PAPER
Diajukan Untuk Memenuhi Salah SatuTugas Mata Kuliah
Epidemiologi Penyakit Menular
Dosen Pengampu : Hamdan, SKM., MKM
Disusun oleh :
Kelompok 5
Icka Irma CMR0180043
Nisya Khaerunnisya H CMR0180049
Nuraeni Fauziah CMR0180054
Siti Rosidah CMR0180058
Widiyawati CMR0180064
Zidan Muhammad R CMR0180065
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
a. Penyebab
Penyakit polio disebabkan oleh polio virus yang umumnya masuk
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan tinja
yang mengandung virus tersebut. Sama halnya seperti cacar, polio
hanya menjangkiti manusia. Dalam tubuh manusia, virus polio
menjangkiti tenggorokan dan usus. Selain melalui kotoran, virus
polio juga bisa menyebar melalui tetesan cairan yang keluar saat
penderitanya batuk atau bersin. Dalam beberapa kondisi, infeksi
virus ini dapat menyebar ke aliran darah dan menyerang sistem
saraf.
b. Gejala
Kebanyakan penderita polio tidak menyadari bahwa diri mereka
terinfeksi karena virus polio pada awalnya hanya menimbulkan
sedikit gejala atau bahkan tidak sama sekali. Penderita polio dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu polio non-paralisis, polio paralisis,
dan sindrom pasca-polio.
1. Polio non-paralisis
Polio non-paralisis adalah tipe polio yang tidak menyebabkan
kelumpuhan. Gejalanya tergolong ringan. Berikut ini adalah gejala
polio non-paralisis yang umumnya berlangsung antara satu hingga
sepuluh hari.
a) Muntah
b) Lemah otot
c) Demam
d) Meningitis
e) Merasa letih
f) Sakit tenggorokan
g) Sakit kepala
h) Kaki, tangan, leher, dan punggung terasa kaku dan sakit
2. Polio paralisis
Polio paralisis adalah tipe polio yang paling parah dan dapat
menyebabkan kelumpuhan. Polio paralisis bisa dibagi berdasarkan
bagian tubuh yang terjangkit, seperti batang otak, saraf tulang
belakang, atau keduanya. Gejala awal polio paralisis sering kali
sama dengan polio non-paralisis, seperti sakit kepala dan demam.
Gejala polio paralisis biasanya terjadi dalam jangka waktu sepekan,
di antaranya adalah sakit atau lemah otot yang serius, kaki dan
lengan terasa terkulai atau lemah, dan kehilangan refleks tubuh.
Beberapa penderita polio paralisis bisa mengalami kelumpuhan
dengan sangat cepat atau bahkan dalam hitungan jam saja setelah
terinfeksi dan kadang-kadang kelumpuhan hanya terjadi pada salah
satu sisi tubuh. Saluran pernapasan mungkin bisa terhambat atau
tidak berfungsi, sehingga membutuhkan penanganan medis darurat.
3. Sindrom pasca-polio
Sindrom pasca-polio biasanya menimpa orang-orang yang rata-rata
30-40 tahun sebelumnya pernah menderita penyakit polio. Gejala
yang sering terjadi di antaranya:
a) Sulit bernapas atau menelan.
b) Sulit berkonsentrasi atau mengingat.
c) Persendian atau otot makin lemah dan terasa sakit.
d) Kelainan bentuk kaki atau pergelangan.
e) Depresi atau mudah berubah suasana hati.
f) Gangguan tidur Gangguan tidur dengan disertai kesulitan
bernapas. dengan disertai kesulitan bernapas.
g) Mudah lelah.
h) Massa otot tubuh menurun (atrophia).
i) Tidak kuat menahan suhu dingin.
c. Cara Penularan
Penyebaran utamanya melalui kontak dengan manusia. Pejamu
(host) virus ini memang hanya manusia. Di luar tubuh manusia,
virus ini hanya mampu bertahan hidup sebentar. sebentar.Virus ini
disebarkan melalui rute orofecal (melalui makanan dan minuman)
dan melalui percikan ludah. Kemudian virus berkembang biak di
tenggorokan dan tenggorokan dan usus dan kemudian menyebar ke
kelenjar getah bening, masuk ke dalam darah, serta menyebar ke
seluruh tubuh. Sasaran virus polio terutama adalah sistem saraf
yaitu ke otak, sumsum tulang belakang dan simpul -simpul saraf.
Orang-orang yang belum belum divaksinasi akan memiliki tingkat
risiko terjangkit polio yang tinggi jika melakukan atau mengalami
hal-hal seperti berikut ini.
1) Tinggal serumah dengan penderita polio.
2) Sistem kekebalan tubuh yang menurun.
