 185 x 103 ul,
Kalium : 3,8 mEq/L , Natrium : 142 mEq/L, gula darah sewaktu : 155
mg/dL. Hasil EKG menunjukkan adanya jantung fibrilasi atrial.

2.7 Diagnosis Kerja


- Atrial Fibrilation Normo Ventrikular Respon (AF NVR)
- Selulitis

7
2.8 Tatalaksana
- O2 Masker 10 Lpm
- IVFD RL 1000 cc
- Inj. Digoxin 1x1 amp, lanjut p.o 1x1 tab
- ½ Jam kemudian Furosemid (IV) 2 ampul ekstra, lanjutkan 2x1 (IV)
- Valsartan 2x40 mg
- Inj. Cefotaxin 3x1 gram
- Inj. Omeprazol 2x1
- Azitromisin 1x500 mg
- Vestein 3x1

2.9 Follow - up saat di ruangan


Tanggal Catatan Tindakan
1 Maret 2017 KU : Tampak sakit sedang - O2 Nasal 3 lpm
Keluhan : Sesak, Nyeri dada - IVFD RL 500 cc/24
Kesadaran: Compos Mentis jam
GCS : E4V5M6 - Digoxin 1 x 1 tab
- TD : 120/90 mmHg - Furosemid 2 x 1 Amp
- Nadi: 90x/m - Valsartan 2 x 40 mg
- RR : 28 x/m - Cefotaxim 3 x 1 g
- Suhu : 35,50C - Omeprazol 1 x 1 tab
- SpO2 : 89% - Erdostein 3 x 1 cc
Kepala : simetris - Simarc (Natrium
Mata : CA -/- , SI +/- Walfarin) 1 x 2 mg
Mulut : OC (-) - Kontrol Lab
Leher : pembesaran KGB (-), JVP : 5 + 3 - Rawat luka +
Wajah : simetris, tidak ada kelainan
kompres NaCl
Thorax
- Pulmo :SNvesikuler. VF D=S, Rhonki
+/-, wheezing -/-
- Cor: Ictus cordis, tampak, Thrill (-),

8
Bunyi Jantung I - Bunyi Jantung II
ireguler. Murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : BU (+). Nyeri tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (+/+), udem tungkai (+), ulkus (+/-)
region pedis Dex
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
output urine : 1000 cc,
input: minum : 700 cc, infuse 500 cc, IWL
: 520 cc, balance 1200 - 1520 = -320 cc
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR,
selulitis.

Tanggal Catatan Tindakan


2 Maret 2017 Keluhan: sesak (-), nyeri dada (-) - O2 Nasal 3 lpm
KU : tampak sakit sedang - IVFD RL 500 cc/24
Kesadaran: Compos Mentis jam
GCS : E4V5M6 - Digoxin 1 x 1 tab
- TD : 130/70 mmHg - Furosemid 2 x 1 Amp
- Nadi: 94x/m - Valsartan 2 x 40 mg
- RR : 26 x/m - Cefotaxim 3 x 1 g
- Suhu : 32, 40C - Omeprazol 1 x 1 tab
- SpO2 : 91% - Erdostein 3 x 1 cc
Kepala : simetris - Simarc (Natrium
Mata : CA -/- , SI -/- Walfarin) 1 x 2 mg
Mulut : OC (-) - Rawat luka +
Leher : pembesaran KGB (-), JVC : kompres NaCl
Wajah : simetris, tidak ada kelainan
Thorax
- Pulmo : simetris, ikut gerak nafas, VF :
D=S, SNvesikuler. Rhonki +/+, wheezing

9
-/-
- Cor: Ictus cordis tampak, Bunyi Jantung
I - Bunyi Jantung II ireguler. Murmur (-),
gallop (-), Thrill (-),
- Abdomen : Cembung, BU (+). Nyeri
tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (+/+), udem tungkai (+), ulkus (+/-)
region pedis Dex
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis.

