Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung

2.1.1 Definisi

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah

untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, yang disertai dengan

peningkatan tekanan vena jugularis dan edema paru. Hal ini disebabkan karena

beban kerja yang berlebihan pada otot jantung, biasanya karena penyakit jantung

bawaan (Hussain dkk., 2010). Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana

jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme pada kondisi fisiologis

(Das dkk., 2014).

2.1.2 Epidemiologi

Insidens dan prevalens gagal jantung pada anak belum diketahui secara

pasti karena belum adanya klasifikasi yang dapat diterima secara universal

(Madriago dan Silberbach, 2010). Angka kejadian gagal jantung kongestif yang

disebabkan kelainan struktur jantung, seperti penyakit jantung bawaan sekitar 1-2

dari 1000 kelahiran hidup (Begs dkk., 2008; Frobel dkk., 2013). Angka kejadian

gagal jantung di Inggris pada anak berusia di bawah 16 tahun sebesar 0,87 dari

100.000, dengan insiden tertinggi terjadi pada tahun pertama kehidupan (Hsu

dkk., 2009).

1
2

2.1.3 Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan

kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah

jantung normal. Curah jantung (cardiac output) adalah frekuensi jantung (heart

rate) dikali volume sekuncup (stroke volume) (Figueroa dan Peters, 2006).

Kontraktilitas

Preload Afterload

Stroke volume

Synergistic LV contraction
Well Integrity Heart rate
Valvular Competence

Cardiac output

Gambar 2.1 Faktor yang Memengaruhi Curah Jantung (Kemp dan Conte, 2011)

Volume sekuncup, merupakan jumlah darah yang dipompa pada setiap

kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu:

1. Preload, merupakan volume darah ventrikel kiri pada akhir fase

diastolik. Preload ditentukan oleh jumlah darah yang kembali dari

sistem vena ke jantung dan distribusi volume darah dalam sistem

sirkulasi.

2. Kontraktilitas, merupakan kemampuan otot jantung untuk berkontraksi

tanpa tergantung kepada preload maupun afterload. Kontraktilitas

dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis, dan sampai batas tertentu

diturunkan oleh keadaan tertentu seperti hipoksia dan asidosis.


3

3. Afterload merupakan tekanan dinding ventrikel kiri yang dibutuhkan

untuk melawan tahanan terhadap ejeksi darah dari ventrikel pada saat

sistolik. Apabila afterload meningkat maka ventrikel isi sekuncup dan

curah jantung menurun (Figueroa dan Peters, 2006; Cobb, 2012).

Adanya gangguan pada salah satu faktor di atas akan mengakibatkan

gangguan fungsi jantung sebagai pompa darah yang menyebabkan terjadinya

gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dilakukan tubuh saat terjadi

gangguan fungsi jantung antara lain:

1. Mekanisme Frank-Starling.

Mekanisme Frank Starling memiliki peranan penting dalam

kompensasi gagal jantung. Peningkatan preload akan menyebabkan

peningkatan left ventricular end diastolic pressure (LVEDP). Hal ini

mengakibatkan dilatasi otot jantung sebagai respon terhadap

peningkatan curah jantung. Hal ini yang dikenal sebagai mekanisme

Frank Starling (Kemp dan Conte, 2011).

Pada mekanisme Frank Starling kemampuan otot jantung

dioptimalkan sampai batas maksimal dengan memperpanjang panjang

awal otot jantung dan menambah elemen kontraktil untuk

meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (Kemp dan Conte,

2011).

Peningkatan
kontraktilitas
4

Stroke Normal
volume/cardiac
output

Gagal jantung

Hipertensi

Kongesti paru

Left ventricular end diastolic pressure


(atau end diastolic volume)

Gambar 2.2 Mekanisme Frank-Starling (Kemp dan Conte, 2011)

Hal ini sesuai dengan Hukum Laplace yaitu regangan dinding

jantung merupakan perkalian tekanan akhir diastolik dengan diameter

dinding jantung dibagi dua kali tebal dinding jantung. Hukum Laplace

menjelaskan dua hal yaitu semakin tebal dinding ventrikel dan semakin

besar diameternya, maka semakin besar regangan pada dinding ventrikel.

Peningkatan diameter atau ukuran ventrikel kiri menyebabkan semakin

besar tekanan ventrikel kiri dan mengakibatkan regangan pada dinding

ventrikel kiri semakin besar. Mekanisme kompensasi ini awalnya

bermanfaat, tetapi apabila kemampuan otot jantung telah mencapai

maksimal maka curah jantung tidak dapat ditingkatkan lagi. Hipertrofi

ventrikel yang berlebihan akan meningkatkan kebutuhan oksigen jantung

dan menyebabkan terjadinya iskemia dan gangguan relaksasi. Apabila

tekanan akhir diastolik telah mencapai titik maksimal maka dapat terjadi

edema paru dengan gejala berupa takipnea dan dispnea. Peningkatan


5

tekanan akhir diastolik diharapkan dapat menghasilkan curah jantung yang

maksimal seperti curah jantung yang dihasilkan oleh jantung normal.

