PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang. Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi
kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak
menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun,
angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.
Sementara itu data dari studi observasional (MONICA-multinational MONItoring
of trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di
Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase
populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi
28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka kejadian FA juga akan
meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin
pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang
menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat
setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011),
9,3% (2012) dan 9,8% (2013).
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk
stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki
risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi
dibanding pasien tanpa FA. Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang
paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko
kekambuhan yang lebih tinggi.
Fibrilasi atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti
hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus,
obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati.
Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association
1
(NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA
dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab
dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan gagal jantung
melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume
jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi pada
atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien penyakit katup
jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal atrium.
Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit jantung koroner meskipun
keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Ny. YB
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 78 tahun
Alamat : Polimak II, Jayapura - Papua
Agama : Kristen Protestan
Suku : BIAK - PAPUA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan :-
Status pernikahan :Menikah
Rujuk dari :-
No. Rekam Medik : 29 42 02
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan utama
Pusing, kaki bengkak, sesak napas, nyeri pinggang, batuk, serta
demam.
3
2.2.3 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit hipertensi (+), riwayat penyakit jantung (+),
riwayat TBC (-), riwayat Malaria (-), riwayat DM (-).
Thoraks:
Pulmo: Inspeksi : Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-/-)
Palpasi : Vokal Fremitus D = S
Perkusi : Sonor
4
Auskultasi : SN vesikuler (+/+), Rhonki (+/+),
Wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus Cordis tampak
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Redup
Auskultasi : BJ I-II (ireguler), murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), H/L (ttb/ttb)
Perkusi :Timpani
Ekstremitas Atas : Akral teraba hangat,CRT < 2”, edema (-/-)
Ekstremitas Bawah : Akral teraba hangat, CRT < 2”, edema (+/+)
Pitting edema (+/+), ulkus (+/-) regio pedis dex
Vegetatif : Makan/Minum : Baik/Baik, BAB/BAK: +/+.
5
Pemeriksaan Elektrokardiografi (Tanggal 27-02-2017):
Interpretasi
Irama :
HR :
Aksis :
Regularitas :
Gel. P :
Segmen ST :
Gel. T :
Kesan :
6
Pemeriksaan Radiologi
2.6 Resume
Pasien perempuan umur 78 tahun, masuk IGD RSUD Jayapura pada
tanggal 27 Februari 2017. Pasien memiliki keluhan sesak napas. Pasien
mengeluh batuk-batuk, nyeri di pinggang. Rasa nyeri disertai demam dan
kaki bengkak. Pasien memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung. Tidak
memiliki riwayat diabetes melitus . Pasien juga memiliki riwayat rawat inap
dengan AF Rapid pada bulan November 2016.
140
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD /100 mmHg, Nadi: 170 x/mnt,
Respirasi: 40 x/mnt, Suhu Badan: 37ºC, SpO2: 97%. Dari hasil lab
ditemukan Hb13,2 g/dL, WBC : 17,8 x103 ul, Trombosit 185 x 103 ul,
Kalium : 3,8 mEq/L , Natrium : 142 mEq/L, gula darah sewaktu : 155
mg/dL. Hasil EKG menunjukkan adanya jantung fibrilasi atrial.
7
2.8 Tatalaksana
- O2 Masker 10 Lpm
- IVFD RL 1000 cc
- Inj. Digoxin 1x1 amp, lanjut p.o 1x1 tab
- ½ Jam kemudian Furosemid (IV) 2 ampul ekstra, lanjutkan 2x1 (IV)
- Valsartan 2x40 mg
- Inj. Cefotaxin 3x1 gram
- Inj. Omeprazol 2x1
- Azitromisin 1x500 mg
- Vestein 3x1
8
Bunyi Jantung I - Bunyi Jantung II
ireguler. Murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : BU (+). Nyeri tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (+/+), udem tungkai (+), ulkus (+/-)
region pedis Dex
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
output urine : 1000 cc,
input: minum : 700 cc, infuse 500 cc, IWL
: 520 cc, balance 1200 - 1520 = -320 cc
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR,
selulitis.
9
-/-
- Cor: Ictus cordis tampak, Bunyi Jantung
I - Bunyi Jantung II ireguler. Murmur (-),
gallop (-), Thrill (-),
- Abdomen : Cembung, BU (+). Nyeri
tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (+/+), udem tungkai (+), ulkus (+/-)
region pedis Dex
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis.
10
(-), Thrill (-)
- Abdomen : Cembung, BU (+). Nyeri
tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (+/+), udem tungkai (+), ulkus (+)
region pedis Dex
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
Cairan input : IVFD : 500 cc
Minum : 800 cc
Input : 1300 cc
Cairan output : IWL : 520 cc
Urin : 1000 cc
Output : 1520 cc
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis.