Tanggal Catatan Tindakan


3 Maret 2017 KU : tampak sakit sedang
Keluhan: sesak (-), nyeri dada (-) - IVFD RL 500 cc/24
Kesadaran: Compos Mentis jam
GCS : E4V5M6 - Inj. Furosemid 2 x 1
- TD : 130/80 mmHg Amp
- Nadi: 63 x/m - Omeprazol 1 x 1 tab
- RR : 23 x/m - Inj. Cefotaxim 3 x 1 g
- Suhu : 34,90C - Metronidazole drip 3
- SpO2: 91% x 500 mg
Kepala : simetris - Digoxin 1 x 1 tab
Mata : CA -/- , SI -/- - Valsartan 2 x 40 mg
Mulut : OC (-) - Erdostein 3 x 1 cc
Leher : pembesaran KGB (-), JVC ≠ ↑ - Simarc (Natrium
Wajah : simetris, tidak ada kelainan Walfarin) 1 x 2 mg
Thorax - Kompres Nacl
- Pulmo :SNvesikuler. Rhonki +/+,
wheezing -/-
- Cor: Ictus cordis, Bunyi Jantung I- Bunyi
Jantung II ireguler. Murmur (-), gallop

10
(-), Thrill (-)
- Abdomen : Cembung, BU (+). Nyeri
tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (+/+), udem tungkai (+), ulkus (+)
region pedis Dex
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
Cairan input : IVFD : 500 cc
Minum : 800 cc
Input : 1300 cc
Cairan output : IWL : 520 cc
Urin : 1000 cc
Output : 1520 cc
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis.

Tanggal Catatan Tindakan


4 Maret 2017 KU : Tampak sakit sedang
Keluhan: Nyeri dada (-), sesak (-), nyeri - IVFD RL 500 cc/24
pinggang (+) jam
Kesadaran: Compos Mentis - Inj. Omeprazole 2 x 1
GCS : E4V5M6 Vial
- TD : 120/70 mmHg - Furosemid 2 x 1 amp
- Nadi: 77/m - Inj. Cefotaxin 3 x 1 g
- RR : 25/m - Metronidazole drip 3
- Suhu : 35,70C x 500 mg
- SpO2: 92% - Digoxin 1 x 1 tab
Kepala : simetris - Valsartan 2 x 40 mg
Mata : CA -/- , SI -/- - Simarc (Natrium
Mulut : OC (-) Walfarin) 1 x 1 mg
Leher : pembesaran KGB (-), JVC ≠ ↑ - Kompres Nacl

11
Wajah : simetris, tidak ada kelainan
Thorax
- Pulmo :SN vesikuler. VF ; D=S, sonor,
Rhonki +/+, wheezing -/-
- Cor: Ictus cordis tampak, Bunyi Jantung
I- Bunyi Jantung II ireguler. Murmur (-),
gallop (+)
- Abdomen : Cembung, BU (+). Nyeri
tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat (+/+), pitting
udem (-/-), CRT < 2”, ulkus (+) region
pedis Dex
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis

Tanggal Catatan Tindakan


5 Maret 2017 KU : tampak sakit sedang
Keluhan: sesak (-), nyeri dada (-) - IVFD RL 500 cc/24
Kesadaran: Compos Mentis jam
GCS : E4V5M6 - Inj. Omeprazole 2 x 1
- TD : 130/50 mmHg Vial
- Nadi:80 /menit - Furosemid 2 x 1 amp
- RR : 22/menit - Inj. Cefotaxime 3 x 1
- Suhu : 360C g
- SpO2: 95% - Metronidazole drip 3
Kepala : simetris x 500 mg
Mata : CA -/- , SI -/- - Digoxin 1 x 1 tab
Mulut : OC (-) - Valsartan 2 x 40 mg
Leher : pembesaran KGB (-) - Simarc (Natrium
Wajah : simetris, tidak ada kelainan Walfarin) 1 x 1 mg

12
Thorax - Kompres Nacl
- Pulmo :SNvesikuler. VF : D=S. Sonor
Rhonki -/-, wheezing -/-
- Cor: ictus cordis tampak Bunyi Jantung
I- Bunyi Jantung II reguler. Murmur (-),
gallop (-)
- Abdomen : BU (+). Nyeri tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (-/-), udem tungkai (-)
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

3.1 Definisi

13
Fibrilasi atrial didefinisikan sebagai aritmia jantung yang memiliki
karakteristik:
1. RR interval yang ireguler dan tidak repetitif pada gambaran EKG.
2. Tidak terdapatnya gelombang P yang jelas pada gambaran EKG.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.

