Oleh :
Kelompok 3
Kelas 2B
SINGARAJA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya. Dalam
makalah ini yang menjadi pokok pembahasan, yaitu “Teori Ilmu Jiwa Daya, Teori
Belajar Behaviorisme dan Teori Belajar Kognitif”. Penulis menyadari sepenuhnya
atas keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki, sehingga dalam
menyelesaikan makalah ini tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak, baik yang
berperan secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Ini
dikarenakan terbatasnya sumber yang kami gunakan sebagai acuan dalam membuatan
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini. Walaupun demikian, kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3
DAFTAR RUJUKAN.............................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan teori ilmu jiwa daya terhadap belajar?
2. Bagaimana hakikat teori belajar behaviorisme?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan teori belajar behaviorisme?
4. Apa pengertian dari teori belajar kognittif?
5. Bagaimana pandangan teori belajar kognitif menurut Piaget dan Brunner?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan teori ilmu jiwa daya terhadap
belajar.
2. Untuk mengetahui hakikat teori belajar behaviorisme.
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori belajar behaviorisme.
4. Untuk mengetahui bagaimana pandangan teori belajar kognitif dari Piaget dan
Brunner.
1.4 Manfaat
1. Bagi penulis:
Manfaat bagi penulis adalah untuk dapat menyalurkan informasi kepada
pembaca, mengenai teori-teori belajar dan juga menambah wawasan penulis
mengenai teori-teori belajar.
2. Bagi pembaca :
Manfaat bagi pembaca adalah dapat menambah pengetahuan mengenai teori
ilmu jiwa daya, teori belajar behavioristik yang dikemukakan oleh Pavlov,
Thorndike dan Skinner serta teori belajar kognotif yang dikemukakan oleh
Piaget dan Brunner.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ahli-ahli ilmu jiwa daya mengemukakakn suatu teori bahwa jiwa manusia
memiliki berbagai daya-daya. Daya-daya yang dimaksud misalnya daya mengenal,
daya mengingat, daya berpikir, daya fantasi, dan lain sebagainya. Daya-daya tersebut
merupakan kekuatan yang tersedia di dalam diri masing-masing individu. Manusia
hanya memanfaatkan daya-daya itu dengan cara melihatnya, sehingga ketajamannya
dirasakan ketika dipergunakan untuk sesuatu hal.
Akibat dari teori ini, maka belajar hanyalah melatih daya ingat. Hal ini dapat
dilakukan dengan jalan menghafal kata-kata atau angka, istilah-istilah asing, dan
sebagainya. Untuk melatih ketajaman daya berpikir seseorang harus melatihnya
dengan memecahkan permasalahan mulai dari tingkatan yang sederhana sampai
kompleks. Adapun untuk melatih daya fantasi seseorang harus membiasakan diri
merenungkan sesuatu. Dengan adanya upaya tersebut, maka daya-daya itu dapat
tumbuh dan berimbang serta tidak lagi bersifat tersembunyi di dalam diri.
Pengaruh teori ini dalam belajar ilmu pengetahuan yang didapat hanyalah
bersifat hafalan-hafalan belaka. Teori ini dapat digunakan untuk menghafal rumus,
dalil, kata-kata asing, dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut para ahli ilmu jiwa
daya, apabila ingin berhasil didalam belajar maka latihlah semua daya yang terdapat
pada diri masing-masing
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage
dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini
kemudian berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
arah perkembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar.
Pengertian belajar menurut pandangan teori bahaviorisme adalah perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar jika ia telah menunjukkaan perubahan tingkah laku.
Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha
dengan giat, dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak
tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap
belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil
3
belajar. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Menurut teori behaviorisme,
apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan,
karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah
stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa
saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang
penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
4
dengan UCS secara terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi
bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan
dengan daging.
3. Respon tidak terkondisi (UCR), yaitu respon yang muncul dengan hadirnya
UCS, seperti air liur anjing keluar karena anjing melihat daging.
4. Respon terkondisi (CR), yaitu refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari
penggabungan CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan
bunyi bel dengan makanan.
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku
sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks
yang terjadi setelah adanya proses pengkondisian (conditioning process) di mana
refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak
berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi. Dengan
kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah karena
mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam
refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat
makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned
refleks)-keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi
tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut.
Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya
berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
Demikianlah maka menurut teori conditioning bahwa belajar itu adalah
suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions)
yang kemudian menimbulkan reaksi (response).
