Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam satu dekade terakhir, bencana datang silih berganti menerpa
Indonesia. Bencana, baik yang hadir karena faktor alam ataupun akibat dari ulah
manusia menghampiri berbagai belahan penjuru negeri ini. Gempa Bumi dan
Tsunami di Aceh (2004), Gempa Bumi di Yogyakarta (2006), Gempa Bumi di
Sumatera Barat (2009), dan Erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta (2010) adalah
beberapa contoh bencana kolosal yang pernah melanda Indonesia. Dari
beberapa bencana tersebut, yang disebut terakhir menjadi bencana yang paling
menyita perhatian khalayak. Tidak lain karena kisruh pemberitaan yang turut
diciptakan oleh media kala meliput dan melaporkan berita bencana.
Bagi media, fenomena bencana alam pada dasarnya merupakan “berkah”
tersendiri. Sejalan dengan ungkapan “Bad News is a Good News”, semakin
terdapat kabar buruk, semakin kejadian tersebut memiliki nilai berita untuk
diwartakan. Dalam konteks berita bencana, semakin terdapat bencana dalam
skala hebat, maka semakin bencana tersebut mempunyai “nilai jual” untuk
diberitakan kepada khalayak.
Sebagai negeri rawan bencana, berita bencana dan media di Indonesia
bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Setidaknya terdapat dua hal
mengapa media begitu antusias dalam memberitakan bencana. Pertama,
bencana biasanya menciptakan situasi ketidakpastian (Uncertainty). Dalam
situasi seperti ini, rasa ingin tahu dari warga akan semakin memuncak. Mereka
akan selalu bertanya tentang “apa yang sedang terjadi?”. Kedua, bencana bagi
media merupakan sebuah event yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. sebagai

1
sebuah event besar, berita bencana mempunyai daya tarik yang begitu luar
biasa, tanpa harus direkayasa.1
Diantara berbagai jenis media massa yang aktif meliput berita bencana
adalah televisi. AGB Nielsen dalam rilisnya menyebut, durasi mata acara berita di
stasiun televisi nasional pada bulan november 2010 mengalami peningkatan
sebesar 2% dibanding bulan sebelumnya. Tercatat total durasi pada bulan
tersebut mencapai 1250 jam. 2 Dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya,
televisi menjadi media massa terfavorit bagi khalayak dalam memantau
perkembangan terkini berita bencana. Hal itu tidak terlepas dari karakter khas
televisi yang mampu menampilkan berita dalam waktu yang singkat dan disertai
dengan visualisasi gambar, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh platform
media yang lain. Maka tidak mengherankan bila televisi selalu menjadi media
paling dominan, tidak hanya dalam situasi bencana, melainkan pada momen-
momen krusial lainnya.
Di tengah peran sentral televisi dalam meliput berita bencana, tidak serta
merta menjadikan televisi luput dari berbagai sorotan. Yang demikian tidak lain
disebabkan oleh performa televisi yang jauh dari kata memuaskan dalam
mewartakan bencana. Televisi selalu dituding tidak menjalankan prinsip-prinsip
jurnalisme dalam peliputan bencana. Permasalahan mendasar seperti aspek
akurasi dan verifikasi sering terjadi. Hal ini menjadi ironi mengingat posisi
jurnalisme bencana di negeri rawan bencana seperti Indonesia sangatlah
penting. .
Belajar dari pemberitaan televisi terhadap bencana Erupsi Gunung
Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010 yang lalu, performa jurnalis televisi layak
untuk dipertanyakan. Dalam berbagai kesempatan, tidak jarang berita-berita
yang dihadirkan mengabaikan salah satu prinsip terpenting dalam jurnalisme

1
Pitra Narendra. 2006. Media dan Pemberitaan Bencana : Menemukan Kembali Identitas Nasional.
Dalam Buletin Polysemia. Edisi.3, Juli 2006. Yogyakarta : PKMBP. Hal. 4
2
AGB Nielsen. 2010.

2
yakni, akurasi. Selain masalah akurasi, citra sensasionalisme dan dramatisasi
menjadi menjadi wajah lain berita bencana di layar kaca. Pada akhirnya, alih-alih
menghadirkan berita yang memberikan pencerahan pada khalayak, berita
seputar bencana justru memberikan ketidakpastian (uncertainty) dan
menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Tentu masih segar dalam ingatan ketika dalam sebuah liputan langsung
yang disiarkan oleh stasiun televisi tvOne, terjadi salah penyebutan abu vulkanik
menjadi “awan panas”, padahal dua hal tersebut merupakan hal yang jauh
berbeda. Ketidakpekaan reporter dalam menjunjung aspek akurasi berujung
pada lahirnya informasi yang meresahkan warga. Reporter kala itu menyebut
awan panas telah menyembur sejauh 20 km dari lereng gunung merapi. Sontak
reportase tersebut menimbulkan kekacauan luar biasa, tidak hanya pada warga
yang berada di daerah pengungsian, namun, juga khalayak yang ikut menonton
berita tersebut. Ironisnya, setelah kesalahan fatal pemberitaan tersebut, tak
pernah terdengar permintaan maaf dari pihak televisi yang bersangkutan 3.
Reaksi dari liputan ini pun dapat ditebak. Kritikan deras seketika muncul
atas berbagai liputan meresahkan yang muncul di layar kaca. Dari masyarakat,
sukarelawan bencana, hingga akademisi turut menyampaikan protesnya. Sultan
Hamengku Buwono XI, selaku pemimpin tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta
secara terbuka menyampaikan keprihatinannya terhadap akurasi liputan merapi
yang jauh dari harapan 4. Melihat kondisi peliputan bencana merapi yang mulai
berlebihan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mengambil tindakan evaluasi
dengan mengumpulkan seluruh pemimpin redaksi televisi dalam satu forum.

3
Iwan Awaluddin Y. Malpraktik Liputan Merapi di Televisi. diakses pada 26 April 2013. Terarsip di
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/11/05/malpraktik-liputan-merapi-di-televisi/
4
Republika Online. Sultan Kritik Akurasi Liputan TV Soal Merapi. diakses pada 20 mei 2013.
Terarsip di http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/10/31/143536-sultan-
kritik-akurasi-liputan-tv-soal-merapi

3
Mediasi ini diperlukan untuk menghindari berita-berita yang menyesatkan
dimasa yang akan datang5.
Di tengah persaingan jurnalisme televisi yang semakin kompetitif, maka
berbagai cara dilakukan media untuk merebut atensi khalayak. Dalam konteks
siaran berita televisi, aktualitas menjadi sebuah harga mati yang harus dipenuhi.
Jurnalis televisi selalu dituntut untuk menghadirkan siaran berita yang eksklusif
dan serba cepat. Pada titik inilah profesionalitas seorang jurnalis akan diuji
apakah mampu menghasilkan berita yang memenuhi standar jurnalisme atau
sebaliknya, mengabaikan akurasi dan mengorbankan profesionalitasnya sebagai
seorang jurnalis.
Beberapa pertanyaan yang muncul tadi, memberikan ketertarikan kepada
peneliti untuk mengetahui performa media televisi dalam menghadirkan berita
bencana. Terkait dengan hal tersebut, dalam aspek pemberitaan, dikenal dengan
yang dinamakan media performances. Media performances menjurus pada kajian
yang berfokus pengukuran terhadap performa media dalam menyampaikan
pemberitaan. Kualitas konten media merupakan isu utama ketika melihat kinerja
sebuah media. Penelitian kali ini pada akhirnya akan berfokus pada kajian
bagaimana performa media penyiaran televisi, yaitu Metro TV dan tvOne
menghadirkan informasi bencana di layar kaca. Objek yang dipilih berkaitan
dengan Bencana Erupsi Gunung Merapi pada 2010 yang lalu. Pemilihan dua
stasiun televisi tersebut tidak lain didasarkan pada 2 pertimbangan. Pertama,
keduanya sama-sama merupakan stasiun televisi bergenre berita. Kedua, posisi
sebagai televisi berita menjadikan kedua televisi tersebut memberikan eksposur
lebih banyak terhadap berita bencana, dibandingkan dengan televisi komersial
yang lain. Kualitas pemberitaan dari masing-masing stasiun televisi tersebut akan

5
Tempo.co. Soal Pemberitaan Merapi, Besok KPI Panggil Seluruh Pemred Televisi. diakses pada
22 Mei 2013. Terarsip di http://www.tempo.co/read/news/2010/11/07/078290065/Soal-
Pemberitaan-Merapi-Besok-KPI-Panggil-Pemred-Televisi

4
menjadi fokus perhatian hingga pada akhirnya dapat diketahui performa masing-
masing televisi kaitannya dalam meliput berita bencana.
Sebagai sebuah genre baru jurnalisme, jurnalisme bencana belum banyak
diteliti oleh akademisi. Padahal, dalam konteks Indonesia, keberadaan jurnalisme
sangat penting. Tidak lain karena Indonesia merupakan negara rawan bencana,
media massa dalam berbagai kesempatan selalu melaporkan berita bencana
dengan sangat antusias. Ditengah banyaknya kritik yang ditujukan kepada
jurnalis dalam memberitakan berita bencana, penelitian ini dirasa sangat penting
karena dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bagi kinerja jurnalis untuk
menghadirkan berita yang lebih baik dimasa yang akan datang. Dewasa ini, kajian
yang mengukur performa media dalam memberitakan media lebih banyak
terdapat pada media cetak. Dengan meneliti produk jurnalisme televisi,
diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah kajian media khusunya
yang terkait dengan reportase bencana alam

B. Rumusan Masalah

Bagaimana kualitas pemberitaan TV one dan Metro TV dalam Breaking


News bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan sekitarnya dari tanggal
27 Oktober hingga 2 November 2010?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui performa media penyiaran yaitu Metro TV dan tvOne


dalam melaporkan berita bencana.

2. Untuk Membandingkan peforma media penyiaran yaitu Metro TV dan


tvOne dalam melakukan liputan langsung berita bencana.

3. Mengetahui bagaimana wajah pemberitaan televisi dalam meliput berita


bencana.

5
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Menambah khasanah penelitian dalam ranah jurnalisme bencana di


Indonesia

2. Sebagai masukan bagi televisi pada umumnya dan jurnalis televisi pada
khususnya kaitannya dalam evaluasi pemberitaan bencana di Indonesia

D. Kerangka Pemikiran

1. Berita dan Jurnalisme Penyiaran Televisi


Penelitian ini pada dasarnya fokus mengenai kualitas pemberitaan televisi
mengenai bencana. Maka, sebelum memahami lebih lanjut mengenai kualitas
pemberitaan secara umum dan jurnalisme bencana pada khususnya, akan
terlebih dahulu didefinisikan mengenai arti dari berita itu sendiri.
Terdapat beberapa definisi yang dapat menjelaskan mengenai makna dari
berita (news). Salah satunya seperti definisi yang dipopulerkan oleh Melvin
Mencher (2003). Menurut Mencher berita dapat dibagi ke dalam kedua
kerangka, yaitu : pertama, “news is information about a break from the normal
flow of events, an interruption in the expected, a deviation from the norm”.
Kedua, “news is information people need to make sound decision about their
lives”.6 Dua kerangka tersebut mengaitkan berita dengan kategori informasi yang
diekspos kepada khalayak dan kebutuhan masyarakat terhadapnya sebagai
bahan pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Kesimpulan dari
definisi diatas yakni persoalan informasi yang berkualitas menjadi harapan bagi
khalayak untuk membantu mereka mengatasi problem hidup. Untuk itu,
Mencher memberi tekanan khusus pada produksi berita karena hal tersebut
ditanggapinya sebagai faktor penentu kualitas berita.
Pada perkembangannya, berita hadir dalam ruang-ruang media dalam
bentuk jurnalisme. Seperti dalam penyiaran televisi misalnya, di mana berita

6 th
Melvin Mencher. 2003. News Reporting and Writing. 9 Edition. New York :McGraw-Hill. Hal. 68.

6
hadir sebagai turunan dari praktik jurnalisme televisi. Jurnalisme sendiri dapat
didefinisikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan proses pengumpulan
dan penyajian berita dan informasi.7 Dari definisi tersebut maka dapat dipahami
bahwa jurnalisme televisi merupakan praktik jurnalisme yang menggunakan
medium televisi dalam mendukung aktivitas jurnalismenya. Kehadiran jurnalisme
dalam ruang televisi pada dasarnya merupakan evolusi dari fungsi awal televisi
yang didominasi oleh konten hiburan. Berbeda dengan kondisi di era sekarang
ketika berita menjadi program acara favorit, keterbatasan perangkat yang dapat
menunjang pertukaran materi siaran secara cepat menjadikan jurnalisme televisi
kalah pamor dibanding jenis produk siaran yang lain seperti drama opera dan
komedi situasi.8 Selain faktor keterbatasan teknologi, keengganan produser
menjadi faktor lain di mana berita penyiaran dianggap tidak menarik dan tidak
memiliki tempat di televisi.9
Kondisi ini mulai berubah ketika pada medio 1960 hingga 1970-an,
televisi mulai berkembang menjadi media informasi populer di mata khalayak.
Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Salah satu
diantaranya tidak lain disebabkan oleh karakter pesan di televisi yang relatif
mudah dipahami oleh khalayak. Untuk memahami pesan di televisi tidak
membutuhkan kemampuan membaca yang baik layaknya mengonsumsi media
cetak atau konsentrasi mendengar untuk radio. Dalam mengonsumsi pesan
televisi, visualisasi gambar yang dipadu dengan kombinasi suara menjadikan
televisi sebagai media paling efisien dalam menyebarkan informasi. “television
news is good pictures because that’s what plays to television’s unique selling
point”, sebut jurnalis terkemuka Amerika Nick Kehoe10.

