Anda di halaman 1dari 15

ILMU JARH WA TA’DIL

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


‘ULUMUL HADITS

Dosen Pengampu: H. Muhamad Iqbal Luthfi, MM

Oleh
Muhammad Azizur Rahman ( 19.01.01.004 )

PROGRAM LINEARISASI STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH JAKARTA
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL-MAHBUBIYAH
JAKARTA
2020M / 1442H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan
petunjuk dan nikmat yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga atas berkat dan karunia-
Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah yang kami susun ini. Sholawat dan salam juga
tak terlupakan untuk selalu kami haturkan keharibaan Rosulullah Nabiyina Muhammad
SAW yang menjadi panutan dan uswah bagi umat islam sekalian, juga beserta kepada
keluarganya dan sahabatnya.
Hadits nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, yang setiap muslim
wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena sifat
yang demikian, maka mempelajari hadits juga merupakan suatu hal yang dianggap penting
bagi setiap muslim.
Pada kesempatan makalah kali ini akan dibahas mengenai ILMU JARH WA TA’DIL,
sebagai pemenuhan salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits.
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan dalam kata pengantar ini. Semoga
makalah ini dapat memenuhi tugas pembahasan dan bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Januari 2021

                                                                                                            Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Ringkasan Permasalahan.............................................................................................1
C. Batasan Masalah...........................................................................................................1
D. Tujuan Penulisan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................2
A. Pengertian dan Kegunaan Ilmu Jarh Wa Ta'dil........................................................2
B. Metode Untuk Men-Tajrih dan Men-Ta’dil Dalam Masalah Rawi Sebagai Objek
Yang Akan Dikaji Serta Syarat-Syaratnya................................................................3
1. Ta’dil..........................................................................................................................3
2. Tajrih..........................................................................................................................4
3. Syarat-syarat seseorang dalam men-tajrih dan men-ta’dil.........................................4
C. Khilafiyah Pendapat Dalam Men-Tajrih dan Men-Ta’dil........................................5
1. Menyebutkan sebab-sebab dalam men-ta’dil.............................................................5
2. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk men-tajrih dan men-ta’dil rawi............5
3. Pertentangan antara jarh dan ta’dil.............................................................................6
D. Lafazh-Lafaz Istilah dalam Ilmu Jarh Wa Ta’dil......................................................6
1. Lafazh untuk menta’dil hadits ada 6 tingkatan yang digunakan:...............................6
2. Lafazh untuk mentajrih hadits ada 6 tingkatan yang digunakan:...............................8
3. Hukum tingkatan-tingkatan lafazh dalam men-tajrih dan men-ta’dil........................9
BAB III PENUTUP...........................................................................................................11
A. SIMPULAN..................................................................................................................11
B. SARAN.........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Jarh Wa Ta’dil mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu
hadits. Kenyataan ini didasarkan kepada ilmu ini merupakan salah satu bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu hadist lainnya dalam menentukan diterima atau
ditolaknya suatu hadist. Jika seorang ahli hadits dinyatakan cacat maka periwayatnya
ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka perawinya
diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadits dipenuhi. Kedudukan ilmu ini
semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian hadits atau biasa
dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadits.
Ilmu jarh wa ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang timbangannya
diterima riwayatnya dan rawi yang timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini
kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya, serta dapat
membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterma haditsnya. Oleh karena itu
para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan
segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka pun berijma’ akan validitasnya, bahkan
kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.

B. Ringkasan Permasalahan
1. Pengertian dan Kegunaan Ilmu Jarh wa Ta’dil ?
2. Metode Untuk Men-Tajrih dan Men-Ta’dil masalah-masalah rawi sebagai Objek
yang akan dikaji ?
3. Lafazh-Lafazh istilah yang digunakan dalam Ilmu Jarh Wa Ta’dil ?

C. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada makalah ini adalah Mengetahui hal-hal yang hanya
berkaitan dengan Jarh wa Ta’dil dalam masalah rawi.