Apabila keadaan ini tidak tercapai dapat menimbulkan gejala bendungan

meliputi hepatosplenomegali dan dispnea (Park, 2010).

2. Aktivasi Neurohormonal

Aktivasi neurohormonal berhubungan dengan mekanisme

kompensasi gagal jantung melalui Sistem Renin Angiotensin

Aldosteron. Stimulasi dari Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

meningkatkan kadar Renin, Angiotensin II, dan Aldosteron.

Angiotensin II merupakan vasokonstriktor pada ginjal dan sirkulasi

sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari sistem saraf

simpatis dan aldosteron. Hal itu menyebabkan terjadinya retensi air

dan garam yang mengakibatkan peningkatan ekskresi kalium (Jackson

dkk., 2000). Stimulasi aldosteron mengakibatkan terjadinya

peningkatan preload dan afterload sehingga curah jantung menurun.

Penurunan curah jantung akan merangsang kembali sistem RAA,

sehingga terjadi suatu lingkaran setan (Cobb, 2012).

Penurunan fungsi ventrikel/kerusakan miokard


(post infark miokard, dilated cardiomyopathy)
6

Gagal jantung

Penurunan stroke volume dan cardiac output

Respon neurohormonal

Aktivasi sistem simpatis Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Vasokonstriksi: peningkatan tonus simpatis, angiotensin II, endotelin, penurunan pelepasan


nitric oxide
Retensi natrium dan air: meningkatkan vasopresin dan aldosteron

Regangan dinding ventrikel semakin berat dan dilatasi (remodelling)


mengakibatkan fungsi ventrikel semakin menurun

Gagal jantung memberat

Gambar 2.2 Mekanisme Neurohormonal dan Kompensasi pada Gagal Jantung


(Jackson dkk., 2000)
3. Remodelling ventrikel

Gangguan hemodinamik pada jantung yang kronis dapat menyebabkan

perubahan pada ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi ventrikel yang dikenal

sebagai proses remodelling. Proses remodelling menyebabkan perubahan

ukuran ventrikel, komposisi, dan volume sehingga mengakibatkan

perubahan geometri pada jantung. Perubahan geometri yang terjadi


7

merupakan mekanisme kompensasi gagal jantung dengan meningkatkan

volume ventrikel. Peningkatan volume ventrikel akan menyebabkan

volume sekuncup dan curah jantung meningkat, sehingga fraksi ejeksi

menurun. Dinding otot jantung mengalami penebalan dan ukuran dari

ventrikel mengalami peningkatan, yang mengakibatkan peningkatan

kontraktilitas (Kemp dan Conte, 2011).

2.1.4 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan karena kelainan pada jantung ataupun

diluar jantung. Gagal jantung yang disebabkan karena kelainan jantung seringkali

berhubungan dengan malformasi struktur jantung yang didapat secara kongenital

(Madriago dan Silberbach, 2010)

Tabel 2.1 Penyebab Gagal Jantung Karena Kelainan Jantung (Madriago dan
Silberbach, 2010)
Klasifikasi Kelainan Jantung
Pirau - VSD
- PDA
- AVSD
- Aortapulmonary window
- Single ventricle tanpa pulmonal stenosis
- ASD
Regurgitasi Katup - Mitral Regurgitasi
- Aorta Regurgitasi
Inflow obstruction - Stenosis vena pulmonal
- Mitral stenosis
- Cor triatriatum
Outflow obstruction - Stenosis katup aorta/stenosis subaorta/stenosis aorta
supravalvular
- Coarctatio aorta

Tabel 2.2 Penyebab Gagal Jantung dengan Struktur Jantung Normal (Madriago
dan Silberbach, 2010)
8

Etiologi
Cardiac - Kardiomiopati
- Miokarditis
- Infark miokard
- Kelainan katup jantung didapat
- Hipertensi
- Penyakit Kawasaki
- Aritmia (bradikardi/takikardi)
Noncardiac - Anemia
- Sepsis
- Hipoglikemia
- Ketoasidosis diabetikum
- Hipotiroid
- Gagal ginjal

Sembilan puluh persen dari penyebab gagal jantung yang terjadi pada anak

disebabkan oleh penyakit jantung bawaan. Gagal jantung yang diakibatkan karena

adanya pirau dari kiri ke kanan disebabkan karena penurunan resisten vaskular

paru pada usia 4-6 minggu, namun pada VSD besar, PDA, AVSD dapat

menyebabkan gagal jantung pada 2 minggu pertama kehidupan (Chatrurvedi dan

Saxena, 2009).

