net/publication/340579457
CITATIONS READS
0 2,410
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
EFEKTIFITAS PAPARAN SINAR UV DAN ALKOHOL 70% TERHADAP TOTAL BAKTERI PADA UANG KERTAS YANG BEREDAR DI MASA PANDEMI COVID-19 View project
All content following this page was uploaded by Alinea Dwi Elisanti on 11 April 2020.
v
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan kasih sayang-Nya
akhirnya Buku dengan judul “HIV-AIDS, IBU HAMIL dan PENCEGAHAN
PADA JANIN” bisa tersusun. Terima kasih yang tak terhingga penulis
ucapkan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat
Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Penemuan kasus HIV-AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun
ke tahun, demikian juga dengan jumlah Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA)
yang menerima perawatan, dukungan dan pengobatan. Namun capaian
ini masih belum sesuai dengan harapan pemerintah, masih banyak
hambatan bagi orang yang terinfeksi HIV untuk mendapatkan akses
perawatan dan pengobatan, bahkan masih banyak ODHA yang tidak
mengetahui bahwa dirinya terinfeksi virus HIV.
Infeksi HIV pada ibu hamil akan berdampak pada bayi yang di
lahirkan, kondisi ini yang melatarbelakangi tersusunnya buku ini sebagai
luaran hasil penelitian, isi buku memberikan gambaran singkat kepada
masyarakat mengenai konsep HIV-AIDS termasuk definisi, konsep ibu
hamil, penularan HIV-AIDS dan pencegahannya pada janin.
Semoga buku ini bisa menjadi sumber referensi dan bermanfaat
bagi para pembaca khususnya mahasiswa, ibu hamil, dan remaja. Tak ada
gading yang tak retak, tentunya buku ini masih jauh dari sempurna, saran
dan masukan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan
buku ini di edisi selanjutnya.
Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu, mahasiswa saya yang tangguh Kholifatul Jannah atas
bantuannya, suami dan anak-anak saya atas keikhlasannya menerima
berkurangnya family-time dan supportnya selama proses penyusunan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Penulis
vi
PERSEMBAHAN ........................................................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................vii
BAB I
HIV-AIDS.................................................................................................. 1
1.1 Pengertian HIV .......................................................................... 2
A. Apa Itu HIV?....................................................................... 2
B. Struktur Genomik HIV ........................................................ 3
C. Siklus Hidup Virus HIV ........................................................ 5
D. Klasifikasi Virus HIV Berdasarkan Sub Type......................... 6
E. Proses Masuknya (Invasi) HIV Ke Dalam Tubuh
Manusia............................................................................. 8
F. Cara Penularan Virus HIV ................................................... 9
G. Faktor Risiko Penularan ................................................... 11
H. Bagaimana Cara Mengetahui Seseorang
Menderita HIV? ............................................................... 12
I. Kecepatan Perkembangan Infeksi Virus HIV ..................... 15
J. Identifikasi Perkembangan Virus HIV Melalui
Pemeriksaan Laboratorium .............................................. 15
K. Perjalanan Alamiah HIV ................................................... 16
1.2 AIDS ........................................................................................ 20
A. Apa Itu AIDS? ................................................................... 20
B. Stadium HIV-AIDS ............................................................ 20
C. Infeksi Oportunistik (IO) ................................................... 24
1.3 Cara Pencegahan HIV-AIDS...................................................... 26
1.4 Tindakan Yang Dilakukan Setelah Seseorang Terkena
Virus HIV ................................................................................. 27
1.5 Epidemi HIV dan AIDS Di Dunia dan Indonesia ......................... 30
vii
Communicable Disease (penyakit infeksi) dengan angka kematian
tergolong tinggi, HIV-AIDS telah tersebar di seluruh negara di dunia.
Indonesia sebagai negara berkembang menjadi salah satu negara dengan
tingkat penyebaran infeksi HIV-AIDS yang tinggi. Pesatnya penemuan
kasus baru dan peningkatan jumlah Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang
berobat, menjadi indikator berjalannya program pengendalian HIV-AIDS,
namun masih banyak masyarakat yang belum mendapat akses pelayanan
HIV di pelayanan kesehatan dasar bahkan seperti fenomena gunung es,
banyak masyarakat yang benar-benar tidak mengetahui kalau dirinya
terinfeksi HIV.
Ketidaktahuan masyarakat tentang infeksi HIV yang di derita
dipengaruhi beberapa hal terutama oleh pengetahuan yang kurang, hasil
penelitian menyebutkan bahwa 35,6% ibu hamil di Puskesmas Sleman
Yogyakarta mempunyai pengetahuan kurang tentang HIV-AIDS
(Nurmasari, dkk, 2015), dari pengetahuan yang kurang bisa berpengaruh
terhadap stigma terhadap ODHA, hasil penelitian yang dilakukan di 4
sekolah di Surakarta, menunjukkan bahwa stigma 3,37 kali lebih kuat di
kalangan siswa dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS yang terbatas
dibandingkan dengan mereka yang memiliki pengetahuan yang baik
(Sosodoro, dkk, 2009).
Fakta tersebut tentunya bisa dijadikan dasar perlunya
keberlanjutan penyebaran informasi tentang HIV-AIDS di segala golongan
dan umur. HIV/AIDS belum ada obatnya dan belum ada vaksin yang bisa
mencegahnya, penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sangat
berbahaya. Pemerintah Indonesia dan seluruh Negara di dunia saat ini
telah menggunakan obat untuk meningkatkan umur harapan hidup ODHA
namun tidak mampu untuk menyembuhkannya, yang tentunya menjadi
beban Negara.