D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pemakalah dan pembaca dapat
mengidentifikasi berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Jarh Wa Ta’dil.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kegunaan Ilmu Jarh Wa Ta'dil


Kata  Al-Jarh  ( ‫ )الج==رح‬merupakan bentuk dari kata  Jaraha-Yajrahu  ( - ‫ج==رح‬
‫)يجرح‬ atau  Jariha-Yajrahu  ( ‫يج==رح‬ - ‫)ج==رح‬ yang cacat atau luka, atau seseorang
membuat luka pada tubuh orang lain yang mengalirnya dari luka itu. 1  Istilah cacat ini
digunakan untuk menunjukkan sifat jelek yang melekat pada periwayat hadiits seperti

pelupa, pembohong, dan sebagainya.2 Sedangkan kata  At-Ta'dil   ( ‫ )التع=ديل‬merupakan

akar kata dari ' Addala-Yu'addilu ( ‫يعدل‬ - ‫ )عدل‬yang berarti mengadilkan, menyucikan,


atau menyamakan.3 Dengan demikian, Ilmu   Jarh wa Ta'dil  secara etimologis berarti
ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadits. Secara terminologis, Muhammad
'Ajjaj Al-Khatib mendefinisikan  Al-Jarh  sebagai berikut: “Tampaknya suatu sifat pada
seorang perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melemahkan nilai ingatan-
ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah
dan tertolak”.4

Dalam definisi lain terminologi ilmu hadits, Al-Jarh berarti menunjukkan sifat-sifat
tercela bagi seorang perawi, sehingga merusak atau mencacatkan kedhabitannya.5
Sedangkan  Al-Ta'dil  didefinisikan sebagai berikut:

‫تز كية الراوي الحكم عليه بانه عدل او ضابط‬


“Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang
adil atau dhabit (kokoh)”.
Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat bahwa kajian Ilmu Jarh wa Ta'dil  terfokus
meneliti terhadap perawi hadits, sehingga diantara mereka dibedakan antara yang
memiliki sifat keadilan atau kedhabit-an dengan yang tidak memiliki.
Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indikator
akan kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak. Malah bagi perawi
yang memiliki kedua sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari kecacatan dan

1 Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011), hlm.110-111


2 Muh Zuri, Hadits Nabi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), hlm.120
3 Abduh Almanar, Op.cit,. hlm.110
4 Ibid, hlm.111
5 Umami Sumbulah,Kritik Hadits,(Yogyakarta: UIN Malang Press). hlm.77
2
3

berimplikasi bahwa hadits yang diriwayatkannya dapat diterima.


Dr. 'Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut:

‫ْث قَبُوْ ِل ِر َوايَتِ ِه ْم أَوْ َر ِّدهَا‬ ِ ‫ث فِي أَحْ َو‬


ُ ‫ال الرُّ َوا ِة ِم ْن َحي‬ ُ ‫هُ َو ْال ِع ْل ُم الَّ ِذيْ يَب َْح‬
“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima atau
ditolak periwayatannya”.6
Ilmu Jarh wa Ta'dil  ini dipergunakan untuk menentukan apakah periwayatan seorang
perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh”
oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Malah, bila
dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.7
Dalam ilmu penyelidikan-penyelidikan terhadap para periwayat adalah kewajiban
dalam rangka kemurnian sunnah Nabi yang didasarkan pada kaidah umum ajaran Islam. 8
Bisa dikatakan Ilmu Jarh wa Ta'dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib
(cacat) atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi.
Tentang kriteria keadilan atau ke-dhabit-an perawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, misalnya
menyebutkan sebagai berikut: Keadilan dan ke-dhabit-an termasuk (1) Al-Sa-doshidq,
kejujuran, (2) Al-Syarifah bi Thalab Al-Hadis, terkenal dalam pencarian hadis, (3) Tark
Al-Bida', jauh dari praktek Bid'ah, dan (4) Ijtinab Al-Kabair, bukan pelaku dosa-dosa
besar.9

B. Metode Untuk Men-Tajrih dan Men-Ta’dil Dalam Masalah Rawi Sebagai Objek
Yang Akan Dikaji Serta Syarat-Syaratnya
1. Ta’dil
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan melihat salah satu dari dua
ketetapannya:
Pertama, dengan kepopuleran dikalagan para ahli ilmu bahwa ia dkenal dengan
sebagai seorang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang
adil dalam kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah
bin Al-Hajjah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu,
mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu sehingga
tidak perlu dipebincangkan lagi tentang keadilannya.
6 https://chiezchua.wordpress.com/2014/11/20/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil/ diakses pada tanggal 16
maret 2015 pada jam 14:21
7 Badri Khaeruman, Ulum Al -Hadis wa Musthalahuhu, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.109
8 Muh Zuri,Hadits Nabi,Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011, hlm.121
9 Abduh Almanar, op. Cit. hlm.112
4