3) Bepergian ke daerah di mana polio masih kerap terjadi.
4) Telah melakukan operasi pengangkatan amandel.
d. Pencegahan
Meskipun telah dinyatakan sebagai negara bebas polio oleh WHO,
tidak menutup kemungkinan bahwa virus ini masih bisa muncul
kembali di Indonesia.Hal ini dapat terjadi apabila Hal ini dapat
terjadi apabila orang yang terjangkit orang yang terjangkit polio
dari negara lain polio dari negara lain memasuki Indonesia, dan
menularkan virus ini kepada orang lainnya. Maka dari itu, Langkah
pencegahan melalui vaksinasi masih sangat penting dilakukan. Hal
ini bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit polio
seumur hidup, terutama pada anak-anak. Anak-anak harus
diberikan empat dosis vaksin polio tidak aktif, yaitu pada saat pada
saat mereka berusia mereka berusia, 2 bulan, 4 bulan, antara 6-18
bulan, dan yang terakhir adalah pada usia antara 4 - 6 tahun.
Vaksin polio dengan virus tidak aktif memiliki kemungkinan
mendekati 100 persen untuk secara efektif mencegah polio setelah
tiga kali penyuntikan, dan aman bagi orang yang sistem kekebalan
tubuhnya lemah. Efek samping yang umumnya terjadi setelah
pemberian suntikan adalah rasa sakit dan kemerahan pada titik
penyuntikan. Orang dewasa yang harus mendapatkan serangkaian
vaksin polio adalah mereka yang belum pernah divaksinasi atau
status vaksinasinya tidak jelas. Dosis vaksinasi polio pada orang
dewasa adalah dua dosis pertama dengan jarak waktu antara 4-8
bulan, dan dosis ketiga antara 6-12 bulan setelah pemberian dosis
kedua. Selain itu, vaksinasi pada orang dewasa juga dapat
dilakukan jika akan berpergian ke negara dengan kasus polio aktif
atau berinteraksi dengan penderita polio. Sebagian orang yang
diberikan vaksin polio bisa mengalami alergi. Reaksi alergi yang
mungkin terjadi dan biasanya muncul setelah beberapa menit
hingga beberapa jam adalah pusing, lemas, tenggorokan bengkak,
sulit bernapas, pucat, serak, biduran, dan jantung berdetak
kencang. Segera temui dokter jika mengalami gejala alergi setelah
suntikan.
e. Pengobatan
Belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan polio jika virus
polio sudah menjangkiti seseorang. Namun ada beberapa hal yang
bisa dilakukan sebagai perawatan pendukung untuk mencegah
komplikasi dan membuat penderita merasa lebih nyaman, seperti
terapi fisik untuk mencegah hilangnya fungsi otot, obat pereda
nyeri, pola makan yang bernutrisi, istirahat yang cukup, dan alat
bantu pernapasan jika diperlukan. Lamanya pengobatan tergantung
dari tingkat keparahan infeksi virus yang masuk dan menyerang
tubuh.
7.2.3 Difteri
Penyakit difteri merupakan penyakit infeksi akut pada saluran
pernafasan bagian batas. Penyakit ini dominan menyerang anak-
anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring
hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas. Ciri
difteri ialah terbentuknya lapisan yang khas selaput lendir pada
saluran nafas, serta adanya kerusakan otot jantung dan saraf.
Kejadian difteri masih tinggi di belahan dunia termasuk Indonesia.
Pada tahun 2011 Indonesia merupakan negara tertinggi kedua
setelah India yaitu 806 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan
tahun 2010 dimana Indonesia juga merupakan negara tertinggi
kedua dengan kasus difteri yaitu 385 kasus (WHO,2012).
a. Penyebab
Penyebab penyakit difteri pada dasarnya diakibatkan oleh bakteri
yang diberi nama Corynebacterium diphteriae. Penyebab
terjadinya penyakit difteri juga dipengaruhi oleh:
1). Status imunisasi
2). Status Gizi
3). Lingkungan fisik rumah (pencahayaan alami, ventilasi rumah,
kepadatan hunian, jenis dinding dan lantai rumah)
Berikut faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian difteri :
a) Faktor predisposisi ( predisposing factor ) : umur, jenis
kelamin dan penyakit yang telah atau pernah diderita akan
memberikan kepekaan terhadap agen penyakit.
b) Faktor yang mempermudah (anabling factor) : penghasilan
rendah, gizi rendah, perumahan tidak sehat dan akses rendah
ke pelayanan Kesehatan dan hal-hal yang memungkinkan prses
terjadinya penyakit.
c) Faktor pendorong ( precipitating faktor ) : pemaparan dengan
agen pen ) : pemaparan dengan agen penyakit atau substansi
yang mengganggu kesehatan akan memulai proses terjadinya
penyakit.
d) Faktor penguat (reinforcing factor ) : pemaparan yang
berulang-ulang atau kerja kera, kehamilan akan memperberat
penyakit yang sudah berproses.
b. Gejala
Kejadian penyakit difteri dapat dilihat dari gejala yang
ditimbulkannya yaitu :
1) Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9° celcius.