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA)

yang telah dikenal luas tidak dapat diaplikasikan terhadap hampir semua populasi

anak-anak. Klasifikasi berdasarkan kriteria Ross telah dikembangkan untuk

menyediakan penilaian secara umum dalam menilai tingkat keparahan gagal

jantung pada anak, yang kemudian dimodifikasi agar dapat mencakup seluruh

umur pada anak-anak (Hsu, 2009).


9

Tabel 2.3 Klasifikasi Gagal Jantung Menurut Kriteria ROSS (Ross, 2012)

Kategori Gejala Klinis


Class I - Asimptomatis
Class II - Takipnea ringan atau berkeringat saat makan
pada infant.
- Dispnea saat latihan pada anak yang lebih
besar.
Class III - Takipnea tampak jelas dan berkeringat saat
makan pada bayi.
- Dispnea saat aktivitas.
- Waktu pemberian makan lebih lama disertai
dengan gagal tumbuh.
Class IV - Takipnea, retraksi, merintih, atau berkeringat
saat istirahat.

ROSS mengklasifikasikan kriteria gagal jantung pada bayi <6 bulan

dengan menggunakan sistem skor. Kriteria yang digunakan terdiri dari jumlah

susu yang dapat diminum sekali minum, waktu yang diperlukan untuk minum,

frekuensi napas, frekuensi denyut jantung, pola respirasi, perfusi perifer, adanya

diastolik rumble atau suara jantung III, dan hepatomegali (Ross, 2012).

Tabel 2.4 Sistem Skor Gagal Jantung Pada Bayi Menurut ROSS (Ross, 2012)

Kriteria 0 1 2
Volume sekali minum >115 75-115 <25
Pola Minum (cc)

Waktu persekali minum <40 <40


(menit)
Pemeriksaan Laju napas <50 50-60 >60
Fisis
Pola napas Normal Abnormal
Perfusi perifer Normal Menurun
S3 atau diastolik Tidak ada Ada
rumble
Jarak tepi hepar dari <2 cm 2-3 cm >3 cm
batas kostae kanan
10

Berdasarkan skor klinis gagal gantung menurut kriteria ROSS, dapat

disimpulkan skor 0-2 tanpa gagal jantung, skor 3-6 gagal jantung ringan, skor 7-9

gagal jantung sedang, skor 10-12 gagal jantung berat (Ross, 2012). Skor klinis

gagal jantung dimodifikasi oleh ROSS dengan interpretasi sebagai berikut:

Tabel 2.5 Sistem Skor Gagal Jantung Pada Anak Modifikasi ROSS (Ross, 2012)

Kriteria 0 1 2
Berkeringat Hanya di Kepala dan Kepala dan
Riwayat kepala badan saat badan saat
aktivitas istirahat
Takipnea Jarang Kadang- Sering
kadang
Pemeriksaan Pernapasan Normal Retraksi Dispnea
Fisis
Laju napas/menit
<1-6 tahun <35 35-45 >45
7-10 tahun <25 25-35 >35
11-14 tahun <18 18-28 >28
Laju jantung/menit
<1-6 tahun <105 105-115 >115
7-10 tahun <90 90-100 >100
11-14 tahun <80 80-90 >90
Hepatomegali (tepi <2 cm 2-3 cm >3 cm
hepar dari tepi kosta
kanan)

Berdasarkan skor klinis gagal gantung modifikasi ROSS, dapat

disimpulkan skor 0-2 tanpa gagal jantung, skor 3-6 gagal jantung ringan, skor 7-9

gagal jantung sedang, skor 10-12 gagal jantung berat (Ross, 2012).

Klasifikasi berdasarkan kriteria New York Heart Association (NYHA)

digunakan pada anak yang lebih besar.


11

Tabel 2.6 Klasifikasi Gagal Jantung Menurut Kriteria NYHA (Yancy dkk., 2013)
Kategori Gejala Klinis
NYHA I - Tidak ada keterbatasan dari aktivitas fisis.
- Aktivitas biasa tidak menimbulkan gejala.
NYHA II - Ada sedikit keterbatasan dari aktivitas fisis,
lebih nyaman saat istirahat.
- Aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan lelah
NYHA III - Adanya keterbatasan dari aktivitas fisis secara
signifikan, lebih nyaman saat beristirahat.
- Aktivitas fisis yang ringan menyebabkan lelah,
berdebar.
NYHA IV - Tidak bisa melakukan aktivitas fisis dengan
nyaman, timbul gejala gangguan jantung pada
saat istirahat.
- Keluhan akan semakin berat saat beraktivitas.

2.1.6 Diagnosis Gagal Jantung

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisis, pemeriksaan penunjang seperti foto dada, elektrokardiografi, ekokardiografi,

dan penanda biologis gagal jantung.

