Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

Penatalaksanaan Migrain

Disusun Oleh :

Livia Eka Sofiani


102119034

Pembimbing :
dr. Filemon Tarigan, Sp. S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


RSUD Dr. R.M. DJOELHAM BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
izinnya penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul
“PENATALAKSANAAN MIGRAIN”. Referat ini di buat untuk melengkapi
persyaratan dalam mengikuti kegiatan kepanitraan klinik senior dibagian ilmu
penyakit Saraf di RSUD. DR. R. M. Djoelham Binjai.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing


yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan agar referat ini
lebih baik dan bermanfaat. Tentunya penulis menyadari bahwa referat ini banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca agar kedepannya penulis dapat memperbaiki dan
menyempurnakan kekurangan tersebut.

Besar harapan penulis agar referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk
meningkatkan keilmuannya.

Binjai, Agustus 2020

Penulis
DAFTAR ISI
MIGRAIN

Definisi
Menurut International Headache Society, migren adalah nyeri kepala dengan
serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya
berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat dan diperberat oleh aktivitas, dan
dapat disertai mual, muntah, fotofobia dan fonofobia.

Epidemiologi
Nyeri kepala migrain diperkirakan dua sampai tiga kali lebih sering pada
perempuan daripada laki-laki, cenderung dijumpai dalam satu keluarga, diperkirakan
memiliki dasar genetik, dan biasanya dijumpai pada perempuan muda yang sehat.