Pemahaman tentang HIV dan AIDS pada seluruh lapisan masyarakat
bisa menjadi langkah utama, sebagai bentuk tindakan preventif
(pencegahan) penularan virus HIV. Berikut ini ulasan tentang pengertian
1
HIV-AIDS, faktor risiko, penularan dan cara pencegahan pada masyarakat
secara umum.
2
Virus HIV hanya menyerang satu jenis sel yang ada di dalam tubuh
manusia yaitu set T helper / T-limfosit/ T-sel/ CD4. Sel CD4/ T-Helper
merupakan panglima tertinggi sistem pertahanan tubuh manusia yang
akan memberi perintah kepada sel-sel pertahanan tubuh yang lain. Jika
sel ini diserang dan dilumpuhkan terlebih dahulu oleh virus HIV, maka
imunitas tubuh manusia akan kacau dan sangat rawan di infeksi oleh
virus-virus yang lain.
3
Gambar 1.3 Gambaran Glikoprotein, CD4 dan Struktur Virus HIV
4
C. Siklus Hidup Virus HIV
5
5. Ekspresi gen-gen virus
6. Pembentukan partikel-partikel virus pada membrane plasma
dengan bantuan enzim protease
7. Virus-virus yang infeksius di lepas dari sel, yang disebut virion.
6
Mediterania.
Bentuk rekombinan seperti itu dapat terbentuk ketika dua virus
HIV-1 dari subtipe yang berbeda menginfeksi sel yang sama,
memungkinkan genom mereka bercampur selama replikasi untuk
menciptakan virus hibrida baru (kadang-kadang disebut sebagai 'seks
viral'). Banyak virus hibrida seperti itu tidak bertahan lama, tetapi jika
mereka berhasil menginfeksi lebih dari satu orang, mereka disebut CRFs,
misalnya CRF01_AE adalah campuran subtipe A dan E. Rangkuman Sub
Type HIV-1 dan CRFs seperti pada 1.1 dan 1.2.
Tabel 1.1 Distribusi Grup HIV-1 Sub Type M berdasar Geografi
7
Tabel 1.2 Distribusi HIV-1 Grup M CRFs berdasar Geografi
8
CCR5 pada permukaan sel T-helper.
GP21 memiliki kecocokan dengan CCR5 yang membukakan jalan
supaya membrane (permukaan) luar dari virus HIV bergabung dengan
membran sel T-Helper. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya
menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya
sehingga tidak dapat digunakan lagi. Jika virus HIV membunuh sel CD4
sampai terdapat kurang dari 200 sel permikro liter darah, maka kekebalan
seluler akan hilang, sehingga akan membuat sulit bagi sistem kekebalan
tubuh untuk melawan infeksi. Jika sistem kekebalan tubuh manusia rusak,
maka tidak akan mampu bertahan dari gangguan penyakit yang amat
ringan sekalipun.
Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur
hidup. Kebanyakan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tetap asimtomatik
(tanpa tanda dan gejala sakit) untuk jangka waktu panjang dan tidak
diketahui terinfeksi. Meski demikian, telah dapat menulari orang lain.
Human Immunodeficiency Virus (HIV), termasuk dalam family
Retroviridae, merupakan virus yang menyebabkan AIDS yang merupakan
stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang
dikenal sebagai spektrum infeksi HIV.
9
(IMS).
Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan, atau laki-laki dengan
laki-laki. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yang tidak terlindungi. Tingkatan risiko juga tergantung pada
jumlah virus yang keluar dan masuk ke dalam tubuh
seseorang.
Di Asia dan Indonesia penularan yang paling dominan
adalah melalui heteroseksual dan penggunaan napza suntik
(Kemenkes RI, 2011).
2. Transfusi darah yang mengandung virus HIV-AIDS (darah
penderita HIV-AIDS).
Penularan darah terjadi jika darah donor tidak dilakukan
uji saring untuk antibodi HIV.
3. Memakai alat suntik, akupuntur, tato, tindik, silet potong
rambut yang sudah di pakai orang yang terinfeksi HIV-AIDS
(tanpa proses sterilisasi alat).
4. Penularan dari Ibu ke anak (hubungan prenatal) yaitu
pemindahan virus dari ibu hamil yang mengidap virus HIV-AIDS
kepada janin yang di kandung (selama kehamilan, persalinan
dan menyusui). Risiko penularan tanpa intervensi, sangat
bervariasi, umumnya diperkirakan antara 25-40% di Negara
berkembang seperti Indonesia.
5. Melalui air susu ibu (ASI) ibu menyusui yang menderita HIV
untuk diberikan kepada bayi. (tanpa mendapatkan
penanganan profilaksis).
Cara penularan yang lebih jarang yaitu tato, transplantasi organ
dan jaringan, inseminasi buatan, tindakan medis semi invasif. Masyarakat
tidak perlu mengucilkan atau menjauhi penderita HIV-AIDS, sebaiknya
selalu di dukung dan tidak perlu takut karena HIV-AIDS tidak akan di
tularkan melalui:
1. Hubungan sosial, kontak non-seksual (ciuman, pemakaian alat
makan bersama, bersentuhan, penggunaan kamar mandi
umum, berjabat tangan.