7
Rahayu. 2006. Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar di Indonesia. Yogyakarta :
PKMBP, Dewan Pers, dan Departemen Komunikasi dan Informasi. Hal.6
8
Gabi Schaap. 2009. Interpreting Television News. Berlin : Mouton de Gruyter. Hal 1
9
Ibid.
10
Carole Fleming et al. 2006. An Introduction To Journalism. London : Sage Publications. Hal..17

7
Pendapat dari Kehoe tersebut sejalan dengan yang dijelaskan oleh
Marshall McLuhan yang menyebut sebagai cool medium, televisi cukup
mensyaratkan keterlibatan dan partisipasi aktif untuk mencerna pesan audio-
visual yang bersifat low definition.11 Maksud dari pernyataan tersebut tidak lain
bahwa televisi mungkin tidak menawarkan kedalaman dan cenderung membawa
informasi yang samar, namun hanya butuh partisipasi khalayak dalam memaknai
pesan yang disampaikan.12
Dewasa ini, perkembangan radikal pada dunia teknologi telah merubah
cara televisi dalam menghasilkan sebuah informasi. Dalam konteks jurnalisme
televisi, pesatnya kemajuan teknologi mempengaruhi cara jurnalis dalam hal
memperoleh hingga mengolah sumber informasi. Berbagai kemudahan yang
ditawarkan perangkat lunak telah memudahkan jurnalis mulai editing hingga
packaging atas materi berita. Sedangkan teknologi satelit mempermudah jurnalis
menghadirkan siaran dari belahan dunia lain dalam tempo yang relatif singkat.
Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong lahirnya berbagai jenis kategorisasi
program jurnalisme televisi.13 Mengenai penggolongan program jurnalisme
televisi, Annette Hill mengelompokkan siaran jurnalisme televisi ke dalam 4
(empat) kategori, yaitu14 :

1. News
adalah jenis acara yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik atas
informasi. Konten yang ditampilkan berupa informasi kejadian terkini tentang
tema tertentu dengan mengambil tempat yang spesifik. Berita ini meliputi
berita lokal, nasional, dan regional. Dalam jenis siaran ini, selain

11
David Holmes. 2005. Communication Theory : Media, Technology, Society. London : Sage
Publications. Hal.71
12
Ibid. Hal. 71
13
Stanley Baran. 1990. The Known World for Broadcast News.: International News and Electronic
Media. London : Routledge. Hal. 20
14
Annette Hill. 2007. Restyling Factual TV, Documentary, and Reality Television. London :
Routledge. Hal. 44-53.

8
menampilkan berita langsung (hard news), terkadang akan dikombinasikan
dengan liputan langsung dari lapangan, interview dengan narasumber di
studio atau percakapan via sambungan telepon. Beberapa contoh siaran yang
termasuk kategori ini antara lain :
1. Newsflash (berita kilat), Adalah format acara dimana siaran berita
disiarkan dalam tempo singkat untuk menyampaikan berita terkini. Tidak
jarang format berita ini digunakan sebagai “pembuka” dari program
siaran utama atau breaking news.
2. Newscast (siaran berita), merupakan program berita yang ditujukan
untuk menghadirkan pandangan lebih luas dan lebih lengkap perihal
berita-berita yang disampaikan dihari itu. program berita biasanya
berdurasi antara 20 sampai dengan 60 menit. Format penyampaian berita
untuk program berita menampilkan gambar dan narasi dalam bentuk
yang lebih detail dibanding newsflash.
3. Breaking News, jenis acara dimana stasiun televisi hendak menyampaikan
berita terbaru (pada umumnya menggunakan format live reporting),
untuk menginformasikan kejadian yang dianggap mempunyai urgensi
khusus untuk segera disampaikan kepada khalayak. Dalam
menyampaikan berita, tayangan breaking news biasanya diawali dari
penyiar berita yang membacakan inti berita yang akan disampaikan
kepada khalayak. Selanjutnya penyiar berita akan mengarahkan pemirsa
ke reporter yang sedang bertugas di tempat kejadian liputan.

2. Current Affairs / Investigasi


Adalah program berita yang lebih tajam dari acara siaran berita reguler.
Ciri dari acara ini merupakan bentuk siaran jurnalisme yang relaif panjang
secara durasi, mengangkat tema seputar debat politik, kontroversi yang

9
sedang hangat di masyarakat, serta menggunakan jurnalisme investigatif
dalam liputannya. contoh kategori ini di Stasiun televisi Indonesia dapat
ditemui di Metro Realitas, Delik RCTI, atau Telusur tvOne.

3. Dokumenter
Adalah sebuah acara yang menyiarkan pandangan tertentu atas sebuah
isu yang disajikan secara detail. Tema yang diusung pun beragam diantaranya
tentang fenomena alam, seni, agama, ilmu pengetahuian, sejarah, budaya,
dll. Ada berbagai macam teknik menyampaikan informasi dalam dokumenter,
mulai dari gaya reportase langsung, tampilan visual yang dipadu dengan
narasi, dan dramatisasi berita. Drama dokumenter adalah dokumenter yang
menggunakan aktor dan gaya bercerita ala drama untuk merekonstruksi
informasi yang ingin disampaikan. Dalam jenis format ini, kemampuan dari
interviewer menjadi sangat penting karena kedalaman informasi berawal dari
kemampuan menggali informasi dari interviewer.

4. Jenis Program Non-Fiksi Lain


Merupakan jenis kategori selain 3 kategori sebelumnya. Termasuk
kategori ini adalah acara talkshow. Pada umumnya format acara jenis ini bisa
menghadirkan narasumber yang relevan atas tema yang sedang didiskusikan.

Diantara keempat kategorisasi jurnalisme televisi tersebut, jenis program


siaran berita (newscast) merupakan jenis yang paling mendapat perhatian baik
dari khalayak maupun stasiun televisi. Bagi khalayak mereka membutuhkan
siaran berita untuk mendapatkan informasi, sedangkan bagi stasiun televisi
siaran berita dapat meningkatkan reputasi mereka melalui informasi yang akurat
dan up to date.15

15
Carole Fleming et al. Op.Cit. Hal.17

10
2. Menelaah Performa Stasiun Televisi
Dalam penelitian performa media, kualitas konten media menjadi salah
satu titik sentral dalam penelitian. 16 Performa media bila diukur dari pendekatan
kualitas konten pemberitaan akan berkaitan dengan dua sisi orientasi dari media,
yakni sisi teknis dan sisi etis. Dalam sisi teknis, dikenal rumusan kualitas
pemberitaan terwujud dalam standar kelayakan berita (newsworthy) yang
menjadi dasar dasar proses seleksi berita. Media jurnalisme dalam menjalankan
aktivitasnya selalu dihadapkan pada realitas sosial yang jumlah dan variannya
sangat beragam, sedangkan pada akhirnya hanya sedikit dari realitas tersebut
yang dapat diolah menjadi berita. Hal ini disebabkan media dihadapkan pada
masalah yang sama, dalam penyampaian berita mereka selalu dibatasi oleh
ruang dan waktu. Standar kelayakan pada akhirnya menjadi penting untuk
menjadi acuan media dalam memilih realitas mana yang layak untuk diolah
menjadi berita dan mana yang tidak.
Kaitannya dengan kualitas pemberitaan, McQuail (1992) menyampaikan
pentingnya konsep performa media. Media performa merupakan konsep yang
bersandar pada keinginan publik untuk mendapatkan konten berita yang dapat
dijadikan sebagai referensi yang mana informasi tersebut relevan dengan
kehidupan masyarakat. Konsep ini pada gilirannya sering digunakan sebagai alat
ukur untuk menilai profesionalisme sebuah media. 17 Lebih lanjut McQual
menjelaskan, setidaknya fondasi dari performa media dapat dilihat ke dalam 3
hal penting yakni kebebasan dan independensi dari media, keberagaman konten,
dan objektivitas dalam pemberitaan.18
McQuail menukil pemikiran Westertahl (1983) menjelaskan Objektivitas
dalam pemberitaan dapat ditemui dalam 2 hal, yakni faktualitas dan
imparsialitas berita. Prinsip faktualitas terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth)
16
Rahayu. Op cit. Hal 6.
17 th
Denis McQuail. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory (5 Editiion). London : Sage
Publications. Hal. 354.
18
Ibid. Hal. 355.

11
dan relevan (relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan
(accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai
akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H). Sementara itu, unsur-unsur yang
digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi: (1) proximity psikografis,
(2) proximity geografis, (3) timeliness, (4) significance, (5) prominence dan (6)
magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai news values. 19
Kemudian Prinsip tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat
objektivitas. Ada dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang
(balance) dan netral. Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada
pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides,
sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi
wartawan.20

Gambar 1. 1 Kriteria Komponen Objektivitas Menurut Westertahl (1983)

Selain pemikiran McQuail, dalam konteks standar kelayakan berita


terdapat beragam referensi yang dapat dijadikan sebagai landasan Dalam
menentukan standar kelayakan berita.
Berkaca pada pendapat Galtung dan Ruge (1981) dalam Fleming dan
Hemmingway (2006), berita menjadi layak diberitakan jika memenuhi
karakteristik berikut :
1. Relevance

19
Ibid. Hal. 202
20
Ibid.

12
Informasi yang akan berdampak baik secara langsung atau tidak langsung
pada kehidupan manusia disekitarnya. Hal ini misalnya dalam konteks
berita yang bermuatan lokal atau nasional. Bagi media lokal,
pengangkatan isu lokal (di daerahnya) akan lebih relevan dibanding
mengangkat isu daerah lain atau bahkan isu nasional.
2. Timeliness
Unsur berita yang lebih menekankan kepada isu terhangat atau kejadian
yang sedang terjadi daripada mengangkat informasi berita yang terjadi di
masa lampau. Dalam konteks jurnalisme televisi, aspek timeliness
menjadi penting karena aspek kebaruan menjadi syarat mutlak dalam
berita televisi.
3. Simplification
Informasi tentang kejadian yang sederhana dan bisa diberitakan secara
langsung (straightforward). Unsur ini terutama terdapat pada stasiun
televisi yang dalam produksi berita selalu dibatasi oleh waktu.
4. Predictability
Informasi yang berhubungan dengan kejadian yang dapat diprediksi
sebelumnya. Termasuk dalam unusur berita ini seperti acara peringatan,
rilis angka pengangguran terbaru, atau acara-acara kenegaraan.
5. Unexpectedness
Informasi tentang kejadian yang jarang terjadi. Karena langkanya kejadian
tersebut maka layak untuk diberitakan.
6. Continuity
Informasi tentang kejadian yang mempengaruhi kehidupan banyak orang,
sehingga dibutuhkan update terbaru tentang kejadian tersebut. Contoh
dari berita yang memenuhi unsur ini antara lain proses peradilan di
pengadilan, peperangan.
7. Composition

13
Sedikit tidak berkaitan dengan realitas, namun berkaitan dengan
penentuan porsi berita. Porsi yang dimaksud adalah pembagian antara
berita politik, human interest dll.
8. Elite people
Unsur seleksi berita didasarkan pada popularitas dari seseorang dalam
masyarakat. Semakin populer, maka semakin memilki nilai berita.
9. Elite Nations
Hampir mirip dengan elite people, namun dalam konteks ini adalah
pemimpin pemerintahan atau pejabat negara.
10. Negativity
Unsur berita yang disinonimkan dengan “bad news”. Semakin berita
mengandung unsur “bad”, semakin berita itu memiliki nilai kelayakan
berita yang tinggi. Contoh berita unsur ini diantaranya berita bencana,
kejahatan, skandal seksual dll.

Selain dari pendapat Fleming dan Hemmingway, Melvin Mencher juga


memberi pendapatnya tentang kelayakan sebuah berita. Menurut Mencher,
informasi layak untuk diberitakan jika memenuhi diantara tujuh nilai berita 21,
ketujuh poin tersebut yaitu :
1. Timeliness (events that are immediate recent). Artinya, peristiwa tersebut
baru saja terjadi.
2. Impact (events that are likely to effect many people). Artinya, suatu
kejadian yang dapat memberikan dampak kepada orang banyak.
3. Prominence (Event involving well-known people or institutions. Artinya,
suatu kejadian yang melibatkan orang atau lembaga yang terkemuka.
4. Proximity (events geographically or emotionally close to the reader,
viewer, or listener). Artinya, suatu peristiwa yang memiliki unsur

21
Ibid. Hal.347-348.

14
kedekatan dengan khalayak, baik secara geografis maupun secara
emosional.
5. Conflict (Event that reflect clashes between people or institutions).
Artinya, suatu peristiwa atau kejadian yang mengandung pertentangan
baik antara individu, masyarakat, atau lembaga.
6. The Unusual (events that deviate sharply from the expected and the
experience of everyday life).aritnya, sesuatua kejadian atau pengalaman
yang tidak biasanya terjadi dan merupakan pengecualian dari
pengalaman sehari-hari.
7. The Currency (Events and situations that are being talked about). Artinya,
hal-hal yang sedang menjadi pembicaraan orang banyak.