3.2 Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya
dipahami dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak
dianut tentang mekanisme FA adalah: 1) adanya faktor pemicu (trigger);
dan 2) faktor-faktor yang melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang
sering kambuh tetapi masih dapat konversi secara spontan, mekanisme
utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu (trigger) FA,
sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi secara spontan
biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan.

3.2.1 Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA


Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu
remodelling yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun
atrium. Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan
proliferasi dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat
meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses
remodelling atrium menyebabkan gangguan elektris antara serabut
otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu
sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA. Substrat
elektroanatomis ini memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri yang akan
melanggengkan terjadinya aritmia.
Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga
memiliki peran yang penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui
peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan
pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf

14
parasimpatis (vagal). Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan
terangsangnya FA melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus
ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target ablasi.
Namun, manfaat ablasi pleksus ganglionik sampai sekarang masih
belum jelas.
Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium,
fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu
dan dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi
melaporkan terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium
pada hari-hari pertama terjadinya FA.12 Proses remodelling elektrikal
memberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas FA selama
hari-hari pertama setelah onset. Mekanisme selular utama yang
mendasari pemendekan periode refrakter adalah penurunan
(downregulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan
peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah
kembali ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali
normal.
Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari
setelah terjadinya FA. Mekanisme yang mendasari gangguan ini
adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium
intraselular dan perubahan pada energetika miofibril.

3.2.2 Mekanisme elektrofisiologis


Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya
pemicu (trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme
elektrofisiologis FA dapat dibedakan menjadi mekanisme fokal karena
adanya pemicu dan mekanisme reentri mikro (multiple wavelet
hypothesis) karena adanya substrat.
Mekanisme selular dari aktivitas fokal mencetuskan terjadinya
reentry. Karena pemendekan dari periode refrakter pada serat miosit,
vena pulmoner cenderung berpotensi untuk mencetuskan terjadinya

15
atrial takiaritmia. Ablasi dilakukan pada lokasi dimana terdapat
frekuensi yang sangat tinggi, ablasi biasanya dilakukan dekat dengan
persimpangan antara vena pulmoner dan atrium kiri. Diharapkan
terjadi pemanjangan siklus FA dan konversi kembali ke irama sinus
pada pasien-pasien dengan FA paroksismal, sedangkan pada pasien
dengan FA persisten frekuensi fokal yang tinggi menyebar di seluruh
atrium, sehingga sulit untuk dilakukan ablasi dan konversi untuk
kembali ke irama sinus lebih sulit didapat.
Pada hipotesis wavelet multipel, FA disebabkan adanya gelombang
yang independen, kacau dan saling bertabrakan di otot atrial,
gelombang tersebut sebenarnya akan saling meniadakan satu sama
lain, namun bila jumlah cetusan gelombang masih cukup banyak,
tetap dapat menimbulkan FA. Pasien dengan FA paroksismal dapat
ditentukan sumber dari aritmianya, dimana upaya ini seringkali sulit
ditemukan pada pasien yang memiliki fibrilasi yang permanen.

3.2.3 Predisposisi genetik


Fibrilasi atrium memiliki komponen herediter, terutama FA
awitan dini. Selama beberapa tahun terakhir, banyak sindrom
jantung bawaan terkait dengan FA telah diidentifikasi. Sindrom QT
pendek dan QT panjang, serta sindrom Brugada berhubungan
dengan supraventrikular aritmia, termasuk FA. Fibrilasi atrium juga
sering terjadi pada berbagai kondisi yang diturunkan (inherited),
termasuk kardiomiopati hipertrofi, dan hipertrofi ventikel kiri
abnormal yang terkait dengan mutasi pada gen PRKAG. Bentuk
herediter lain dari FA berhubungan dengan mutasi pada gen yang
mengode peptida atrial natriuretik, mutasi loss-of-function pada gen
kanal natrium SCN5A, atau gain-of-function pada gen kanal
kalium. Selain itu, beberapa lokus genetik yang dekat dengan gen
PITX2 dan ZFHX3 berhubungan dengan FA dan stroke
kardioembolik.