2. Gigitan nyamuk dan serangga lain
10
3. Berenang bersama-sama di kolam renang.
11
pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan
petugas pelayanan kesehatan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Prevalensi HIV
Peningkatan jumlah penderita HIV di Indonesia sebenarnya
berakar dari faktor perilaku. Namun pada perkembangan
selanjutnya, terdapat aspek lain yang ikut berkontribusi seperti
minimnya pengetahuan masyarakat tentang infeksi tersebut,
dari pengetahuan yang rendah berdampak pada perilaku
pencegahan yang kurang, pengobatan yang terabaikan dan
pencegahan terhadap penyakit infeksi lain. Faktor perilaku
yang mengalami kecenderungan terhadap peningkatan HIV
yaitu maraknya praktik LGBT di hampir seluruh daerah di
Indonesia dan Dunia meliputi: peningkatan hubungan seksual
antara laki-laki dengan laki-laki (LSL), peningkatan jumlah
penderita pada populasi umum (perempuan risiko rendah)
yang terdiri dari perempuan yang terinfeksi melalui hubungan
seksual dari suami/ pasangan yang terinfeksi, wanita yang
telah terlibat dalam perilaku berisiko pada tahun sebelumnya
(masa silam), populasi umum (laki-laki dan perempuan) yang
sebenarnya telah terinfeksi HIV dan baru terdeteksi saat ini
atau di kemudian hari, peningkatan jumlah prevalensi HIV
pada laki-laki yang merupakan pelanggan pekerja seks maupun
laki-laki populasi umum (resiko rendah) yang terinfeksi melalui
hubungan seksual dengan istri/ pasangannya, tingkat
perceraian yang cenderung meningkat yang memberikan celah
terjadinya infeksi HIV dari suami atau istri baru atau mantan
suami/ istri.
12
Tes Untuk Diagnosis Infeksi Virus HIV/AIDS
Diagnosis infeksi HIV biasanya dilakukan secara tidak langsung,
yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan
virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek perlindungan.
Pemeriksaan secara langsung juga dapat dilakukan, yaitu antara lain
dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus.
Depkes RI menentukan tes diagnostik infeksi HIV berdasarkan
penemuan antibodi dalam darah orang yang terinfeksi HIV. Pemeriksaan
adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan ketiga cara yaitu:
1. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA).
2. Western Blot Assay
3. Rapid Test
Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan
dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis
pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA.
ELISA: merupakan tes pada serum yaitu antibodi HIV di deteksi
menggunakan teknik penangkapan berlapis.
Dasar pemeriksaan adalah jika teridentifikasi antibodi dalam serum,
maka akan terperangkap dalam lapisan antara antigen HIV yang melekat
dalam test well dan enzymes yang di tambahkan ke dalam tes well.
Kemudian dilakukan pencucian untuk melepaskan enzim yang tidak
berikat. Reagen pewarna di tambahkan, setiap enzim yang berikat akan di
katalisasi sehingga terjadi perubahan warna pada well. Beberapa ELISA
terbaru mampu mendeteksi antibodi HIV dan antigen HIV.
Rapid Test: beberapa macam rapid test tersedia dan
penggunaannya didasarkan pada bermacam teknik termasuk aglutinasi
partikel, lateral flow membrane, melalui aliran membrane, dan system
assay comb atau dipstick.
Rapid test saat ini lebih banyak digunakan di layanan kesehatan
yang hanya memproses beberapa sampel darah setiap hari, tes ini lebih
cepat dan tidak memerlukan waktu khusus. Istilah rapid test
menunjukkan bahwa tes dilakukan dengan cepat, hanya memerlukan
waktu 10 menit. Proses dot-blot immunoassay (aglutinasi) tidak
membutuhkan alat atau pelatihan khusus dan memerlukan waktu antara
10-20 menit. Sebagian besar rapid test mempunyai sensitivitas dan
13
spesifisitas diatas 99% dan 98% sesuai dengan rekomendasi dari WHO.
Rapid test memiliki keuntungan utama yaitu: memberikan hasil
pada hari yang sama sehingga mengurangi angka drop out untuk
mengetahui sero status HIV klien. Selain itu klien lebih mudah menerima
hasil dari konselor yang sama sehingga pre tes dan paska tes dilakukan
oleh orang yang sama.
Western Blot: Deteksi antibodi HIV dalam tes serum melalui cara
bereaksi dengan berbagai protein virus. Protein virus dipisahkan dalam
gel elektroforesis berdasarkan berat molekulnya, kemudian dipindahkan/
diteteskan kedalam kertas nitroselulose, lalu diinkubasikan dengan serum
pasien. Antibodi HIV spesifik untuk protein mengikat kertas nitroselulose
secara tepat pada titik target migrasi protein. Ikatan antibodi di deteksi
dengan teknik colouriometric.
UNAIDS dan WHO merekomendasikan tiga strategi pemeriksaan
untuk memaksimalkan ketepatan dan efisiensi biaya.
1. Strategi 1: dilakukan pemeriksaan pada semua darah dengan
tes ELISA satu kali atau rapid antibody assay. Strategi ini
digunakan pada layanan: keamanan transfuse/transplantasi
dan surveilan.
2. Strategi 2: semua darah yang diperiksa pertama kali harus
menggunakan satu tes ELISA atau rapid test. Semua serum
yang ditemukan reaktif, harus di tes ke dua kalinya
menggunakan assay yang berbeda dengan tes pertama. Jika
hasil ke dua tes tersebut serumnya reaktif maka terinfeksi HIV,
jika serum non reaktif maka tidak terinfeksi, jika hasilnya
discordant (tes pertama reaktif, tes kedua non-reaktif atau
sebaliknya, maka harus dilakukan tes ulang menggunakan
assay yang sama. Jika hasilnya berbeda maka serum
dinyatakan indeterminate. Strategi ke 2 ini digunakan untuk
menegakkan diagnosis klinis HIV atau program surveillance
pada populasi dengan prevalensi rendah.