5
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Teori
Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).
Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-
banyaknya. Dalam artian dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbullah
respon yang maksimal. Teori ini sering juga disebut dengan teori trial and error.
Dalam membuktikan teorinya, Thorndike melakukan percobaan terhadap
seekor kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana
kandang tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa
melihat makanan yang berada diluar kandang dan kandang itu bisa terbuka
dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang
terdapat dalam kandang tersebut. Mula-mula kucing tersebut mengitari kandang
bebarapa kali sampai ia menemukan jeruji yang bisa membuka pintu
kandang.Kucing ini melakukan respon atau tindakan dengan cara coba-coba.Ia
tidak mengetahui jalan keluar dari kandang tersebut, kucing tadi melakukan
respon yang sebanyak-banyaknya sehingga menemukan tindakan yang cocok
dalam situasi baru atau stimulus yang ada.
Thorndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan
situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut, dalam menemukan
jalan keluar membutuhkan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang
dengan jumlah yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme
itu selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau
stimulus yang ada, akhirnya kucing tadi dapat menemukan jeruji yang
menyebabkannya bisa keluar dari kandang, ia pegang tindakan ini. Sehingga
kucing tadi dapat keluar untuk mendapatkan makanan tidak lagi perlu mengitari
kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok, akan tetapi kucing tadi langsung
memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, Thorndike mengemukakan bahwa,
baik belajar pada hewan maupun pada manusia berlangsung menurut tiga macam
hukum belajar, yaitu:
1. Law of readiness (dalil kesiapan)
Dalil ini menyatakan kondisi-kondisi yang dianggap mendukung dan
tidak mendukung pemunculan respon. Jika siswa sudah siap (sudah belajar
sebelumnya) maka ia akan siap untuk memunculkan suatu respon atas dasar
stimulus/kebutuhan yang diberikan. Hal ini merupakan kondisi yang
menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respon.
Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk memunculkan respon/stimulus yang
diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respon maka siswa mengalami
6
kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan
respon.
2. Law of exercise (dalil latihan/pembiasaan)
Hukum ini menunjukan semakin sering tingkah laku diulang atau dilatih,
maka asosiasi tersebut akan semakin kuat, begitupun sebaliknya jika suatu
tingkah laku tidak pernah diulang atau dilatih maka asosiasi tersebut akan
melemah. Disamping itu, pengulangan situasi yang tidak menyenangkan pun
tidak akan membantu proses belajar.
3. Law of effect (dalil sebab akibat)
Hukum ini menunjukan semakin kuat atau lemahnya hubungan sebagai
akibat respon yang dilakukan. Jika suatu hubungan atau koneksi yang dibuat
diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan
bertambah, sebaliknya jika suatu hubungan dibuat dan diikuti oleh keadaan
yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu
menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses
belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses “transfer of learning” atau
pemindahan/pengalihan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa
latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari
suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seorang terhadap
konsep lain yang sejenis atau mirip (associative shifting).
7
konsekuensi yang menyenangkan, maka perilaku tersebut tidak diulang kembali.
Eksperimen Skinner dipusatkan pada penempatan subjek-subjek dalam situasi-
situasi yang terkontrol, dan mengamati perubahan perilaku yang terjadi. Oleh
sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih
dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan yang lainnya, serta
memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut.
Dalam melakukan eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus sebagai
bahan percobaannya. Tikus tersebut diletakan di dalam kotak yang disebut dengan
kotak Skinner, sebelum tikus dimasukan ke dalam kotak, kotak tersebut
dikondisikan terlebih dahulu, seperti memasangkan corong makanan dan keran
air. Suatu makanan akan keluar dari corong tersebut bila tikus menekan suatu
balok tertentu, setelah beberapa kali menekan balok tersebut secara kebetulan,
tikus tersebut akan mulai sering menekannya, dengan memperoleh sebutir
makanan setiap kali menekan balok tersebut. Imbalan makanan telah
mengkondisikan perilaku tikus dengan memperkuat penekanan balok dan
memperlemah semua perilaku lain seperti berputar-putar mengelilingi kotak. Pada
kondisi ini, perilaku yang dihasilkan tikus tersebut merupakan pusat pengamatan.
Melalui eksperimennya, ia menyimpulkan bahwa unsur terpenting dalam
belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yangterbentuk melalui
ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner
membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan
negatif. Bentuk- bentuk penguatan positif bisa berupa hadiah, perilaku, atau
penghargaan. Bentuk- bentuk penguatan negatif antara lain memberikan tugas
tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang. Berikut beberapa prinsip
Skinner yaitu :
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan,
jika benar diberipenguatan.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yangbelajar.