16
3.3 Etiologi
Penyakit jantung yang berhubungan dengan FA:
a. Penyakit jantung koroner
b. Kardiomiopati dilatasi
c. Kardiomiopati hipertrofik
d. Penyakit katup jantung: reumatik maupun non-reumatik
e. Aritmia jantung: takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT
(AtrioVentricular Nodal Reentrant Tachycardia), sindrom WPW
(Wolff-Parkinson-White), sick sinus syndrome
f. Perikarditis

Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan FA:


a. Hipertensi sistemik
b. Diabetes melitus
c. Hipertiroidisme
d. Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal
primer, emboli paru akut
e. Neurogenik: sistem saraf autonom dapat mencetuskan FA pada pasien
yang sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik.

3.4 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien
yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa
memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan
dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7
hari atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.

17
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang
bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan
diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen
oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak
digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka
FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain.
Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA
paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau
sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah satu
kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan.
4. Episode FA pertama kali

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan


oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan
menurut ciri-ciri dari pasien:
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur
kardiovaskular lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait
atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri,
dan usia di bawah 60 tahun.

18
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik
mitral, katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi
pemicu FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit
paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan
penyakit katup disebut FA valvular.
Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat
elektrofisiologi dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus
vagal serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi
obat.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA
dapat dibedakan menjadi:
1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit
2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit
3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit

19
Rekaman EKG FA. A. FA dengan respon ventrikel normal, B. FA dengan
respon ventrikel cepat, C. FA dengan respon ventrikel lambat.

3.5 Penegakan Diagnosa


3.5.1 Anamnesis
Spektrum presentasi klinis sangat bervariasi, mulai dari
asimtomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular
berat. Hampir >50% episode FA tidak menyebabkan gejala (silent
atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan
pasien antara lain:
a. Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan
genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
b. Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
c. Presinkop atau sinkop

20
d. Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme
sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama
kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari
pasien.
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap
pasien yang dicurigai mengalami FA harus meliputi
pertanyaanpertanyaan yang relevan, seperti:
 Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi,
dan frekuensi gejala.
 Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur,
alkohol). Peran kafein sebagai faktor pemicu masih
kontradiktif.
 Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
 Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju
sebelumnya.
 Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang
mendasarinya.
 Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze)
atau perkutan (dengan kateter).
 Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki
potensi untuk berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus,
hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).

Pada kasus ini, pasien datang ke RSUD Jayapura dengan keluhan sesak
napas. Pasien mengeluh batuk-batuk, nyeri di pinggang. Rasa nyeri disertai
demam dan kaki bengkak. Pasien memiliki riwayat hipertensi, penyakit
jantung. Tidak memiliki riwayat diabetes melitus . Pasien juga memiliki
riwayat rawat inap dengan AF Rapid pada bulan November 2016.

21
Berdasarkan keluhan pasien tidak ditemukan keluhan spesifik AF, tetapi
adanya riwayat hipertensi, riwayat penyakit jantung, serta rawat inap
dengan AF maka diagnosa sementara yang bisa ditegakkan yaitu Atrial
Fibrilasi Rapid.

3.5.2 Pemeriksaan Fisik


a. Hemodinamik dapat stabil atau tidak stabil.
b. Denyut nadi tidak teratur.
c. Denyut nadi dapat lambat, jika disertai dengan kelainan irama
block.
d. Jika hemodinamik tidak stabil dengan denyut yang cepat sebagai
kompensasi, maka terdapat tanda-tanda hipoperfusi (akral
dingin, pucat).
e. Tekanan vena jugularis.
f. Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal
jantung kongestif.
g. Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan
kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapatnya
bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup
jantung.
h. Hepatomegali: kemungkinan terdapat gagal jantung kanan.
i. Edema perifer: kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif.

