Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

TUBERKULOSIS KUTIS

Disusun Oleh:

Karina Fadhilah A G99171022 Laksita Paramastuti G99172100


Adika Putra P G99172022 Rahadian Arista D G99181050
Windy Yuniarti G99172160 M Mushthafa H G99171028
Adinda Kharisma A G99181002 Zahra Afifah H G99172162
Vidya Ismiaulia G99171045 Adliah Fithri Anisa G99172024

Pembimbing:
dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc., Sp.KK, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN
FK UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

Naskah referat yang berjudul: Tuberkulosis Kutis

Oleh:

Karina Fadhilah A G99171022 Laksita Paramastuti G99172100


Adika Putra P G99172022 Rahadian Arista D G99181050
Windy Yuniarti G99172160 M Mushthafa H G99171028
Adinda Kharisma A G99181002 Zahra Afifah H G99172162
Vidya Ismiaulia G99171045 Adliah Fithri Anisa G99172024

Periode Koass: 24 Desember 2018 – 20 Januari 2019

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSUD Dr. Moewardi – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

yang bertandantangan di bawah ini:

Surakarta, Januari 2019

Staff Pembimbing

dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc., Sp.KK, FINSDV

2
DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang


disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Jalan masuk kedalam tubuh
biasanya melalui inhalasi, atau yang pada umumnya adalah dengan meminum
susu sapi yang tidak dipasteurisasi. Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah
kesehatan di dunia hingga saat ini. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi
yang berefek pada paru – paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian,
kulit, usus dan organ lainnya. Salah satu dari jenis tuberkulosis ini adalah
tuberkulosis kutis.

Seperti halnya tuberkulosis paru, tuberkulosis kutis terutama terdapat di


negara berkembang. Diyakini hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh faktor
hygiene dan ekonomi. Namun, seiring dengan menurunnya insidensi tuberkulosis
paru, menurun pula insidensi tuberkulosis kutis.

EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data yang ada di Indonesia, skrofuloderma merupakan bentuk


tuberkulosis kutis yang paling sering didapatkan (84%), dan disusul tuberkulosis
kutis verukosa (13%). Sedangkan bentuk-bentuk yang lain jarang didapatkan.
Pada negara dengan iklim yang dingin, seperti di benua Eropa, lupus vulgaris
merupakan jenis yang paling sering didapatkan, berbanding terbalik dengan di
Indonesia dimana bentuk tersebut jarang didapatkan. Di Amerika Serikat,
tuberkulosis kutis jarang sekali didapatkan. Tuberkulosis kutis banyak menyerang
anak-anak dan dewasa muda, dan pada wanita lebih sering daripada pria.

ETIOLOGI

Penyebab utama tuberkulosis kutis di Indonesia ialah Mycobacterium


tuberculosis berjumlah 91,5%. Sisanya (8,5%) disebabkan oleh mikobakteria
atipikal, yang terdiri atas golongan II atau M. scrofulaceum (80%) dan golongan
IV atau rapid growers (20%). Sedangkan mikobakteria golongan lain belum
pernah ditemukan.

3
Tuberkulosis kutis dapat ditularkan melalui inhalasi, ingesti, dan
inokulasi langsung pada kulit dari sumber infeksi. Selain manusia, sumber infeksi
kuman tuberkulosis ini juga adalah anjing, kera dan kucing.

PATOGENESIS

Cara infeksi bakteri M. tuberculosis ada 6 macam:

1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ dibawah kulit yang telah


dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit
tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan
resistensi lokalnya telah menurun, contohnya tuberkulosis kutis
verukosa.

KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis kutis yaitu tuberkulosis kutis yang menyebar
secara eksogen (inokulasi tuberkulosis primer/tuberkulosis chancre dan
tuberkulosis kutis verukosa), secara endogen (skrofuloderma, tuberkulosis
orifisial, lupus vulgaris, tuberkulosis kutis gumosa, dan tuberkulosis miliar akut)
dan tuberkulid (tuberkulid papulonekrotika dan liken skrofulosorum).

4
A. EXOGENOUS CUTANEOUS TUBERCULOSIS
Endogenous Cutaneus Tuberculosis merupakan infeksi tuberkulosis pada
kulit yang cara infeksinya secara eksogen. Terdiri dari Inokulasi Tuberkulosis
Primer/Tuberkulosis Chancre dan Tuberkulosis Verrucosa Cutis.

1. INOKULASI TUBERKULOSIS PRIMER/TUBERKULOSIS CHANCRE


Tuberkulosis Chancre merupakan infeksi tuberkulosis primer dan
biasanya terjadi setelah trauma kulit, dengan bagian yang terpapar paling sering
terkena (Cunliffe, 2017). Tuberkulosis Chancre adalah bentuk TB yang langka,
juga disebut TB primer inokulasi, karena berkembang pada individu yang
sebelumnya tidak peka terhadap mikobakterium, terjadi paling umum pada anak-
anak, terutama yang tidak mendapat vaksin Bacilli Calmette-Guerin (BCG)
(Zhang et al., 2018). Penyakit ini biasanya merupakan hasil dari pengenalan
langsung bakteri ke dalam kulit orang yang bebas TB dengan portal masuk berupa
lesi kulit (Zhang et al., 2018). Penyakit ini juga telah dilaporkan terjadi pada luka
bedah, tato dan tindik, serta bisa menular dari hubungan seksual (Santos et al.,
2014).