3. Materi pelajaran menggunakan sistemmodul
4. Dalam proses pembelajaran tidak digunakanhukuman.
8
perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, pemperhatikan,
memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan
masalah, berpikir dan keyakinan.
Berbeda dari teori belajar behavioristik dan teori belajar konstruktivistik, teori
belajar kognitif lebih mementingkan sebuah proses belajar dari pada hasil belajar
itu sendiri. Berbeda dengan teori belajar behavioristik yang mempelajari setiap
proses belajar hanya menjadi hubungan stimulus-respon. Teori belajar kognitif
juga menekankan pada bagian-bagian atas situasi yang saling berkaitan dengan
konteks situasi itu sendiri. Membagi-bagi atau memisahkan situasi atau materi
pelajaran ke dalam komponen-komponen yang lebih kecil serta mempelajarinya
dengan cara terpisah bisa menyebabkan hilangnya arti. Pendangan akan teori ini,
bahwa belajar adalah suatu proses di dalam, yang meliputi memori, retensi,
pengolahan informasi, emosi dan aspek kejiwaan yang lainnya. Teori belajar
kognitif menerangkan bahwa belajar dengan cara focus pada perubahan proses
jiwa dan struktur yang terjadi sebagai akibat dari usaha untuk memahami
kehidupan.
9
Piaget pengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi 4 tahapan,
yaitu :
1. Tahap Sensorik Motorik
Yaitu tahap perkembangan yang terjadi pada usia 0-2 tahun. Tahap ini
ditandai dengan kegiatan motorik yang masih sederhana. Kemampuan yang
dimiliki antara lain :
a. Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek yang
ada disekitarnya.
b. Mencari rangsangan melalui sinar lampu atau suara.
c. Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
2. Tahap pra operasional
Yakni perkembangan kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini
diidentikkan dengan mulai digunakannya simbol atau bahasa tanda, dan telah
dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan kesan yang agak abstrak.
Kemampuan pada tahap ini dicirikan dengan :
a. Dapat mgklasifikasikan objek pada tingkat pada tingkat dasar secara tunggal
dan mencolok.
b. Mampu mengumpukan barang-barang, menurut criteria yang benar.
c. Dapat menyusun benda-bend secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan
perbedaannya.
3. Tahap operasional kongkret
Yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah
mulai menggunakan aturan-aturan ynag jelas dan logis. Anak sudah mulai tidak
memusatkan diri pada karakteristik perceptual pasif. Apa tahp ini, anak sedah
mampu memahami tentang motivasi dan mampu berpikir secara sistematis.
4. Tahap operasional formal
Yaitu perkembangan kogntif tang terjadi pada usia 11-15 tahun. Cirri pokok
tahap ini adalah anak sudah cukup berpikir abstrak dan logis dengan pola pikir
kemungkinan. Pada tahap ini proses pengajaran kepada anak menjadi lebih mudah
karena mereka sudah memahami akan konsep dan dapat berpikir kongkrit
maupun abstrak.
Dalam perkembangan intelektual, ada tiga hal penting yang menjadi perhatian
Piaget, yaitu:
a. Struktur
Untuk sampai pada pengertian struktur, diperlukan suatu pengertian
yang erat hubungannya dengan struktur, yaitu pengertian operasi. Operasi
adalah tindakan-tindakan mental yang terinternalisasi, reversible, tetap dan
terintregrasi dengan struktur-struktur dan operasi-operasi lainnya. Struktur
juga disebut schemata yang merupakan organisasi mental yang tinggi, satu
10
tingkat lebih tinngi dari individu pada waktu ia berinteraksi dengan
lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu itu
mengadapi tuntutan-tuntutan yang makin meningkat dari lingkungnnya.
Diperolehnya suatu struktur atau schemata berarti telah terjadi suatu
perubahan dalam perkembangan intelektua anak. (Ratna Wilis Dahar,
2011:134)
b. Isi
Isi adalah pola perilaku anak yang khas dan tercermin pada respon
yang diberikan terhadap berbagai masalah atau situasi-situasi yang
dihadapinya. Misalnya perubahan penalaran anak sejak kecil hingga dewasa,
konsepsi anak tentang alam seperti pohon-pohon, matahari dan lainnya.
c. Fungsi
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemjuan-
kemajuan intelektual.