3. Strategi 3: pemeriksaan dilakukan pada semua sampel darah
positif (reaktif), sehingga semua serum concordant positif dan
semua serum discordant diperiksa ulang menggunakan assay
ke tiga. Semua sampel dengan hasil indeterminate pada tes
ketiga dinyatakan indeterminate.
14
Setelah mendapat infeksi HIV, biasanya antibodi baru terdeteksi
setelah 3 – 12 minggu, dan masa sebelum terdeteksinya antibodi tersebut
dikenal sebagai “periode jendela”.
Tes penyaring (antibodi) yang digunakan saat ini di Indonesia baru
dapat mengenal infeksi HIV 6 minggu setelah infeksi primer (pada 80%
kasus) dan setelah 12 minggu (hampir 100% kasus). Sehingga untuk
mendiagnosis HIV pada periode jendela dapat dilakukan dengan
pemeriksaan antigen p24 maupun Polymerase Chain Reaction (PCR).
15
infeksi.
2. Viral Load Plasma
Kecepatan peningkatan Viral load (muatan virus dalam plasma)
dapat dipakai untuk memperkirakan perkembangan infeksi
HIV. Viral load meningkat secara bertahap dari waktu ke
waktu. Pada 3 tahun pertama setelah terjadi gejala simtomatis
atau serokonversi, viral load berkembang ke arah AIDS.
Setelah masa tersebut, perubahan viral load dapat dideteksi,
baik akselerasinya maupun jumlah absolutnya, baru keduanya
dapat dipakai sebagai pertanda progresivitas penyakit. Pada
stadium 1 (asimtomatis/tanpa gejala) biasanya viral load
rendah (<1500).
16
Keterangan gambar:
TB : Tuberculosis
OHL : Oral Hairy Cell Leukoplakia
OC : Oral Candidiasis
PPE : Papular Pruritic Eruption
PCP : Pneumocystis Carinii Pneumonia
CM : Cryptococcal Meningitis
CMV : Cytomegalovirus Renitis
MAC : Mycobacterium Avium Infection
17
terinfeksi (terutama sel T CD4 dan Makrofag). Replikasi diri
virus dilakukan dalam kelenjar limfe regional orang yang
terinfeksi.
Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah virus
secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/
µl. Tahap ini disertai dengan penyebaran HIV ke organ limfoid,
saluran cerna dan saluran genital.
2. Sindrom Retroviral Akut (Kurang Lebih 2-3 Minggu)
Tahap ini disertai dengan penyebaran HIV ke organ
limfoid, saluran cerna dan saluran genital. Setelah mencapai
puncak penyebaran virus, jumlah virus dalam plasma atau viral
load menurun bersamaan dengan berkembangnya respons
imunitas seluler. HIV mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
dengan menghasilkan antibodi khas untuk HIV. Waktu antara
masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi membutuhkan
waktu 2-12 minggu. Terbentuknya antibodi ini dapat dideteksi
melalui pemeriksaan laboratorium. Masa ini dikenal dengan
window periode/ masa jendela.
Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah
menularkan kepada orang lain, pada masa ini hasil
pemeriksaan laboratorium masih negatif, hal ini yang sangat
berbahaya, seharusnya menjadi perhatian dan menjadi fokus
pencegahan penularan. Hampir 30-50% orang mengalami
masa infeksi akut pada periode jendela ini dengan tanda dan
gejala demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat
malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk, kondisi ini dialami
antara 2-3 minggu.
3. Reaksi Serokonversi (Dalam 2-4 Minggu)
Setelah gejala infeksi akut pada periode sindrom
retroviral akut menghilang atau istilahnya “recovery”. Maka
akan terjadi reaksi serokonversi. Reaksi serokonversi di artikan
sebagai suatu reaksi perubahan tes antibodi HIV yang semula
negatif menjadi positif. Reaksi ini terjadi dalam 2-4 minggu.
18
4. Infeksi Kronis Asimtomatis/ Dini (Rata-Rata Berjalan Selama
8 Tahun)
Dengan menurunnya penyakit primer pada reaksi
serokonversi, kebanyakan pasien mengalami masa
asimtomatis (tanpa gejala) yang lama, namun selama masa
tersebut replikasi HIV terus berlanjut, dan terjadi kerusakan
sistem imun. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap hidup
tanpa keluhan dan gejala untuk jangka waktu cukup lama
bahkan sampai 10 tahun atau lebih.
Orang tersebut sangat mudah menularkan infeksi kepada
orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan
laboratorium serum antibodi HIV. Pada jangka waktu tertentu,
dan setiap orang akan berbeda, virus akan tetap
memperbanyak diri secara cepat (replikasi) yang diikuti
dengan perusakan limfosit CD4 dan sel kekebalan lainnya
sehingga terjadilah sindroma kekurangan daya kekebalan
tubuh yang progresif (Progressive Immunodeficiency
Syndrome).
5. Infeksi Simptomatis/ Antara
Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala
konstitusional lebih sering terjadi pada tahap ini. Meskipun
dalam perjalanannya jarang berat atau serius, komplikasi ini
dapat menyulitkan pasien. Penyakit kulit seperti herpes zoster,
folikulitis bakterial, folikulitis eosinofilik, moluskum
kontagiosum, dermatitis seboroik, psoriasis dan ruam yang
tidak diketahui sebabnya, sering dan mungkin resisten
terhadap pengobatan standar.