Ujud kelainan kulit berupa papula merah-coklat tanpa rasa sakit, nodul
atau ulkus dengan tepi yang tidak rata, sering terjadi pengerasan kulit. Ukuran lesi
biasanya 1 cm atau kurang dengan wajah dan ekstremitas menjadi tempat yang
paling sering terkena (Zhang et al., 2018). Lesi papula kemerahan muncul dua
hingga empat minggu setelah inokulasi, kemudian berkembang menjadi ulkus
dangkal tanpa rasa sakit atau mikroabses granulomatosa atau kerak tebal (Santos
et al., 2014). Setelah 3-8 minggu dari inokulasi TB Chancre, sering ada
penyebaran kuman TB ke kelenjar getah bening menyebabkan limfadenopati
regional yang nyeri, dan membentuk kompleks TB kulit primer (Santos et al.,
2014).

5
Gambar 1. Tuberkulosis Chancre (Cunliffe, 2017).

Gambar 2. Tuberkulosi Chancre yang didapat setelah prosedur injeksi


steroid. A. Sebelum pengobatan TB. B. Setelah pengobatan TB (Cunliffe, 2017).

Gambar 3. Tuberkulosi Chancre yang didapat setelah kecelakaan.

6
Pemeriksaan histopatologis dan laboratorium yang berkaitan dengan TB
sangat penting untuk mendiagnosis. Adanya gambaran lesi granulomatosa, yang
melibatkan dermis dan panniculus adiposus, yang terdiri dari limfosit, histosit,
neutrofil dan sedikit sel raksasa Langhans, mendukung diagnosis TB Chancre.
Pewarnaan asam positif menunjukkan jumlah mikobakterium di pinggiran
granuloma membantu untuk mengonfirmasi diagnosis. Ada banyak gangguan
granulomatosa yang dapat menyajikan gambaran histologis granuloma dengan
nekrosis, seperti Wegener granulomatosis (granuloma dengan nekrosis, infark),
Granulomatosis Churg-Strauss (granuloma,nekrosis) atau sarkoidosis (granuloma
tanpa nekrosis). Di antaranya, TBC adalah penyakit granuloma yang paling umum
berkembang dengan nekrosis fibrinoid (Zhang et al., 2018).

Penyembuhan dapat terjadi antara 3-12 bulan, meninggalkan jaringan


parut atrofi dan kalsifikasi pada kelenjar getah bening regional. Namun, jika obat
anti-TB tidak dikonsumsi, ada potensi risiko komplikasi seperti lupus vulgaris,
skrofuloderma atau diseminasi (TB miliaria akut) (Santos et al., 2014).

2. TUBERKULOSIS VERRUCOSA CUTIS


Tuberculosis verrucosa cutis terjadi oleh inokulasi eksogen dari basil ke
dalam kulit orang yang sebelumnya peka dengan kekebalan yang kuat terhadap
M. tuberculosis. Tuberculosis verrucosa cutis memiliki fase awal yang disebut
dengan Prosecutor’s wart yang dihasilkan dari inokulasi (James et al, 2016).
Laennec menerbitkan deskripsi pertama tentang Prosecutor’s wart pada tahun
1826, berdasarkan penyakit yang dideritanya di ruang otopsi (Belgaumkar et al,
2018).

Tuberculosis verrucosa cutis lebih sering terjadi pada laki laki


dibandingkan dengan perempuan, Kelompok berisiko tinggi yang sering terkena
Tuberculosis verrucosa cutis adalah dokter, ahli patologi, pekerja laboratorium,
petani, tukang jagal dan dokter hewan. Pada anak-anak yang tinggal di
lingkungan sosial ekonomi rendah umumnya kekurangan gizi dan terinfeksi pada
saat bermain atau duduk di tanah yang terkontaminasi oleh dahak tuberkulosis.

7
Lesi umumnya terlihat pada kaki pada populasi anak, sementara lesi di lengan
lebih cenderung terlihat pada orang dewasa (Belgaumkar et al, 2018).

Secara klinis, lesi dimulai sebagai papula kecil, yang kemudian menjadi
hiperkeratotik, menyerupai kutil. Lesi membesar dengan ekspansi perifer, dengan
atau tanpa kliring sentral, terkadang mencapai beberapa sentimeter atau lebih
dengan diameter. Permukaan dapat terjadi fisura dan keluar eksudat yang bersifat
purulen. Lesi hampir selalu soliter, dan adenopati regional biasanya hanya ada jika
infeksi bakteri sekunder terjadi. Lokasi yang sering untuk tuberkulosis veruka
cutis berada di dorsa jari dan tangan pada orang dewasa dan pergelangan kaki dan
bokong pada anak-anak. Lesi bersifat persisten tetapi biasanya dangkal dan
terbatas luasnya. Jaringan parut lokal, seperti terlihat pada lupus vulgaris, dapat
terjadi. Meski terkadang terpisah oleh area eksudatif atau supuratif, lesi jarang
bisul dan dapat sembuh secara spontan (James et al, 2016).