Kedua, dengan pujian dar seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetpkan sebagai rawi
yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal
sebagai rawi yang adil.10
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang
yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan
riwayat hadis.
b. Setiap orang yang dapat diterima periwayatnya, baik laki-laki maupun
perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui
sebab-sebab yang dapat mengendalikannnya.11
2. Tajrih
Kecacatan rawi itu bisa dengan menelusuri perbuatan-perbuatan yang dilakukan,
biasanya dikategorikan dalam lingkup lingkup perbuatan: Bid'ah,   yakni melakukan
tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan
periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; Ghalath,  yakni banyak melakukan
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; Jahalatul-Hal, yakni tidak diketahui
identitasnya secara jelas dan lengkap; dan  Da'watul-Inqitha', diduga diduga
penyandaran (sanad) -nya tidak bersambung.12
Pendapatan kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan yaitu :
a. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi
yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan
masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyuran itu sebagai
jalan untuk mnetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui
sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin,
sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua
orang laki-laki yang adil.
3. Syarat-syarat seseorang dalam men-tajrih dan men-ta’dil
Adapun syarat-syarat bagi seseorang atau ulama yang men-tajrih-kan dan men-
ta’dil-kan harus memenuhi kriteria kriteria yang obyektif dalam upaya menguak
kriteria para periwayat, yaitu:
10 Ma’Shum Zein. Ilmu Memahami Hadis Nabi. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren), hlm.160.
11 Ma’Shum Zein. op. cit. hlm.203.
12 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bab I. (Bandung: PT. AlMa’arif), hlm.307 (dengan
peringkasan).
5

a. Berilmu, bertakwa, wara ', dan jujur Jika seoarang ulama tidak memiliki sifat-
sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa
al-ta'dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya. Al-Hafizh berkata,
“Seyogyanya al-jarh wa al-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil
dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan
kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat
terhadap hadits yang ia ucapkan”..
b. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan men-jarh-kan Al Hafizh
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarhal-Nukhbah, bahwa tazkiyah (pesan
terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang
sebab-, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak
memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang terlihat olehnya dengan
sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
c. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat Arab Dengan pengetahuan tentang
penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.13
d. Menjauhi fanatik golongan.14

C. Khilafiyah Pendapat Dalam Men-Tajrih dan Men-Ta’dil


1. Menyebutkan sebab-sebab dalam men-ta’dil
Terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti
Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-
sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa
menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih
mempunyai sebab-sebab yang berbeda-beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu
sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.
2. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk men-tajrih dan men-ta’dil
rawi
Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat :
a. Pedapat fuqoha’ Madinah minimal 2 orang, baik dalam syahadah maupun
riwayah
b. Cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab
bilangan tidak jadi syarat dalam penerimaan hadits.
13 Nuruddin, ‘Ulum al-Hadits I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995) hlm.79-80
14 Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis.(Bandung : PT Al Ma’arif), hlm.268-269.
6

c. Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
3. Pertentangan antara jarh dan ta’dil
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seraong rawi, dimana
sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini
terdapat ada 4 pendapat :
a. Jarh harus didahulukan secara mutlak walau jumlah Mu’addil lebih banyak
dari pada Jarhnya. Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin
dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur ‘ulama.
b. Ta’dil harus didahulukan dari Jarh. Karena jarihh bisa salah dalam
mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab
pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi
mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif
c. Bila jumlah Mu’addilnya lebih banyak dari Jarh maka didahulukan Ta’dil.
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka
d. Masih tetap dalam ta’arudh, pertentangan selama belum ditemukan atau
ditentukan yang men-tajrihnya. Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab
timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu’adiil lebih banyak dari jarih, tetapi
kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu’addil dan jarih, maka
didaulukan jarh. Konsep ‫ ِد ْي ِل‬I‫اَ ْل َج ْر ُح ُمقَ َّد ٌم َعلَى التَّ ْع‬ (mendahulukan jarh daripada
ta’dil) bukan merupakan konsep yang mutlak, akan tetapi ini konsep dari
mayoritas ulama, dan ini merupaka putusan ‘ijma.15

D. Lafazh-Lafaz Istilah dalam Ilmu Jarh Wa Ta’dil


Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan dalam men-tarjih dan men-ta’dil, yaitu :
1. Lafazh untuk menta’dil hadits ada 6 tingkatan yang digunakan:
1) Menggunakan lafazh af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya
dengan af’alut tafdhil.
Contoh :