2) Batuk dan pilek yang ringan.
3) Sakit dan pembengkakan pada Sakit dan pembengkakan
pada tenggorokan.
4) Mual, muntah, dan sakit kepala.
5) Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna
putih ke putih ke abu-abuan abu-abuankotor.
6) Kaku leher.
c. Cara Penularan
Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak
langsung. Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara,
batuk atau bersin membawa serta bakteri difteri. Melalui
pernafasan bakteri masuk ke dalam tubuh orang disekitarnya, maka
terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang penderita kepada
penderita kepada orang-orang sekitarnya.Kemudian bakteri tersebut
tumbuh pada mukosa saluran nafas bagian atas terutama tonsil,
kadang-kadang di daerah kulit, konjungtiva atau genital. Bakteri
kemudian memproduksi toksin.
Toksin yang terbentuk diserap melalui membran sel mukosa,
menimbulkan peradangan dan kerusakan epitel diikuti oleh
nekrosis. Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi bakteri
ini semakin banyak, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas
dan bertambah dalam, sehingga menimbulkan terbentuknya
membran palsu pada tonsil, faring, laring dan pada keadaan berat
bahkan bisa meluas sampai ke trakea dan terkadang ke bronkus,
diikuti pembengkakan jaringan lunak di bawah mukosanya.
d. Pencegahan
Pencegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian
vaksinasi, yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan
dengan pemberian DPT ataupun DT. Waktu pemberian DPT 5 x
sebelum umur 7 tahun, atau DT kalau anak itu tidak tahan vaksin
antipertusis. Selain difteri juga dapat dicegah dengan pemeliharaan
lingkungan fisik rumah. Pencegahan juga dapat dilakukan kepada
orang yang kontak dekat dengan penderita dengan cara sebagai
berikut :
1) Melakukan pengontrolan sampai 7 hari untuk timbulnya
tanda dan gejala Diphtheria
2) Pemberian antibiotika seperti Erythromicin atau Penicillin
3) Booster DPT, DT atau Td walaupun sudah diimunasi dulu
lengkap, atau mulai seri imunasi.
e. Pengobatan
Pengobatan difteri tidak bisa dilakukan sendiri di rumah, segeralah
di rawat di rumah sakit jangan sampai terlambat, hal ini
dikarenakan difteri sangat menular. Pengobatan difteri
membutuhkan antitoksin (ADS) dan antibiotik. ADS dan antibiotik
diberikan secara bersama karena ADS tidak dapat digunakan untuk
eliminasi bakteri penyebab, begitu juga sebaliknya, antibiotik tidak
dapat menggantikan peran ADS untuk menetralisasi toksin difteri.
Dalam hal ini, ADS memiliki keterbatasan karena hanya dapat
menetralisasi toksin yang beredar atau belum berikatan dengan
sel/jaringan. Oleh karena itu, ADS harus segera diberikan ketika
diagnosis difteri ditegakkan. ADS akan efektif bila diberikan pada
3 hari pertama sejak timbul gejala. Penundaan ADS akan
meningkatkan risiko komplikassi dan kematian. Pemberian
antibiotik dibutuhkan untuk eliminasi bakteri penyebab dan
mencegah penularan penyakit. Golongan penisilin dan eritromisin
merupakan antibiotik pilihan utama. Namun demikian, uji
kepekaan bakteri terhadap antibiotik perlu terus dilakukan untuk
mengetahui perkembangan resistensi bakteri karena telah
dilaporkan adanya penurunan kepekaan bakteri penyebab terhadap
eritromisin dan antibiotik lainnya.
7.2.4 Batuk Rejan atau Pertusis
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang
sangat berat atau batuk intensif. Nama lain dari penyakit ini yaitu
tussis quinta, wooping cough, batuk seratus hari atau batuk rejan.