Secara histologis, ada hiperplasia pseudoepitheliomatous epidermis dan


hiperkeratosis. Peradangan supuratif dan granulomatosa terlihat di bagian atas dan
tengah dermis, kadang-kadang melubangi epidermis. Jumlah basil tahan asam
(BTA) biasanya hanya sedikit, dan kegagalan untuk menemukan BTA
seharusnya tidak digunakan untuk mengeksklusikan diagnosa. Kultur akan positif
dalam sedikit lebih dari 50% kasus (James et al, 2016).

Tuberculosis verrucosa cutis hanya dibedakan berdasarkan kultur dari


mycobacteriosis atipikal yang disebabkan oleh Mycobacterium marinum.
Tuberculosis verrucosa cutis juga harus dibedakan dari blastomycosis,
chromoblastomycosis, epidermal verukosa nevus, lichen planus hipertrofik,
halogenoderma, dan verruca vulgaris (James et al, 2016).

8
B. ENDOGENOUS CUTANEOUS TUBERCULOSIS
Endogenous Cutaneus Tuberculosis merupakan infeksi tuberkulosis pada
kulit yang cara infeksinya secara endogen. Cara infeksi tuberkulosis secara
endogen dibagi menjadi 2 yaitu auto-inoculation atau secara hematogen.
Manifestasi klinis infeksi infeksi secara auto-inoculation yaitu scrofuloderma,
orificial tuberculosis dan sebagian dari lupus vulgaris. Sedangkan manifestasi
klinis infeksi secara hematogen yaitu lupus vulgaris, tuberculous gumma dan
acute miliary tuberculosis (Santos et al, 2014).

1. AUTO-INOCULATION
a. SKROFULODERMA
Skrofuloderma adalah keterlibatan kulit pada penyakit tuberculosis yang
berasal dari ekstensi langsung dari fokus infeksi yang mendasarinya.
Skrofuloderma dapat terjadi pada semua orang namun paling sering terjadi
pada anak, remaja dan orang tua Karen merupakan fase dimana kondisi imun
seseorang cenderung untuk menurun. Skrofuloderma terjadi paling sering
pada kelenjar getah bening serviks tetapi juga dapat terjadi pada tulang atau
sekitar sendi jika ini terlibat. Secara klinis, lesi dimulai sebagai massa
subkutan, yang membesar membentuk nodul. Supurasi terjadi ditengahnya.
Lesi bisa eritem atau berwarna seperti kulit, dan biasanya suhu kulit tidak
meningkat dibandingkan massa. Lesi dapat mengering, membentuk sinus, atau
dapat terjadi ulkus dengan granulasi kemerahan di dasarnya. Prosedur bedah
mungkin memicu lesi skrofuloderma di atas sendi atau perut rongga,
tampaknya dengan melepaskan fokus yang terlokalisasi dan kontaminasi di
mana instrumen dimasukkan. Skrofuloderma sembuh dengan bekas luka
seperti kabel, sering memungkinkan diagnosis untuk dilihat bertahun-tahun
kemudian (Santos et al, 2014; James et al, 2016).

Secara histologis proses tuberculosis pada skrofuloderma dimulai di


kelenjar getah bening yang mendasari atau tulang dan memanjang ke dermis
dalam. Nekrosis terjadi dengan pembentukan rongga diisi dengan debris cair

9
dan PMN. Di pinggiran, peradangan granulomatosa lebih khas terlihat,
bersama dengan BTA dapat diamati pada setengah kasus skrofuloderma.
Skrofuloderma harus dibedakan dari infeksi mikobakteri atipikal,
sporotrichosis, aktinomikosis, coccidioidomycosis, dan hidradenitis
suppurativa. Limfogranuloma venereum (LGV) mendukung area inguinal dan
perineum, dengan tes serologis positif untuk LGV (James et al, 2016).

b. TUBERKULOSIS ORIFISIAL
Tuberkulosis cutis orifisialis adalah bentuk TB kulit yang terjadi pada
batas mukokutan pada hidung, mulut, anus, meatus urin, dan vagina dan pada
membran mukosa mulut atau lidah. Kondisi tersebut disebabkan oleh auto-
inoculation dari TB visceral aktif yang mendasarinya, khususnya laring, paru-
paru, usus, dan saluran genitourinari. Hal tersebut menunjukkan kegagalan
resistensi untuk penyakit ini. Akibatnya, uji tuberkulin dapat bervariasi tetapi
biasanya positif. Pasien yang mengalami orificial tuberculosis cenderung
memiliki prognosis buruk karena sebagian besar kondisi tersebut disertai
dengan resisten terhadap obat obatan penyakit tuberculosis (Santos et al, 2014;
James et al, 2016).

Lesi berbentuk ulkus sejak awal dan berkembang dengan cepat, tanpa
kecenderungan penyembuhan spontan. Ulkus biasanya lunak dan terdorong
keluar dan miliki tepi yang rusak. Secara histologis, dasar ulkus biasanya
sebagian besar terdiri dari jaringan granulasi yang diinfiltrasi dengan PMN.
Lateral dari ulkus, peradangan granulomatosa dapat ditemukan dengan BTA
yang banyak (James et al, 2016).

