Fasilitator:
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Dimana makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah “Keperawatan HIV-AIDS”. Selain itu, tujuan dari penyusunan makalah ini juga
untuk menambah wawasan tentang “Prinsip Perawatan pada Bayi dan Anak Penderita HIV
AIDS atau dengan Orang Tua HIV AIDS” secara meluas. Dengan terselesaikannya makalah ini
tim penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Heny Eka Puji S.ST., M.Kes selaku dosen mata kuliah “Keperawatan HIV-AIDS”
yang telah membimbing kami dalam proses pembelajaran.
2. Kepada beberapa situs web dan artikel yang telah memberikan bantuan dalam proses
pengumpulan bahan materi untuk pembuatan makalah yang telah disebutkan pada bagian
daftar pustaka.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan
saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan
banyak terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak diidentifikasi kasus AIDS pada tahun 1981 di Los Angeles, kasus AIDS
melanda dunia. Di Asia Tenggara jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 1999 adalah
134.671 kasus. Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada
kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para Pekerja Seks (PS) dan
pengguna NAPZA suntikan (penasun), kemudian diikuti dengan peningkatan pada
kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dan perempuan berisiko
rendah. Saat ini dengan prevalensi rerata sebesar 0,4% sebagian besar wilayah di Indonesia
termasuk dalam kategori daerah dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi. Sementara itu,
Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas, dengan prevalensi HIV sebesar
2,3%. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tentang
perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) pada triwulan II
tahun 2020 hingga Juni 2020, menunjukan bahwa estimasi jumlah Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) telah mencapai 543.100 orang. Program penanggulangan AIDS di Indonesia,
menuju pada getting 3 zeroes, yaitu zero new infection, zero AIDS-related death dan zero
stigma and discrimination.
Infeksi HIV pada bayi dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
sangat serius karena jumlah penderita yang banyak dan selalu meningkat sebagai akibat
jumlah ibu usia subur yang menderita penyakit HIV bertambah. Sebagian besar HIV pada
anak (90%) diperoleh melalui transmisi vertikal yaitu penularan dari ibu ke bayi yang
dikandungnya (mother to child transmission/MTCT). Proses transmisi dapat terjadi pada
saat kehamilan (5-10%), proses persalinan (10- 20%), dan sesudah kelahiran melalui ASI (5-
20). Angka transmisi ini akan menurun sampai kurang dari 2% bila pasangan ibu dan anak
menjalani program pencegahan/prevention of mother to child transmission (PMTCT) sejak
saat kehamilan dengan penggunaan obat anti retroviral untuk ibu sampai dengan penanganan
setelah kelahiran. WHO memperkirakan bahwa resiko transmisi hiv berkisar 15 hingga 30%
pada populasi yang tidak menerima ASI dan 20 hingga 45% pada populasi yang menerima
ASI. Oleh karena itu, perawatan pada bayi dan anak penderita HIV AIDS atau dengan orang
tua HIV ADIS sangat diperlukan agar resiko-resiko yang ditimbulkan bisa berkurang dan
akan dibahas pada bab selanjutnya.
1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah HIV AIDS itu?
b. Apa prinsip perawatan pada bayi dan anak penderita HIV AIDS atau dengan orang tua
HIV AIDS?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui penyakit HIV AIDS
b. Untuk mengetahui prinsip perawatan pada bayi dan anak penderita HIV AIDS atau
dengan orang tua HIV AIDS
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi
infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.
Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/wali yang
memiliki hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orang tua asuh, bila orang
tua kandung meninggal atau tidak ada) merujuk pada peraturan lain terkait anak. Sedikit
berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV pada kondisi di bawah
ini:
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis atau
berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan pencegahan
penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi HIV
(pada umur berapa saja)
1. Uji Virologis
Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah
umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas
98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan.
Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah plasma
EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat
digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma EDTA.
Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang mampu
laksana sesudahnya.
Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka
terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan
sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
4
Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera
diikuti dengan inisiasi ARV.
2. Uji Serologis
Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan
spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan
serologis dewasa. Umur 18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik
konfirmasi
Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan
uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila
hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis
untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis
positif dan uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat
dan uji serologis ulang pada usia 18 bulan.
Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi
HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV
tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan
diagnosis presumtif.
Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan
pada orang dewasa. Agar pelaksana di lapangan tidak ragu, berikut ini skenario
klinis dalam memilih perangkat diagnosis yang tepat.
2.2 Prinsip Perawatan pada Bayi dan Anak Penderita HIV AIDS atau dengan Orang Tua
HIV AIDS
a. Prinsip Penting:
1) Memberikan pemahaman pada keluarga ODHA tentang: pengertian HIV/AIDS,
penularan dan cara pencegahan penularan HIV, masalah/gejala yang timbul dan cara
menanganinya, kapan harus merujuk, dan bagaimana bisa hidup normal seperti
biasanya.
2) Hidup sehat dengan HIV/AIDS.
3) Mencegah penularan HIV/AIDS di rumah.
4) Menghindari infeksi lain.