Sedikit berbeda dengan Mencher, Siregar menambahkan aspek human


interest menjadi salah satu alasan kejadian atau peristiwa mempunyai nilai
berita. Human Interest (manusiawi) adalah kejadian yang memberi sentuhan
perasaan bagi pembaca, kejadian yang menyangkut orang biasa dalam situasi
luar biasa, atau orang besar dalam situasi biasa. Bila dibuat matriks, maka unsur
kelayakan berita dari ketiga pendapat di atas adalah sebagai berikut :

Tabel 1. 1 Unsur Kelayakan Berita

Unsur Kelayakan Berita


Fleming & Hemmingway
Melvin Mencher (2003 : 347-348) Ashadi Siregar (2001 : 27)
(2006 : 5-6)
Relevance Timeliness Significance
Timeliness Impact Magnitude
Simplification Prominence Timeliness
Predictability Proximity Proximity
Unexpectedness Conflict Prominence
Continuity The Unusual Human Interest
Composisition The Currency
Elite People
Elite Nations
Negativity

15
3. Berita dalam Perspektif Prinsip Jurnalisme Bencana
Perkembangan jurnalisme yang begitu pesat ditandai dengan hadirnya
genre-genre baru dalam ranah jurnalisme. Salah satu diantaranya adalah genre
jurnalisme bencana. Definisi Jurnalisme Bencana pada akhirnya dapat ditemui
pada tulisan yang disampaikan Masduki dalam tulisan “bagaimana media
memberitakan bencana” (2007), seperti dikutip oleh Nazaruddin (2007) yang
mendefinisikan Jurnalisme Bencana sebagai bagaimana jurnalisme
memberitakan bencana. Lebih lanjut dijelaskan dalam “Bagaimana
memberitakan” terkandung dua dimensi yaitu proses dan hasil. Dimensi proses
mengacu pada proses produksi berjudul berita-berita bencana, dimensi hasil
mengacu pada berita-berita yang dimuat atau disiarkan oleh media. Dalam
pengertian dasar itu, Jurnalisme Bencana bisa dibagi ke dalam dua distingsi,
antara das sein dan das sollen, antara realitas jurnalisme bencana dan idealitas
jurnalisme bencana 22
Sebagai salah satu cabang dari jurnalisme, Jurnalisme bencana
merupakan kajian baru dalam ranah komunikasi. Masih sedikitnya kajian tentang
Jurnalisme Bencana menjadikan perdebatan mengenai keberadaan Jurnalisme
Bencana sebagai genre dari Jurnalisme dipertanyakan. Di level kajian
internasional, artikel ilmiah yang membahas mengenai kajian jurnalisme bencana
diantaranya tulisan Prof Greg Philo yang berjudul Television News and Audiences
Understanding of War, War, Conflict, and Disaster (dimuat dalam Journalism
Studies, Volume 3 Number 2, 2002) serta tulisan Joe Hight dan Cait McMahon,
Covering Trauma: Dart Centre Guide for Journalist, Editor, and Manager
(diunggah di www.dartcentre.org). Artinya, hingga saat ini belum ada buku atau
referensi resmi yang membahas tentang jurnalisme bencana.
Pun demikian di Indonesia, kajian mengenai Jurnalisme Bencana masih
menjadi kajian yang dieksplorasi oleh kalangan akademisi. Beberapa artikel

22
Muzayyin Nazaruddin. 2007 . Jurnalisme Bencana. Tinjauan Etis. Jurnal Komunikasi Volume 1,
Nomor 2, Tahun 2007. Hal. 164.

16
populer yang membahas Jurnalisme Bencana diantaranya tulisan Iwan
Awaluddin berjudul Ada Kuis Di Tengah Gempa: Membangun Epistimologi
Liputan Bencana di Media (dimuat dalam Jurnal Komunikasi UII Vol.1 No.1,
Oktober 2006), kemudian tulisan Muzayin Nazaruddin yang berjudul Jurnalisme
Bencana: Sebuah Tinjauan Etis (dimuat dalam Jurnal Komunikasi UII Vol. 1, No. 2,
April 2007), dan tulisan Masduki berjudul “Wajah Ganda Media Massa dalam
Advokasi Bencana” (dimuat dalam Jurnal UNISIA, No. 63/XXX/V, Januari-Maret
2007. Dari penerbitan jurnal yang spesifik membahas Jurnalisme Bencana, dapat
ditemui di Jurnal Sosial Politik Fisipol UGM Berjudul Komunikasi Bencana (2008),
sedangkan untuk penerbitan buku yang secara khusus membahas tema ini dapat
ditemui di sub bab buku berjudul Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi
(2013) tulisan Fajar Junaedi.
Perkembangan Jurnalisme bencana di Indonesia selanjutnya dapat
dirunut ke belakang saat terjadinya bencana Gempa yang disusul gelombang
Tsunami di Aceh pada tahun 2004 yang lalu. Liputan terus menerus yang
dilakukan oleh Metro TV dengan program “Indonesia Menangis” menyadarkan
khalayak pentingnya media dalam situasi bencana. Metro TV yang menurunkan
Najwa tiba di Aceh pada hari-hari pertama bencana, secara intensif memberikan
liputan teraktual mengenai penanganan bencana di Aceh.
Dua tahun berselang, kehadiran jurnalisme bencana selanjutnya dapat
dilihat pada pemberitaan gempa bumi 27 Mei 2006 yang melanda Yogyakarta
dan sekitarnya. Seperti juga pada saat tsunami di Aceh, media memberikan
eksposur yang besar pada peristiwa ini. Hasilnya adalah bantuan terus mengalir
dari berbagai lapisan masyarakat.
Praktik jurnalisme berikutnya dapat dilihat di liputan erupsi Gunung
Merapi pada periode 2010 yang lalu. Liputan jurnalisme bencana kala itu menjadi
liputan yang menghadirkan banyak kekacauan akibat beberapa kali terjadi salah
penyampain informasi yang disampaikan oleh media. Kesalahan ini ditambah
dengan pelanggaran etika selama peliputan yang dilakukan oleh stasiun televisi.

17
Secara tidak langsung, bencana Erupsi Gunung Merapi telah menyadarkan publik
pentingnya menjunjung aspek akurasi dan sensitivitas dalam melaporkan
keadaan bencana. Pada titik inilah, urgensi atas penerapan prinsip peliputan
bencana menjadi penting.23
Terkait dengan prinsip dalam peliputan bencana, Amiruddin Dalam
tulisan yang berjudul Media Dalam Liputan Bencana, mengungkapkan lima
prinsip dasar yang mesti diperhatikan jurnalis saat meliput bencana. Kelima
prinsip tersebut adalah akurasi, humanis, mengedepankan prinsip suara korban,
memasukkan perspektif kemanusiaan, dan mengungkapkan sisi lain selama masa
pemulihan (recovery).24
Pertama, akurasi. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak hanya dituntut
untuk melaporkan berita secara cepat namun juga secara akurat. Untuk
memperoleh akurasi, jurnalis perlu berperan layaknya peneliti, dalam arti jurnalis
perlu untuk mengidentifikasi setiap data atau informasi yang diperolehnya (check
and re-check). Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan dapat
dipertangungjawabkan. Untuk mengejar keakurasian berita, narasumber menjadi
salah satu faktor yang menentukan karena narasumber yang kompeten tentunya
menjamin perolehan informasi yang akurat.
Kedua, humanis. Dalam memberitakan bencana, jurnalis harus pula
memperhatikan aspek manusia (human elements). Jurnalisme mesti
mengungkap dua hal dalam pemberitaannya, yaitu tentang manusia yang terlibat
di dalamnya dan konteks yang melingkupinya. Dalam jurnalisme bencana,
pewarta berita harus melindungi korban, kerabat, dan publik yang menjadi
sasaran pemberitaannya.
Ketiga, prinsip suara korban. Dalam liputan trauma pasca bencana media
mestinya mampu mengungkapkan aspirasi para korban. Dalam hal ini, ruang

23
Fajar Jurnaedi. 2013. Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi. Jakarta. Kencana Prenada
Media Group. Hal.119
24
Amiruddin. 2007. Media Dalam Liputan Bencana. Suara Merdeka, 26 Januari 2007

18
editorial menjadi sarana media untuk menyuarakan aspirasi sekaligus menjadi
wujud pembelaan media terhadap korban bencana.
Keempat, jurnalisme bencana selayaknya mampu meletakkan peristiwa
traumatik bencana ke dalam perspektif kemanusiaan yang lebih luas melalui
pemberitaannya. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak sekedar menempatkan
diri sebagai pengumpul fakta yang terkejut sekaligus bangga dengan temuannya
yang dia wartakan dalam setiap beritanya. Sudah semestinya jurnalis memikirkan
teknik pencaria dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai
kemanusiaan. Dalam konteks ini patut mendapat perhatian tersendiri jika
sentuhan kebudayaan setempat perlu dikedepankan sehingga perasaan korban
tidak tersakiti.
Kelima, jurnalis perlu mengungkapkan sisi lain dari peristiwa bencana
atau sisi-sisi lain dari persoalan yang berlangsung di seputar masa pemulihan
(recovery), yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Informasi lanjutan
semacam ini berguna sebagai tindak lanjut dari pemberitaan bencana yang
sudah dilakukan media sekaligus memberikan kelengkapan cerita sehingga
sebuah liputan tidak melulu berbau hard news. Model berita macam ini juga
menjadi sarana informasi bagi publik untuk memberikan kejelasan dalam
bersikap dan bertindak. Model pemberitaan in depth report atau reportase
investigasi menjadi model yang dapat menerjemahkan advokasi terhadap korban
bencana.
Bila berkaca pada lima prinsip dasar peliputan bencana yang disampaikan
oleh Nazaruddin tersebut, tentu wajah pelaporan bencana masih jauh dari kata
ideal. Setidaknya landasan etis dalam melakukan peliputan belum mendapatkan
perhatian serius dari pelaku media. banyaknya kritik terhadap performa media
dalam melakukan liputan bencana menjadi indikasinya.

19
E. Kerangka Konsep

1. Bencana
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jurnalisme merupakan kegiatan yang
berhubungan dengan proses pengumpulan dan penyajian berita dan informasi.
Sebagai sebuah aktivitas yang menyeluruh dalam proses produksi berita,
jurnalisme meliputi kaidah kerja dalam memungut fakta sosial untuk dijadikan
informasi, untuk kemudian disampaikan melalui media massa.25
Sedangkan bencana, secara bahasa seperti yang terdapat dalam
Webster’s New World Dictionary of the American Language didefinisikan sebagai
berikut26 :
“...any happening that causes great harm or damage; serious or sudden
misfortune; calamity. Disaster implies great or sudden misfortune that
results in loss of life, property, etc. or that is ruinous to an undertaking;
calamity suggests a grave misfortune that brings deep distress or sorrow
to an individual or to the people at large”

Pada perkembangannya, bencana tidak hanya dipahami sebagai sebuah


fenomana yang dekat dengan pendekatan kerusakan fisik semata. Seperti yang
disampaikan oleh E.L Quarantelli, yang menyebut bahwa bencana mempunyai
makna yang berbeda-beda, tergantung dari perspektif apa yang digunakan. Dari
berbagai definisi yang dikembangkan oleh beberapa Ilmuwan, Quarantelli
meringkas berbagai definisi tersebut ke dalam 5 perspektif besar. 5 perspektif
tersebut yaitu27 :
1. Peristiwa (events) yang bersifat tidak rutin terjadi dalam masyarakat yang
mengakibatkan disrupsi sosial dan kerusakan fisik. Peristiwa dalam
konteks ini meliputi : panjang waktu dari peringatan dini, besarnya

25
Ashadi Siregar. 1997. Trend Jurnalisme Televisi. Diunduh di www.ashadisiregar.wordpress.com.
Diakses tanggal 13 Februari 2013,
26
Boris N.Porfiriev. 1998. What is Disaster? Perspective on the Question. London : Routledge. Hal.
52 Annette Hill. Op.cit. Hal. 45
27
E.L Quarantelli. 2005. What is a Disaster? A Dozen Perspectives on a Question. London.
Routledge. Hal. 53-54

20
dampak, ruang lingkup dari dampak bencana, dan durasi dari dampak
(Kresp, 1995 : 258)
2. Kondisi destabilisasi dalam sistem sosial yang dapat dilihat dari malfungsi
atau disrupsi sosial hubungan-hubungan dan komunikasi dari unit-unit
sosial yang ada. Destruksi sebagian atau keseluruhan dari peristiwa
membuat diperlukan tindakan darurat dan “extraordinary” untuk
mengembalikannya pada situasi yang stabil. (Porfiriev, 1995 : 291)
3. hilangnya sudut pandang kunci dalam akal sehat, dan kesulitan untuk
memahami realitas melalui kerangka mental yang normal/biasa (Gilbert,
1995 : 238)
4. Peristiwa yang menghasilkan kecemasan dan hilangnya kemampuan
untuk mengendalikan sistem sosial (Horlick-Jones, 1995 : 305)
5. Falsifikasi empiris dari tindakan manusia, sebagai bukti dari kebenaran
sudut pandang manusia dalam fenomena alam dan budaya.
(Dombrowsky, 1995 : 241).
Dari kelima definisi tersebut, setidaknya terdapat benang merah yang
bisa diambil. Pertama, bencana merupakan fenomena yang bersifat tidak rutin.
Kedua, bencana mengakibatkan kerugian yang mengacaukan (destabilisasi)
kehidupan. Ketiga, bencana dapat ditimbulkan dari aktivitas manusia (proses
sosial) atau akibat dari fenomena alam.
Selain dua perspektif di atas, definisi praktis dari bencana juga dapat
diambil dari UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Menurut
UU tersebut, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan dan mengganggu kehidupan dan penghidupan dari masyarakat,
baik yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa nmanusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