Kutil sering muncul baik pada kulit maupun pada daerah
anogenital dan mungkin resisten/ kebal terhadap terapi.
Sariawan sering juga muncul pada stadium ini. Seperti juga
halnya kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema
ginggivalis (gusi) linier. Gingivitis ulseratif nekrotik akut,
merupakan komplikasi oral yang sulit diobati. Gejala
konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam,
berkurangnya berat badan, kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi
dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan dapat
19
menjadi masalah. Sinusitis bakterial merupakan manifestasi
yang sering terjadi. Nefropati (kelainan ginjal) dapat juga
terjadi pada stadium ini.
6. Infeksi HIV Simtomatis Lanjut (Aids) (Rata-Rata Berjalan 1.3
Tahun)
Penyakit stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang
berhubungan dengan penurunan imunitas yang serius.
Perkembangan virus HIV menjadi AIDS tergantung pada
beberapa faktor, salah satunya usia. Usia < 5 tahun atau diatas
40 tahun menjadi sangat cepat perkembangannya, faktor
infeksi lain, faktor genetik (herediter), keganasan dll. Keadaan
tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.
1.2 AIDS
A. Apa Itu AIDS?
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan stadium
akhir abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum
infeksi HIV. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi ditularkan dari
satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya tangkal tubuh
terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan
“Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit.
AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Penyakit yang membuat
orang tidak berdaya dan menyebabkan kematian. Penderita HIV-AIDS
yang tidak mendapat terapi, terutama pada daerah yang layanan ART
hampir tidak ada, akan meninggal dalam beberapa tahun setelah tanda
pertama AIDS muncul.
B. Stadium HIV-AIDS
Tahapan Klinis Infeksi HIV Pada Dewasa dan Remaja > 13 tahun
menurut WHO (1989) diklasifikasikan menjadi 4 tahap klinis. Tahapan ini
merupakan modifikasi dari Eastern Cooperative Oncology Group Score
dengan menambahkan tanda dan gejala penyakit, aktivitas fisik dalam
setiap tahap. Pasien diklasifikasikan sesuai dengan kondisi klinis atau skor
kinerja.
Tahapan ini merupakan sebuah sistem hierarki, sekali kondisi
pasien di tempatkan pada tahap tertentu, maka tidak dapat menurun ke
20
tahap yang lebih rendah, hanya dapat meningkat ke tahap diatasnya.
Stadium klinis pada orang dewasa dan Remaja > 13 tahun menurut
WHO (1989), serta klasifikasi klinis dan CDA dari CDC adalah sebagai
berikut:
1. Stadium klinis I
a. Asimtomatis (tanpa gejala)
b. Limfadenopati generalisata persistent
c. Skala Penampilan: aktivitas normal
2. Stadium Klinis II
a. Penurunan berat badan yang sedang, tanpa penyebab
yang jelas (< 10% dari perkiraan berat badan atau berat
badan sebelumnya)
b. Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborhoic,
prurigo, infeksi jamur pada kuku)
c. Infeksi oral berulang-ulang (ulkus mulut yang berulang,
keilitis angularis)
d. Herpez zoster, dalam 5 tahun terakhir
e. Infeksi saluran pernapasan berulang (misal: sinusitis,
tonsillitis, otitis media, faringitis)
f. Ruam kulit pada lengan dan tungkai yang gatal (Papular
Pruritic Eruptions)
g. Skala Penampilan: simtomatis dan aktivitas normal
3. Stadium Klinis III
a. Penurunan berat badan yang banyak, tanpa sebab yang
jelas (> 10% dari berat badan sebelumnya).
b. Diare kronis dengan penyebab tidak jelas, > 1 bulan
c. Demam (suhu > 380C) yang tidak diketahui penyebabnya
(hilang timbul/ menetap) selama > 1 bulan
d. Kandidiasis pada mulut (Trust)
e. Oral hairy leukoplakia pada lidah
f. Tuberkulosis paru, dalam satu tahun terakhir
g. Infeksi bakteril berat (misal: pneumonia, empiema,
meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
bakteraemia)
h. Stomatitis, gingivitis (radang gusi) atau periodontitis
nekrotikan ulseratif akut.
21
i. Anemia (< 8 g/dl), netropeni (< 500 µl) dan atau
trombositopenia kronis (< 50.000 µl) yang tidak diketahui
penyebabnya dan berulang.
j. Skala Penampilan: berada di tempat tidur < 50% dalam
sehari selama 1 bulan terakhir.
4. Stadium Klinis IV
a. Sindroma wasting HIV (sindrom penurunan berat badan
progresif > 10 % BB (15 pound/ setara dengan 6.8 kg),
berkurangnya masa otot disertai di area dan demam
selama 30 hari).
b. Pneumonia pnemosistis (jiroveci), yaitu jamur yang
ditemukan di beberapa tempat, biasanya ditemukan pada
ODHA dengan hitung CD4 dibawah 200 sel/mm 3, dengan
gejala demam, sesak nafas, batuk kering, keringat malam
dan kelelahan.
c. Pneumonia bacteri berat berulang
d. Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat, otak, abses pada
otak. Toxoplasmosis yang terjadi pada ODHA biasanya
mempunyai gejala sebagai berikut: sakit kepala menetap,
sikap bosan, disorientasi (linglung), perubahan pada
penglihatan dan kejang.
e. Meningitis kriptokokus
f. Encefalopati HIV, Nefropati/ kardiomiopati simtomatik
terkait HIV
g. Cryptosporidiosis dengan diare > 1 bulan yang di tandai
dengan diare cair yang menetap, mual, muntah, nyeri
perut, keram, kehilangan selera makan, berat badan
menurun.