Pada pemeriksaan fisik pada kasus ini didapatkan tekanan darah


140/100, nadi 170x/menit, suhu 37, respirasi 40x/menit. Pada auskultasi
didapatkan BJ I-II ireguler.

3.5.3 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan /
penyakit yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit
dikontrol. Satu studi menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I
saat masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan kejadian kardiak

22
yang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
a. Darah lengkap (anemia, infeksi)
b. Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau
gagal ginjal)
c. Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard
sebagai pencetus FA)
d. Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten,
dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
e. D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
f. Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
g. Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau
toksisitas)
h. Uji toksikologi atau level etanol

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukosit 17,8 x103 ul,


kemuungkinan faktor infeksi yang diakibatkan penyakit selulitis yang dialami oleh
pasien.

3.5.4 Elektrokardiogram (EKG)


Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan
biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat
gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler
dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula.
Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
a. Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang
melebihi 160-170x/menit.
b. Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)
setelah siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman).

23
c. Preeksitasi
d. Hipertrofi ventrikel kiri
e. Blok berkas cabang
f. Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval
QT dan QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia
untuk FA.

Interpretasi EKG didapatkan laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak


terdapat gelombang P yang jelas, dimana hal tersebut adalah karakteristik
atrial fibrilasi.

3.5.5 Foto toraks


Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-
kadang dapat ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda
patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru,
pneumonia).

3.6 Penatalaksanaan
3.6.1 Terapi antitrombotik pada FA
Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu
berkisar 1,5% pada kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan
meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80 sampai 89 tahun.
Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain adalah
5% (berkisar 3-4%).40 Oleh karena itu, penting sekali
mengidentifikasi pasien FA yang memiliki risiko tinggi stroke dan
tromboemboli.
Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien
FA harus bersikap lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko
stroke yang umum sehingga akan mencakup seluruh spektrum
pasien FA. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor risiko
umum yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari.

24
CHA2DS2-VASc masing-masing hurufnya merupakan awal dari
kata tertentu yaitu Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75
years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2),
peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years, Sex
Category (female).
Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan
dengan risiko perdarahan akibat antikoagulan, khususnya
perdarahan intrakranial yang bersifat fatal atau menimbulkan
disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari
Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of Stroke,
history of Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan antithrombotic
Drugs and alcohol telah divalidasi pada banyak studi kohor
berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial.

25
3.6.2

Diagram pemilihan terapi antikoagulan AKB: antikoagulan oral baru,


AVK: antagonis vitamin K, garis padat: pilihan terbaik, garis putus-
putus: pilihan alternatif

3.6.2 Terapi Antitrombotik


Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke
pada pasien FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan

26
antikoagulan baru), dan antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu
trombolitik tidak digunakan untuk prevensi stroke pasien FA.
Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat
antikoagulan yang paling banyak digunakan untuk pencegahan
stroke pada FA. Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan
merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu dabigatran,
rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara
menghambat langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan
apixaban keduanya bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.

Secara umum, AFR direkomendasikan pada pasien FA :


 Masih simtomatik meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa
optimal
 Pasien yang tidak dapat menerima medikamentosa oral karena
kondisi alergi obat ataupun penyakit penyerta lainnya yang
menjadi kontraindikasi terapi oral
 Pasien memilih strategi kendali irama karena menolak
mengonsumsi obat antiaritmia seumur hidup.

27
 FA simtomatik yang refrakter atau intoleran dengan ≥1 obat
antiaritmia golongan 3

Target :
 Ostium Vena Pulmonalis yang terletak di atrium kiri merupakan
sumber fokus ektopik yang mempunyai peranan penting dalam
inisiasi dan mekanisme terjadinya FA
 Strategi ablasi yang direkomendasikan adalah isolasi elektrik pada
antrum VP dan ablasi fokus ektopik.