2. HEMATOGENIC
a. LUPUS VULGARIS
Lupus vulgaris merupakan bentuk dari TB kutis pausibasiler kronis dan
progresif yang memiliki gejala klinis berupa nodul eritem yang tidak terasa
nyeri pada regio facialis atau colli. Pada pemeriksaan diaskopi, ditemukan

10
gambaran apple-jelly. Cara infeksi penyakit ini secara endogen, yaitu dapat
secara hematogen maupun limfogen.
Lupus vulgaris merupakan TB kutis yang paling sering dijumpai setelah
scrofuloderma. Penderita perempuan lebih sering dijumpai dibandingkan laki-
laki, dengan perbandingan 3:1. Namun, insidensi di Indonesia masih sangat
jarang.
Gejala sistemik dapat berupa demam, malaise, keringat malam,
anoreksia dan berat badan menurun. Gejala lokal yang timbul sesuai dengan
organ yang terlibat. Pada dasarnya, lupus vulgaris memiliki lima jenis lesi,
yaitu plak, ulkus, lesi yang masih berkembang, tumor-like, dan papulonodular.
Namun, lesi pada lupus vulgaris biasanya soliter pada dua atau tiga tempat
yang muncul secara bersamaan, berupa makula dan papul eritema atau
hiperpigmentasi dengan konsistensi lunak. Lesi kemudian mengalami
perkembangan yang ditandai oleh perluasan secara lambat ke arah perifer
disertai peninggian lesi, yang kemudian membentuk plak hiperpigmentasi
yang bentuknya tidak teratur, yang dapat juga disertai erosi, ulserasi, serta
jaringan sikatrik.
Mycobacterium tuberculosis diduga mengalami penyebaran secara
hematogen atau limfogen dari lokasi infeksi primer (paru atau nodus limfe) ke
kulit. Pada penyakit ini, perlu dilakukan pemeriksaan diaskopi. Pada
pemeriksaan tersebut, ditemukan suatu tanda khas yaitu gambaran apple-jelly
yang berwujud papul berwarna kuning kecokelatan.
Pada pemeriksaan Ziehl Nielsen, tidak ditemukan adanya bakteri tahan
asam, namun ditemukan adanya sel PMN, bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif. Lupus vulgaris merupakan bentuk TB kutis pausibasiler
sehingga BTA pada pemeriksaan Ziehl Nielsen dan kultur seringkali
memberikan hasil negatif.
Diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk menyingkirkan
diagnosis banding berupa pemeriksaan hematologi rutin, LED, sediaan apus
darah tepi, kimia darah, fungsi hati, fungsi ginjal, laktat dehidrogenase,

11
kalsium, fosfat, elektrolit, urinalisis, feses lengkap, kultur pus dan sensitivitas,
foto toraks, tes Mantoux, biopsi kulit, kultur jamur, dan FNAB.
Penatalaksanaan lupus vulgaris sesuai dengan penatalaksanaan penyakit
tuberculosis paru. Untuk penatalaksanaan luka, diberikan kompres cairan
fisiologis dan salep antibiotik pada area lesi. Lupus vulgaris memiliki
prognosis yang baik, namun seringkali pada penderita ditemukan jaringan
sikatrik.

b. TUBERCULOUS GUMMA
Tuberculous gumma atau yang disebut juga dengan metastasis dari
tuberculous abses, merupakan jenis dari TB kutis multibasiler yang
mengalami persebaran bakteri Mycobacterium secara hematogen. TB Gumma
merupakan penyakit TB kutis yang jarang terjadi. Biasanya terjadi pada orang
dengan imunitas lemah.
Manifestasi klinisnya adalah nodul soliter atau multipel yang keras dan
berasal dari lapisan subkutan. Kemudian, nodul akan berkembang perlahan
menjadi abses, yang ditandai dengan nodul melunak dan bengkak. Kemudian
abses akan menghilang perlahan, meninggalkan ulkus yang tidak nyeri dengan
tepi berwarna kebiruan, dan sering disertai dengan sinus. Penyakit ini sering
sulit dibedakan dengan scrofuloderma. TB gumma merupakan penyakit
infeksi bakteri Mycobacterium yang menyebar secara hematogen dari area
infeksi primer.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis TB Gumma adalah
pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan tersebut, ditemukan ulser sentral
dengan banyak nekrosis kaseosa yang dikelilingi oleh giant cell dan makrofag.
Penatalaksanaan TB Gumma cukup menggunakan regimen antituberkulosis
paru.

c. TUBERKULOSIS MILIAR
Miliary tuberculosis (TB) adalah penyebaran luas dari Mycobacterium
tuberculosis melalui penyebaran hematogen. TB miliaria didefinisikan sebagai