Gagal jantung ditandai dengan adanya takikardi, bendungan vena sistemik

(akibat gagal jantung kanan) yang ditandai dengan hepatomegali, ascites, efusi

pleura, peningkatan JVP (jugular venous pressure). Gagal jantung kiri ditandai

dengan takipne, dispne, respiratory distress, edema paru. Pada gagal jantung kiri

terjadi penurunan curah jantung yang ditandai dengan kesulitan minum, letargi,

pucat, berkeringat, akral dingin, dan gagal tumbuh (Das dkk., 2014).

Pemeriksaan Fisis dan Penunjang

Foto Dada

Gambaran foto dada pada pasien dengan gagal jantung menunjukkan

adanya kardiomegali, edema paru, dan efusi pleura. Kardiomegali memiliki

tingkat sensitivitas 79% dan spesifisitas 80% (Reddy dkk., 2010).


12

Gambar 2.4 Foto Dada Normal (Abdulla dan Luxenberg, 2011)

Gambar 2.5 Foto Dada dengan Gagal Jantung (Cardinale dkk., 2012)

Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiografi tidak spesifik, namun sering menunjukkan

gambaran abnormal pada anak dengan gagal jantung. Gambaran

elektrokardiografi menunjukkan adanya sinus takikardia, hipertrofi ventrikel kiri,

perubahan gelombang ST-T, dan first degree atrioventricular block (Kantor dkk.,

2013).
13

Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi penting dilakukan untuk mendiagnosis

anak dengan gagal jantung untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan

struktural (Kantor, 2013). Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang cepat,

non invasif, aman, serta memberikan gambaran struktur anatomi jantung (volume,

geometri, massa), gerakan dinding, dan fungsi dari katup jantung (Dickstein,

2008). Gambaran ekokardiografi pada pasien dengan gagal jantung tampak pada

tabel di bawah ini:

Tabel 2.7 Gambaran Ekokardigrafi Pada Gagal Jantung (Dickstein dkk., 2008)
Pengukuran Abnormalitas Manifestasi
Fraksi ejeksi ventrikel kiri Penurunan (45-50%) Disfungsi sistolik
Diameter akhir diastolik Peningkatan (>55-60 mm) Volume overload
Diameter akhir sistolik Peningkatan (>45 mm) Volume overload
Pemendekan fraksi ejeksi Penurunan (<25%) Disfungsi sistolik

Parameter yang dapat diukur melalui pemeriksaan ekokardiografi antara lain:

a. Fraksi ejeksi

Fraksi ejeksi merupakan pengukuran yang penting untuk menentukan

seberapa baik jantung memompa darah dan berkontraksi. Fraksi ejeksi

berkaitan dengan perubahan volume ventrikel kiri saat kontraksi jantung

(Park, 2010).

Fraksi ejeksi pada prinsipnya adalah persentase dari selisih volume

akhir diastolik dengan volume akhir sistolik dibagi dengan volume akhir

diastolik (Lang, 2015). Nilai normal fraksi ejeksi adalah >50%. Fraksi ejeksi

dapat diestimasi dari fraksi pemendekan x 1.7 (Soesanto, 2008).


14

EF (%) = LVEDV – LVESV x 100


LVSDV

EF adalah fraksi ejeksi (%), LVEDV adalah left ventricular end

diastolic volume, yaitu volume ventrikel kiri saat akhir diastolik. LVESV

adalah left ventricular end sistolic volume, yaitu volume ventrikel kiri saat

akhir sistolik.

b. Fraksi pemendekan

Fraksi pemendekan (shortening fraction, SF) merupakan pengukuran

yang menggambarkan fungsi sistolik ventrikel kiri. Fraksi pemendekan

menunjukkan tidak adanya pergerakan abnormal dinding jantung atau

pergerakan abnormal septum interventrikular. Fraksi pemendekan menurun

pada keadaan kompensasi ventrikel yang mulai memburuk, seperti pada

kelebihan beban tekanan, kelebihan beban volume, gangguan primer otot

jantung, dan meningkat pada kelebihan beban volume ventrikel (VSD, PDA,

AR, MR) (Park, 2010).

Fraksi pemendekan adalah persentase dari selisih diameter akhir

diastolik dengan diastolik akhir sistolik dibagi dengan diastolik akhir

diastolik. Nilai normal fraksi pemendekan adalah >35% (Soesanto, 2008).

SF (%) = LVDD – LVSD x 100


LVDD

SF adalah fraksi pemendekan (%), LVDD adalah left ventricular

diastolic dimension, yaitu dimensi ventrikel kiri saat diastolik (cm). LVSD

adalah left ventricular systolic dimension, yaitu dimensi ventrikel kiri saat

sistolik (cm) (Park, 2010).


15

c. Left Ventricular End Diastolik Volume (LVEDV)

Left Ventricular End Diastolik Volume merupakan volume ventrikel kiri

saat akhir diastolik. Volume normal dari LVEDV adalah 85 ± 15 ml. Volume

LVEDV > 100 ml menunjukkan disfungsi dari ventrikel kiri baik karena

disebabkan oleh penyakit miokard (kardiomiopati/infark miokard) atau volume

overload dari ventrikel (Luthra, 2017).