Biasanya penyakit ini menyerang anak balita, tetapi juga dapat
menyerang siapa saja.
a. Penyebab
Penyebab penyakit pertusis pada dasarnya diakibatkan oleh bakteri
yang diberi nama Bordettela pertusis. Bakteri ini merupakan Gram-
negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin
yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberi pernapasan
dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari
batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena
pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir
batuk disertai bunyi yang khas.
b) Gejala
Kejadian penyakit difteri dapat dilihat dari gejala yang
ditimbulkannya, sebagai berikut :
1) Minggu pertama
a) Panas
b) Batuk ringan yang lalu semakin meningkat
frekuensinya
c) Pilek atau muncul cairan hidung
2) Minggu kedua
a) Batuk tidak juga sembuh meski talah minum obat
b) Biasanya batuk bertambah parah ketika malam hari
c) Batuk biasanya diakhiri dengan muntah
d) Nafas berat, menimbulkan bunyi “wup” oleh karena
itu disebut ““wooping cough””
e) Terjadi perdarahan pada selaput mata
3) Minggu ketiga
a) Batuk tetap belum sembuh
b) Dapat terjadi komplikasi yang menimbulkan radang
pada paru-paru dan otak
c) Cara Penularan
Pertusis merupakan airborne disease, artinya bakteri ini ditularkan
melalui udara. Selain itu juga disebut sebagai droplet
infection karena dapat menular melalui percikan air ludah ketika
batuk. Penyakit ini utamanya sangat menular sekitar dua minggu
pertama sebelum terjadi batuk yang khas.
d) Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan
imunisasi. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat
penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan
program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi
aktif dan pasif.
1) Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune
globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik
terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi
digunakan untuk pencegahan.
2) Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus
mendapat dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m.
deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi
anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati
(koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
1. solasi: mencegah kontak dengan individu yang
terinfeksi, diutamakan terinfeksi, diutamakan bagi
bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya
mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari
dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu
setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak
mendapatkan antibiotik.
2. Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang
berusia <7, tahun, tidak diimunisasi, atau imunisasi
tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik
selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic
selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
3. Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada
alat atau ruangan yang terkontaminasi sekret
pernapasan dari pasien pertussis
e) Pengobatan
Segera berobat ke dokter, karena anak yang telah mendapat
vaksinasi DPT masih dapat terkena penyakit pertusis tetapi dengan
infeksi yang sangat ringan. Pemberian eritomisin, klaritromisin,
atau azitromisin telah menjadi pilihan pertama untuk pengobatan
dan profilaksis. Eritromisin (40-50 (40-50 mg/kgbb/hari
mg/kgbb/hari dibadi dalam 4 dosis peroral, maksimum 2 gram per
hari) dapat mengeleminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4
hari. Eritromisin dapat mengeleminasi.
7.2.5 Tetanus
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
toksin kuman Clostridium tetani yang bermanifestasi dengan
kejang otot secara paroksimal dan diikuti seluruh Kekauan badan.
Kekauan tonus selalu tampak pada otot masseter dan otot rangka.
Clostridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang, berspora,
golongan gram positif, dan hidup anaerob.Kuman ini mengeluarkan
toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-
mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf tepi setempat.
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum
mendapatkan imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat
pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi
dan pemeliharaan Kesehatan seperti lingkungan dan perorangan.
Tetanus neonatorum merupakan penyebab kejang yang dijumpai
pada bayi baru lahir, bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia
tetapi disebabkan oleh infksi selama neonatal yang terjadi akibat
pemotongan tali pusat atau perawatannya yang pemotongan tali
pusat atau perawatannya yang tidak septik.
a. Penyebab
Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani
yang bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksimal dan
diikuti kekauan kuti kekauan seluruh badan. Kekauan tonus otot
selalu tampak pada otot masseter dan otot rangk masseter dan otot
rangka.
b. Gejala
Waktu selama 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk
melalui luka, racun Clostridium tetani akan merusak sistem saraf
dan akan segera muncul gejala seperti kejang dan kekauan otot
rahang (lockjaw), postur badan kaku dan tidak dapat ditekuk karena
kekauan otot leher dan punggung (opistottonus), dinding perut
mengeras seperti papan, gangguan menelan, muka seperti
meringai/tertawa (risus sardonicus). Pasien tetanus mudah sekali
mengalami kejang terutama apabila mendapatkan rangsangan
seperti suara berisik, sehinnga perlu di isolasi diruang tersendiri.
Tetanus pada bayi lahir (tetanus neonatarum), yang penularannya
trejadi saat pemotongan tali pusar.
c. Cara Penularan
Colostridium tetani didukung oleh adanya luka yang dalam
dengan perawatan yang salah.kuman ini juga tersebar di tanah
dan tempat kotor besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas.
Basil ini bila kondisinya baik (di dalam dalam tubuh manusis)
akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel
darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmin,
yaitu toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan
dan spasme otot. Infksi selama neonatal yang terjadi akibat
pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak septik. Bentuk
spora yang menginfeksi luka akan berubah menjadi bentuk
vegetatif yang kemudian mengeluarkan dua macam racun yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin (merusak sel-sel saraf).