Menurut Piaget, perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungi, yaitu :
a. Organisasi
Organisasi memberiakn setiap organism kemampuan untuk mensistematiskan
atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikoligis menjadi sistem-sistem
yang teratur dan berhubungan.
b. Adaptasi
Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi
dan akomodasi.
1. Asimilasi adalah penyatuan (pengintregrasian) informasi, persepsi, konsep
dan pengalaman baru ke dalam yang sudah ada dalam benak seseorang.
(Wina Sanjaya, 2010:132). Asimilasi dipandang sebagai suatu proses
kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau
rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan atau pergantian schemata melainkan
perkembangan schemata. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan
struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menghadapi masalah yang
dihadapinya dalam lingkungnnya. (Ratna Wilis, 2011:135).
2. Akomodasi adalah individu mengubah dirinya agar bersesuaian dengan
apa yang diterima dari lingkungannya. (Mohd. Surya, 2003:56). Dalam
mengadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalama yang baru dengan skema yang telah
dimuliki. Pengalaman yang baru itu bisa saja tidak cocok dengan skema
yang telah ada. Dalam keadaan demikian, orang akan mengadakan
akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok
11
dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingg cocok dengan rangsangan itu.
3. Penyeimbangan (equilibrasi)
Equilibrasi dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi
dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar
dengan struktur di dalamnya. Proses perkembangan intelektual seseorang
berjalan dari disequilibrasi menuju equilibrasi melalui asimilasi dan
akomodasi.
Proses penyerapan ini saling berkaitan, sebagai contoh ketika seorang
anak belum mengetahui atau mengenal tentang api, suatu hari anak akan
merasa sakit jika terkena percikan api, maka berdasarkan pengalamnya
terbentuk struktur penyesuaian skema pada struktur kognitif anak itu tentang
api, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan dan harus dihindari, ini
dinamakan adaptasi. Dengan demikian, ketika ia melihat api, secara refleks ia
akan menghindar. Semakin anak dewasa, pengalaman tentang api bertambah
pula. Ketika anak melihat ibunya memasak memakai api, dan ketika anak
melihat bapaknya merokok menggunakan api, maka skema yang telah
terbentuk disempurnakan, bahwa api bukan harus dihindari tetapi dapat
dimanfaatkan. Proses penyesuaian skema tentang api yang dilakukan anak itu
dinamakan asimilasi. Semakain anak dewasa, pengalaman itu semakin
bertambah pula. Ketika anak melihat bahwa pabrik-pabrik memerlukan api,
setiap kendaraan memerluka api, dan lain sebagainya, maka terbentuklah
skema baru tentang api, bahwa api bukan harus dihindari, dan bukan juga
hanya dimanfaatkan, tetapi api sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia.
Proses penyesuaian skema itu dinamakan akomodasi. (Wina Sanjaya,
2010:132).
4. Teori Belajar Bruner
Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi
kognitif yang mengakui bahwa belajar adalah untuk mempertahankan dan
mentransformasikan informasi secara aktif. Bruner beranggapan bahwa
belajar merupakan perkembangan kategori-kategori yang saling berkaitan
sehingga setiap individu mempunyai model yang unik mengenai alam dan
pengembangan suatu sistem pengodean. Sebagai tokoh kognitivisme belajar
bukan hanya pembentukan tingkah laku yang diperoleh karena pengulangan
hubungan stimulus respon, tetapi merupakan fungsi pengalaman-pengalaman
perceptual dan proses kognitif yang mencakup ingatan, retensi, lupa,
pengolahan informasi, dan sebagainya. Dari pernyataan diatas belajar dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang disengaja yang
bertujuan untuk memperoleh suatu kecakapan, kepandaian atau kemahiran
12
baru yang dapat digunakan dalam kehidupa, tidak seorangpun membantah
bahwa sepanjang hidupnya manusia tidak akan pernah berhenti untuk belajar,
setiap menghadapi situasi baru, manusia selalu mempelajarinya.