11
Wajah : simetris, tidak ada kelainan
Thorax
- Pulmo :SN vesikuler. VF ; D=S, sonor,
Rhonki +/+, wheezing -/-
- Cor: Ictus cordis tampak, Bunyi Jantung
I- Bunyi Jantung II ireguler. Murmur (-),
gallop (+)
- Abdomen : Cembung, BU (+). Nyeri
tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat (+/+), pitting
udem (-/-), CRT < 2”, ulkus (+) region
pedis Dex
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis
12
Thorax - Kompres Nacl
- Pulmo :SNvesikuler. VF : D=S. Sonor
Rhonki -/-, wheezing -/-
- Cor: ictus cordis tampak Bunyi Jantung
I- Bunyi Jantung II reguler. Murmur (-),
gallop (-)
- Abdomen : BU (+). Nyeri tekan (-)
Hepar/lien: tidak teraba
Ekstremitas: akral dingin (+/+), pitting
udem (-/-), udem tungkai (-)
Vegetatif: Ma/Mi (+/+), BAK/BAB (+/+)
Diagnosa : Atrial Fibrilation NVR , selulitis.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
3.1 Definisi
13
Fibrilasi atrial didefinisikan sebagai aritmia jantung yang memiliki
karakteristik:
1. RR interval yang ireguler dan tidak repetitif pada gambaran EKG.
2. Tidak terdapatnya gelombang P yang jelas pada gambaran EKG.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.
3.2 Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya
dipahami dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak
dianut tentang mekanisme FA adalah: 1) adanya faktor pemicu (trigger);
dan 2) faktor-faktor yang melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang
sering kambuh tetapi masih dapat konversi secara spontan, mekanisme
utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu (trigger) FA,
sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi secara spontan
biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan.
14
parasimpatis (vagal). Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan
terangsangnya FA melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus
ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target ablasi.
Namun, manfaat ablasi pleksus ganglionik sampai sekarang masih
belum jelas.
Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium,
fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu
dan dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi
melaporkan terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium
pada hari-hari pertama terjadinya FA.12 Proses remodelling elektrikal
memberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas FA selama
hari-hari pertama setelah onset. Mekanisme selular utama yang
mendasari pemendekan periode refrakter adalah penurunan
(downregulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan
peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah
kembali ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali
normal.
Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari
setelah terjadinya FA. Mekanisme yang mendasari gangguan ini
adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium
intraselular dan perubahan pada energetika miofibril.
15
atrial takiaritmia. Ablasi dilakukan pada lokasi dimana terdapat
frekuensi yang sangat tinggi, ablasi biasanya dilakukan dekat dengan
persimpangan antara vena pulmoner dan atrium kiri. Diharapkan
terjadi pemanjangan siklus FA dan konversi kembali ke irama sinus
pada pasien-pasien dengan FA paroksismal, sedangkan pada pasien
dengan FA persisten frekuensi fokal yang tinggi menyebar di seluruh
atrium, sehingga sulit untuk dilakukan ablasi dan konversi untuk
kembali ke irama sinus lebih sulit didapat.
Pada hipotesis wavelet multipel, FA disebabkan adanya gelombang
yang independen, kacau dan saling bertabrakan di otot atrial,
gelombang tersebut sebenarnya akan saling meniadakan satu sama
lain, namun bila jumlah cetusan gelombang masih cukup banyak,
tetap dapat menimbulkan FA. Pasien dengan FA paroksismal dapat
ditentukan sumber dari aritmianya, dimana upaya ini seringkali sulit
ditemukan pada pasien yang memiliki fibrilasi yang permanen.
16
3.3 Etiologi
Penyakit jantung yang berhubungan dengan FA:
a. Penyakit jantung koroner
b. Kardiomiopati dilatasi
c. Kardiomiopati hipertrofik
d. Penyakit katup jantung: reumatik maupun non-reumatik
e. Aritmia jantung: takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT
(AtrioVentricular Nodal Reentrant Tachycardia), sindrom WPW
(Wolff-Parkinson-White), sick sinus syndrome
f. Perikarditis
3.4 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien
yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa
memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan
dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7
hari atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
17
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang
bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan
diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen
oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak
digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka
FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain.
Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA
paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau
sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah satu
kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan.
4. Episode FA pertama kali
18
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik
mitral, katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi
pemicu FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit
paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan
penyakit katup disebut FA valvular.
Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat
elektrofisiologi dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus
vagal serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi
obat.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA
dapat dibedakan menjadi:
1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit
2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit
3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit
19
Rekaman EKG FA. A. FA dengan respon ventrikel normal, B. FA dengan
respon ventrikel cepat, C. FA dengan respon ventrikel lambat.