21
2. Breaking News dan Reportase Bencana
Dalam situasi bencana, situasi yang tidak menentu dari ancaman terhadap
keselamatan yang potensial terjadi menjadi tantangan tersendiri bagi praktisi
media yang diturunkan ke lokasi bencana. Di satu sisi khalayak membutuhkan
informasi yang serba cepat untuk dijadikan referensi dalam menghadapi situasi
bencana, di sisi yang lain jurnalis dituntut untuk tetap menjaga standar kualitas
dari berita yang disampaikan. Hal ini menjadikan peran seorang jurnalis dalam
melaporkan berita bencana menjadi sangat kompleks dan tidak semudah yang
dibayangkan. Selain harus terjun langsung ke tempat kejadian demi
mendapatkan informasi yang aktual, mereka juga dibayang-bayangi oleh
ancaman bahaya terjadinya bencana yang sewaktu-waktu dapat hadir ditengah-
tengah aktivitas peliputan. Dalam konteks ini, pengetahuan dasar tentang
standar operasional yang harus ditaati oleh seorang jurnalis dalam melakukan
peliputan dan reportase bencana menjadi penting.
Kaitannya dengan peliputan bencana, jenis berita yang sering digunakan
oleh stasiun televisi adalah Breaking News event. Breaking news merupakan jenis
acara dimana stasiun televisi hendak menyampaikan berita terbaru (pada
umumnya menggunakan format live reporting), untuk menginformasikan
kejadian yang dianggap mempunyai urgensi khusus untuk segera disampaikan
kepada khalayak. Dalam menyampaikan berita, tayangan breaking news biasanya
diawali dari penyiar berita yang membacakan inti berita yang akan disampaikan
kepada khalayak. Selanjutnya penyiar berita akan mengarahkan pemirsa ke
reporter yang sedang bertugas di tempat kejadian liputan.
Lantas, seperti apakah fungsi yang bisa dijalankan oleh seorang jurnalis
ketika meliput bencana?, Fajar Junaedi (2013 : 114) membagi 3 peran peliputan
bencana yaitu, melakukan peliputan prabencana, saat terjadinya bencana, dan
pasca bencana. Junaedi menjelaskan, dalam peliputan prabencana, seorang
jurnalis yang turun ke lokasi bencana bertanggung jawab untuk memberikan
informasi terkini yang akurat kepada masyarakat di sekitar lokasi yang berpotensi

22
terdampak bencana. Adapun saat bencana sedang terjadi, jurnalis bertanggung
jawab memberitakan informasi yang valid mengenai lokasi bencana, jumlah
korban, potensi bencana susulan, area yang bisa menjadi jalur dan tempat
evakuasi, sehingga bisa menjadi acuan masyarakat baik yang terdampak
langsung atau tidak langsung atas terjadinya bencana. Terakhir pasca bencana,
jurnalis harus mampu memberikan informasi yang menunjang proses recovery
(pemulihan) bagi korban yang terdampak bencana. 28
Dalam perspektif yang sama, Nazaruddin (Jurnal Komunikasi Vol.1, 2007 :
172) merangkum 3 tahapan normatif yang bisa diperankan jurnalis kala
melakukan pemberitaan bencana. Tahapan-tahapan tersebut dalam perspektif
yang lebih luas dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1. 2 Tahapan Pemberitaan Bencana

Fase Periode Waktu Topik Narasumber


1. Kampanye
sepanjang waktu kewaspadaan terhadap
Warga,
Prabencana saat sebelum bahaya bencana
Aparat, Ahli
terjadi bencana 2. Penguatan Early
Warning System
1. Informasi dasar dan
Pada waktu
akurat tentang jenis dan
Pada saat terjadi bencana
Darurat sumber bencana Ahli, Aparat
bencana hingga satu hari
2. Cara menyelamatkan
setelahnya
diri dari bencana
1-2 pekan pasca 1. Informasi kawasan
bencana bencana
(bencana 2. Cara memperoleh dan Warga,
Pasca berskala kecil- memberikan bantuan Aparat,
Darurat
bencana menengah) dan logistik Relawan,
1-2 bulan 3. Lokasi pengungsian Ahli
(bencana 4. Jumlah korban dan
berskala besar) kerugian

28
Fajar Junaedi. Op.Cit. Hal.114.

23
Fase Periode Waktu Topik Narasumber
1. Informasi kondisi
1-2 pekan pengungsian secara
setelah masa lebih lengkap (penghuni,
darurat (bencana interaksi sosial, dan
Warga,
berskala kecil- bantuan)
Aparat,
Recovery menengah) dan 2. recovery psikologis
Relawan,
1-2 bulan setelah 3. gerakan penemuan
Ahli
masa darurat keluarga
(bencana 4. Pendidikan darurat
berskala besar) 5. Kontrol bantuan
bencana
1-2 pekan 1. Kampanye bangkit
setelah masa 2. Rehabilitasi Sosial dan
recovery Ekonomi
(bencana 3. Pembangunan Warga,
berskala kecil- kembali kerusakan fisik Aparat,
Rehabilitasi
menengah) dan 4. Distribusi bantuan Relawan,
1-2 bulan setelah rumah dan usaha Ahli
masa recovery produktifi
(bencana 5, Kontrol bantuan
berskala besar) Bencana

Pada dasarnya dua perspektif tadi mengandung substansi yang sama, yakni
menekankan akurasi sebagai poin penting yang tidak dapat diabaikan. Dalam
melakukan peliputan dan reportase bencana aspek akurasi menjadi nilai yang
krusial mengingat pengaruh berita bencana kepada masyarakat begitu besar.
Sekali media memberikan informasi yang menyesatkan, dampat yang diberikan
sangatlah fatal. Media dalam hal ini harus menghindari hal-hal yang sifatnya
mengandung unsur rumor yang justru meresahkan masyarakat. Pada titik ini,
media seperti yang disampaikan oleh Michael Marcotte hendaknya memainkan
empat peran penting dalam bencana, yaitu: sebagai pusat informasi,
communication lifeline, sebagai bagian dari sistem peringatan dini (early warning
system), dan forum bagi masyarakat untuk bertukar informasi. 29

29
Deborah Potter & Sherry Ricchiardi. 2009. Disaster and Crisis Coverage. Washington :
International Center for Journalist. Hal. 26.

24
Sebagai communication lifeline, media dapat menyelamatkan banyak
nyawa dengan menggali dan menyiarkan informasi yang didapatkannya kepada
khalayak luas. Sebagai bagian dari sistem peringatan dini, media harus
menyalurkan informasi yang dapat dipercaya secara berkala. Sebagai forum
komunikasi, media mesti memberikan ruang kepada masyarakat untuk
berkumpul bersama, berbagi perhatian, dan mendukung satu sama lain selama
masa bencana.

3. Kontroversi dalam Berita Bencana


Sebagai genre yang terbilang baru dalam ranah jurnalisme, praktik
jurnalisme bencana di Indonesia saat ini masih mencari bentuk idealnya. Selama
fase tersebut, kontroversi dan kritik dari khalayak menjadi dua wajah dominan
yang turut mengiringi pemberitaan bencana. Pangkal permasalahan hal tersebut
tidak lain karena dewasa ini, tidak ada media yang mempunyai standar
operasional yang baku dalam melakukan peliputan dan reportase pada situasi
bencana.30 Ketiadaan standar operasional ini menjadikan interpretasi jurnalis
dalam menghadirkan berita bencana selalu terfragmen pada isu yang dianggap
populer. Pada titik inilah media dianggap gagal untuk menghadirkan informasi
yang utuh mulai dari fase prabencana hingga fase paling akhir, yakni rehabilitasi
bencana. Selain itu, penerapan dramatisasi dan sensasionalisme dalam
pemberitaan menjadi permasalahan lain yang hingga kini belum terselesaikan.
Terkait dengan kritik atas pola media dalam pemberitaan bencana,
Rahayu (2006) dalam tulisan berjudul Refleksi : Fungsi Media di Negara Rawan
Bencana (Polysemia, Edisi 3 Juli 2006) memberikan pandangannya tersendiri.
Menurut Rahayu, media saat ini hanya berfokus pada dua fase pemberitaan,
yakni fase terjadinya bencana dan fase pasca terjadinya bencana. Sedangkan fase
yang tidak kalah krusial, yakni fase pra bencana yang berkaitan dengan tindakan
preventif sebelum bencana (early warning system) sering diabaikan.

30
Fajar Junaedi. Op.Cit Hal. 113.

25
Lebih lanjut menurut Rahayu, media seperti yang disampaikan oleh
Dominick (1987) setidaknya harus menjalankan 3 fungsi pokok yaitu,
memberikan informasi, edukasi, dan hiburan (entertainment) kepada
masyarakat. Kaitannya dalam menjalankan fungsi memberikan informasi, media
memiliki peran untuk mengutarakan fungsi surveillance. Yang dimaksud dengan
fungsi surveillance tidak lain media dalam kehidupan bermasyarakat memiliki
peran untuk menyampaikan adanya potensi ancaman dari bencana. Jika berkaca
pada performa media hingga saat ini, hampir seluruh media massa terbilang
gagal untuk menjalankan fungsi ini. Yang menjadi membingungkan adalah tidak
jarang informasi seputar prediksi terjadinya bencana dan prosedur
penyelamatan diri, justru terjadi kala bencana telah usai melanda.
Kritik lain seputar praktik jurnalisme bencana di Indonesia disampaikan
oleh Nazaruddin (2007: 168-171). Berdasarkan pada perspektif etis, Nazaruddin
menyebut setidaknya terdapat empat kritik yang layak ditujukan kepada media
dalam memberitakan bencana. Keempat poin tersebut bila didedah satu persatu
yakni, pertama, terkait dengan peran ganda yang dijalankan media di kala
bencana. Di satu sisi, media menjalankan praktik jurnalisme dengan
menyebarkan informasi tentang bencana dan di sisi lain media berubah menjadi
lembaga penerima dan penyalur bantuan. Pada situasi tertenntu, menurut
Nazaruddin, media ternyata lebih antusias menjalankan perannya yang kedua.
Hal ini dapat dilihat dari beragamnya program donasi yang dibentuk media
sesaat setelah tsunami Aceh. Sebut saja “Pundi Amal SCTV” “Indonesia
Menangis” (Metro TV), “RCTI Peduli”, dan lainnya. Satu hal yang paling menonjol
adalah media saling berlomba-lomba mengumpulkan donasinya, seolah-olah
media yang paling banyak mengumpulkan donasi menjadi pihak yang paling
berjasa.31
Kritik kedua adalah ambivelansi media di kala bencana, terutama yang
dilakukan oleh media televisi. Di sebuah kesempatan media dapat menghadirkan

31
Nazaruddin Muzayyin. Op.Cit. hal. 168

26
dukacita bencana, namun disaat yang bersamaan media juga dapat
menayangkan sukacita yang sangat kontradiktif dengan suasana duka bencana.
Pada masa tsunami Aceh pada 2004 lalu misalnya, media televisi tetap
menyiarkan gegap gempita perayaan Tahun Baru 2005, padahal media belum
bisa lepas dari suasana dukacita akibat bencana. 32 Hal yang sama kembali terjadi
ketika Gempa 2006 melanda daerah D.I. Yogyakarta dan sekitarnya. Televisi
justru seakan membenturkan dukacita Gempa Yogyakarta dengan menyiarkan
suka cita menyambut siaran Piala Dunia 2006, padahal korban bencana masih
hidup darurat di tenda-tenda pengungsian. Berita keriuhan gegap gempita Piala
Dunia pada kondisi tertentu bahkan telah menenggelamkan berita bencana.
Kritik ketiga terkait dengan ketidak konsistensian dalam hal pemberitaan.
Ada ketidaksinambungan dalam pemberitaan bencana yang dilakukan oleh
media. hal ini mengakibatkan informasi yang sampai ke masyarakat menjadi
terpenggal-penggal, tidak tuntas, tidak mendalam, dan absurd. Media dalam
melaporkan berita ibarat kutu loncat yang melaporkan berita satu kemudian
melaporkan berita lainnya. Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan informasi
yang komprehensif tentang apa yang terjadi setelah bencana melanda. Faktor
utama di balik alasan tidak tuntasnya pemberitaan media tentang bencana
adalah karena munculnya isu lain yang lebih menjual dan dirasa lebih menarik.
Meskipun demikian, kecenderungan media menjadi kutu loncat sebenarnya
bukan hanya menimpa media di Indonesia saja, karena fenomena ini menjadi
kecenderungan jurnalistik bencana secara global.33 Mengenai kecenderungan
seperti ini, Nazaruddin mengutip pernyataan dari Cait McMahon (Direktur
Australia untuk The Dart Centre for Journalism and Trauma) yang bunyinya
sebagai berikut :

32
Ibid. Hal. 171.
33
Ibid. hal.169.

27
“…Setelah dua hingga empat minggu, tergantung dari dimensi apa yang
akan terjadi, iring-iring mulai bergerak. Media menemukan headline-
headline baru. Orang-orang dibiarkan menjalankan kehidupan mereka
sendiri…”

Terkait dengan ketidakmampuan media dalam menghadirkan cerita yang


utuh dan terkesan menjadi kutu loncat dalam dalam memberitakan bencana,
Greg Philo dalam sebuah penelitiannya yang membahas hubungan antara berita
televisi dengan respon audiens dalam, pemberitaan tentang perang, konflik, dan
bencana, Greg Philo (Journalist Studies, 272 : 173-186) mengatakan bahwa
terdapat kecenderungan televisi untuk memberitakan perang, konflik, dan
bencana secara parsial, tidak lengkap, yang berakibat pada minimnya
pemahaman audiens tentang kejadian-kejadian yang diberitakan.
Kritik keempat dan yang terakhir terkait dengan upaya dramatisasi yang
terjadi dalam liputan berita bencana. Dalam setiap liputan bencana, komoditas
utama yang disodorkan media masih berkutat pada air mata, isak tangis, dan
nestapa korban. Kesemuanya ini disodorkan media dengan dalih menumbuhkan
solidaritas pemirsanya. Kecenderungan ini tidak terlepas dari gaya media dalam
memberitakan acara kriminal, di mana media seringkali mengedepankan gambar
korban bencana, mayat, jerit tangis keluarga korban, dan berbagai simbol yang
merepresentasikan kekerasan.34
Contoh paling kentara mengenai hal ini dapat ditemui pada pemberitaaan
Tsunami Aceh yang selama satu bulan lamanya selalu berfokus pada kisah duka
cita korban dan mengabaikan isu-isu penting yang lain. Selain itu, dramatisasi
juga dapat ditemui pada pemberitaan erupsi gunung merapi. Pengambilan jarak
dekat yang menampilkan kengerian yang melebihi realitas sesungguhnya di
lokasi kejadian. Pemberitaan tersebut menjadikan masyarakat di sekitar Gunung
Merapi yang awalnya hidup tenang menjadi ikut panik karena citra berlebih yang
dihadirkan oleh media.