Salah satu faktor yang memengaruhi nilai LVEDV adalah usia. Perubahan

fungsional dan mekanisme kompensasi yang terjadi seiring dengan bertambahnya

usia antara lain perubahan laju jantung, fungsi sistolik jantung, fungsi diastolik

jantung, dan kontraktilitas. Pengisian diastolik normal dibagi menjadi dua fase,

pasif (diwakili oleh gelombang E pada aliran transmitral ekokardiografi) dan aktif

(diwakili oleh gelombang A dari kontraksi atrium). Fase pengisian diastolik

menjadi lebih lambat seiring dengan bertambahnya usia, sehingga terdapat

perbedaan proporsi pengisian diastolik pada fase pasif tersebut. Semakin

bertambah usia terjadi pergeseran pengisian ventrikel ke fase diastolik akhir dan

terjadi pembesaran atrium akibat pertambahan usia, dimana atrium berperan besar

terhadap LVEDV (Strait dan Lakatta, 2012).

2.2. Matriks Metalloproteinase

Matrix metalloproteinase (MMP) merupakan Zn2+_ dependent

endopeptidase yang ditemukan pada tahun 1962. Ekspresi dan aktivitas enzim

MMP memerlukan Zn2+ dan Ca2+ yang ketika aktif bertanggung jawab untuk

remodeling jaringan, remodeling vaskular, dan pembelahan matriks ekstraseluler

pada berbagai penyakit (Verma dan Hansch, 2007).


16

Matriks Metalloproteinase memiliki peranan pada vaskular seperti pada

endotel dan otot polos, yang penting pada tahap awal remodeling vaskular dalam

rangka menjaga aliran darah ke berbagai organ. Matriks Metalloproteinase juga

memiliki peranan dalam migrasi sel otot polos vaskular dan pembentukan

neointima setelah terjadi trauma pada vaskular. Pada lesi aterosklerosis, MMP

berperan dalam destabilisasi plak dengan mendegradasi komponen matriks

ekstraseluler. MMP berperan dalam pembentukan aneurisma dengan

mendegradasi proteolitik dari lamina elastis (Raffetto dan Khalil, 2008).

Pada keadaan fisiologis, aktivitas dari MMP diregulasi pada level

transkripsi, aktivasi dari prekursor zimogen, interaksi dengan komponen spesifik

matriks ekstraseluler, dan inhibisi MMP oleh TIMP (Yamamoto dkk., 2015).

Peningkatan dari aktivitas MMP, terjadi pada berbagai proses inflamasi,

keganasan, dan penyakit degeneratif. Peningkatan yang berlebihan dari aktivitas

MMP dapat mengakibatkan keadaan patologis dalam remodeling vaskular dan

penyakit vaskukar (Sawicki, 2013).

Matriks metalloproteinase berperan pada proliferasi sel kanker melalui

beberapa mekanisme. Keterlibatan MMP pada proses kanker dibagi menjadi 3,

yaitu angiogenesis, pertumbuhan, dan metastase sel kanker. Invasi dan metastase

sel kanker bergantung pada matriks ekstraseluler. Sel kanker dapat menembus

membran basalis dan menghapus batas jaringan matriks ekstraseluler untuk

menginvasi sel target. MMP berperan penting bagi perkembangan metastase

berdasarkan kemampuan merangsang pertumbuhan sel kanker dan memudahkan

penghancuran matriks ekstraseluler dan membran basalis. Hal ini menunjukkan


17

bahwa aktivasi MMP berhubungan dengan pelepasan growth factor dan

kemotaktik yang mendukung pertumbuhan dan metastase sel kanker (Gialeli dkk.,

2011).

Matriks metalloproteinase disekresi oleh berbagai jenis jaringan dan tipe

sel, seperti sel otot halus, sel endotel, monosit, makrofag, dan sel T inflamasi,

yang pada awalnya dalam bentuk proenzim. Stres oksidatif yang terlibat pada

penyakit jantung, dapat menstimulasi aktivitas dan produksi MMP. Sebaliknya,

nitrit oksida menghambat produksi MMP melalui sel endotel dan sel otot polos

(Liu dkk., 2006).

Inhibitor dari MMP (TIMP) berperan dalam mekanisme menjaga

keseimbangan untuk mencegah degradasi yang berlebihan dari matriks

ektraseluler. Ketidakseimbangan antara MMP dan TIMP dapat menyebabkan

peningkatan aktivitas MMP dalam jumlah besar dan dapat mengakibatkan

perubahan patologi pada struktur dinding pembuluh darah yang berhubungan

dengan penyakit vaskular (Kihc dkk., 2014).

Pada penyakit jantung, otot jantung mengalami remodeling jaringan untuk

mempertahankan fungsi jantung dan integritas, yang melibatkan pemecahan

jaringan kolagen. MMP yang dapat membelah kolagen antara lain MMP 1, 2, 8, 9,

dan 14.

