MAKALAH
Oleh
Muhammad Azizur Rahman ( 19.01.01.004 )
Alhamdulillah segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan
petunjuk dan nikmat yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga atas berkat dan karunia-
Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah yang kami susun ini. Sholawat dan salam juga
tak terlupakan untuk selalu kami haturkan keharibaan Rosulullah Nabiyina Muhammad
SAW yang menjadi panutan dan uswah bagi umat islam sekalian, juga beserta kepada
keluarganya dan sahabatnya.
Hadits nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, yang setiap muslim
wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena sifat
yang demikian, maka mempelajari hadits juga merupakan suatu hal yang dianggap penting
bagi setiap muslim.
Pada kesempatan makalah kali ini akan dibahas mengenai ILMU JARH WA TA’DIL,
sebagai pemenuhan salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits.
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan dalam kata pengantar ini. Semoga
makalah ini dapat memenuhi tugas pembahasan dan bermanfaat bagi kita semua.
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Ringkasan Permasalahan.............................................................................................1
C. Batasan Masalah...........................................................................................................1
D. Tujuan Penulisan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................2
A. Pengertian dan Kegunaan Ilmu Jarh Wa Ta'dil........................................................2
B. Metode Untuk Men-Tajrih dan Men-Ta’dil Dalam Masalah Rawi Sebagai Objek
Yang Akan Dikaji Serta Syarat-Syaratnya................................................................3
1. Ta’dil..........................................................................................................................3
2. Tajrih..........................................................................................................................4
3. Syarat-syarat seseorang dalam men-tajrih dan men-ta’dil.........................................4
C. Khilafiyah Pendapat Dalam Men-Tajrih dan Men-Ta’dil........................................5
1. Menyebutkan sebab-sebab dalam men-ta’dil.............................................................5
2. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk men-tajrih dan men-ta’dil rawi............5
3. Pertentangan antara jarh dan ta’dil.............................................................................6
D. Lafazh-Lafaz Istilah dalam Ilmu Jarh Wa Ta’dil......................................................6
1. Lafazh untuk menta’dil hadits ada 6 tingkatan yang digunakan:...............................6
2. Lafazh untuk mentajrih hadits ada 6 tingkatan yang digunakan:...............................8
3. Hukum tingkatan-tingkatan lafazh dalam men-tajrih dan men-ta’dil........................9
BAB III PENUTUP...........................................................................................................11
A. SIMPULAN..................................................................................................................11
B. SARAN.........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Jarh Wa Ta’dil mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu
hadits. Kenyataan ini didasarkan kepada ilmu ini merupakan salah satu bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu hadist lainnya dalam menentukan diterima atau
ditolaknya suatu hadist. Jika seorang ahli hadits dinyatakan cacat maka periwayatnya
ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka perawinya
diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadits dipenuhi. Kedudukan ilmu ini
semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian hadits atau biasa
dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadits.
Ilmu jarh wa ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang timbangannya
diterima riwayatnya dan rawi yang timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini
kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya, serta dapat
membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterma haditsnya. Oleh karena itu
para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan
segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka pun berijma’ akan validitasnya, bahkan
kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.
B. Ringkasan Permasalahan
1. Pengertian dan Kegunaan Ilmu Jarh wa Ta’dil ?
2. Metode Untuk Men-Tajrih dan Men-Ta’dil masalah-masalah rawi sebagai Objek
yang akan dikaji ?
3. Lafazh-Lafazh istilah yang digunakan dalam Ilmu Jarh Wa Ta’dil ?
C. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada makalah ini adalah Mengetahui hal-hal yang hanya
berkaitan dengan Jarh wa Ta’dil dalam masalah rawi.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pemakalah dan pembaca dapat
mengidentifikasi berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Jarh Wa Ta’dil.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam definisi lain terminologi ilmu hadits, Al-Jarh berarti menunjukkan sifat-sifat
tercela bagi seorang perawi, sehingga merusak atau mencacatkan kedhabitannya.5
Sedangkan Al-Ta'dil didefinisikan sebagai berikut:
B. Metode Untuk Men-Tajrih dan Men-Ta’dil Dalam Masalah Rawi Sebagai Objek
Yang Akan Dikaji Serta Syarat-Syaratnya
1. Ta’dil
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan melihat salah satu dari dua
ketetapannya:
Pertama, dengan kepopuleran dikalagan para ahli ilmu bahwa ia dkenal dengan
sebagai seorang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang
adil dalam kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah
bin Al-Hajjah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu,
mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu sehingga
tidak perlu dipebincangkan lagi tentang keadilannya.