h. Cryptococcosis extrapulmonary, termasuk meningitis
yaitu tumbuhnya jamur pada beberapa organ, seperti
paru-paru, hati, sistem saraf pusat. Gejala pada
cryptokokokis pada paru yaitu: batuk, demam, rasa tidak
enak dan sesak nafas.
i. Isosporiasis kronis
j. Mikosis profunda (histoplasmosis, koksidiodomikosis)
22
k. Septisemia yang berulang (termasuk Salmonella yang
tidak menyebabkan tifus)
l. Tuberkulosis Extraparu
m. Renitis Citomegalovirus, citomegalovirus (CMV) bisa
menular melalui kontak sex, ludah, urin dan cairan tubuh
lain. CMV juga bisa ditularkan dari ibu ke bayi selama
kehamilan dan menyusui. Beberapa ODHA yang terinfeksi
virus ini, bisa tanpa gejala. ODHA dengan CD4 yang
rendah infeksi akan menjadi sangat serius dengan gejala:
bintik buta pada mata, kehilangan penglihatan perifer,
mengantuk, bisul pada mulut, nyeri perut, berak darah,
demam, tidak nafsu makan, kehilangan berat badan,
sesak nafas, nyeri punggung bawah, kebingungan, apatis,
menarik diri dan perubahan kepribadian.
n. Cytomegalovirus (renitis atau infeksi pada organ lain,
tidak termasuk hati, limpa dan limfe (kelenjar getah
bening).
o. Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau
anorektal selama > 1 bulan atau visceral manapun).
Herpes simplex ulseratif atau muscutaneus ulseratif > 1
bulan, herpes simplex bisa menyerang orang biasa yang
tidak terinfeksi HIV, namun lebih sering terjadi pada
ODHA, dengan gejala luka yang menyakitkan pada mulut
(‘fever blisters”), genetalia, atau anus. Herpes genital
ditularkan melalui hubungan seks, herpes pada mulut
ditularkan melalui ciuman dan bisa menyebar ke alat
genital melalui oral seks,
p. Progressive multifocal leukoencephalopati (PML) yang di
tandai dengan kesulitan berbicara, kesulitan berjalan,
lemas pada tangan dan kaki, perubahan kepribadian,
kejang, perubahan pada penglihatan, sakit kepala dan
tangan gemetar.
q. Candidiasis Esofagal (atau kandidiasis pada trakea,
bronkus dan paru-paru.
r. Infeksi Mycobacterium non-tuberculosis yang menyebar.
s. Non typoid salmonella extra pulmonary tuberculosis
23
t. Lymphoma, yaitu kanker yang berasal dari sel pada sistem
imun. Kanker bisa berkembang di bagian yang berbeda
dari tubuh. Seperti sistem saraf pusat, liver, sumsum
tulang, saluran pencernaan.
u. Sarkoma Kaposi, merupakan kanker yang sering
ditemukan pada ODHA, disebabkan oleh virus herpes 8
(HHV-8). Virus bisa berkembang melalui ciuman, sex
tanpa pengaman, penggunaan jarum bersama, dari ibu ke
bayi. Tanda-tandanya meliputi: bercak berwarna coklat,
keunguan atau pink pada kulit, biasanya pada tangan dan
kaki, leher atau kepala dan kadang pada mulut. Sarkoma
kaposi juga dapat menyerang paru-paru dan saluran
intestinal dan menyebabkan pembengkakan pada kaki.
Terkadang terdapat nyeri pada gigi atau lepasnya gigi,
kehilangan berat badan, berkeringat malam, atau demam
selama 2 minggu.
v. Kanker servix invasive
w. Leishmaniasis atipikal diseminata
x. Skala Penampilan: berada di tempat tidur > 50% dalam
sehari selama 1 bulan.
24
Jumlah Sel CD4 dan Infeksi Oportunistik
Timbulnya IO berkaitan dengan status imun pasien, semakin
rendah CD4 seseorang semakin besar kemungkinan seseorang
mendapatkan IO. Penanganan IO pada stadium klinis lanjut lebih sulit
ditangani dan perlu rawat inap yang membutuhkan biaya mahal.
Secara umum, infeksi opoertunistik yang perlu di waspadai dan
biasanya terjadi berdasarkan jumlah sel CD4 bisa dijelaskan pada tabel 1.3
berikut:
Tabel 1.3 Infeksi Oportunistik dan Gejala Berdasar Jumlah Sel CD4
Jumlah
Infeksi Oportunistik Keterangan
Sel CD4
> 500 Tidak muncul infeksi yang
tidak biasa terjadi
200-500 Herpes zoster, sariawan, Ada peningkatan risiko untuk kondisi
infeksi kulit, sinus bakteri, tertentu.
infeksi paru-paru dan TB
< 200 Terdapat peningkatan Seharusnya dimulai pengobatan
risiko terjadi: pencegahan
Sitomegalovirus yang
menyebabkan retinitis
dan kardiomiopati
Sarkoma Kaposi
Pnemonia
pneumocystis carinii
(PCP) dan ini paling
sering.