Peningkatan aktivitas MMP, antara lain MMP 2 dan MMP 9, terlibat

dalam berbagai keadaan patologi jantung seperti aterosklerosis, penyakit jantung

iskemik, dan gagal jantung (Shirakabe dkk., 2009).


18

Pengaturan dari aktivitas MMP merupakan suatu proses yang kompleks

yang dibagi menjadi 3 berdasarkan aktivasinya:

1. Pengaturan ekspresi gen MMP. Ekspresi gen dapat dihambat oleh

beberapa faktor seperti TGF beta, glukokortikoid, dan asam retinoat. Gen

untuk MMP diekspresikan hanya jika jaringan teremodel baik pada

keadaan fisiologi ataupun patologi. Ekspresi gen juga dipengaruhi oleh sel

matriks ekstraseluler dan interaksi antar sel.

2. Regulasi aktivitas enzim MMP oleh sistein

3. Inhibisi MMP oleh TIMP. TIMP merupakan inhibitor spesifik dari MMP

dimana penting untuk regulasi dari metabolisme jaringan ikat

(Papazafiropoulou dan Tentolouris, 2009).

Anggota dari kelompok MMP memiliki kemiripan karakteristik struktur

dan diklasifikasikan berdasarkan spesifisitas dari substrat (Yabluchanskiy dkk.,

2013). MMP dapat diklasifikasikan menjadi 6 kelompok, yaitu kolagenase,

gelatinase, stromelysins, matrilysins, membran, dan MMP tipe lain lain (Sekhon,

2010).
19

Tabel 2.8 Klasifikasi Matriks Metalloproteinase (Sekhon, 2010)

Chromo
MMP No. of class Enzyme Substrate(s) some
location
MMP-1 Kolagenase Kolagenase 1 Kolagen (i–iii,vii,viii, and X), gelatin, (human
11q22-
aggrecan, L-selectin, iL-1β, proteoglikan, )
q23
entactin, ovostatin, MMP-2, MMP-9
MMP-8 Kolagenase Kolagenase Kolagen (i–iii, v, vii, viii, and X), 11q21-
2/neutrophil gelatin, aggrecan, fibronectin q22
collagenase
MMP-13 Kolagenase Kolagenase 3 Kolagen (i–iv, iX, X, and Xiv), 11q22.3
gelatin, plasminogen, aggrecan,
perlecan, fibronektin, osteonektin, MMP-9
MMP-18 Kolagenase Kolagenase 4 Type i collagen
MMP-2 Gelatinase Gelatinase A Gelatin, kolagen iv–vi, X, elastin, fibronektin 16q13

MMP-9 Gelatinase Gelatinase A Kolagen (iv, v, vii, X, and Xiv), gelatin, 20q11.2
entactin, aggrecan, elastin, fibronektin, -q13.1
osteonectin, plasminogen, MBP, iL-1β

MMP-3 Stromelysins Stromelysin-1 Kolagen (iii–v, and iX), gelatin, aggrecan, 11q23
perlecan, decorin, laminin, elastin, kasein,
osteonektin, ovostatin, entaktin, plasminogen,
MBP, iL-1β, MMP-2/TiMP-2, MMP-7, MMP-
8, MMP-9, MMP-13
MMP-10 Stromelysins Stromelysin-2 Kolagen (iii–v), gelatin, kasein, 11q22.3
aggrecan, elastin, MMP-1, MMP-8 -q23
MMP-11 Stromelysins Stromelysin-3 Unknown (kasein) 22q11.2
MMP-17 Stromelysins Homology
tostromelysin-2
(51.6%)
MMP-7 Matrilysins Matrilysin Kolagen (iv, X), gelatin, aggrecan, decorin, 11q21-
(PUMP) fibronektin, laminin, elastin,kasein, q22
transferrin, plasminogen, MBP, β4-integrin,
MMP-1, MMP-2, MMP-9, MMP-9/TiMP-1

MMP-26 Matrilysins Matrilysin-2 Kolagen IV, fibronektin, fibrinogen, 11p15


Gelatin, α (1)-proteinase inhibitor
MMP-14 MT-MMP MT1-MMP Kolagen (i–iii), gelatin, kasein, 14q11-
(membrane type) fibronektin, laminin, vitronektin, q12
entactin, proteoglikan,
MMP-2, MMP-13
MMP-15 MT-MMP MT2-MMP Fibronektin, entaktin, laminin, 16q13-
aggrecan, perlecan; MMP-2 q21
MMP-16 MT-MMP MT3-MMP Kolagen iii, gelatin, kasein, 8q21
fibronektin, MMP-2
MMP-17 MT-MMP MT4-MMP 12q24.3
MMP-24 MT-MMP MT5-MMP Fibronektin, but not collagen type i 20q11.2
or laminin
MMP-25 MT-MMP MT6-MMP Progelatinase A 16p13.3
MMP-12 Other enzymes Macrophage Kolagen iv, gelatin, elastin, casein, fibronektin, 11q22.2
Metalloelastase vitronektin, laminin, entactin, MBP, fibrinogen, -q22.3
fibrin,
Plasminogen
MMP-19 Other enzymes RASi 1 Type i collagen 12q14
MMP-20 Other enzymes Enamelysin Amelogenin, aggrecan, COMP 11q22.3
20