34
Ibid. hal. 170

28
Dari dua perspektif kritik atas media tersebut menunjukkan bahwa media
masih belum mampu menghadirkan informasi yang ideal. Akurasi yang menjadi
prinsip dasar jurnalisme dalam berbagai kesempatan krusial justru dilanggar.
Peran media sebagai pihak yang dapat memberi informasi pada peringatan dini
masih diabaikan. Sedangkan dramatisasi menjadi “rutinitas” media dalam
menghadirkan citra bencana. Mengenai hal ini, rahayu (Polysemia, edisi 3 juli
2006) memberikan pendapat pentingnya media untuk merancang lebih serius
pemberitaan seputar bencana. Bahkan jika diperlukan diberikan space waktu
khusus untuk membahas perihal kualitas pemberitaan seputar berita bencana.
Hal ini diperlukan untuk menghindari kontroversi-kontroversi lain ketika media
menghadapi situasi bencana. Yang demikian tidak lain agar dimasa yang akan
datang, khalayak tidak lagi dirugikan dengan pemberitaan bencana. Media
dengan segala kepentingannya sudah seharusnya menomorsatukan publik
dengan mengindahkan kaidah jurnalisme bencana dalam setiap pemberitaannya.

F. Definisi Operasional

1. Mengukur Performa Media dalam Situasi Bencana


Salah satu langkah awal dalam melakukan penelitian analisis isi adalah
dengan menentukan unit analisis. Krippendorf dalam Eriyanto mendefinisikan
unit analisis sebagai apa yang diobservasi, dicatat dan dianggap sebagai data,
memisahkan menurut batas-batasnya dan mengidentifikasi untuk analisis
35
berikutnya. Unit analisis secara sederhana bisa digambarkan sebagai bagian
apa dari isi yang kita teliti dan kita pakai untuk menyimpulkan isi dari suatu teks.
Bagian dari isi itu bisa berupa kata, kalimat, foto, scene (potongan adegan),
paragraf, dan sebagainya. Bagian-bagian itu harus terpisah dan bisa dibedakan
dengan unit yang lain, dan menjadi dasar kita sebagai peneliti untuk melakukan
pencatatan. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan unit analisis
performa media McQuail yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dalam

35
Ibid. Hal. 60

29
membaca berita bencana. Penjelasan dari masing-masing unit analisis itu adalah
sebagai berikut :

a. Unit Analisis Performa Media


Untuk unit analisis performa media, peneliti akan mengukur substansi
dari kualitas pemberitaan televisi dalam mewartakan berita bencana. Alat ukur
yang digunaka alat ukur yang digunakan yakni menggunakan pendekatan
performa media Denis McQuail. Tidak lain karena McQuail memetakan media ke
dalam tiga spektrum yang luas, yakni level makro, meso, dan mikro. Pemikiran
Denis McQuail yang dituangkan dalam bukunya Media Performances (1992) dan
disarikan oleh Rahayu (2005) diantaranya sebagai berikut :

1. Factualness

factualness dapat dipahami sebagai derajat kefaktualan sebuah berita.


Derajat kefaktualan sebuah berita sangat erat kaitannya dengan korespondensi
anatara berita dengan fakta atau antara teks dengan realitas yang terjadi. Pada
dasarnya, sebuah berita harus berkorespondensi dengan realitas yang ingin
disampaikan oleh jurnalis. semakin tinggi korespondensi antara berita terhadap
realitas maka semakin faktual berita tersebut. Selanjutnya, untuk mengukur
korespondensi antara berita dengan fakta, penelitian ini akan menggunakan
empat indikator utama, yaitu Main Point, nilai informasi, readability, dan
checkability.
Untuk mengukur factualness atau derajat kefaktualan suatu berita,
pertama-tama harus ditentukan terlebih dahulu elemen tekstual dalam suatu
teks yang disebut sebagai fakta. Salah satu caranya adalah dengan membagi
seluruh teks menjadi unit-unit analisis yang masing-masing mengandung sebuah
pernyataan faktual (atau referensi) atau dengan cara menentukan sebuah Main
Point dari sebuah rangkaian “cerita” dalam berita.36 Penelitian ini pada akhirnya

36
Rahayu Op.cit. Hal.12

30
menggunakan cara kedua karena menentukan sebuah Main Point lebih mudah
daripada membagi-bagi teks menjadi unit-unit analisis yang masing-masing
mengandung sebuah pernyataan faktual.
Setelah menentukan Main Point, elemen-elemen teks tersebut harus
dipilah berdasarkan jenisnya, apakah fakta, opini, ataukah campuran antara
37
keduanya. Di sini satu hal yang menjadi penting adalah apakah Main Point
suatu berita berupa fakta yang benar-benar terjadi ataukah hanya berupa opini
wartawan semata? Dalam penelitian ini, Main Point diukur berdasarkan letak
dan jenisnya. Letak Main Point antara lain di awal, di tengah, di akhir, dan di
awal-akhir teks berita. Perbedaan letak Main Point ini dimaksudkan untuk
melihat bagaimana wartawan bekerja dengan berdasarkan prinsip-prinsip
jurnalistik dalam penyajian sebuah berita, yakni dengan menggunakan susunan
piradima terbalik. Oleh karena itu, penilaian positif hanya diberikan kepada
berita yang memiliki Main Point di bagian awal teks berita.
Selain menentukan Main Point dan jenisnya, penting pula dilakukan
pengukuran nilai informasi (information value) sebuah berita. Pengukuran nilai
informasi penting untuk mengetahui derajat informativeness sebuah berita
dengan asumsi informasi dapat mengurangi ketidakpastian. Artinya, semakin
tinggi nilai informasi yang dikandung sebuah berita maka semakin rendah tingkat
ketidakpastiannya. Semakin rendah tingkat ketidakpastian sebuah berita maka
semakin tinggi tingkat factualness berita tersebut. 38
Dalam penelitian ini, nilai informasi sebuah berita diukur berdasarkan tiga
hal yaitu density, breadth, dan depth. Secara sederhana density dapat diartikan
sebagai kepadatan sebuah informasi (McQuail, 1992: 206). Karena poin yang
paling relevan dalam factualness adalah fakta, penelitian ini menggunakan
pengertian density sebagai jumlah fakta relevan yang tersaji dalam teks berita.

37
Ibid. Hal. 13.
38
Ibid.

31
Breadth secara sederhana dapat didefinisikan sebagai keluasan informasi.
Pengertian breadth adalah jumlah poin yang berbeda sebagai proporsi
keseluruhan yang mungkin. Dalam konteks ini, breadth diartikan sebagai
keragaman informasi, yakni jumlah perbedaan informasi atau sumber fakta yang
tersaji dalam teks berita.39 Sedangkan depth dapat diartikan sebagai kedalaman
informasi. Menurut McQuail, Depth adalah jumlah fakta-fakta dan motif-motif
yang menyertai dan membantu menerangkan maksud pokok. Dalam penelitian
ini, depth ditafsirkan sebagai jumlah fakta yang mendukung sebuah statement
utama (Main Point) yang dikemukakan oleh wartawan dalam sebuah teks berita.
40
Pengukuran nilai informasi ini harus mengacu pada poin-poin penting dalam
berita yang telah ditentukan terlebih dahulu (McQuail, 1992 :206). Karena
penentuan poin penting dalam penelitian ini adalah dengan cara menentukan
Main Point sebuah teks berita, pengukuran nilai informasi harus mengacu pada
Main Point tersebut.

Gambar 1. 2 Komponen Aspek Factualness

Sumber : Diadaptasi dari McQuail (1992) dalam Rahayu (2005 : 13)

Selain Main Point dan nilai informasi, factualness dapat dilihat dari
dimensi readability. Secara sederhana readability dapat diartikan sebagai
kekayaan informasi. Pengukuran kekayaan informasi sangat berkebalikan dengan
kebalikannya, yaitu pengukuran redudansi. 41 Dalam aspek readability,
factualness diukur berdasarkan banyaknya redudansi yang muncul, baik berupa

39
Ibid. Hal. 14
40
Ibid. Hal. 14
41
Ibid.

32
pengulangan atau penggunaan istilah khusus dalam teks berita. Dalam penelitian
ini, readability diukur berdasarkan tiga ada atau tidak pengulangan kalimat atau
parafrasa pada setiap newscast berita. Pengulangan berita selain menimbulkan
inefisiensi dalam pemberitaan sehingga memicu penonton untuk mencapai titik
jenuh. Pengulangan berita yang berlebihan justru dapat menimbulkan
kebingungan bagi khalayak.
Terakhir, factualness dapat pula diukur dengan checkability. Checkability
adalah derajat atau tingkatan sejauh mana fakta yang ditampilkan dapat
diperiksa atau didukung oleh sumber yang bernama, dan bukti-bukti pendukung
yang relevan.42 Semakin tinggi proporsi fakta yang dapat diverifikasi maka
semakin faktual berita tersebut.
Checkability dapat diukur berdasarkan dua faktor, pertama ada atau tidak
sumber-sumber rujukan yang jelas. Di sini, sumber rujukan yang jelas maksudnya
adalah wartean harus mencantumkan narasumber yang relevan dalam
menyajikan sebuah berita. Sebuah berita yang tidak didukung oleh sumber fakta
yang jelas akan sangat sulit diverifikasi kebenarannya. Kedua, ada tidaknya
menggunakan sumber anonim. Pemakaian sumber fakta yang anonim akan
menyulitkan proses verifikasi sebuah fakta walaupun dari sisi etika jurnalistik
dalam kasus tertentu, seorang wartawan berhak untuk menyembunyikan
identitas narasumber demi keamanan yang bersangkutan.

2. Accuracy

Akurasi merupakan dimensi yang sangat penting bagi sebuah media,


khususnya berita televisi. Dalam melaksanakan pekerjaannya wartawan harus
memiliki sebuah kehati-hatian yang sangat tinggi mengingat berita berpotensi
memberi dampak yang luas dalam masyarakat. Selain berkaitan dengan potensi
dampak dari berita bagi masyarakat, akurasi dari pemberitaan juga berkorelasi
terhadap reputasi dari media itu sendiri.

42
Ibid. Hal.15

33
Menurut Denis McQuail, terdapat beberapa alasan alasan mengapa
akurasi berita menjadi penting setidaknya berkaitan dengan beberapa hal.
Pertama, akurasi menunjukkan kualitas dari berita. Kedua, akurasi sangat
penting bagi subjek berita di mana reputasi dan kepentingannya dipertaruhkan
oleh pemberitaan. Ketiga, akurasi juga penting bagi surat kabar yang
bersangkutan karena berkaitan dengan kredibilitas media tersebut di mata
khalayak.43 Akurasi diukur dengan menggunakan beberapa dimensi, antara lain
verifikasi terhadap fakta, relevansi sumber berita, dan akurasi penyajian.

Gambar 1. 3 Komponen Aspek Akurasi

Sumber : Diolah dari McQuail (1992) dalam Rahayu (2006 : 16)

Verifikasi terhadap fakta menyangkut sejauh mana berita yang


ditampilkan berkorespondensi dengan fakta yang benar-benar terjadi di
lapangan.44 Dalam penelitian ini, verifikasi terhadap fakta diukur berdasarkan
tiga elemen. Pertama, ada atau tidak ada cek dan ricek yang dilakukan oleh
wartawan yang bersangkutan terhadap berita yang ditulisnya. Cek dan ricek
harus dilakukan oleh wartawan agar berita yang disajikan kepada khalayak.
Kedua, ada tidaknya kelalaian pencantuman sumber berita. Ketiga, ada tidaknya
kesalahan dalam pencatuman kutipan data, tanggal, nama institusi, alamat dan
info lain yang berkaitan dengan data pendukung dalam berita. 45
Kemudian aspek akurasi dinilai dari relevansi sumber berita. Relevansi
sumber berita menyangkut kompetensi sumber berita sebagai sumber fakta.