12
penyemaian basil TB (rata-rata 2 mm; kisaran, 1-5 mm) di paru-paru,
sebagaimana dibuktikan pada radiografi dada. Pola ini terlihat pada 1-3% dari
semua kasus TB.
TB milier dapat terjadi pada organ individual (sangat jarang, <5%), di
beberapa organ, atau di seluruh tubuh (> 90%), termasuk otak. Infeksi ini
ditandai dengan sejumlah besar basil TB, walaupun mudah terlewatkan dan
berakibat fatal jika tidak diobati.
Hingga 25% pasien dengan TB miliaria mungkin memiliki keterlibatan
meningeal. Selain itu, TB miliaria dapat meniru banyak penyakit. Dalam
beberapa seri kasus, hingga 50% kasus adalah antemortem yang tidak
terdiagnosis. Oleh karena itu, indeks kecurigaan klinis yang tinggi penting
untuk mendapatkan diagnosis dini dan untuk memastikan hasil klinis yang
lebih baik.
Setelah terpapar dan terhirup basil TB di paru, kompleks paru primer
terbentuk, diikuti oleh pengembangan limfangitis paru dan limfadenopati
hilar. Mycobacteremia dan pembibitan hematogen terjadi setelah infeksi
primer. Setelah inhalasi awal basil TB, tuberkulosis milier dapat terjadi
sebagai TB primer atau dapat berkembang bertahun-tahun setelah infeksi
awal. Nodul diseminata terdiri dari nekrosis kasein sentral dan epiteloid
perifer serta jaringan fibrosa. Secara radiografi, mereka tidak dikalsifikasi
(berlawanan dengan fokus Ghon awal, yang sering terlihat pada radiografi
dada sebagai nodul terkalsifikasi kecil).
Faktor risiko untuk tuberculosis milier yang melibatkan kekebalan tubuh
adalah berkaitan dengan hal-hal berikut :
- Kanker
- Transplantasi
- Infeksi HIV
- Malnutrisi
- Diabetes
- Silicosis
- Penyakit ginjal stadium akhir

13
- Prosedur bedah besar - kadang-kadang dapat memicu diseminasi
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk diagnosis:

1. Pemeriksaan darah lengkap


Leukopenia/leukositosis biasanya muncul pada tuberkulosis miliar
2. Pemeriksaan kultur untuk melihat Mycobacteria
Sediiaan dapat diambil dari sputum, darah, urin dan cairan
serebrospinal
3. Skin tes tuberkulin
Tes kulit tuberkulin dengan turunan protein murni (PPD) sering
menghasilkan hasil negatif pada pasien dengan TB milier. Ini dapat
dijelaskan oleh sejumlah besar antigen TB di seluruh tubuh. Hasil tes
kulit TBC negatif tidak mengesampingkan kemungkinan TB.
Temuan histologis yang mungkin ditemukan adalah granuloma
nekrotikans adalah ciri khas TB, dan pewarnaan untuk basil tahan
asam mengungkapkan struktur mirip batang pada sekitar 80%
spesimen (lihat gambar di bawah). Nodul diseminata terdiri dari
nekrosis kasein sentral dan epiteloid perifer serta jaringan fibrosa.
Secara radiografi, nodul tidak mengalami kalsifikasi.

14
Gambar 4. Basil asam yang terlihat dalam karakteristik Mycobacterium
Tuberculosis

15
C. TUBERKULID
Tuberkulid merupakan reaksi id, yaitu kelainan kulit akibat alergi. Pada
kulit yang mengalami kelainan tidak ditemukan kuman penyebab, akan tetapi
kuman tersebut terdapat pada tempat lain pada tubuh, biasanya di paru. Tes
tuberkulin memberikan hasil positif.

1. PAPULONECROTIC TUBERCULID
Papulonecrotic Tuberculids adalah bentuk TB kulit hipergergik yang
langka, kronik dan berulang. Hal ini ditandai dengan lesi simetris yang pecah dari
papula nekrotikans yang didistribusikan terutama melibatkan bokong dan
permukaan ekstremitas pada lengan dan kaki.8 Penyakit ini memiliki evolusi
kronis dengan periode memburuk yang meninggalkan bekas atrofi kecil. Ciri khas
dari kondisi ini adalah bahwa lesi sembuh dengan jaringan parut yang bervariasi
dan berlubang. Erupsi ini diyakini mewakili reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen tuberkulosis yang dilepaskan dari fokus infeksi yang jauh. Sebagian besar
pasien bereaksi nyata terhadap tes kulit Mantoux dapat menunjukkan bukti lain
infeksi TB saat ini atau sebelumnya, dan bereaksi cepat terhadap terapi
antituberkulosis.
a. Etiopatologi
Erupsi ini merupakan bentuk respon imunologis host yang berlebihan
terhadap infeksi mikobakteri yang melibatkan pembuluh kulit. TBC aktif
dilaporkan pada sebanyak 40-75% pasien, paling umum di kelenjar getah
bening. Amplifikasi rantai reaksi polimer (PCR) untuk mikobakteri bervariasi.
Dalam serangkaian 12 kasus di India, PCR positif ditemukan pada 25% kasus.
Patofisiologi papulonecrotic tuberculid masih kontroversial. Kebanyakan
penulis percaya entitas penyakit ini dipicu oleh reaksi awal Arthus terhadap
antigen mikobakteri. Kemudian diikuti oleh reaksi hipersensitivitas di mana
antigen menjalani opsonisasi oleh antibodi, diikuti oleh pengendapan
kompleks imun dalam pembuluh darah kulit kecil. Kaskade komplemen
berikutnya memicu vaskulitis leukositoklastik, yang menyebabkan kerusakan
dinding pembuluh darah dengan nekrosis jaringan berikutnya. Seiring waktu,