20
d. Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme
sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama
kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari
pasien.
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap
pasien yang dicurigai mengalami FA harus meliputi
pertanyaanpertanyaan yang relevan, seperti:
Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi,
dan frekuensi gejala.
Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur,
alkohol). Peran kafein sebagai faktor pemicu masih
kontradiktif.
Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju
sebelumnya.
Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang
mendasarinya.
Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze)
atau perkutan (dengan kateter).
Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki
potensi untuk berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus,
hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).
Pada kasus ini, pasien datang ke RSUD Jayapura dengan keluhan sesak
napas. Pasien mengeluh batuk-batuk, nyeri di pinggang. Rasa nyeri disertai
demam dan kaki bengkak. Pasien memiliki riwayat hipertensi, penyakit
jantung. Tidak memiliki riwayat diabetes melitus . Pasien juga memiliki
riwayat rawat inap dengan AF Rapid pada bulan November 2016.
21
Berdasarkan keluhan pasien tidak ditemukan keluhan spesifik AF, tetapi
adanya riwayat hipertensi, riwayat penyakit jantung, serta rawat inap
dengan AF maka diagnosa sementara yang bisa ditegakkan yaitu Atrial
Fibrilasi Rapid.
22
yang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
a. Darah lengkap (anemia, infeksi)
b. Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau
gagal ginjal)
c. Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard
sebagai pencetus FA)
d. Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten,
dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
e. D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
f. Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
g. Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau
toksisitas)
h. Uji toksikologi atau level etanol
23
c. Preeksitasi
d. Hipertrofi ventrikel kiri
e. Blok berkas cabang
f. Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval
QT dan QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia
untuk FA.
3.6 Penatalaksanaan
3.6.1 Terapi antitrombotik pada FA
Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu
berkisar 1,5% pada kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan
meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80 sampai 89 tahun.
Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain adalah
5% (berkisar 3-4%).40 Oleh karena itu, penting sekali
mengidentifikasi pasien FA yang memiliki risiko tinggi stroke dan
tromboemboli.
Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien
FA harus bersikap lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko
stroke yang umum sehingga akan mencakup seluruh spektrum
pasien FA. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor risiko
umum yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari.
24
CHA2DS2-VASc masing-masing hurufnya merupakan awal dari
kata tertentu yaitu Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75
years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2),
peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years, Sex
Category (female).
Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan
dengan risiko perdarahan akibat antikoagulan, khususnya
perdarahan intrakranial yang bersifat fatal atau menimbulkan
disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari
Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of Stroke,
history of Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan antithrombotic
Drugs and alcohol telah divalidasi pada banyak studi kohor
berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial.
25
3.6.2
26
antikoagulan baru), dan antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu
trombolitik tidak digunakan untuk prevensi stroke pasien FA.
Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat
antikoagulan yang paling banyak digunakan untuk pencegahan
stroke pada FA. Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan
merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu dabigatran,
rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara
menghambat langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan
apixaban keduanya bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.
27
FA simtomatik yang refrakter atau intoleran dengan ≥1 obat
antiaritmia golongan 3
Target :
Ostium Vena Pulmonalis yang terletak di atrium kiri merupakan
sumber fokus ektopik yang mempunyai peranan penting dalam
inisiasi dan mekanisme terjadinya FA
Strategi ablasi yang direkomendasikan adalah isolasi elektrik pada
antrum VP dan ablasi fokus ektopik.
Kondisi Akut :
a. Untuk Hemodinamik tidak stabil :
Kardioversi elektrik :
Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan untuk identifikasi
adanya trombus di ruang-ruang jantung. Bila trombus tidak terlihat
dengan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi
transesofagus harus dikerjakan apabila FA diperkirakan berlangsung >48
28
jam sebelum dilakukan tindakan kardioversi. Apabila tidak
memungkinkan dilakukan ekokardiografi transesofagus, dapat diberikan
terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran) selama 3 minggu
sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu
pascakardioversi (target INR 2-3 apabila menggunakan AVK).
b. Untuk laju denyut ventrikel dalam keadaan stabil:
Diltiazem 0,25 mg/kgBB bolus iv dalam 10 menit, dilanjutkan 0,35
mg/kgBB iv
Metoprolol 2,5-5 mg iv bolus dalam 2 menit sampai 3 kali dosis.