Etiopatoisiologi
Patofisiologi migren masih belum jelas, namun ada tiga teori yang dapat
menjelaskan mekanisme terjadinya migren. Teori pertama adalah teori vaskular yang
menyebutkan bahwa pada serangan migren terjadi vasodilatasi arteri ekstra kranial.
Teori kedua adalah teori neurologi yang menyebutkan bahwa migren adalah akibat
perubahan neuronal yang terjadi di area otak yang berbeda dan dimediasi perubahan
sistem neurotransmisi. Teori ini fokus pada fenomena depolarisasi kortikal yang
menyebar yang menyebabkan munculnya aura. Teori ketiga menyebutkan tentang
perubahan vaskular akibat disfungsi neuronal sehingga terjadi vasodilatasi meningeal.
Berdasarkan gejala klinis migren, terdapat tiga fase terjadinya migren yaitu pencetus,
aura dan nyeri kepala. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pencetus melibatkan
batang otak sebagai pembangkit migren dan mungkin berhubungan dengan
channelopathy familial. Setelah itu, aliran darah otak regional berkurang yang diikuti
depresi gelombang penyebaran kortikal. Pada penderita dengan aliran darah otak yang
menurun, maka aura akan muncul. Aliran darah otak yang berkurang ini akan diikuti
oleh vasodilatasi selama munculnya nyeri kepala, yang mungkin akibat dari
perubahan aktivitas neuron yang mensarafi arteri kranial. Penelitian imunohisto
kimiawi mendapatkan adanya neurotransmiter selain noradrenalin dan asetilkolin
yang bersifat vasodilator yaitu 5-HT, vasoactive intestinal peptide (VIP), nitric oxide
(NO), substansi P, neurokinin A dan CGRP. Vasodilatasi kranial menyebabkan aliran
darah yang meningkat setiap kali jantung berdetak sehingga terjadi pulsasi pada
pembuluh darah yang terlibat. Pulsasi tersebut akan dirasakan oleh reseptor regangan
pada dinding vaskular dan menyebabkan peningkatan sensorik saraf perivaskular
(trigeminus) sehingga terjadi nyeri kepala dan gejala lain. Rangsangan trigeminal ini
akan mengeluarkan neuropeptida sehingga vasodilatasi dan aktivitas saraf
perivaskular bertambah.
Klasifkasi
Teori tentang klasifikasi nyeri kepala migrain telah banyak dikemukakan. HIS
(International Headache Society) membagi migrain menjadi dua, yaitu:
1) Migrain tanpa Aura
Migrain tanpa aura adalah tipe yang jauh lebih sering dijumpai, karena
ditemukan pada sekitar 80% dari semua pengidap migrain. Migrain tanpa aura
mungkin dimulai di neuron-neuron nosiseptif di pembuluh darah. Sinyal nyeri
berjalan dari pembuluh darah ke aferen primer dan kemudian ke ganglion
trigeminus dan akhirnya mencapai nukleus kaudalis trigeminus yang
merupakan suatu daerah pengolah nyeri di batang otak. Neuron-neuron aktif di
sistem saraf pusat kemudian mengekspresikan gen c-fos yang ditekan oleh
butabarbital di dalam nukleus kaudatus. IHS (International Headache Society)
mendefinisikan migrain sebagai paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala
seumur hidup yang memeuhi kriteria berikut:
a) Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak diobati.
b) Nyeri kepala dengan paling sedikit dua dari empat gambaran berikut: lokasi
unilateral, kualitas berdenyut (pulsating), 21 intensitas nyeri sedang sampai
berat, atau nyeri yang diperparah oleh aktifitas fisik rutin.
c) Paling sedikit terdapat satu dari dua hal berikut selama nyeri kepala:
i. mual dan muntah atau keduanya.
ii. fotofobia dan fonofobia.
2) Migrain dengan Aura
Pasien yang mengalami migrain dengan didahului oleh aura lebih besar
kemungkinannya mengalami rangkaian perubahan neurobiologik selama 24
sampai 48 jam sebelum awitan nyeri kepala. Perubahan-perubahan fungsi
neurologik tersebut biasanya dimulai dan berakhir sebelum awitan nyeri
kepala. Kualitas penyebaran gejala neurologik fokal yang khas mengisyaratkan
bahwa aura seupa dengan “spreading depression” pada korteks yang terjadi
saat suatu gelombang depolarisasi listrik berjalan melintasi korteks dan
merangsang neuron-neuron sehingga fungsi neuron-neuron tersebut terganggu
dan terjadi pengaktifan trigeminus. Spreading depression tersebut memerlukan
aktivitas reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) glutamat. Gejala aura yang
khas mencakup perubahan penglihatan dan sensorik abnormal lainnya seperti
kilatan atau cahaya tajam atau merasa mengecap atau membaui sesuatu, serta
defisit motorik dan bicara (afasia). Aura juga dapat bersifat somatosensorik
seperti rasa baal di satu tangan atau satu sisi wajah. Kriteria diagnostik IHS
untuk migrain dengan aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling tidak
tiga dari empat karakteristik berikut:
a) Satu atau lebih gejala aura reversibel yang mengisyaratkan disfungsi
korteks serebrum atau batang otak atau keduanya.
b) Satu gejala aura timbul secara bertahap selama lebih dari 4 menit.
c) Tidak ada gejala aura yang menetap lebih dari 60 menit (durasi secara
proporsional meningkat apabila terdapat lebih dari satu gejala aura).
d) Nyeri kepala mengikuti aura dengan interval bebas kurang dari 60 menit
dan dapat muncul sebelum atau bersama aura. Nyeri kepala biasanya
berlangsung 4 sampai 72 jam tetapi mungkin tidak ada (aura tanpa nyeri
kepala). Beberapa hal yang perlu diingat dalam penggunaan kriteria IHS
adalah tidak semua serangan migrain harus memenuhi semua karakteristik
tersebut, sebagai contoh banyak migrain yang bersifat bilateral dan tidak
berdenyut. Dampak dan hendaya migrain dapat disebabkan oleh gejala
yang memang menyebabkan hendaya, dan 23 menjadi sumber gangguan
itu sendiri selain nyeri dari serangan migrain. Banyak fungsi fisiologik
yang terganggu selama migrain, diantaranya:
i. gangguan pemrosesan sensorik menyebabkan disfungsi penglihatan
dan pendengaran (fotofobia dan fonofobia)
ii. gangguan motilitas gastrointestinal dapat menyebabkan mual dan
muntah serta kesulitan mengkonsumsi obat antimigrain oral;
iii. gangguan otonom dapat menimbulkan berbagai gejala seperti diare;
iv. gangguan serebrum dapat menyebabkan perubahan kognitif dan
suasana hati.
Diagnosis migren memiliki lima prediktor, yaitu berdenyut (pulsating), durasi
4–72 jam, unilateral, mual, dan mengganggu aktivitas (disabling). Terkadang gejala
awal migren mirip dengan penyakit lainnya. Karena itu, diperlukan diagnosis banding.