Ablasi dan modifikasi Nodus AV (NAV) + PPM


Adalah ablasi AV node dan pemasangan pacu jantung permanen
merupakan terapi yang efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada
pasien FA. Ablasi NAV adalah prosedur yang ireversibel sehingga hanya
dilakukan pada pasien dimana kombinasi terapi gagal mengontrol denyut
atau strategi kendali irama dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak
berhasil dilakukan.

Pemasangan Sumbatan Aurikular Atrium Kiri (LAA Occluder)


 Pada pasien AF permanent yang tidak dapat dilakukan ablasi dengan
pertimbangan struktur atrium kiri yang terlalu dilatasi
 Atau alternatif terhadap antikoagulan oral bagi pasien FA dengan
risiko tinggi stroke tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral
jangka lama.

Kondisi Akut :
a. Untuk Hemodinamik tidak stabil :
Kardioversi elektrik :
Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan untuk identifikasi
adanya trombus di ruang-ruang jantung. Bila trombus tidak terlihat
dengan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi
transesofagus harus dikerjakan apabila FA diperkirakan berlangsung >48

28
jam sebelum dilakukan tindakan kardioversi. Apabila tidak
memungkinkan dilakukan ekokardiografi transesofagus, dapat diberikan
terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran) selama 3 minggu
sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu
pascakardioversi (target INR 2-3 apabila menggunakan AVK).
b. Untuk laju denyut ventrikel dalam keadaan stabil:
 Diltiazem 0,25 mg/kgBB bolus iv dalam 10 menit, dilanjutkan 0,35
mg/kgBB iv
 Metoprolol 2,5-5 mg iv bolus dalam 2 menit sampai 3 kali dosis.
 Amiodaron 5 mg/kgBB dalam satu jam pertama, dilanjutkan 1 mg/
menit dalam 6 jam, kemudian 0,5 mg/ menit dalam 18 jam via vena
besar
 Verapamil 0,075- 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit
 Digoksin 0,25 mg iv setiap 2 jam sampai 1,5 mg

Kondisi stabil jangka panjang untuk kendali laju :


 Metoprolol 2x50-100 mg po
 Bisoprolol 1x5-10 mg po
 Atenolol 1x25-100 mg po
 Propanolol 3x10-40 mg po
 Carvedilol 2x3,125-25 mg Po
 CCB: Verapamil 2x40 sampai 1x240 mg po (lepas lambat)
 Digoksin 1x0,125-0,5 mg po
 Amiodaron 1x100-200 mg po
 Diltiazem 3x30 sampai 1x200 mg po (lepas lambat)
Pada kasus ini, terapi initial yang diberikan kepada pasien saat di IGD adalah:
- O2 Masker 10 Lpm
- IVFD RL 1000 cc
- Inj. Digoxin 1x1 amp, lanjut p.o 1x1 tab
Efek digoksin: a) inotropik positif, b) kronotropik negative (mengurangi
frekuensi denyut ventrikel pada takikardia atau fibrilasi atrium), dan c)

29
mengurangi aktivasi saraf simpatis. Pada kadar terapi (1-2 ng/ml),
digoksin meningkatkan tonus vagal dan mengurangi aktivitas simpatis di
nodus SA maupun AV, sehingga dapat menimbulkan bradikardia sinus
sampai henti jantung dan/atau perpanjangan konduksi AV sampai
meningkatnya blok AV. Efek pada nodus AV inilah yang mendasari
penggunaan digoksin pada pengobatan fibrilasi atrium. Pada keadaan
gawat darurat/akut, dosis muatan diberikan IV, 250-500 mcg dalam 15-
20 menit, diikuti dengan sisanya dalam dosis terbagi tiap 4-8 jam
(tergantung dari respon jantung) sampai total dosis muatan 0,5-1 mg
tercapai.
- ½ Jam kemudian Furosemid (IV) 2 ampul ekstra, lanjutkan 2x1 (IV)
Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang disertai
edema dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian JVP,
edema paru, edema tungkai, dan asites.
- Valsartan 2x40 mg
Indikasi pemberian ARBs (Angiotensin Receptor Blockers) adalah pada
pasien hipertensi, gagal jantung pada pasien yang intoleran terhadap
ACEi. Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril
memiliki efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan
risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi. Dosis untuk terapi hipertensi
80 mg sekali sehari, untuk gagal jantung dosis awal 40 mg 2 kali sehari.
- Inj. Cefotaxim 3x1 gram
Obat ini sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif maupun
Gram-negatif aerobic. Cefotaxime tersedia dalam bentuk bubuk obat
suntik 1,2 dan 10 gram.
- Inj. Omeprazol 2x1
Indikasi penghambat pompa proton sama dengan AH2 yaitu pada
penyakit peptic. Obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih
baik dari AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu
mengganggu. Dosis lazim 20-40 mg 1 kali sahari.
- Azitromisin 1x500 mg