43
Ibid. Hal. 15
44
Ibid.
45
Ibid. Hal. 16

34
Idealnya, sumber berita adalah orang yang mengalami peristiwa yang
bersangkutan (pelaku), saksi peristiwa atau ahli yang menguasi permasalahan
yang berkaitan dengan peristiwa yang tersaji. 46 Disajikannya sumber berita yang
relevan sangat penting bagi aspek akurasi sebuah pemberitaan sumber berita
yang relevan dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat
mengenai peristiwa yang dialaminya. Selain itu, sumber berita yang relevan
diperlukan untuk melakukan mekanisme cek dan ricek dalam praktik jurnalisme
yang lazim. Dalam penelitian ini, relevansi sumber berita diukur berdasarkan ada
atau tidak ada sumber berita yang relevan dalam mendukung berita.
Disamping meneliti, relevansi sumber berita, penting juga dilakukan
pengklasifikasian sumber berita berdasarkan kategori tertentu. Itu penting
dilakukan untuk melihat jenis sumber berita apa yang sering dikutip oleh
wartawan. Diakui atau tidak, seringkali sumber berita resmi seperti pemerintah
dan kepolisian dianggap lebih berbobot daripada pelaku atau saksi peristiwa
dalam praktik jurnalisme di Indonesia, terutama di era orde baru.
Komponen aspek akurasi yang terakhir adalah akurasi penyajian. Akurasi
penyajian lebih berkaitan dengan hal-hal teknis semacam konsistensi penulisan
berita, misalnya kesesuaian antara judul dengan isi berita yang disampaikan
beserta tingkat kesesuaian gambar atau video yang disajikan. Akurasi penyajian
juga bisa disebut sebagai internal accuracy atau akurasi internal antar komponen
dalam teks berita.47
Dalam penelitian ini, akurasi penyajian diukur berdasarkan tiga
komponen. Pertama, ada atau tidak ada kompetensi penyampaian teknis berita,
baik berupa kesesuaian penyampaian berita dengan visulisasi yang terdapat
dalam berita. Aspek ini merupakan aspek yang penting untuk menghindari
kebingunan pada khalayak. Visualisasi serta narasi yang sesuai akan membuat
khalayak lebih mudah memahami substansi dari berita yang disampaikan. Kedua,

46
Ibid. Hal. 17
47
Ibid.

35
kesesuaian antara judul berita dengan isi. Pada tahapan ini akan diukur apakah
produk jurnalisme dari stasiun televisi mempunyai kesesuain antara lead berita
dengan substansi yang disampaikan. Apakah media yang bersangkutan
mempratikkan aspek sensaionalisme dan cenderung bombastis yang dapat
menyesatkan khalayak. 48

3. Completeness (Kelengkapan)

Completeness dapat dipahami sebagai prakondisi untuk memahami sebuah


berita secara layak, dan biasanya media menjanjikan completeness , dalam arti
informasi yang lengkap mengenai kejadian penting yang terjadi.49 Completeness
memiliki dua aspek internal yakni internal completeness, yakni semua fakta
penting sebuah cerita dan eksternal completeness, yakni semua cerita penting
yang dapat diukur sebagaimana keragaman atau relevance. Selain itu, juga
terdapat dimensi ketiga yang relevan yakni cumulative completeness dalam
sebuah cerita yang panjang. Media massa sering dikritik karena tidak
menyelesaikan cerita dan sebenarnya media juga tidak mempunyai kewajiban
tersebut. McQuail mengatakan bahwa tidak ada standar completeness karena di
satu sisi melakukan pelaporan secara menyeluruh tidak akan memungkinkan dan
tidak diperlukan. Sedangkan pada sisi yang lain, tidak ada informasi mengenai
sebuah aspek atau peristiwa tertentu dianggap sedikit. Oleh karena itu,
penelitian kali ini hanya akan menilai dari sisi internal completeness, yang sudah
memiliki standar baku dalam praktik jurnalistik yakni aspek 5W+1H. 50
Dalam penelitian ini, completeness diukur dengan kelengkapan unsur-
unsur 5W+1H yaitu, what, when, where, who, why, dan how. Aspek
completeness mengukur kesempurnaan laporan dengan mengasumsikan bahwa
sejumlah informasi minimum yang relevan diperkukan untuk mendapatkan

48
Ibid. Hal.18
49
Ibid.
50
Ibid.

36
pemahaman berita. Informasi minimum ini meliputi informasi mengenai kejadian
atau peristiwa apa yang terjadi (what), kapan berlangsungnya (when), di mana
terjadinya (where), siapa sajakah yang terlibat di dalamnya (who, kenapa
peristiwa tersebut terjadi (why), dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi (how).
Kelima unsur ini mempelihatkan prakondisi yang harus dipenuhi dalam
penyampaian berita sehingga berita yang disajikan menjadi lengkap dan penuh
dengan informasi berkenaan dengan fakta yang coba direkonstruksi.

4. Neutrality (Netralitas)
Dalam penyampaian sebuah berita. Dikenal dengan istilah balance. Aspek
balance sering dikaitkan dengan posisi seorang jurnalis yang tidak partisan
terhadap pihak tertentu (non partisan). Selain aspek balance, khasanah
jurnalistik juga mengenal aspek neutrality. Neutrality sering disamakan dengan
ketidakberpihakan. Namun, berbeda dengan aspek balance yang bergubungan
dengan aspek seleksi dan substansi berita, aspek neutrality berkaitan dengan
presentasi berita yang bersangkutan (McQuail, 1992 : 233). Beberapa hal seperti
penempatan, keutamaan relatif, headlining, dan pilihan kata merupakan bagian
dari dimensi neutrality yang berkaitan dengan penyajian sebuah berita. Secara
umum, terlepas dari siapa yang diuntungkan atau dirugikan. 51 Objektivitas
mensyarakatkan pemberitaan yang tenang, dingin, terkendali, dan berhati-hati.
Dengan ukuran tersebut, semua bentuk sensasionalisme, penggunaan kata-kata
yang ambigu, emosionalisme atau “warna” dalam presentasi hanya akan
menjauhkan berita dari unsur neutralitas dan objektivitas dalam pemberitaan.
Dalam penelitian ini, netralitas hanya dilihat dari aspek pemakaian kata-kata
yang dapat menimbulkan sensasionalisme dan emosionalisme.52 Penelitian ini
juga akan melihat aspek visualisasi berita di mana setiap tampilan scene akan
diukur sejauh mana objektivitas dalam pemberitaan itu dibentuk dan apakah
aspek dramatisasi dilakukan dalam pemberitaan. disamping itu, akan juga

51
Ibid. Hal. 24
52
Ibid.

37
disampaikan aspek streotypes, juxtaposition, dan linkages. Pada bab ini,
netralitas akan diukur berdasarkan empat aspek, yaitu sensasionalisme,
stereotypes, juxtaposition, dan linkage.

Gambar 1. 4 Komponen Aspek Netralitas

Sumber : Diolah dari McQuail (1992) dalam Rahayu (2005 : 25)

Sensasionalisme dapat diartikan sebagai sifat suka menimbulkan


sensasi.53 Tujuan sensasionalisme adalah untuk menarik perhatian orang lain.
Walaupun sensasionalisme dibenarkan dalam bidang lain, misalnya pemasaran
atau periklakan yang pada akhirnya ditujuan untuk menarik perhatian konsumen.
Akan tetapi, sensasionalisme tidak dibernarkan jika dipratikkan dalam dunia
jurnalistik yang menekankan objektivitas penyajian. Untuk mengukur
sensasionalisme sebuah berita, McQuail memberikan tiga indikator. Masing-
masing indikator akan diuraikan sebagai berikut.
Pertama, ada atau tidak personalisasi. Personalisasi dapat diartikan
sebagai pandangan yang melihat individu tertentu sebagai aktor utama ata
tunggal yang paling berpengaruh dalam sebuah peristiwa. Dengan kata lain,
personalisasi dapat diartikan sebagai pandangan yang mereduksi peristiwa pada
individu (person). Personalisasi yang dibangung melalui media massa juga bisa
menjurus pada pengkultusan pada individu tertentu (anggapan bahwa seseorang
memiliki kelebihan supranaturalan tertentu). 54
Kedua, sensasionalisme diukur berdasarkan ada atau tidaknya
emosionalisme. Emosionalisme dapat diartikan sebagai penonjolan aspek emosi
(suka, benci, sendih, gembira, marah, dan sebagainya) dibandingkan dengan
53
Ibid. Hal. 25
54
Ibid.

38
aspek logis rasional dalam penyajian sebuah berita. Walaupun penggunaan
sensasionalisme dapat ‘menghidupkan” sebuah berita, aspek netralitas dan
objektivitas dalam pemberitaan menuntut sebuah penyajian yang dingin dan
terkendali. 55
Ketiga, sensasionalisme diukur berdasarkan ada tidaknya aspek
dramatisasi. Dramatisasi dapat dipahami sebagai bentuk penyajian berita yang
bersifat hiperbolik dan melebih-lebihkan sebuah fakta degan maksud
menimbulkan efek dramatis bagi penontonnya.56 Seperti halnya aspek
emosionalisme, aspek dramatis dapat membantu pembaca untuk lebih
“mengalami” secara langsung peristiwa yang disajikan. Akan tetapi, objektivitas
pemberitaan menuntut sebuah penyajian berita yang hati-hati dan mengambil
jarak dengan fakta yang dilaporkan.57
Kemudian stereotype merupakan pemberian atribut tertentu terhadap
individu, kelompok atau bangsa tertentu dalam penyajian sebuah berita.58
Stereotype dapat menjadikan individum kelompok, atau bangsa tertentu dalam
berita sering dipersepsi dan diperlakukan sesuai dengan atribut yang mereka
miliki. Atribut tersebut mungkin memiliki asosiasi yang positif atau negative,
tetapi yang jelas tidak pernah bersifat netral sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya. Pengguna stereotype, baik yang bermakna positif maupun negative
dalam penyajian sebuah berita dapat mengundang tuduhan keberpihakan
wartawan atau media terhadap salah satu kelompok yang ada dalam
masyarakat.
Secara sederhana, juxtaposition dapat diartikan menyandingkan dua hal
yang berbeda. Juxtaposition digunakan oleh wartawan untuk menyandingkan
dua fakta yang berbeda dengan maksud untuk menimbulkan efek kontras yang
pada akhirnya menambahkan efek dramatis berita yang disampaikan. Dengan

55
Ibid.
56
Ibid.
57
Ibid. Hal. 26
58
Ibid.

39
demikian juxtaposition dapat mengubah atau menggeser pemaknaan dua fakta
yang sebenarnya tidak saling berhubungan menjadi sama (berhubungan) secara
kontras.59
Linkages adalah menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud
untuk menimbulkan efek asosiatif. Media sering menghubungkan beberapa hal
baik itu aspek yang berbeda dari suatu peristiwa, cerita yang berbeda dari
halaman atau media yang sama; atau aktor yang berbeda berhubungan dengan
peristiwa yang sama, dsb. 60 Ini bertujuan untuk membangun sebuah kesatuan
atau keragaman atau bisa juga untuk membangun mood tertentu. Wartawan
menggunakan linkages untuk menghubungkan dua fakta yang sebenarnya
berbeda sehingga kedua fakta tersebut dianggap memiliki hubungan sebab
akibat.
b. Menilai bentuk Sensasionalisme dalam Penyediaan Visual
Dalam jurnalisme televis, visual adalah bahasa itu sendiri. Produk
jurnalisme yang berkualitas menggunakan penyedia visual sebagai alat
komunikasi itu sendiri. Dalam konteks prinsip jurnalisme bencana, praktik
sensasionalisme sering ditemui dalam bentuk penyediaan visual. Oleh karena itu,
akan dijelaskan jenis-jenis bentuk penyediaan visual beserta pendefinisiannya
jika dikaitkan dengan praktik sensasionalisme dalam pemberitaan.
Elemen penilaian sensasionalisme dalam aspek visual dibagi dalam dua
bagian, yaitu sudut pengambilan gambar (angle) dan ukuran gambar di layar
(frame cutting points). Pertama, sudut pengambilan gambar atau angle camera.
Secara umum, angle kamera dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu high angle,
straight angle, dan low angle. Straight angle menunjukkan makna netral bahkan
tidak bermakna. Bila dijelaskan satu per satu, beberapa pola pengambilan
gambar dalam jurnalistik televisi beserta maksudnya adalah sebagai berikut 61 :

59
Ibid.
60
Ibid.
61
Askurifai Baksin. 2006. Jurnalistik Televisi : Teori dan Praktik. Bandung. Simbiosa Rekatama
Media.Hal.120

40
1. Bird eye view adalah teknik pengambilan gambar yang dilakukan juru
kamera dengan posisi kamera berada di atas ketinggian objek yang
direkam. Hasil pengambilan gambar ini memperlihatkan lingkungan yang
sangat luas dengan benda-benda lain yang tampak di bawah begitu kecil
dan berserakan tanpa makna. Tujuan pengambilan gambar ini untuk
menunjukkan objek-objek yang lemah dan tak berdaya. Model
pengambilan seperti ini menjadikan penonton seolah measa terlibat dan
seolah-olah melihat kondisi yang sebenarnya.

2. High Angle adalah penempatan kamera lebih tinggi daripada objek, efek
dramatis yang timbul dari kamera di atas adalah berkurang superioritas
subyek sekaligus melemahkan kedudukannya (dilemahkan atau
dikerdilkan).

3. Eye level angle adalah pengambilan gambar yang normal di mana kamera
mengambil gambar subyek dengan ketinggian normal (sejajar mata
dewasa. Biasanya ketinggian kamera adalah setinggi dada orang dewasa.

4. Low angle adalah pengambilan gambar subyek dari bawah yang


menampakkan subyek mempunyai kekuatan dan menonjolkan
kekuasaannya. Efek dramatis yang kemudian ditambilkan adalah dari
dasarmenunjukkan kewibawaan dari objek yang bersangkutan.

5. Frog eye adalah teknik pengambilan gambar yang dilakukan juru kamera
dengan ketinggian kamera sejajar dengan dasar (alas) kedudukan objek
atau dengan ketinggian yang lebih rendah dari dasar/alas kedudukan
objek. Efek dramatis yang ingin disampaikan pada teknik pengambilan
gambar ini adalah menunjukkan objek yang ganji, aneh, “kebesaran”,
sesuatu yang menarik namun diambil dengan variasi tidak biasanya.