6 https://chiezchua.wordpress.com/2014/11/20/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil/ diakses pada tanggal 16
maret 2015 pada jam 14:21
7 Badri Khaeruman, Ulum Al -Hadis wa Musthalahuhu, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.109
8 Muh Zuri,Hadits Nabi,Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011, hlm.121
9 Abduh Almanar, op. Cit. hlm.112
4
Kedua, dengan pujian dar seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetpkan sebagai rawi
yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal
sebagai rawi yang adil.10
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang
yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan
riwayat hadis.
b. Setiap orang yang dapat diterima periwayatnya, baik laki-laki maupun
perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui
sebab-sebab yang dapat mengendalikannnya.11
2. Tajrih
Kecacatan rawi itu bisa dengan menelusuri perbuatan-perbuatan yang dilakukan,
biasanya dikategorikan dalam lingkup lingkup perbuatan: Bid'ah, yakni melakukan
tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan
periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; Ghalath, yakni banyak melakukan
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; Jahalatul-Hal, yakni tidak diketahui
identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da'watul-Inqitha', diduga diduga
penyandaran (sanad) -nya tidak bersambung.12
Pendapatan kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan yaitu :
a. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi
yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan
masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyuran itu sebagai
jalan untuk mnetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui
sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin,
sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua
orang laki-laki yang adil.
3. Syarat-syarat seseorang dalam men-tajrih dan men-ta’dil
Adapun syarat-syarat bagi seseorang atau ulama yang men-tajrih-kan dan men-
ta’dil-kan harus memenuhi kriteria kriteria yang obyektif dalam upaya menguak
kriteria para periwayat, yaitu:
10 Ma’Shum Zein. Ilmu Memahami Hadis Nabi. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren), hlm.160.
11 Ma’Shum Zein. op. cit. hlm.203.
12 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bab I. (Bandung: PT. AlMa’arif), hlm.307 (dengan
peringkasan).
5
a. Berilmu, bertakwa, wara ', dan jujur Jika seoarang ulama tidak memiliki sifat-
sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa
al-ta'dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya. Al-Hafizh berkata,
“Seyogyanya al-jarh wa al-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil
dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan
kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat
terhadap hadits yang ia ucapkan”..
b. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan men-jarh-kan Al Hafizh
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarhal-Nukhbah, bahwa tazkiyah (pesan
terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang
sebab-, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak
memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang terlihat olehnya dengan
sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
c. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat Arab Dengan pengetahuan tentang
penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.13
d. Menjauhi fanatik golongan.14
c. Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
3. Pertentangan antara jarh dan ta’dil
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seraong rawi, dimana
sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini
terdapat ada 4 pendapat :
a. Jarh harus didahulukan secara mutlak walau jumlah Mu’addil lebih banyak
dari pada Jarhnya. Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin
dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur ‘ulama.
b. Ta’dil harus didahulukan dari Jarh. Karena jarihh bisa salah dalam
mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab
pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi
mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif
c. Bila jumlah Mu’addilnya lebih banyak dari Jarh maka didahulukan Ta’dil.
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka
d. Masih tetap dalam ta’arudh, pertentangan selama belum ditemukan atau
ditentukan yang men-tajrihnya. Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab
timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu’adiil lebih banyak dari jarih, tetapi
kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu’addil dan jarih, maka
didaulukan jarh. Konsep ِد ْي ِلIاَ ْل َج ْر ُح ُمقَ َّد ٌم َعلَى التَّ ْع (mendahulukan jarh daripada
ta’dil) bukan merupakan konsep yang mutlak, akan tetapi ini konsep dari
mayoritas ulama, dan ini merupaka putusan ‘ijma.15
أثبت الناس حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
إليه المنتهي فى الثبت (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ثقة فوق الثقة (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)
2) Menggunakan pengulangan lafazh yang sama atau dalam maknanya saja
Contoh:
فالن اليحتج به (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)
فالن ليس با لحجة (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
16 https://abbas85.wordpress.com/2011/03/01/ilmu-jarh-wa-ta%E2%80%99dil-mencatat-dan-mengadilkan-
rawi/ ,diakses pada tanggal 14 Oktober 2020.
10
Sedangkan empat tingkatan teratas tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak
boleh ditulis, dan tidak menjawab sama sekali.17
2) Hukum tingkatan lafazh dalam men-ta’dil
Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian
mereka lebih kuat dari sebagian yang lain. Tingkat keempat dan kelima, tidak bisa
dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabitan mereka
dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para siqah yang
dhabith.
Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak
sesuai, maka ditolak. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan
hujjah. Tetapi hadits diraka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja,
bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dhabits.18
17 H. Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits ,Pengantar Studi Hadits Praktis, (Malang: UIN Malang Press. 2008).
hlm.140
18 Ibid, hlm.142
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ilmu Al-jarh wa At-ta’dil berarti :
B. SARAN
Dengan memperhatikan dan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi
yang bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak kesalahan serta kekurangan
dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja.
Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.
Aamiiin...
11
DAFTAR PUSTAKA
https://chiezchua.wordpress.com/2014/11/20/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil/
https://abbas85.wordpress.com/2011/03/01/ilmu-jarh-wa-ta%E2%80%99dil-mencatat-dan-
mengadilkan-rawi/
12