2.2.1 Matriks Metalloproteinase 2

Matriks Metalloproteinase 2 atau gelatinase A tersebar hampir di seluruh

sel yang membentuk jantung dan berperan dalam mendegradasi gelatin dan

kolagen tipe IV (komponen dari membran basal) seperti halnya matriks

ekstraseluler (Sawicki, 2013).

Matriks Metalloproteinase 2 diaktivasi oleh stres oksidatif, menghasilkan

proteolisis spesifik untuk beberapa substrat intraseluler. Matriks

Metalloproteinase 2 diatur pada tingkat transkripsional dan diregulasi pada sel

jantung sebagai respon terhadap berbagai faktor yang berhubungan dengan

patogenesis penyakit jantung seperti angiotensin II, endothelin-1, interleukin- 1b,

interleukin-6, tumor necrosis factor-α (TNF- α), hormon (estrogen dan

melatonin), dan faktor pertumbuhan (epidermal growth factor, platelet derived

factor, dan basic fibroblast growth factor) (Kandasamy dkk., 2009).

Aktivitas MMP 2 ditingkatkan oleh sitokin, faktor pertumbuhan, ROS

(Reactive Oxidative Stress), kolagen, dan diturunkan oleh angiotensin II atau

kondisi hipoksia (Turner dan Porter, 2012).

Tabel 2.9 Peranan Mariks Metalloproteinase 2 (Tousoulis dkk., 2012)

Peranan MMP 2
Penanda - Meningkat pada gagal jantung.
diagnosis - Kadar MMP 2 secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan gagal jantung kongestif yang berat dibandingkan
gagal jantung kongestif ringan.
- Bermanfaat mendiagnosis gagal jantung dengan fraksi
ejeksi
Penanda - Peningkatan kadar MMP 2 pada pasien dengan hipertrofi
prognosis kardiomiopati berhubungan dengan remodeling ventrikel
kiri dan prognosis yang buruk.
21

2.2.2 Matriks Metalloproteinase Pada Penyakit Jantung

2.2.2.1 Gagal Jantung

Matriks Metalloproteinase yang mengalami peningkatan pada pasien

dengan gagal jantung antara lain MMP 2 dan MMP 9. Peningkatan kadar MMP 2

di atas nilai rata-rata berhubungan dengan tingkat mortalitas dan prognosis yang

buruk pada pasien dengan gagal jantung. Matriks Metalloproteinase 2 mengalami

peningkatan pada fase dekompensasi, dan menurun secara cepat pada fase

kompensasi. Produksi MMP dipengaruhi oleh beberapa mekanisme antara lain

perubahan hemodinamik, neurohormonal, dan faktor inflamasi. Faktor

neurohormonal seperti katekolamin dan angiotensin II akan meningkat pada gagal

jantung. Peningkatan norepinefrin akan mengaktivasi sistem renin angiotensin

pada jantung, dan angiotensin II akan meningkatkan kadar MMP pada jantung

(Shirakabe dkk., 2010). Sistem renin angiotensin akan meningkatkan kadar

angiotensin II. Perubahan hormonal akan meningkatkan preload dan afterload

pada jantung yang berperan dalam remodeling jantung yang diduga sebagai

penyebab yang mendasari terjadinya gagal jantung (Muller dan Dhalla, 2011).

Aktivitas MMP telah dibuktikan mengalami peningkatan pada keadaan

gagal jantung. Kadar MMP, sistem aktivasi serta induksinya meningkat pada

gagal jantung. Matriks Metalloproteinase meningkat secara signifikan pada infark

miokard dalam hitungan jam saat infark, dan diikuti oleh aktivitas dari sitokin dan

infiltrasi dari sel inflamasi. Kadar MMP akan menurun selama proses

penyembuhan berlangsung, dan diikuti dengan aktivasi gelombang kedua yang


22

berhubungan dengan dilatasi ventrikel yang mengarah pada gagal jantung (Liu

dkk., 2006).