30
Obat ini mempunyai indikasi klinik serupa klaritromisin. Indikasi
pemberian obat ini yaitu infeksi saluran napas atas (tonsillitis, faringitis),
infeksi saluran napas bawah (bronchitis, pneumonia), infeksi kulit dan
jaringan lunak, penyakit hubungan seksual (Sexual Transmitted Disease),
uretritis, cervicitis yang berkaitan dengan Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealyticum, dan Neisseria gonorrhea. Dosis: 500 mg sekali
sehari selama 3 hari.
- Erdostein 3x1
Indikasi pemberian obat ini adalah sebagai mukolitik, pembasah pada
afeksi saluran nafas akut dan kronis. Dosis dewasa 150-350 mg 2-3 kali
sehari.

Selanjutnya pasien dirawat di ruang penyakit dalam wanita dan diberikan terapi:
- O2 Nasal 3 lpm
- IVFD RL 500 cc/24 jam
- Digoxin 1 x 1 tab
- Furosemid 2 x 1 Amp
- Valsartan 2 x 40 mg
- Cefotaxim 3 x 1 g
- Omeprazol 1 x 1 tab
- Erdostein 3 x 1 cc
- Simarc (Natrium walfarin) 1 x 2 mg
Merpakan profilaksis embolisasi pada penyakit jantung rematik, dan
fibrilasi atrium; profilaksis dan pengobatan rombosis vena dan
embolisme paru; serangan iskemik serebral yang transien. Dosis yang
lazim pada orang dewasa adalah 10 mg sehari selama 2-4 hari dengan
penyesuaian setiap hari berdasarkan hasil penetapan waktu protrombin,
terapi lanjutan dengan dosis penunjang 2-10 mg sekali sehari.
- Metronidazole drip 3x500 mg
Indikasi: uretritis dan vaginitis karena Trichomonas vaginalis,
amoebiasis intestinal dan hepar, pencegahan infeksi anaerob pasca

31
operasi, giardiasi karena Giardia lamblia. Tersedia dalam bentuk tablet
250-500 mg, suspense 125 mg/5 mL, dan supositoria 500 mg dan 1 g.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosa pasien ini adalah Atrial Fibrilasi NVR. Dari anamnesis,
memang belum spesifik mengarah ke AF, tapi terdapat sesak napas, memiliki
riwayat hipertensi, penyakit jantung dan Ny. YB pernah di rawat dengan AF
rapid. Dari hasil laboratorium, ditemukan leukosit yang meningkat karena infeksi
selulitis yang diderita pasien. Dari hasil EKG, didapatkan karakteristik yang
mengarah ke Atrial Fibrilasi yaitulaju ventrikel ireguler, dan tidak terdapat
gelombang P yang jelas.
Sesuai dengan beberapa teori yang telah dibahas pada tinjauan pustaka,
penatalaksanaan pada pasien ini diberikan oksigen, digoksin, Furosemid dan
Valsartan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Harun S Fibrilasi Atrial. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 3 rd ed.
Jakarta: Internal Publising Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006. p.
1626.
2. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna
Publishing;2009.hal.1728-34.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Seluruh Indonesia, Editors
Panduan Praktik Klinis dan Clinical Pathway penyakit jantung dan
pembuluh darah.1st ed. Jakarta : PERKI, 2016
4. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Atrial Fibrilation, 2000.
Accssed 9 Nov 2011. Avalaible from:
www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm

33
34

Anda mungkin juga menyukai