16
reaksi hipersensitivitas tipe III ini dapat digantikan oleh reaksi tipe IV. Penulis
lain membantah mekanisme ini, dengan alasan kurangnya vaskulitis
leukositoklastik pada beberapa kasus. Sebagai gantinya, mereka mengusulkan
bahwa lesi primer adalah hasil dari vaskulitis limfohistiositik subakut yang
mengarah ke trombosis dan nekrosis jaringan berikutnya.
Sebuah konsensus telah dicapai bahwa tuberkulid papulonekrotik
merupakan reaksi hipersensitivitas akibat infeksi tuberkulosis kulit lokal. Hal
ini didasarkan pada pengamatan bahwa lesi tuberkulid papulonekrotik secara
konsisten tidak menunjukkan apusan positif atau menghasilkan kultur
organisme mikobakteri. Meskipun organisme tidak ada, DNA mikobakteri
telah terdeteksi di sekitar setengah dari spesimen biopsi yang mengalami
reaksi rantai polimerase (PCR). Pengamatan ini mendukung gagasan bahwa
lesi tuberkulid papulonekrotik adalah hasil dari antigen mikobakteri yang
dilepaskan dalam rangkaian infeksi jauh tetapi berlangsung bersamaan.
b. Epidemiologi
Papulonecrotic tuberculid adalah kelainan yang tidak biasa bahkan pada
populasi dengan prevalensi TB yang tinggi, terjadi pada kurang dari 5% pada
kasus TB aktif. Dalam literatur, 91 kasus dilaporkan selama periode 17 tahun
di Afrika Selatan pada tahun 1974. Selain itu, 12 kasus dari periode lebih dari
30 tahun di Inggris dilaporkan pada tahun 1986. Dalam penelitian terakhir,
sebagian besar pasien adalah imigran dan diduga terinfeksi di luar Inggris.
Insidensi tuberkulosis diperkirakan akan meningkat karena masuknya
pengungsi dari daerah endemis seperti Afrika dan Timur Tengah terus
tumbuh. Freiman et al melaporkan kasus pada seorang wanita berusia 25 tahun
dari Filipina yang telah berimigrasi ke Kanada 8 tahun sebelumnya. Dalam
periode 9 tahun, 4 kasus dilaporkan di Hong Kong, yang merupakan kasus
tuberkulosis kulit yang paling jarang muncul selama waktu itu. Dalam periode
5 tahun, 12 kasus dilaporkan di India, negara yang memiliki beban
tuberkulosis tertinggi di dunia.
Wanita tampaknya berada pada risiko yang sedikit meningkat daripada
pria untuk mengembangkan gangguan ini. Anak-anak dan dewasa muda lebih

17
rentan terhadap kondisi ini daripada orang lain. Papulonecrotic tuberculids
mewakili 4% dari TB kulit anak. Dalam sebuah studi tahun 1974 dari Afrika
Selatan, dua pertiga dari pasien berusia di bawah 30 tahun.
c. Presentasi Klinis
Papulonecrotic tuberculids muncul sebagai papula, nodul, atau pustula,
yang dapat menjadi ulserasi dan berkerak. Mereka muncul secara simetris
dengan kecenderungan untuk ekstremitas, terutama ekstremitas atas.
Meskipun digambarkan sebagai mempengaruhi permukaan ekstremitas,
keterlibatan lesi secara luas dapat mucul. Lesi sembuh secara spontan dalam
beberapa minggu; mereka yang mengalami ulserasi meninggalkan bekas luka
yang bervariasi. Lesi-lesi baru terbentuk ketika lesi-lesi yang lebih tua
sembuh, memberikan erupsi penampilan yang polimorf. Lesi oral belum
dilaporkan sampai saat ini.
Papulonecrotic tuberculids telah dilaporkan muncul bersamaan dengan
lesi eritema induratum, serta lichen scrofulosorum. Dalam beberapa laporan,
lesi kulit dapat sembuh dengan terapi antituberkulosis yang tepat.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada lesi primer dapat ditemukan lesi
awal dengan diameter 2-8mm, papula eritem dengan pustul dan ulserasi
sentral yang membentuk papula berkerak hemoragik. Lihat gambar di bawah
ini.

18
Gambar 5. Papulonekrotik Tuberkulid
Lesi muncul dengan simetris, biasanya cenderung muncul pada bagian
akral. Secara khas, lesi berkembang di permukaan ekstrimitas, terutama lutut,
siku, dan dorsum tangan dan kaki, meskipun keterlibatan luas dapat terjadi.
Keterlibatan kelenjar penis jarang dilaporkan. Hiperpigmentasi hingga papula
eritematosa dengan kerak sentral terlihat lebih awal, dan lesi umumnya
sembuh dengan jaringan parut. Dalam satu penelitian, sebanyak sepertiga dari
kasus dikaitkan dengan limfadenopati cervical, dan beberapa pasien muncul
skrofuloderma. Komplikasi dapat terjadi dengan munculnya jaringan parut
varioliform yang signifikan dan dapat berkembangan menjadi lupus vulgaris.
d. Histopatologi
Gambaran histologis bervariasi terhadap waktu biopsi. Pada lesi awal,
muncul bukti adanya vasculitis, yang biasanya leukositoklastik dengan
nekrosis fibrinoid pada dinding pembuluh darah dan puing karyorrhectic,
harus ada. Namun, beberapa penulis telah menemukan bahwa lesi primer
terdiri dari limfohistiocytic, daripada leukocytoclastic, vasculitis. Telah
dilaporkan sebagai temuan konstan dalam serangkaian kasus dengan adanya

19
hiperplasia epidermal psoriasiformis, serta adanya infiltrat inflamasi campuran
superfisial dan dalam termasuk neutrofil dan eosinofil.
Ciri khas gangguan ini adalah adanya edema kenyal perivaskular.
Karena perubahan vaskuler obliteratif, area nekrosis dermal terbentuk,
dikelilingi oleh infiltrat inflamasi granulomatosa dengan sel raksasa dan
histiosit epiteloid. Granuloma tuberkuloid yang terbentuk dengan baik dengan
sel raksasa Langerhans biasanya tidak ada pada lesi. Apusan khusus untuk
mikobakteri biasanya negatif.
Diferensial diagnosis histologis tergantung pada waktu biopsi serta
penampilan histologis. Secara khusus, granuloma palisading inflamasi (yaitu,
granuloma annulare dan granuloma infektif) mungkin terlihat serupa
dibandingkan dengan yang ditemukan kadang-kadang pada papulonecrotic
tuberculid.

Gambar 6. Papulonecrotic tuberculid dengan Multinucleated Giant Cell

20
Gambar 7. Papulonecrotic tuberculid. Area nekrosis dikelilingi proses
granulomatous

2. LICHEN SCROFULOSORUM
Liken skrofulosorum, juga dikenal sebagai "tuberculosis cutis
lichenoides," adalah TB langka yang muncul sebagai erupsi likenoid pada papula
di anak-anak dan remaja dengan tuberkulosis. Lesi biasanya asimptomatik,
berkelompok berdekatan, berwarna seperti kulit hingga papula coklat kemerahan,
sering perifollicular, dan kebanyakan ditemukan pada perut, dada, punggung, dan
bagian proksimal anggota gerak. Erupsi biasanya berkaitan dengan reaksi
tuberkulin yang sangat positif. Diagnosis lesi ini bisa sulit, karena menyerupai
banyak kondisi dermatologis lain yang sering dipertimbangkan. Histologi
menunjukkan sel epiteloid granuloma diatas dermis. Basil tuberkel hampir tidak
pernah terlihat dalam spesimen histologi, mereka juga tidak dapat dibiakkan.
Dalam sebuah penelitian pada 39 kasus LS oleh Singhal et al., 72% kasus
memiliki fokus TB yang mendasarinya dan 28% kasus tidak memiliki fokus yang

21
dapat diidentifikasi. Dalam hal ini, tidak ada bukti infeksi tuberkulosis saat ini
atau di masa lalu.
Diagnosis lesi ini bisa sulit, karena menyerupai banyak kondisi
dermatologis lain yang sering dipertimbangkan. Diagnosis banding dapat meliputi
lichen spinulosus, lichen nitidus, keratosis pilaris, pityriasis rubra pilaris, dan
sarkoidosis likenoid.

Gambar 8. Manifestasi Klinis Lesi Papular

Gambar 9. Gambaran Histopatologi

22
Gambar 10. Mantoux Test (+)

23
3. ERITEMA NODUSUM
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas
bagian ekstensor yang diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang dapat
memberikan gambaran klinis sebagai E.N. yang sering adalah lepra sebagai
Eritema Nodosum Leprosum, reaksi id karena Streptococcus B hemoliticus,
alergi obat secara sistemik dam demam reumatik.

Gambar 11. Eritema Nodusum

24
4. ERITEMA INDURATUM (E.I) BAZIN
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah
arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak. Sering terjadi pada
wanita usia pertengahan. Kelainan kulit juga berupa eritema dan nodus-nodus
indolen seperti pada E.N., tetapi tempat predileksinya pada ekstremitas bagian
fleksor. Pada bagian belakang betis sering memperlihatkan gambaran
akrosianosis. Perbedaan lain, pada E.I. terjadi supurasi sehingga membentuk
ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi tetapi regresi sehingga
terjadi hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif.
Diagnosis diferensial kasus ini adalah eritema nodusum, vaskulitis nodular,
dan poliartritis nodusa.

Gambar 12. Eritema Induratum

5. TUBERKULOSIS KUTIS SEKUNDER PADA VAKSINASI BCG


Vaksin BCG adalah vaksin virus hidup yang berasal dari strain M. bovis
yang dilemahkan. Ini telah banyak digunakan untuk mencegah infeksi TBC
serius, seperti meningoensefalitis dan TBC milier akut. Namun, dapat
menyebabkan komplikasi kulit seperti TBC, lupus vulgaris, skrofuloderma
dan bahkan wabah TBC di organ lain, dan reaksi spesifik, seperti demam,
peradangan lokal, abses, dan limfadenitis.

25
TATALAKSANA
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru.
Untuk mencapai hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu
pengobatan harusdilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi
resistensi dan pengobatanharus dalam kombinasi. Dalam kombinasi tersebut INH
disertakan, diantaranya karena obattersebut bersifat bakterisidal, harganya murah
dan efek sampingnya langka. Sedapat-dapatnya dipilih paling sedikit 2 obat yang
bersifat bakterisidal, dan keadaan umum diperbaiki.
Pemilihan obat tergantung pada keadaan ekonomi penderita, berat-
ringannya penyakit, dan adakah kontraindikasi. Dosis INH (H) pada anak 10
mg/Kg BB, pada orang dewasa 5mg/Kg BB, dosis maksimum 400 mg sehari.
Rifampisin (R) 10 mg/kg BB paling lama diberikan 9 bulan. Bila digunakan Z
hanya selama 2 bulan, kontraindikasinya penyakit hepar. Pirazinamid (Z) 25
mg/kg BB, streptomisin (S) 15 mg/kg BB, dosis maksimum streptomisin 90 gram.
Ethambutol (E) 15 mg/kg BB.
Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, yaitu tahapan awal
(intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman
yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat
yang bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi
membunuh kuman yang tumbuh lambat.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan
jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi
dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan
menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Selama fase lanjutan diuperlukan lebih
sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk
membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan. Pada paien dengan
sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat
selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko
terjadinya resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB

26
ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di
dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase awal dengan 3 obat dan fase lanjutan
dengan 2 obat biasanya sudah memadai. Pada pasien yang pernah diobati ada
resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase
awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2
diantara obat yang diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar
dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan
menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10
mg/kgBB, Pirazinamid 35mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB. diikuti fase
lanjutan selama 4 bulan dengan INH danRifampisin untuk tuberkulosis paru dan
ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasiendengan resistensi terhadap
INH.

Tabel 2. Obat antituberkulosis yang ada di Indonesia: dosis, cara pemberian


dan efek sampingnya
Nama Obat Dosis Cara Pemberian Efek Samping Utama
INH 5-10 mg/kgBB per os dosis tunggal neuritis perifer
gangguan hepar
Rifampisin 10 mg/kgBB per os, dosis tunggal gangguan hepar
waktu lambung
kosong
Pirazinamid 20-35 mg/kgBB per os dosis terbagi gangguan hepar
Etambutol bulan I/II 25 per os dosis tunggal gangguan N. II
mg/kgBB,
berikutnya 15
mg/kgBB
Streptomisi 25 mg/kgBB IM gangguan N. VIII,
n terutama cabang
vestibularis

27
Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan pada lupus vulgaris,
tuberkulosis kutisverukosa yang kecil, serta skrofuloderma pada ekstremitas
bawah. Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting pengobatan
sistemik. Pada skrofuloderma, jika ulkus masih mengandung pus dikompres,
misalnya dengan larutankalium permanganas 1/5000.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alamatori M. (2018). Overview of Cutaneous Tuberculosis. Crimson Journal of


Skincare and Hair Therapy; 1(1):1-4.

Belgaumkar, V., Chavan, R., Suryataley, P., Salunke, A., Patil, P. and Borade, S.
(2018). Tuberculosis verrucosa cutis: case report of a diagnostic
challenge. Belgaumkar VA et al. Int J Res Dermatol. 4(2):265-268.

Cunliffe T. Mycobacterial Infections [Internet]. Primary Care Dermatology


Society, 2017 [disitasi 12 Januari 2019]. Diakses dari:
http://www.pcds.org.uk/clinical-guidance/mycobacterial-infections.

Djuanda A. (2007). Tuberkulosis Kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,


editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (5th ed.). Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; pp. 64-72.

James, W., Elston, D., Berger, T. and Andrews, G. (2016). Andrews' Diseases of
the skin. [London]: Saunders/ Elsevier.

Jayadi NN, Ernaningtyas N, Niode NJ, Wongkar MCP. (2015). Lupus Vulgaris
dengan Lesi Diseminata. Jurnal Biomedik (JBM); 7(3):185-194.

Khadka P, Koirala S, Thapaliya J. (2018). Cutaneous Tuberculosis:


Clinicopathologic Arrays and Diagnostic Challenges. Dermatol Research
and Practice. 2018:1-9.

Ko MJ, Wu CC, Chiu HC. (2005). Tuberculous Gumma (Cutaneous Metastatic


Tuberculous Abscess). Dermatol Sinica: 27-31.

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Kutis di Indonesia (PPTI). (2011). TB


di Indonesia peringkat keempat. [cited 2019 Januari]. Available from:
www.ppti.info/2012/09/tbc-di-indonesia-peringkat-ke-5.html.

29
Rahman MH, Ansari NP, Hadiuzzman MD, Nipa NI, Islam S, Mumu SA, et al.
(2011). Lupus vulgaris on the buttock mimicking tinea corporis. Journal
of Pakistan Association of Dermatologists;21(4):295-297.

Santos JB, Oliveira MH, Figuereido AR, Silva PG, Ferraz CE, Medeiros VLS.
Cutaneous tuberculosis: epidemiologic, etiopathogenic and clinical aspects
- Part I. An Bras Dermatol. 2014;89(2): 219-228.

Zhang L, Tian X, Zeng J, Liu W, Li W, Luo Q. Tuberculosis chancre on the left


knee in 3-year old child. Int J Clin Exp Med. 2018;11(4): 4285-4289.

30

Anda mungkin juga menyukai