Penatalaksanaan
Tujuan umum terapi miren adalah menghilangan nyeri kepala dan gejala yang
menyertai, mengembalikan penderita ke aktifitas yang normal, memperbaiki penatalaksanaan
nyeri kepala, efek samping minimal, memperbaiki kualitas hidup dan mencegah terjadinya
medical overuse headache (MOH).
Secara umum dibedakan menjadi terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi
farmakologis termasuk simtomatis, abortif, dan pencegahan (proflaktik). Tidak perlu resep
obat dokter bila serangan migren jarang- jarang dan dengan mudah dihilangkan dengan tidur.
Untuk sebagian besar penderita, terapi simtomatis atau abortif saja sudah cukup. Untuk
episode yang sering, diperlukan terapi kombinasi antara simtomatis, abortif, dan profilaktik.
Seorang klinisi hendaknya memahami terapi yang tepat dan efektif untuk penderita migren.
Pengobatan penderita migren dengan penyerta/komorbiditas juga memerlukan
perhatian, misalnya migren pada wanita hamil, migren dengan depresi, migren dengan
hipertensi, migren dengan asma. Untuk wanita hamil setelah trimester pertama, steroid
merupakan obat yang paling aman untuk mengakhiri serangan. Contoh lainnya, memberikan
beta-bloker, antagonis kalsium, atau angiotensin receptor blocker (ARB) untuk penderita
migren berat dengan hipertensi, atau antidepresan trisiklik untuk penderita migren dengan
depresi atau yang sulit tidur, dapat memberikan manfaat bagi kedua kondisi medis (migren
dan penyertanya). Obat tertentu perlu diperhatikan, seperti beta-bloker pada penderita depresi,
asma, dan hipotensi, atau carbonic anhydrase inhibitor membrane stabilisers (topiramat dan
zonisamid) pada penderita dengan batu ginjal.
Menstrual migraine (migren yang berkaitan dengan menstruasi) memerlukan
pendekatan tersendiri. Hasil studi posthoc subanalysis of a controlled randomized trial
menunjukkan bahwa regimen frovatriptan (2,5 mg) selama 6 hari terbukti efektif dalam
pencegahan jangka pendek. Berbagai kondisi lain, seperti kenyamanan psikologis,
ketenangan jiwa, dan faktor stresor, juga perlu diperhatikan.
Secara umum, direkomendasikan tiga lini terapi. Pemilihan obat bergantung pada
indikasi, pengalaman klinisi, cost-effectiveness, efek samping, waktu paruh, keterjangkauan,
dan ketersediaan obat. Terapi lini pertama menggunakan antiemetik oral atau intravena,
parasetamol, asam asetil- salisilat (ASA), NSAID (ibuprofen, naproksen, diklofenak),
fenotiazin, di-hidroergotamin (DHE) intranasal atau subkutan, naratriptan, rizatriptan, atau
zolmitriptan. Terapi lini kedua menggunakan antiemetik (intravena), NSAID (mis., ketorolak
intramuskular), sumatriptan (subkutan), ergotamin, haloperidol, lidokain intranasal, opiat
intranasal, kortikosteroid, fenotiazin, atau opiat. Terapi lini ketiga menggunakan sumatriptan
(intranasal), fenotiazin intravena, barbiturat. Tiga lini terapi migren di atas secara umum dapat
dikelompokkan lagi menjadi terapi akut non- spesifik dan terapi akut spesifik.
Analgesik dan NSAID merupakan terapi akut lini pertama. Obat-obat golongan ini
meliputi asam asetilsalisilat (500-1000 mg), kalium diklofenak (50-100 mg), flubiprofen
(100-300 mg), ibuprofen (400-2400 mg atau 200-800 mg), naproxen (750-1250 mg),
naproksen sodium (550-1100 mg), parasetamol (1000 mg), piroksikam SL (40 mg), dan asam
tolfenamat (200-400 mg). Kombinasi analgesik seperti: parasetamol, aspirin dan kafein,
secara signifikan terbukti lebih efektif daripada plasebo.Terkadang efikasi analgesik
dilengkapi dengan pemberian bersama metoklopramid (5 mg atau 10 mg oral) diberikan
sebelum atau bersamaan dengan analgesik oral); penambahan ini dapat meningkatkan
absorpsi asam asetilsalisilat, menurunkan mual, dan memperbaiki respons terapeutik.
Antiemetik, Beberapa agen gastroprokinetik efektif mengatasi mual dan muntah pada
penderita migren. Contoh obat golongan ini adalah metoklopramid (10 mg PO, IM, atau IV)
dan domperidon (20-30 mg PO atau PR), yang memiliki keuntungan tambahan dalam
meningkatkan bioavailabilitas obat-obat yang diberikan bersamaan secara oral untuk
mengatasi migren. Klorpromazin (25-50 mg IM), metoklopramid (10 mg IV atau IM), dan
proklorperazin (10 mg IV atau IM) juga telah digunakan sebagai terapi tunggal untuk
mengatasi migren.
Sumatriptan, triptan yang pertama, pada mulanya tersedia dalam sediaan subkutan.
Enam triptan yang ditemukan setelah sumatriptan ialah almotriptan, eletriptan, frovatriptan,
naratriptan, rizatriptan, dan zolmitriptan. Onset tercepat dijumpai pada pemberian
sumatriptan subkutan. Eletriptan dan rizatriptan adalah triptan oral dengan aksi paling cepat,
yang efeknya terlihat setelah 30 menit. Almotriptan, sumatriptan, dan zolmitriptan bekerja
dalam waktu 45-60 menit. Yang paling memungkinkan untuk keberhasilan terapi secara
konsisten adalah almotriptan, eletriptan, dan rizatriptan. Efek samping paling rendah
dilaporkan pada almotriptan, eletriptan, dan naratriptan. Triptan lebih efektif bila nyeri kepala
masih ringan, tidak bermanfaat bila diminum sebelum onset nyeri kepala, atau selama gejala-
gejala premonitory atau aura. Kontraindikasi pemberian triptan antara lain penyakit arteri
yang tidak diobati, penyakit Raynaud, kehamilan, laktasi, gagal ginjal berat, dan gagal hati
berat. Triptan sebaiknya dihindari penderita dengan aura yang tidak biasa atau memanjang,
migren basilar, dan migren hemiplegik.
Dihidroergotamin dapat diberikan secara intramuskuler, intravena, subkutan, dan in-
tranasal. Kontraindikasi pemberian turunan ergot sama seperti kontraindikasi pemberian
triptan.
Di IGD, untuk migren derajat ringan/sedang dan pasien belum minum obat, dapat