5) Mengenal dan mengelola gejala yang timbul pada ODHA, dan saat yang tepat untuk
merujuk ODHA.
b. Merawat bayi dan anak-anak dengan HIV/AIDS
1) Berikan makanan yang terbaik:
6
• Bayi usia 6 bulan ke bawah, makanan terbaiknya adalah air susu ibu (ASI),
karena dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi. ASI juga bersih,
sehingga menghindarkan bayi dari risiko diare.
• Kenyataan bahwa HIV dapat ditularkan melalui ASI, membuat sulit mengambil
keputusan apakah bayi sebaiknya diberikan ASI atau tidak. Di banyak
negara/daerah, dijumpai bahwa penularan HIV melalui ASI jauh lebih rendah
bila dibandingkan kematian bayi oleh infeksi akibat tidak menyusui. Ibu dengan
HIV yang tinggal di tempat di mana banyak anak-anak mati karena penyakit
infeksi atau banyak kasus kurang gizi, sebaiknya dianjurkan untuk menyusui
bayinya.
• Bila si ibu memungkinkan memberikan susu pengganti ASI, hal ini juga
merupakan pilihan yang baik, asalkan bisa memenuhi persyaratan yang ada.
Syarat tersebut adalah memakai air matang, peralatan (dot, botol, sendok,
mangkok) yang bersih, mengikuti aturan pakai (takaran harus sesuai, jangan
diencerkan karena ingin menghemat biaya). Bila tidak sanggup, sebaiknya si ibu
dianjurkan untuk menyusui bayinya.
2) Melakukan imunisasi.
• Semua bayi dengan HIV/AIDS harus diberikan imunisasi standar yaitu BCG,
DPT (Difteri, Pertusis,Tetanus), Polio dan Campak. Imunisasi tersebut diberikan
sedini mungkin sesuai jadwal yang ada di masing-masing negara.
• Catatan: dijumpai beberapa kasus bayi dengan HIV yang mendapatkan imunisasi
BCG ternyata menderita komplikasi berupa abses pada lokasi penyuntikan.
Kenyataannya pada suatu penelitian kohort prospektif dijumpai tidak ada
perbedaan risiko menderita komplikasi tersebut baik pada bayi dengan HIV
maupun bayi tanpa HIV (besarnya risiko komplikasi adalah sama). Dengan
demikian disimpulkan pemberian imunisasi BCG tetap aman dan
direkomendasikan pada bayi dengan HIV.
3) Bayi/anak-anak harus mendapatkan pengobatan segera bila terkena infeksi. Akan
lebih baik bila keluarga mempunyai dokter keluarga tetap, yang tahu benar riwayat
penyakit si anak. Jangan biasakan untuk berpindah-pindah dokter.
4) Perlakukan anak seperti orang normal. Biarkan mereka bermain, pemberian kasih
sayang bersekolah seperti biasanya. Tetapi, bila terjadi wabah penyakit infeksi,
jangan biarkan mereka di luar rumah.
7
5) Dukungan sosial spiritual pada Anak dengan HIV/AIDS Anak yang didiagnosis HIV
juga mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus
menghadapi masalah berat dalam perawatan anak dan sebagainya sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orang tua memerlukan waktu untuk
mengatasi masalah emosi, syok, kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas,
marah, dan berbagai perasaan lain. Anak perlu diberikan dukungan terhadap
kehilangan dan perubahan mencakup
a) Memberi dukungan dengan memperbolehkan pasien dan keluarga untuk
membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaan keluarga,
b) Membangkitkan harga diri anak serta keluarganya dengan melihat keberhasilan
hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah,
c) Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya,
d) Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri
dan tidak menyalahkan diri atau orang lain (nurs dan kurniawan, 2013:169).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
8
HIV/AIDS yang terjadi pada anak dapat karena penularan dari ibu saat kehamilan,
ataupun saat kelahiran selain itu, HIV pada anak juga dapat terjadi akibat pelecehan seksual
pada anak. Diagnosis HIV pada anak dengan pemeriksaan darah untuk mendeteksi virus HIV
pada anak, dapat dilakukan 2 kali yaitu sebelum dan setelah umur 18 bulan. Perawatan pada
bayi dan anak diperlukan agar mereka tidak tertular HIV dan tidak menimbulkan risiko
penyakit lainnya.
3.2 Saran
Transmisi penularan HIV pada anak disominasi akibat penularan dari ibu ke anak,
sehingga untuk memutuskan mata rantai HIV pada anak, peranan berbagai tim kesehatan
sangat mengingat anak sebagai generasi lanjutan yang sangat diperlukan untuk
berlangsungnya proses regenerasi, sehingga tim kesehatan terkhususnya, harus memberikan
perhatian khusus pada kasus tersebut. Salah satu upaya nyata adalah memberikan edukasi
kepada masyarakat luas, terutama ibu hamil agar malakukan pemeriksaan deteksi HIV. Dan
mengkonsumsi ART apabila positif HIV.
9
DAFTAR PUSTAKA
Nurs, Nursalam, M. Dan Ninuk Dian Kurniawati. Asuhan Keperawatan pada Pasien terinfeksi
HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika, 2007.
FK Unair. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak. 2017. Website: https://spesialis1.ika.
fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Pedoman-Penerapan-Terapi-HIV-pada-Anak-
1.pdf. Diakses pada tanggal 27 Maret 2021