41
Elemen kedua dalam melihat sensasionalisme berkaitan dengan
pengambilan ukuran gambar. Lebih lanjut, penjelasan mengenai unit analisis tipe
ukuran gambar tersaji dalam berita dapat diklasifikasikan sebagai berikut 62:
1. Extreme Close Up (ECU), adalah model pengambilan gambar dimana
objek diperlihatkan begitu dekat. Biasanya memperlihatkan mata, hidung,
atau telinganya saja. efek yang ingin dihasilkan dari pengambilan gambar
ini adalah menunjukkan detail dari suatu objek. Dalam aspek
sensasionalisme, peyediaan visual extreme close up sering terjadi pada
penampilan korban ataupun suasana terjadinya bencana. Dalam prinsip
jurnalisme bencana, pengambilan extreme close up sudah selayaknya
dihindari.
2. Big Close Up (BCU) adalah model pengambilan gambar untuk
memperlihatkan keseluruhan wajah dari manusia. Efek yang ingin
dihadirkan adalah menunjukkan ekspresi tertentu dari objek. Identik
dengan extreme close up, dalam aspek sensasionalisme, peyediaan visual
extreme close up sering terjadi pada penampilan korban ataupun suasana
terjadinya bencana.
3. Close Up (CU), adalah menampilkan keseluruhan wajah dari manusia. Efek
yang ingin disampaikan adalah memberikan gambaran yang jelas
mengenai objek. Dalam prinsip jurnalisme bencana, pengambilan gambar
close up sudah selayaknya dihindari.
4. Medium Close Up (MCU), adalah menampilkan batas kepala hingga dada
atas. Efek yang ingin dihadirkan adalah menampilkan profil dari
seseorang.
5. Mid Shot (MS), adalah menampilkan objek hingga memperlihatkan perut
bagian bawah. Efek yang ingin ditimbulkan yakni memperlihatkan
seseorang dengan sosoknya.

62
Ibid. Hal.125

42
6. Full Shot (FS), adalah memperlihatkan objek manusia hingga terlihat batas
kaki. Efek yang ingin dihadirkan adalah memperlihatkan objek dengan
lingkungan sekitar.
7. Long Shot (LS), adalah menampilkan objek dengan latar belakang
tertentu. Efek yang ingin disampaikan yakni memperlihatkan objek
beserta kondisi latar belakang yang ada disekitar. Dalam praktik
jurnalisme bencana, penggunaan ukuran gambar Long Shot adalah jenis
penyedia visual yang paling ideal terutama jika berkaitan dengan
deskripsi bencana ataupun korban.

c. Modifikasi Performa Media Dalam Situasi Bencana


Merujuk pada pemikiran McQuail pada sub bab sebelumnya, maka unit
analisis tersebut jika dirangkum akan menjurus pada tabel sebagai berikut :

Tabel 1. 3 Unit Analisis Performa Media

Dimensi Unit Analisis Sub Dimensi Unit Analisis


Factualness  Letak dan dasar penyusunan main point
 Kepadatan, keragaman, dan kedalaman
informasi
 Readability
 Checakbility
Accuracy  Verifikasi terhadap fakta
 Relevansi sumber berita
 Akurasi Penyajian
Completness  5W+1H
Neutrality  Sensasionalisme
 Stereotype
 Juxtaposition
 Linkage

43
Penelitian kali ini pada hakikatnya ingin mengupas kualitas jurnalisme
bencana secara lebih dalam. Maka penggunaan model media performance
konvensional dirasa tidak cukup karena tidak akan mampu menangkap
fenomena-fenomena yang menjadi ciri khas dalam peliputan jurnalisme
bencana. , Amiruddin Dalam tulisan yang berjudul Media Dalam Liputan
Bencana, mengungkapkan lima prinsip dasar yang mesti diperhatikan jurnalis
saat meliput bencana. Kelima prinsip tersebut adalah akurasi, humanis,
mengedepankan prinsip suara korban, memasukkan perspektif kemanusiaan,
dan mengungkapkan sisi lain selama masa pemulihan (recovery).63
Pertama, akurasi. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak hanya dituntut
untuk melaporkan berita secara cepat namun juga secara akurat. Untuk
memperoleh akurasi, jurnalis perlu berperan layaknya peneliti, dalam arti jurnalis
perlu untuk mengidentifikasi setiap data atau informasi yang diperolehnya (check
and re-check). Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan dapat
dipertangungjawabkan. Untuk mengejar keakurasian berita, narasumber menjadi
salah satu faktor yang menentukan karena narasumber yang kompeten tentunya
menjamin perolehan informasi yang akurat.
Kedua, humanis. Dalam memberitakan bencana, jurnalis harus pula
memperhatikan aspek manusia (human elements). Jurnalisme mesti
mengungkap dua hal dalam pemberitaannya, yaitu tentang manusia yang terlibat
di dalamnya dan konteks yang melingkupinya. Dalam jurnalisme bencana,
pewarta berita harus melindungi korban, kerabat, dan publik yang menjadi
sasaran pemberitaannya.
Ketiga, prinsip suara korban. Dalam liputan trauma pasca bencana media
mestinya mampu mengungkapkan aspirasi para korban. Dalam hal ini, ruang
editorial menjadi sarana media untuk menyuarakan aspirasi sekaligus menjadi
wujud pembelaan media terhadap korban bencana.

63
Amiruddin. 2007. Media Dalam Liputan Bencana. Suara Merdeka, 26 Januari 2007

44
Keempat, jurnalisme bencana selayaknya mampu meletakkan peristiwa
traumatik bencana ke dalam perspektif kemanusiaan yang lebih luas melalui
pemberitaannya. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak sekedar menempatkan
diri sebagai pengumpul fakta yang terkejut sekaligus bangga dengan temuannya
yang dia wartakan dalam setiap beritanya. Sudah semestinya jurnalis memikirkan
teknik pencarian dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai
kemanusiaan. Dalam konteks ini patut mendapat perhatian tersendiri jika
sentuhan kebudayaan setempat perlu dikedepankan sehingga perasaan korban
tidak tersakiti.
Kelima, jurnalis perlu mengungkapkan sisi lain dari peristiwa bencana atau
sisi-sisi lain dari persoalan yang berlangsung di seputar masa pemulihan
(recovery), yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Informasi lanjutan
semacam ini berguna sebagai tindak lanjut dari pemberitaan bencana yang
sudah dilakukan media sekaligus memberikan kelengkapan cerita sehingga
sebuah liputan tidak melulu berbau hard news. Model berita macam ini juga
menjadi sarana informasi bagi publik untuk memberikan kejelasan dalam
bersikap dan bertindak. Model pemberitaan in depth report atau reportase
investigasi menjadi model yang dapat menerjemahkan advokasi terhadap korban
bencana.
Berdasarkan pada pemikiran tersebut, maka dibutuhkan pengombinasian
antara media performance McQuail dengan model prinsip jurnalisme bencana
Nazaruddin Muzayyin. Dari pendekatan tersebut, maka didapati model unit
analisis dalam matriks sebagai berikut :

Tabel 1. 4 Unit Analisis Performa Media Kombinasi Prinsip Jurnalisme Bencana

Dimensi Unit
Sub Dimensi Unit Analisis Detil
Analisis
· Letak dan dasar penyusunan main point Koding Narasi
· Kepadatan, keragaman, dan kedalaman
Faktualitas Koding Narasi
informasi
· Readability Koding Narasi dan

45
Dimensi Unit
Sub Dimensi Unit Analisis Detil
Analisis
Visual
· Checakbility Koding Narasi
· Verifikasi terhadap fakta Koding Narasi
· Relevansi sumber berita Koding Narasi
Akurasi
Koding Narasi dan
· Akurasi Penyajian
Visual
Kelengkapan · 5W+1H Koding Narasi
· Sensasionalisme (Personalisasi Koding Narasi &
Emosionalisme, Dramatisasi) Visual
Netralitas · Stereotype Koding Narasi
· Juxtaposition Koding Narasi
· Linkage Koding Narasi
Sisi Lain Situasi
Pemulihan (recovery) Koding Narasi
Bencana

G. Metode Penelitian

Pada penelitian kali ini, metode yang digunakan adalah metode analisis isi
(content analysist). Isitilah analisis isi pertama kali muncul di Kamus Bahasa
Inggris Webster apada tahun 1961 dan didefinisikan sebagai berikut :
“analysis of the latent content of a body of communicated material material (as a
book or film) through classification, tabulation, and evaluation of its key symbols
and themes in order to ascertain its meaning and probable effect.”64

Dalam buku yang sama, Krippendorff mengembangkan definisi dari konten


analisis sebagai sebuah teknik riset yang digunakan untuk mengambil sebuah
kesimpulan yang valid dan dapat direplikasi dari sebuah teks dengan konteks
penggunaannya. (content analysis is a research technique for making replicable
and valid inferences from text (or other meaningful matter) to the contexts of
their use). Maksud dari replikasi dari sebuah teks tidak lain penelitian dengan
temuan tertentu bisa diulang dengan menghasilkan temuan yang sama pula.

64
Klaus Krippendorf. 2003. Content Analysis : An Introduction to Its Metodology. London. Sage
Publications. Hal. xvii

46
Hasil-hasil dari analisis isi sepanjang menggunakan bahan dan teknik yang sama
menghasilkan temuan yang sama. Temuan yang sama ini berlaku untuk peneliti
yang berbeda, waktu yang berbeda dan konteks yang berbeda. Sedangkan
menurut Herbert J Gans seperti dikutip oleh Rahayu menyebut analisis ini adalah
metode riset yang diaplikasikan untuk menilai pesan dari media. “a content
analyst can observe recurring patterns in the news and can find a structure in its
content”.65
Sejalan dengan Herbert J Gans, Holsti menjelaskan metode analisis isi
merupakan suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi
berbagai karakteristik khusus suatu pesan secara objektif, sistematis, dan
generalis. Objektif berarti menurut aturan atau prosedur yang apabila
dilaksanakan oleh orang lain (peneliti) dapat menghasilkan kesimpulan yang
serupa. Sekalipun dalam penelitian menggunakan peran dari manusia (human),
tetapi tetap dilakukan pembatasan-pembatasan agar subjektifitas tidak muncul.
Sistematis artinya penetapan isi atau kategori dilakukan menurut aturan yang
diterapkan secara konsisten, meliputi penjaminan seleksi dan pengodingan data
agar tidak bias, dan Generalis artinya temuan penelitian memiliki relevansi
teoritis.66 Analisis isi berpretensi untuk melakukan generalisasi. Ini terutama
jikalau analisis isi menggunakan sampel. Hasil dari analisis dimaksudkan untuk
memberikan gambaran populasi. Sementara itu, Deacon et al. (1995: 115)
mendefinisikan metode ini sebagai : research technique for the objective,
systematic, and quantitative description of the manifest content of
communication.
Pada perkembangannya, dalam penelitian analisis isi dikenal metode
analisis isi kualitatif. Kehadiran analisis isi kualitatif tidak terlepas dari kritik yang
melingkupi analisis isi kuantitatif yang tidak mampu melihat konteks atau aspek

65
Rahayu. 2005. Menyingkap Profesionalisme Surat Kabar di Indonesia. Jakarta. Dewan Pers,
PKMBP, & Dept.Kominfo. Hal. 33
66
Ibid.

47
laten yang melingkupi teks media. Padahal pengolahan yang data murni
memanfaatkan kerja computer sangat mungkin mengabaikan aspek laten yang
dapat memberikan informasi penting bagi peneliti. 67 Maka dari itu muncullah
analisis isi kualitatif yang melakukan analisis terhadap konten media laten dan
manifes sekaligus melakukan kuantifikasi frekuensi yang tidak serumit metode
kuantitatif. Artinya analisis isi kualitatif mampu melihat kecenderungan isi teks
sekaligus memberikan telaah terhadap konteks yang melingkupinya. Seperti yang
dijelaskan oleh Bernard Barelson yang mendefinisikan analisis isi sebagai metode
yang obyektif, sistematik, dan mendesripsikan secara kuantitatif konten
komunikasi yang tampak (manifest).”68
Lebih jauh, Berelson menjelaskan karakter analisis isi kualitatif, yaitu

1. Terdiri dari pernyataan-pernyataan kuantitatif yang masih kasar (rough).


2. Lebih melihat ada atau tidaknya unit kategori yang dicari dalam konten
teks ketimbang melihat frekuensi.
3. Sampel yang dibutuhkan lebih sedikit atau lebih sederhana
4. Memiliki perbandingan non-konten yang lebih tinggi untuk melihat
maksud komunikator.
5. Memiliki kategorisasi yang tidak sedetail, seformal, dan sesistematis
analisis isi kuantitatif karena lebih menitikberatkan pada proses
interpretasi. Hal ini berdampak pada lebih rumitnya rancangan riset yang
nantinya akan dirancang peneliti.

Pendapat dari Berelson diperkaya oleh Phillip Mayring yang


mengemukakan beberapa konsep penting yang menjadi landasan penting dalam
penerapan analisis isi kualitiatif. Pertama, material yang dianalisis dipahami
sebagaimana konteks komunikasi yaitu tentang komunikator/transsmiternya,
subjek dan latar belakang sosio-kulturalnya, karakteristik tekstual (yang

67
Klaus Krippendorf. 2003..Op.cit. Hal. 19
68
Bernard Berelson. 1952. Analysis Research. New York: Hafner Press. Hal. 18.