Melalui teorinya Bruner mengungkapkan bahwa proses belajar anak
sebaiknya diberikan kesempatan untuk memanipulasi benda-benda atau alat
peraga yang dirancang secara khusus dan dapat digunakan oleh anak suatu
konsep dalam belajar. Dalam perkembangan kognitif terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh caranya melihat kondisi lingkungan, yaitu :
a. Tahap Enaktif
Tahap enaktif, yaitu tahap dimana sesseorang melakukan aktivitas-
aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan, tahap ini lebih
didominasi pada usia 5-7 tahun dan tahaf ini bersifat manipulative.dalam
hal ini, seseorang mengetahui suatu aspek kenyataan tanpa menggunakan
pikiran atau kata-kata dimana dalam proses belajarnya menggunakan atau
memanipulasi objek-objek secara langsung. Tahapan ini berkaitan dengan
bagimana bagaimana seseorang melakukan sesuatu dalam mencapai suatu
hasil. (Kristinsdottir, 2008). Tindakan itu, gigitan, sentuhan dan
sebagainya dalam memahami lingkungan.
Contoh : ketika seorang anak mencoba untuk menyeimbangkan diri ketika
berada di sebuah tempat yang memerlukan keseimbangan, seperti saat
berada di sebuah jembatan yang kecil yang membutuhkan keseimbangan
untuk melewatinya.
b. Tahap ikonik
Pada tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut
tentang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar atau
visualisasi verbal. Dalam hal ini, anak tidak lagi memanipulasi objek-
objek secara langsung, melainkan dengan menggunakan gambaran dari
objek tersebut. Contohnya dalam memahami sesuatu disekitar dengan
bentuk perumpamaan atau perbandingan, misalnya pada pengenalan
piramida.
c. Tahap simbolik
Tahap ini seseorang telah mencapai transisi dari tahap ikonok ke tahap
simbolik yang didasarkan pada sistem berpikir abtrak dan lebih fleksibel
yang dapatdipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasan dan logika.
Memahami lingkungan sekitar dengan simbol-simbol yang ada, misalnya
pengenalan timbangan melalui permainan jungkat-jungkit.
Menurut Bruner, untuk mengembangkan teori kognitif pada seseorang
diperlukan proses transformasi informasi yang benar secara bertahap, tahapan-
tahapan yang dimaksud, yaitu :
13
a. Perolehan informasi, yaitu tahap permulaan, dimana informasi diterima
dari luar, informasi secara sederhana diartikan sebagai ilmu pengetahuan.
b. Pengolahan Informasi, yaitu penyesuaian informasi-informasi yang telah
diperoleh berupa pengklasifikasian secara objektif.
c. Checking atau mengadakan tes kecukupan atau kebenaran terhadap
informasi yang telah diolahnya tersebut.
14
BAB III
RANGKUMAN
Ahli-ahli ilmu jiwa daya mengemukakakn suatu teori bahwa jiwa manusia
memiliki berbagai daya-daya. Daya-daya yang dimaksud misalnya daya mengenal,
daya mengingat, daya berpikir, daya fantasi, dan lain sebagainya. Daya-daya tersebut
merupakan kekuatan yang tersedia di dalam diri masing-masing individu.
Pengertian belajar menurut pandangan teori bahaviorisme adalah perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Teori ini
kemudian berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
arah perkembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai aliran behaviorisme.
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behaviorisme terkenal
dengan teori pengkondisian klasik stimulus-respons dan hal ini yang dikenang
darinya hingga kini. Demikianlah maka menurut teori conditioning bahwa belajar itu
adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions)
yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Teori Thorndike ini disebut juga
sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism). Thorndike lalu menyimpulkan
tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang
dikenal dengan proses “transfer of learning” atau pemindahan/pengalihan proses
belajar.
Istilah kognitif berasal dari kata “cognition” yang memiliki arti pengertian
atau mengerti. Pengertian secara luas dari kata cognition adalah perolehan, penataan,
dan penggunaan pengetahuan. Teori belajar kognitif juga menekankan pada bagian-
bagian atas situasi yang saling berkaitan dengan konteks situasi itu sendiri.
Pendangan akan teori ini, bahwa belajar adalah suatu proses di dalam, yang meliputi
memori, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek kejiwaan yang lainnya.
Teori belajar kognitif menerangkan bahwa belajar dengan cara focus pada perubahan
proses jiwa dan struktur yang terjadi sebagai akibat dari usaha untuk memahami
kehidupan.
Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas sedikit demi
sedikit dari fungsi intelektual, dari kongret menuju abstrak. Menurut Piaget (1980),
bahwa manusia memiliki struktur pengetahuan di dalam otaknya, seperti kotak-kotak
yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Aktivitas mental
anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut “skema” atau
pola tingkah laku.
15
DAFTAR RUJUKAN
Suyono dan Hariyanto. 2015. Belajar Dan Pembelajaran: Teori Dan Konsep Dasar.
Cetakan ke-5. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
16