‫أوثق الناس‬  (Orang yang paling tsiqah)

‫أثبت الناس حفظا وعدالة‬  (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
‫إليه المنتهي فى الثبت‬  (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)

15 Nuruddin ‘Itr, op. Cit. hlm.3


7

‫ثقة فوق الثقة‬  (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)
2) Menggunakan pengulangan lafazh yang sama atau dalam maknanya saja
Contoh:

‫ثبت ثبت‬  (Orang yang teguh lagi teguh)

‫ثقة ثقة‬  (orang yang tsiqah lagi tsiqah)

‫حجة حجة‬  (orang yang ahli lagi petah lidahnya)

‫ثبة ثقة‬  (orang yang teguh lagi tsiqah)

‫حافظ حجة‬  (orang yang hafidz lagi petah lidahnya)

‫ضابط متقن‬ (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )


3) Menggunakan lafazh yang mengandung arti kuat ingatan
Contoh:

‫ثبت‬  (orang yang teguh hati dan lidahnya )

‫متقن‬  (orang yang meyakinkan ilmunya)

‫ثقة‬  (orang yang tsiqoh)

‫حافظ‬  (orang yang kuat hafalanya)

‫حجة‬  (orang yang petah lidahnya)


4) Menggunakan lafazh yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil
Contoh:

‫صدوق‬  (orang yang sangat jujur)

‫مأمون‬  (orang yang dapat memegang amanat)

‫البأس به‬  (orang yang tidak cacat)


5) Menggunakan lafazh yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitan
Contoh:

‫محله الصدق‬  (orang yang berstatus jujur)

‫جيد الحديث‬  (orang yang baik haditsnya)

‫حسن الحديث‬  (orang yang bagus haditsnya)

‫مقارب الحديث‬  (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-


8

hadits orang lain yang tsiqoh)


6) Menggunakan lafazh yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat
diatas yang diikuti lafazh “InsyaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafazh tersebut
dikaitkan dengan pengharapan .
Contoh:

‫صدوق إن شاءهللا‬  (orang yang jujur, jika Allah menghendaki)

‫فالن أرجوا بأن البأس به‬ (orang yang diharapkan tsiqah)


‫فالن صويلح‬  (orang yang shalih)

‫فالن مقبول حديثه‬  (orang yang diterima haditsnya)


2. Lafazh untuk mentajrih hadits ada 6 tingkatan yang digunakan:
1) Menggunakan lafazh af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa
denganya menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:

‫أوضع الناس‬  (orang yang paling dusta)

‫أكذب الناس‬  (orang yang paling bohong)

‫إليه المنتهى فى الوضع‬  (orang yang paling top kebohonganya)


2) Menggunakan lafazh sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:

‫كذاب‬  (orang yang pembohong)

‫وضاع‬  (orang yang pendusta)

‫دجال‬  (orang yang penipu)


3) Menggunakan lafazh yang enunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya
Contoh:

‫فالن متهم بالكذل‬  (orang yang dituduh bohong)

‫أو متهم بالوضع‬  (orang yang dituduh dusta)

‫فالن فيه النظر‬  (orang yang perlu diteliti)

‫فالن ساقط‬  (orang yang gugur)

‫فالن ذاهب الحديث‬  (orang yang hadtsnya telah hilang)


9

‫فالن متروك الحديث‬  (orang yang ditinggal haditsnya)


4) Menggunakan lafazh yang menunjukkan amat lemahnya rawi
Contoh:

‫مطرح الحديث‬  (orang yang dilempar haditsnya)

‫فالن ضعيف‬  (orang yang lemah)

‫فالن مردود الحديث‬  (orang yang ditolak hadtsnya)


5) Menggunakan lafazh yang menunjukkan kacaunya hafalan rawi
Contoh:

‫فالن اليحتج به‬  (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)

‫فالن مجهول‬  (orang yang tidak dikenal identitasnya)

‫فالن منكر الحديث‬  (orang yang munkar haditsnya)

‫فالن مضطرب الحديث‬  (orang yang kacau haditsnya)

‫فالن واه‬  (orang yang banyak menduga-duga)


6) Menggunakan lafazh yang mendekati sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.
Contoh:

‫ضعف حديثه‬  (orang yang didho’ifkan haditsnya)

‫فالن مقال فيه‬  (orang yang diperbincangkan)

‫فالن فيه خلف‬  (orang yang disingkiri)

‫فالن لين‬  (orang yang lunak)

‫فالن ليس با لحجة‬  (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)

‫فالن ليس با لقوى‬ (orang yang tidak kuat).16


3. Hukum tingkatan-tingkatan lafazh dalam men-tajrih dan men-ta’dil
1) Hukum tingkatan lafazh dalam men-tajrih
Untuk dua tingkat terakhir (keenam dan kelima) tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah terhadap hadits riwayat mereka, tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja.