48
melingkupi leksikal, sintaksis, dan konteks nonverbal), komunikan/penerima
pesan, dan siapa target grupnya. Kedua, coding rules dan pertanyaan yang terkait
teori penelitian selanjutnya diturunkan dalam bentuk kategorisasi. Ketiga, walau
berbentuk penelitian kualitatif namun peneliti mesti melakukan uji realibilitas
dan tidak menutup diri dari analisis berbasis kuantitatif.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian pada penelitian kali ini adalah berita Breaking News.
Dalam hal ini, berita yang dimaksud adalah berita Breaking News yang terdapat
dalam dua stasiun televisi berita nasional yaitu Metro TV dan tvOne. Dipilihnya
dua stasiun televisi tersebut bukannya tanpa alasan. Berdasarkan data yang
dipublikasikan oleh AC Nielsen pada periode November 2010, berita bencana
yang hadir di Metro TV dan tvOne merupakan sajian berita yang paling diminati
oleh khalayak.

Tabel 1. 5 Perbandingan Rating Berita Metro TV dan tvOne pada periode Erupsi Merapi

Terlihat dalam tabel di atas, program breaking news menjadi salah satu
berita spesial yang paling banyak ditonton sekaligus efektif menjangkau
penonton berita. Terlihat Breaking News Metro TV mencapai rating 1,5,
sedangkan Breaking News tvOne mencapai angka 2,0. Angka tersebut juga
mendudukkan siaran berita bencana Metro TV dan tvOne melebihi stasiun
televisi yang lain. Maka menjadi relevan jika 2 stasiun televisi tersebut dipilih

49
sebagai sampel, mengingat keduanya juga menjadi representasi dari stasiun
televisi nasional bergenre berita.
Kemudian mengenai pemilihan jumlah objek penelitian, dalam penelitian
analisis isi, dikenal beberapa pilihan. Pilihan tersebut pada umumnya didasarkan
pada tujuan dari penelitian itu sendiri. Eriyanto (2011 : 102) menjelaskan,
setidaknya terdapat 4 alternatif atau konsideran dalam menentukan objek
penelitian. Pertama, medium dan periode waktu memakai populasi. Penelitian
ini memasukan semua medium dan semua periode waktu. Penelitian dengan
menggunakan populasi ini pasti menyertakan isi dengan jumlah yang sangat
besar. Karena itu, penelitian dengan menggunakan populasi ini umumnya
dilakukan untuk kasus yang spesifik.
Kedua, mediumnya memakai populasi, tetapi periode waktunya dibatasi
(memakai sampel). Penelitian semacam ini umumnya dilakukan jika peneliti ingin
mendalami suatu isu tertentu secara mendalam¸dan tidak ingin melihat dinamika
atau trend dari isi. Peneliti mempunyai katerbatasan dalam menjangkau semua
isu atau kasus, sehingga membatasi pada isu atau kasus tertentu saja. Periode
kasus kemudian dibatasi, dengan asumsi kasus tertentu sudah
merepresentasikan gejala yang ingin diamati.
Ketiga, periode waktu diteliti semua (populasi), tetapi mediumnya yang
dibatasi (memakai sampel). Penelitian ini umumnya dilakukan ketika peneliti
meneliti suatu kasus dengan periode yang panjang. Peneliti lebih tertarik untuk
mengetahui dinamika atau perubahan isi sehingga memilih untuk
mengikutsertakan semua periode waktu. Tetapi pada saat bersamaan, peneliti
membatasi mediumnya.
Keempat, baik medium ataupun periode waktu sama-sama memakai
sampel. Penelitian umumnya dilakukan jikalau kita meneliti kasus dalam periode
yang panjang dan peneliti berhadapan dengan medium yang beragam pula.
Peneliti ingin mengetahui trend isi (sehingga harus mengakomodasi periode

50
waktu) dan pada saat bersamaan juga ingin melihat perbedaan isi dari
mediumnya.
Berdasarkan pilihan-pilihan tersebut, maka penelitian ini akan
menggunakan model pemilihan objek penelitian yang keempat, yaitu mengambil
sampel baik untuk medium dan waktunya. Tidak lain karena peneliti dihadapkan
pada pemberitaan tentang Bencana Erupsi Gunung Merapi Yogyakarta yang
beragam dari segi medium dan mempunyai rentang waktu relatif lama dalam
pemberitaannya. Sesuai dengan tujuan awal penelitian, maka sampel waktu akan
difokuskan pada berita pada masa terjadinya bencana erupsi Gunung Merapi
yaitu pada tanggal 27 Oktober-2 November 2010. Dari pemilihan rentang waktu
terjadinya bencana. Maka objek penelitiandapat dilihat pada tabel sebagai
berikut :

Tabel 1. 6 Objek Penelitian Berita Breaking News di Metro TV69

Durasi
Tanggal Judul Berita
(Dalam Menit)
27/10/2010 3:23 Pray For Indonesia : Kampung Mbah Maridjan Hancur

Pray For Indonesia : Kondisi Pengungsian


27/10/2010 7:55
Memprihatinkan

Pray for Indonesia : Penanganan Pasca Letusan dan


27/10/2010 7:07
Informasi Terkini Tentang Korban Erupsi
28/10/2010 9:25 Pray for Indonesia : Terjadi Lagi Letusan Merapi
29/10/2010 5:40 Pray for Indonesia : Letusan Mulai Menurun
30/10/2010 8:02 Merapi Meletus Lagi : Laporan Lalita Ganda Putri
30/10/2010 8:30 Pray for Indonesia : Terjadi Erupsi Pukul 01.00 WIB
30/10/2010 7:38 Merapi Meletus Lagi : Bandara Kembali Dibuka
1/11/2010 13:15 Merapi Meletus Lagi - Gunung Merapi Meletus Lagi

69
Dokumentasi Siaran Televisi, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat.

51
Tabel 1. 7 Objek Penelitian Berita Breaking News di tvOne70

Durasi
Tanggal Tayang Judul Berita
(dalam menit)
Merapi Meletus : Laporan Pramita Andini,
27/10/2010 7:25
Reporter tvOne
Merapi Meletus : Aliran Pengungsi Terus
27/10/2010 2:25
Berlangsung
Pascaletusan Merapi : Evakuasi Jenazah Mbah
27/10/2010 10:20
Maridjan
Merapi Meletus : Jenazah Mbah Mardijan Tiba di
27/10/2010 3:15
RS dr. Sardjito
Merapi Meletus : Laporan Pramita Andini,
28/10/2010 8:30
Reporter tvOne
29/10/2010 8:48 Merapi Meletus : Laporan Balques Manisang
1/11/2010 9:40 Merapi Meletus Lagi : Kronologi Letusan Merapi
Merapi Meletus : Warga Lereng Merapi Bosan di
1/11.2010 2:35
Pengungsian
Merapi Meletus : Laporan Pramita Andini,
2/11/2010 7:34
Reporter tvOne

3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini seperti disinggung di awal akan menggunakan analisis isi


kualitatif. Analisis isi kualitatif sendiri seperti yang disampaikan oleh Phillp
Mayring terbagi ke dalam dua model, yaitu : model deduktif dan induktif. Model
deduktif berangkat dari asumsi terhadap fenomena penelitian yang
dihubungkan dengan teori-teori pendukung. Teori-teori tersebut nantinya
digunakan untuk menentukan unit analisis dan unit kategori dalam penelitian.
Bila digambarkan dalam bentuk alur bagan akan muncul penjelasan sebagai
berikut :

70
Dokumentasi Siaran Televisi, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat.

52
Gambar 1. 5 Alur Bagan Analisis Isi Deduktif71

Sementara itu, untuk model analisis isi induktif berawal dari pemahaman
awal terhadap data dasar terkait dengan fenomena yang akan dikaji. Pada model
ini, peneliti pada awalnya melakukan pengamatan untuk mengetahui gambaran
mengenai objek penelitian. Hasil dari pengamatan ini kemudian menjadi dasar
untuk peneliti dalam menentukan unit analisis dan unit kategori. Model induktif
pada akhirnya memberikan kesempatan pada peneliti untuk melakukan check
dan re-check atau bahkan melakukan perubahan terhadap unit kategori yang
sudah dirumuskan. Bila dijelaskan dalam alur bagan akan muncul sebagai berikut
:

71
Philip Mayring. 2000. Qualitative Content Analysis :Qualitative Social Research. Volume 1. No.2.
Art. Hal. 11

53
72
Gambar 1. 6 Alur Bagan Analisis Isis Induktif

Penelitian ini berangkat dari fenomena yang diamati oleh peneliti.


Maka dari itu penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif melalui
model induktif dengan pendekatan directed qualitative dan summative
content analysis. Directed qualitative pada dasarnya merupakan inti dari model
induktif di mana peneliti akan menjadikan fenomena atau data kasar yang
diperolehnya sebagai dasar untuk menyusun unit kategori dan analisis.
Sebagai langkah awal, peneliti akan menyaksikan beberapa rekaman liputan
yang menjadi objek penelitian. Elemen-elemen yang ada dalam liputan
tersebut kemudian diuraikan dan dipecah untuk menjadi unit analisis.
Coding sheet digunakan untuk melihat performa media televisi dalam
menyajikan berita bencana.
Setelah ditentukan masing-masing unit analisis dan kategorinya, maka
penilain berikutnya berkaitan dengan bobot penentuan tingkat kualitas berita.
Penelitian kali ini pada akhirnya menggunakan skoring skala yang membedakan
72
Ibid. Hal. 12

54
tingkat kategori kualitas dengan selang atau jarak tertentu yang mana jarak antar
kategorinya sama. Secara sederhana, tingkat kualitas dari berita di bedakan
dalam bentuk skala sebagai berikut :
Tabel 1. 8 Skala Pengukur Kualitas Berita

Skala Skoring Kategori


81-100 % Sangat Baik
61-80 % Baik
41-60 % Cukup
21-40 % Buruk
1-20 % Sangat Buruk

4. Pengukuran

Pengukuran (measurement) yang dimaksud dalam analisis ini berkaitan


dengan definisi operasional yang telah ditentukan (Eriyanto, 2011 : 188). 73 Secara
lebih spesifik, pengukuran adalah suatu prosedur kuantifikasi dimana peneliti
memberikan angka (simbol) dari suatu objek dengan menggunakan aturan
tertentu.
Dalam analisis isi, dikenal dua kategori pengukurab. Pengukuran pertama
berupa persentase yang dihitung berdasarkan distribusi frekuensi dan
pengukoran kedua berdasarkan cross tabulation. Pada penelitian kali ini, peneliti
akan memfokuskan pengukuran tabulasi frekuensi dari masing-masing kategori
unit analisis. Hal ini dikarenakan penelitian ditujukan untuk menangkap dinamika
penyampaian berita bencana dan tidak mengukur tren tertentu dari
pemberitaan. Hasil dari tabel frekuensi tersebut, nantinya akan diolah dalam
bentuk analisis kualitatif sehingga akan didapat gambaran detail mengenai
performa berita bencana di televisi.
5. Teknik Pengambilan Data

73
Eriyanto. 2011. Analisis Isi : Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Prenada Media. Hal 118.

55
Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer merujuk pada data yang diperoleh langsung oleh
peneliti dari sumber data. Sementara data sekunder merupakan data yang
diperoleh peneliti dari pihak lainnya, misalnya rekaman video atau sumber
pustaka.
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekaman liputan
program “Breaking News” Metro TV dan tvOne yang didapat dari Perpustakaan
Dokumentasi Siaran Komisi Penyiaran Indonesisa Pusat. (KPI Pusat) tentang
bencana Merapi pada periode 27 Oktober 2010 hingga 2 November 2010

6. Uji Reliabilitas

Salah satu ciri dari analisi ini adalah aspek objektifikas dan Kredibilitas.
Terkait dengan aspek objektifitas dalam analisis isi, Eriyanto menjelaskan bahwa
ada dua aspek penting yang berkaitan dengan objektifitas, yakni validitas dan
reliabilitas. Validitas berkaitan dengan apakah analisisi isi mengukur apa yang
benar-benar ingin diukur. Sementara reliabilitas berkaitan dengan apakah
analisis isi akan menghasilkan temuan yang sama biarpun dilakukan oleh orang
yang berbeda dan waktu yang berbeda.74
Analisis isi disebut reliabel jika menghasilkan temuan yang sama biarpun
dilakukan oleh orang (dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda).
Biarpun latar belakang berbeda, temuan dari analisis isi haruslah sama. Hal ini
karena analisis isi didasatkan pada penelitian yang objektif, dan menghilangkan
bias atau kecenderungan subjektifitas dari peneliti.
Untuk menghindari bias pada pengkodingan dan tetap memiliki
kredibilitas atau validitas, peneliti dibantu oleh dua orang yang bertindak sebagai
pengkoder yang mempunyai minat dengan tema penelitian yang dilakukan oleh
peneliti. Hasil dari pengkodingan yang dilakukan pengkoder kemudian dilakukan

74
Ibid. Hal. 260

56
uji reliabilitas yang dilakukan oleh peneliti. Uji reliabilitas dalam statistik
digunakan untuk mengetahui kesalahan dalam pengukuran.
Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur (kategorisasi) dapat dipercaya atau diandalkan bila dipakai lebih dari
satu kali untuk mengukur gejala yang sama. Rumus yang dipakai dalam penelitian
kali ini menggunakan model yang dikembangkan oleh R.Holsti. Rumus yang
dimaksud yaitu :

2M
CR =
N1+N2

Keterangan :

CR = Coefficient of reliability (koefisiensi reliabilitas)

M = jumlah pernyataan yang disetujui oleh pengkoder

N1, N2 = jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkode dan peneliti

Meskipun belum ada kesepakatan mengenai standar angka reliabilitas yang


mutlak, menurut Harold Laswell angka 70-80 % banyak dipilih sebagai jumlah
persentase atau kesesuain antara pemberi koding untuk menentukan kelayakan
definisi operasional kategori unit analisis.

57

Anda mungkin juga menyukai