Amiodaron 5 mg/kgBB dalam satu jam pertama, dilanjutkan 1 mg/
menit dalam 6 jam, kemudian 0,5 mg/ menit dalam 18 jam via vena
besar
Verapamil 0,075- 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit
Digoksin 0,25 mg iv setiap 2 jam sampai 1,5 mg
29
mengurangi aktivasi saraf simpatis. Pada kadar terapi (1-2 ng/ml),
digoksin meningkatkan tonus vagal dan mengurangi aktivitas simpatis di
nodus SA maupun AV, sehingga dapat menimbulkan bradikardia sinus
sampai henti jantung dan/atau perpanjangan konduksi AV sampai
meningkatnya blok AV. Efek pada nodus AV inilah yang mendasari
penggunaan digoksin pada pengobatan fibrilasi atrium. Pada keadaan
gawat darurat/akut, dosis muatan diberikan IV, 250-500 mcg dalam 15-
20 menit, diikuti dengan sisanya dalam dosis terbagi tiap 4-8 jam
(tergantung dari respon jantung) sampai total dosis muatan 0,5-1 mg
tercapai.
- ½ Jam kemudian Furosemid (IV) 2 ampul ekstra, lanjutkan 2x1 (IV)
Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang disertai
edema dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian JVP,
edema paru, edema tungkai, dan asites.
- Valsartan 2x40 mg
Indikasi pemberian ARBs (Angiotensin Receptor Blockers) adalah pada
pasien hipertensi, gagal jantung pada pasien yang intoleran terhadap
ACEi. Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril
memiliki efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan
risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi. Dosis untuk terapi hipertensi
80 mg sekali sehari, untuk gagal jantung dosis awal 40 mg 2 kali sehari.
- Inj. Cefotaxim 3x1 gram
Obat ini sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif maupun
Gram-negatif aerobic. Cefotaxime tersedia dalam bentuk bubuk obat
suntik 1,2 dan 10 gram.
- Inj. Omeprazol 2x1
Indikasi penghambat pompa proton sama dengan AH2 yaitu pada
penyakit peptic. Obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih
baik dari AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu
mengganggu. Dosis lazim 20-40 mg 1 kali sahari.
- Azitromisin 1x500 mg
30
Obat ini mempunyai indikasi klinik serupa klaritromisin. Indikasi
pemberian obat ini yaitu infeksi saluran napas atas (tonsillitis, faringitis),
infeksi saluran napas bawah (bronchitis, pneumonia), infeksi kulit dan
jaringan lunak, penyakit hubungan seksual (Sexual Transmitted Disease),
uretritis, cervicitis yang berkaitan dengan Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealyticum, dan Neisseria gonorrhea. Dosis: 500 mg sekali
sehari selama 3 hari.
- Erdostein 3x1
Indikasi pemberian obat ini adalah sebagai mukolitik, pembasah pada
afeksi saluran nafas akut dan kronis. Dosis dewasa 150-350 mg 2-3 kali
sehari.
Selanjutnya pasien dirawat di ruang penyakit dalam wanita dan diberikan terapi:
- O2 Nasal 3 lpm
- IVFD RL 500 cc/24 jam
- Digoxin 1 x 1 tab
- Furosemid 2 x 1 Amp
- Valsartan 2 x 40 mg
- Cefotaxim 3 x 1 g
- Omeprazol 1 x 1 tab
- Erdostein 3 x 1 cc
- Simarc (Natrium walfarin) 1 x 2 mg
Merpakan profilaksis embolisasi pada penyakit jantung rematik, dan
fibrilasi atrium; profilaksis dan pengobatan rombosis vena dan
embolisme paru; serangan iskemik serebral yang transien. Dosis yang
lazim pada orang dewasa adalah 10 mg sehari selama 2-4 hari dengan
penyesuaian setiap hari berdasarkan hasil penetapan waktu protrombin,
terapi lanjutan dengan dosis penunjang 2-10 mg sekali sehari.
- Metronidazole drip 3x500 mg
Indikasi: uretritis dan vaginitis karena Trichomonas vaginalis,
amoebiasis intestinal dan hepar, pencegahan infeksi anaerob pasca
31
operasi, giardiasi karena Giardia lamblia. Tersedia dalam bentuk tablet
250-500 mg, suspense 125 mg/5 mL, dan supositoria 500 mg dan 1 g.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosa pasien ini adalah Atrial Fibrilasi NVR. Dari anamnesis,
memang belum spesifik mengarah ke AF, tapi terdapat sesak napas, memiliki
riwayat hipertensi, penyakit jantung dan Ny. YB pernah di rawat dengan AF
rapid. Dari hasil laboratorium, ditemukan leukosit yang meningkat karena infeksi
selulitis yang diderita pasien. Dari hasil EKG, didapatkan karakteristik yang
mengarah ke Atrial Fibrilasi yaitulaju ventrikel ireguler, dan tidak terdapat
gelombang P yang jelas.
Sesuai dengan beberapa teori yang telah dibahas pada tinjauan pustaka,
penatalaksanaan pada pasien ini diberikan oksigen, digoksin, Furosemid dan
Valsartan.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
34