16 https://abbas85.wordpress.com/2011/03/01/ilmu-jarh-wa-ta%E2%80%99dil-mencatat-dan-mengadilkan-
rawi/ ,diakses pada tanggal 14 Oktober 2020.
10

Sedangkan empat tingkatan teratas tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak
boleh ditulis, dan tidak menjawab sama sekali.17
2) Hukum tingkatan lafazh dalam men-ta’dil
Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian
mereka lebih kuat dari sebagian yang lain. Tingkat keempat dan kelima, tidak bisa
dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabitan mereka
dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para  siqah yang
dhabith.
Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak
sesuai, maka ditolak. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan
hujjah. Tetapi hadits diraka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja,
bukan untuk pengujian, karena mereka tidak  dhabits.18

17 H. Zeid B. Smeer,  Ulumul Hadits ,Pengantar Studi Hadits Praktis,  (Malang: UIN Malang Press. 2008).
hlm.140
18 Ibid, hlm.142
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ilmu Al-jarh wa At-ta’dil berarti :

‫ْث قَبُوْ ِل ِر َوايَاتِ ِه ْم أَوْ َر ِّدهَا‬ ِ ‫ث فِي أَحْ َو‬


ُ ‫ال الرُّ َوا ِة ِم ْن َحي‬ ُ ‫اَ ْل ِع ْل ُم الَّ ِذيْ يُب َْح‬
Artinya:"Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya
riwayat mereka.
Ada beberapa faktor penting, yang menjadi penyebab lahirnya konsep al-Jarh wa al-
Ta’dil dalam tradisi ulama hadits. Tujuan yang  paling ‘agung’ adalah untuk memelihara
dua sumber Islam: al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang paling prinsipil
adalah munculnya gerakan “pemalsuan hadits” (al-wadh’u). Gerakan inilah yang menjadi
pemicu utama lahirnya ilmu tersebut.
Dari sini, kemudian berkembanglah konsep Al-Jarh wa at-Ta’dil dalam ilmu hadits di
kalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini khususnya dalam
periwayatan hadits Nabi SAW. Karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah
SAW : “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan
hadits kepada kalian apa yang belum pernah  kalian dan juga bapak-bapak kalian
mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah
mereka” (Muqqadimah Shahih Muslim). Maka dari itulah para sahabat dan yang lainnya
bersikap ‘hati-hati’ dalam menerima riwayat dari para perawi,
Ada beberapa syarat bagi pen-ta’dil dan pen-tarjih yaitu: 1.Berilmu pengetahuan;
2.Takwa; 3.Wara’; 4.Jujur; 5.Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan men-
tarjih; 6.Menjauhi fanatik golongan

B. SARAN
Dengan memperhatikan dan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi
yang bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak kesalahan serta kekurangan
dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja.
Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.
Aamiiin...
11
DAFTAR PUSTAKA

al-Khotib, Muhammad ajjad, Usul al-hadith, Ulumuhu al-Musthalahul. Dar al-fikr, tt.

Almanar, Abduh. 2011. Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press.

Muh Zuri, 2011. Hadits Nabi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Sumbulah, Umami. Kritik Hadits. Yogyakarta: UIN Malang Press.

Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al -Hadis wa Musthalahuhu. Bandung: Pustaka Setia.

Zein, Ma’Shum. Ilmu Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta : Pustaka Pesantren.

Rahman, Fatchur, Drs. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT. Al Ma’arif.

Nuruddin ‘Itr, 1995. ‘Ulum al-Hadits I. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

H. Zeid B. Smeer, 2008. Ulumul Hadits Pengantar Studi Hadits Praktis. Malang: UIN


Malang Press.

Hassan, A. Qadir. 1996. Ilmu Mushtahalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro.

https://chiezchua.wordpress.com/2014/11/20/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil/

https://abbas85.wordpress.com/2011/03/01/ilmu-jarh-wa-ta%E2%80%99dil-mencatat-dan-
mengadilkan-rawi/

12

Anda mungkin juga menyukai