Limfoma non-hodgkin
Ensefalitis toksoplasma
Dieminata
mycobacterium avium
complex (MAC)
Tuberkulosis
< 100 MAC (Mycobacterium Jika jumlah di bawah 100, pengobatan
Avium Complex) dan pencegahan harus dimulai untuk MAC
toksoplasmosis. dan toksoplasmosis (jika belum ada
pada profilaksis PCP yang membantu
mencegah toksoplasmosis, seperti
trimetoprim / sulfametoksazol
<50 Terdapat peningkatan
risiko cytomegalovirus
25
1.3 Cara Pencegahan HIV-AIDS
1. Pencegahan Penularan Lewat Hubungan Seks.
a. Hubungan seks monogami merupakan hal yang paling aman
jika suami-istri tidak ada yang terinfeksi.
b. Hubungan seks yang ilegal atau di luar nikah meningkatkan
risiko HIV-AIDS.
c. Jangan melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang
tidak diketahui kondisi kesehatannya.
d. Risiko berkurang dengan menghindari hubungan seks dengan
kelompok risiko tinggi seperti laki-laki homoseksual atau
biseksual, pemakaian obat secara intra vena (IV), pelacur atau
orang diketahui positif untuk antibodi HIV/AIDS.
e. Karena virus terbawa dalam air mani, pemakaian kondom
mengurangi risiko penularan.
2. Pencegahan Penularan Non-Seksual
a. Kelompok risiko tinggi tidak diperbolehkan menjadi donor
darah, donor organ, atau jaringan untuk transplantasi.
b. Pengguaan obat intra vena yang ilegal meningkatkan risiko,
hindari narkotika, psikotropika, zat aditif (NAFZA) dan mabuk-
mabukan.
c. Pemakaian jarum suntik dan alat lainnya (akupuntur, tato,
tindik, salon) harus dijamin sterilitasnya.
d. Petugas kesehatan yang terlibat dalam pekerjaan inseminasi
artifisial, transfusi darah atau produk darah harus waspada
terhadap risiko infeksi HIV/AIDS.
e. Sperma donor harus menjalani “screening antibody” pada saat
donasi dan di uji ulang setelah 3 bulan. Semen (air mani) ini
harus dibekukan dan tidak boleh di pakai sebelum hasil test
yang ke dua di ketahui.
3. Pencegahan Penularan Perinatal
a. Wanita hamil dengan infeksi HIV/ AIDS menghadapi
peningkatan risiko terkena HIV/ AIDS dibandingkan dengan
mereka yang tidak hamil.
b. Ibu yang darahnya telah diperiksa dan ternyata mengandung
virus HIV, sebaiknya jangan hamil. Karena akan memindahkan
virus HIV/ AIDS pada janinnya.
26
c. Wanita hamil dengan infeksi HIV/AIDS dapat menularkan
infeksi tersebut kepada bayinya yang baru lahir, pada sekitar
50% kasus.
d. Bayi baru lahir yang mendapat HIV/AIDS menunjukkan
perjalanan penyakit yang parah dan masa hidup yang lebih
singkat dari pada pasien dewasa.
e. Saat memberikan “counselling‟ untuk kontrasepsi, selain
kebutuhan akan bentuk kontrasepsi yang mempunyai
efektivitas tinggi, seperti kontrasepsi oral, atau sterilisasi,
wanita yang menderita infeksi diberi informasi bahwa
pemakaian kondom mengurangi risiko penularan kepada
pasang.
27
luka tusuk dalam, (Profilaksis pasca pajanan) sebagai PPP jika
tampak darah pada pasca sumber berisiko
alat, jarum bekas pajanan)
dipakai pada arteri
atau vena)
Keterangan:
Pernyataan “Pertimbangkan ARV untuk PPP” menunjukkan
bahwa ARV (Anti Retroviral) untuk PPP (Profilaksis Pasca
Pajanan) merupakan pilihan tidak mutlak dan harus di
putuskan secara individual, tergantung dari orang yang
terpajan, Namun pertimbangkanlah pengobatan ARV untuk
PPP bila ditemukan faktor risiko pada sumber darah (pajanan),
atau bila terjadi di darah dengan risiko tinggi HIV.
Jika telah diberikan PPP dan sumber pajanan (darah) ternyata
diketahui HIV negatif, maka PPP harus dihentikan.
Pada Pajanan (darah) mengenai kulit, tindak lanjut hanya
diperlukan jika ada tanda-tanda kulit yang tidak utuh (luka,
28
dermatitis, abrasi).
PPP sebaiknya diberikan secepatnya (< 4 jam) dan tidak lebih
dari 72 jam. Setelah 72 jam tidak dianjurkan karena tidak
efektif.
Setelah PPP perlu dilakukan tindak lanjut berupa pemeriksaan
laboratorium tes HIV saat terkena darah, 6 minggu, 3 bulan
dan 6 bulan setelah terpapar cairan/ darah.
Bahan yang memberi risiko penularan infeksi adalah:
o Darah
o Cairan bercampur darah yang tidak terlihat
o Cairan yang potensial terinfeksi (yaitu sperma, vagina,
serebrospinal, sinovia, pleura, peritoneal, perikardial,
amnion (cairan ketuban).
o Virus yang terkonsentrasi
PENGOBATAN ARV
Menurut Nursalam (2007) saat ini sudah banyak obat-obatan yang
dapat diberikan untuk penderita HIV/AIDS yaitu ARV (Anti Retroviral
Virus) yang dapat digunakan untuk menghentikan aktivitas virus dan
memulihkan sistem imun. Berbagai jenis ARV yang ada yaitu diantaranya:
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Obat ini dikenal dengan analog nukleosida yang menghambat
proses perubahan RNA virus menjadi DNA (proses ini dilakukan
oleh virus HIV agar bereplikasi) contoh: (AZT, ZCV, ddc, ddi).
2. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)
Yang termasuk golongan ini adalah tenofofir (TDF).
29
3. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI).
Bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA
dengan cara mengikat reserve transcriptase sehingga tidak
berfungsi contohnya: (NVP, DLP, BI-RG).
4. Protease inhibitor
Contoh obat golongan ini: IDV (indinavir), (NFV) nelvinavir.
5. Fusion inhibitor yang termasuk golongan ini adalah Enfufirtide (T-
20).
Obat-obatan HIV tersebut dapat menimbulkan efek samping pada
orang yang mengkonsumsi nya. Efek samping timbul karena pengobatan
HIV merupakan tindakan yang kompleks antara menyeimbangkan
keuntungan supresi HIV dan toksisitas obat.
Efek samping obat HIV jangka pendek meliputi: mual, muntah,
diare, sakit kepala, lesu dan susah tidur. Sehingga pemberian ARV pada
ODHA perlu dilakukan pendampingan dan motivasi dari petugas
kesehatan atau konselor. Seringkali efek samping obat ARV menjadi
alasan penderita menghentikan terapi dan hal ini sangat merugikan
pasien karena bisa menimbulkan resistensi / KEKEBALAN obat dan
memburuknya kondisi pasien.
30
2. Concentrated Epidemic (epidemi terkonsentrasi)
HIV menyebar dikalangan kelompok masyarakat tertentu,
contohnya kelompok LSL (Lelaki Suka Lelaki), penasun (Pengguna
narkoba suntik), pekerja seks dan pasangannya. Dimana prevalensi
sudah mencapai > 5% secara konsisten/ menetap pada kelompok
masyarakat tersebut.
3. Low Epidemic (epidemi rendah)
HIV telah terjangkit, namun belum menyebar luas ke kelompok
masyarakat tertentu (LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya).
Infeksi yang tercatat terbatas pada individu yang berperilaku risiko
tinggi (kelompok tertentu) dengan besar prevalensi < 5 %.
Epidemi HIV-AIDS Di Indonesia
Perkembangan epidemi HIV di Indonesia di mulai tahun 1987 saat
di temukannya seorang wisatawan yang didiagnosa sebagai kasus AIDS di
Bali. Sejak saat itu perkembangan kasus HIV-AIDS secara cepat meningkat
pesat, sampai saat ini perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk
tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi telah diperkirakan terjadi pada beberapa
sub- populasi berisiko tinggi (prevalensi > 5%), yaitu pada penasun,
penjaja seks dan waria. Situasi ini menunjujkkan bahwa Indonesia berada
pada tahap concentrated epidemic. Dan di tanah Papua (Provinsi Papua
dan Papua Barat) penyebaran HIV sudah pada tipe ‘generalized epidemic”
atau epidemi meluas, yaitu melalui hubungan seksual berisiko pada
masyarakat umum (prevalensi > 1%). Bahkan tahun 2006 prevalensi pada
populasi umum mencapai 2.4 % (Kemenkes RI, 2011).
Jumlah daerah yang melaporkan kasus HIV-AIDS mengalami
peningkatan, pada akhir tahun 2000 ditemukan 16 Provinsi yang
melaporkan kasus HIV, pada akhir tahun 2003 jumlah tersebut meningkat
menjadi 25 Provinsi dan Tahun 2006 meningkat tajam menjadi 32
Provinsi. Berdasarkan beberapa hasil pemodelan berbasis data prevalensi
HIV di Indonesia, diperkirakan dalam rentang waktu 2008- 2015, secara
kumulatif akan terdapat 44.180 anak yang dilahirkan dari ibu positif HIV.
Berdasarkan analisis situasi Program Pencegahan dan
Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS di Jawa Timur. Diketahui Nilai
Kumulatif AIDS sampai dengan Maret 2017, dari 10 Provinsi yang
31
melaporkan kasus HIV terbanyak di Indonesia, Jawa Timur menduduki
posisi ke 1 tertinggi untuk kasus AIDS secara kumulatif, yaitu sebesar
17.014, sedangkan posisi tertinggi pada kasus HIV adalah Provinsi DKI
Jakarta mencapai 46.758, posisi ke dua Jawa Timur mencapai 33.043 dan
Papua menduduki posisi ke tiga mencapai 25.586. Penurunan prevalensi
HIV di Papua di duga karena optimalnya program pencegahan dan
pengobatan pada kasus HIV.
Dilihat dari rata-rata kasus AIDS di Indonesia, diketahui 10 Provinsi
dengan Case Rate AIDS tertinggi yaitu Provinsi Papua (case rate 416.91),
dibawahnya yaitu Provinsi Papua Barat (216.46), selanjutnya Provinsi Bali
(149.58), DKI Jakarta (66.15), Kepulauan Riau (52.91), Kalimantan Barat
(47.69), Sulawesi Utara (42.72), Maluku Utara (36.72), Jawa Timur (33.79)
dan Daerah Istimewa Yogyakarta (32.54). Dengan Case Rate AIDS secara
Nasional yaitu 28.45. Untuk Provinsi Jawa Timur Sendiri data per
September 2017 tercatat penderita AIDS sebesar 18.008 , Total HIV yang
di temukan mencapai 43.646 (36.8%). Total kematian AIDS tercatat 3.978,
total kasus AIDS anak (0-14 tahun) sebesar 3.8% (676 anak), Total kasus
AIDS pada remaja (15-24 tahun) mencapai 10 % (1.739) adalah nilai yang
tinggi, dan yang paling mencengangkan adalah kasus AIDS pada Ibu
Rumah Tangga mencapai 17.9% (3.214 kasus). (Dinkes Provinsi Jawa
Timur, 2017).
32