Stres oksidatif

ROS Angiotensin II

Pre MMPs ET-1


Ischemic
Heart Disease
MMP

Kardiomiopati
Anoxia
Reoxygenation NF-Kb, AP-1

Kardiomiosit dan matriks ekstraseluler

Downregulation of Proteolytic Cardiac remodelling


Fibrosis Apoptosis
ECM pathway

Gagal jantung

Gambar 2.6 Patofisiologi Gagal Jantung dan MMP (Tousoulis dkk., 2012)

Mekanisme terjadinya gagal jantung dipengaruhi hubungan antara stress

oksidatif dan MMP. Reactive oxygen species (ROS) mengaktivasi pro MMP dan

menyebabkan aktivasi faktor regulator seperti nuclear factor kB (NF-kB) dan

activator protein-1 (AP-1). Mediator seperti angiotensin II, endotelin I secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhi miokardium yang mengarah pada

terjadinya gagal jantung (Tousoulis dkk., 2012).


23

Stimulus patologi pada gagal jantung

Aktivasi protease jantung

Protease Ekstraseluler Protease Intraseluler

Caspases Calpains

MMP Cathepsins MMP Cathepsins

Remodelling matriks ekstraseluler Remodelling organel subseluler

Disfungsi jantung

Gambar 2.7 Famili Protease yang Mengakibatkan Terjadinya Disfungsi Jantung

(Muller dan Dhalla, 2011)

Penelitian Yamazaki dkk. tahun 2004, menunjukkan bahwa kadar MMP2

meningkat secara signifikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Pada

pasien dengan gagal jantung kongestif, kadar MMP2 secara signifikan lebih tinggi

pada gagal jantung kongestif yang berat dibandingkan dengan yang ringan.

Aktivitas MMP diketahui tergantung dari keseimbangan antara enzim dengan

inhibitornya. Perubahan keseimbangan antara MMP2 dan TIMP2 dapat

mengakibatkan degradasi dari matriks ekstraseluler yang mengarah pada

remodeling ventrikel yang memperparah gagal jantung (Yamazaki dkk., 2004).


24

2.2.2.2 Penyakit Jantung Bawaan

Ventricle Septal Defect merupakan penyakit jantung bawaan yang paling

sering ditemukan dimana sekitar 40% dari pasien dengan penyakit jantung

bawaan. Secara garis besar VSD dibagi menjadi 2 bagian, yaitu VSD pars

membranasea dan VSD pars muskularis. Tingkat penutupan spontan pada VSD

pars membranasea dan pars muskularis pada bayi dan anak sekitar 37% dan 50%

yang diikuti dalam 12 bulan. Penelitian Cheng dkk., yang dilakukan pada 82

pasien dengan 14 pasien VSD yang menutup spontan dan 68 pasien VSD yang

defeknya tetap dan diikuti selama 1 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

aktivitas MMP 2 pada pasien dengan VSD yang menutup spontan tidak signifikan

jika dibandingkan dengan pasien VSD yang defeknya tetap. Aktivitas MMP 9

pada pasien dengan VSD yang menutup spontan secara signifikan lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pasien VSD yang defeknya tetap (Cheng dkk., 2013).

Penelitian lain dilakukan di Turki oleh Kihc dkk., menunjukkan kadar

MMP 2 pada kelompok ventrikel kanan dengan volume overload, dan kadar

MMP 9 pada ventrikel kiri dengan volume overload lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Kadar MMP 2 dan MMP 9 lebih tinggi pada pasien

dengan hipertensi pulmonal, walaupun tidak signifikan. Pada pasien dengan

penyakit jantung bawaan sianotik yang dibandingkan dengan penyakit jantung

bawaan asianotik dan kelompok kontrol, tidak didapatkan perbedaan yang

signifikan. Kadar MMP 2 dan MMP 9 pada kelompok sianotik lebih rendah,

sedangkan kadar TIMP 1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol

dan asianotik (Kihc dkk., 2014).


25

2.2.3 MMP 2 Sebagai Penanda Diagnosis atau Prognosis

Matriks Metalloproteinase dilepaskan ke dalam darah dalam jumlah yang

cukup dapat digunakan sebagai penanda diagnostik atau prognostik. Penelitian

menunjukkan bahwa MMP yang larut dalam darah dapat menjadi penting pada

pasien dengan gagal jantung. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan

kadar MMP 2 dalam darah dapat memprediksi dilatasi jantung. Hal itu

menunjukkan bahwa aktivitas MMP pada jantung yang mengarah pada digesti

kolagen dan dilatasi jantung dapat diukur dalam darah, dengan demikian

menggambarkan tingkat dari remodelling aktif (Liu, 2006).

Peningkatan kadar MMP 2 dapat digunakan sebagai penanda prognosis

pada pasien dengan gagal jantung. Kadar MMP 2 akan meningkat di atas nilai

normal pada fase dekompensasi, dan menurun secara cepat sepanjang proses

kompensasi pada pasien dengan gagal jantung (Shirakabe dkk., 2010). Penelitian

yang dilakukan oleh George dkk. (2005) menunjukkan peningkatan kadar MMP 2

pada pasien dengan gagal jantung kongestif secara signifikan menunjukkan

prognosis yang buruk, meningkatkan durasi lama rawat, dan memiliki risiko

kematian lebih tinggi.


26

Anda mungkin juga menyukai