diberikan aspirin 900 mg dan metoklopramid 10 mg per oral. Untuk migren sedang hingga
berat, ada dua pilihan. Pilihan pertama, bila sudah diberi obat dokter, biasa minum obat, atau
disertai muntah, dapat diberikan metoklopramid 10 mg IM atau proklorperazin 12,5 mg IM
atau sumatriptan 6 mg SC. Pilihan kedua, untuk migren derajat sedang hingga berat (pada
situasi kegawatdaruratan), bisa digunakan klorpromazin 25 mg dalam 1.000 mL saline
normal IV, diberikan dalam 30-60 menit (diulangi bila perlu), atau proklorperazin 12,5 mg IV
atau sumatriptan 6 mg SC.
Untuk mencegah penderita migren akut menjadi kronis, diperlukan pula pendekatan
psikosomatik yang meliputi penilaian fisik dan mental, contohnya autogenic training,
biofeedback therapy, dan cognitive therapy. Hal ini perlu dilakukan mengingat stres sosial
dan psikologis serta gangguan ansietas dan depresi adalah faktor terpenting dalam
perjalanan dan pemeliharaan penderita migren.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adriyana, I Made Oka. (2010). Migraine different management in children and


adult, (online),
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/01fe527d6b21e2bc8c319
ad2502b0948.pdf, diakses 26 Agustus 2020)
2. Anindhita, T. dan Wiratman, W.(2017), Buku Ajar Neurologi, Departemen
Neurologi FKUI, Jakarta.
3. Anurogo, Dita. (2012). Penatalaksanaan Migren, (online),
(https://docplayer.info/39342823-Penatalaksanaan-migren.html, diakses 26
Agustus 2020)
4. Ganong, W. F. (2011), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta.
5. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2010). Patofisiologi (Vol. 2). Jakarta: EGC.
6. Mansjoer, A.(2008). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai