Anda di halaman 1dari 12

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENYAKIT

KATASTROPIK LEUKEMIA DAN HEMOFILIA

Disusun untuk memenuhi tugas


mata kuliah Keperawatan paliatif dan menjelang ajal

Dosen Pengampu : Ns. Hermanto, MAN

Disusun Oleh :
Kelompok 6 PSIK V B
Nama NIM
1. Luluk Nur Isnainy (SK116034)
2. Maulida Nurul Faizah (SK116037)
3. Tri Setyaningsih (SK116058)
4. Vina Vebriyani (SK116060)
5. Zuhri Ika Permana (SK116064)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENYAKIT
KATASTROPIK LEUKEMIA DAN HEMOFILIA

A. Leukemia
1. Definisi
Leukemia adalah penyakit mengenai sel darah putih yang mengalami
pembelahan yang berulang-ulang, penyakit ini semacam kanker yang
menyerang sel-sel darah putih. Akibatnya fungsi sel darah putih terganggu,
bahkan sel-sel darah merah dapat terdesak karena pertumbuhan yang berlebihan
ini jumlah sel darah merah menurun. Leukemia (kanker darah) merupakan
suatu penyakit yang ditandai pertambahan jumlah sel darah putih (leukosit).
Pertambahan ini sangat cepat dan tak terkendali serta bentuk sel- sel darah
putihnya tidak normal. Leukemia merupakan suatu penyakit yang ditandai
dengan proliferasi dini yang berlebihan dari sel darah putih. Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Leukemia adalah suatu penyakit
sistem hematologi yang ditandai dengan proliferasi yang berlebihan dan tidak
normal pada sel darah putih yang mengakibatkan fungsi sel darah putih
terganggu (Irianto, 2009).
2. Manifestasi klinis
Menurut Handayani (2008), gejala yang ditemui pada penderita leukemia antara
lain :
a. Anemia, pada penderita leukemia biasanya akan terjadi anemia karena
banyaknya sel darah merah (eritrosit) yang dirusak oleh sel darah putih
imatur sehingga tubuh kekurangan darah. Padahal fungsi sel darah merah
adalah membawa oksigen dan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh untuk
metabolisme sel dan menghasilkan energi. Maka pada penderita leukemia
orang tersebut akan cenderung terlihat lemah, letih, lesu, mudah capek
bahkan terlihat pucat.
b. Perdarahan, terjadi karena keping darah yang fungsinya untuk pembekuan
darah. Sehingga tubuh yang kekurangan keping darah (trombosit) beresiko
besar terjadi perdarahan. Biasanya terjadi mimisan, perdarahan pada gusi
dan perdarahan gastrointestinal.
c. Resiko infeksi, pada penderita leukemia sel darah putih imatur yg
berkembang sangat cepat sehingga akan mendesak sel darah putih yang
normal, sehingga tubuh kekurangan sel darah putih (leukosit) dan beresiko
terserang infeksi.
d. Nyeri perut, terjadi karena organ hati, lambung, ginjal, pankreas, empedu
terserang sel darah putih imatur sehingga terjadi peradangan karena
kerusakan organ tersebut (hati, lambung, pankreas, ginjal dsb). Maka timbul
nyeri pada daerah perut penderita.
e. Nyeri tulang dan sendi, terjadi karena peradangan sendi dan kerusakan
tulang yang disebabkan oleh invasi sel darah putih imatur tersebut.
f. Pembengkakan yang terdapat pada ketiak atau leher dikarenakan peradangan
pada kelenjar getah bening.
3. Ancaman terhadap kehidupan
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik
pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal
akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan
menimbulkan gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari
proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan
sel induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas
tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik.
Proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit
yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan, dapat menyebabkan
kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya meninggi.
Leukemia merupakan kanker yang insidensinya paling sering pada anak
yaitu 30% dari semua insidensi kanker pada anak dibawah umur 15 tahun pada
negara industri (WHO, 2009). Menurut, RISKESDAS (2007) kasus leukemia
pada tahun 2004 adalah sebanyak 2,648 kasus dan pada tahun 2005 adalah
sebanyak 3,432 kasus. Manakala, pada tahun 2006 terdapat 2,513 kasus
leukemia di Indonesia dan pada tahun 2007 terdapat sebanyak 2,513 kasus
leukemia di Indonesia. Yayasan Onkologi Anak Indonesia, tahun (2009)
menyatakan, sebanyak 30% hingga 40% dari insidensi kanker pada anak
merupakan penderita leukemia atau kanker darah yaitu sekitar 3,850 anak yang
mempunyai leukemia.Umumnya, kanker pada anak tidak mudah diketahui
secara dini. Leukemia yang paling sering pada anak adalah acute lymphotic
leukemia (ALL) yaitu 70-80% dari seluruh kasus leukemia pada anak (Kline,
2010). Data yang diperoleh dari penelitian Simamora, (2009) menyatakan dari
tahun 2004 sehingga 2009 terdapat 162 anak yang merupakan penderita
leukemia yang rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik,
Medan dimana 141 adalah pasien acute lymphotic leukemia (ALL), 10 pasien
adalah acute myeloid leukemia (AML) dan 4 orang adalah pasien chronic
myeloid leukemia (CML).
4. Kebijakan pemerintah
a. Kebijakan pengobatan
Penderita Leukemia Granulositik Kronik (LGK) meminta agar pemerintah
memberikan jaminan ketersediaan obat LGK melalui sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Sebab harga obat LGK yang sangat mahal
membuat banyak pasien LGK tak mampu untuk melanjutkan
pengobatannya.
Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 52 tahun 2016
tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program
jaminan kesehatan dalam :
Pasal 20
(1) Obat penyakit kronis di FKRTL diberikan maksimum untuk 30 (tiga
puluh) hari sesuai indikasi medis.
(2) Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk: a. penyakit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang belum dirujuk
balik ke FKTP; dan b. penyakit kronis lain yang menjadi kewenangan
FKRTL.
(3) Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dengan cara : a.
sebagai bagian dari paket INA-CBG, diberikan minimal 7 (tujuh) hari;
dan b. bila diperlukan tambahan hari pengobatan, obat diberikan
terpisah di luar paket INA-CBG serta diklaimkan sebagai tarif Non
INA-CBG, dan harus tercantum pada Formularium Nasional.
(4) Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diberikan melalui
instalasi farmasi di FKRTL atau apotek yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan.
(5) Harga obat yang ditagihkan oleh instalasi farmasi di FKRTL atau apotek
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada harga dasar obat
sesuai e-Catalogue ditambah biaya pelayanan kefarmasian.
(6) Besarnya biaya pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) adalah faktor pelayanan kefarmasian dikali harga dasar obat
sesuai e-Catalogue atau harga yang ditetapkan oleh Menteri.
(7) Faktor pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Tarif rawat jalan yang mendapatkan pelayanan PET Scan ditetapkan
sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) sebagai tarif Non INA-
CBG.
(2) Tarif rawat inap yang mendapatkan pelayanan PET Scan, ditetapkan
sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) ditambah tarif paket INA-
CBG.
Pasal 22
(1) Pemberian obat untuk kemoterapi, thalassemia, dan hemofilia dilakukan
di fasilitas kesehatan tingkat III.
(2) Fasilitas kesehatan tingkat II dapat memberikan obat kemoterapi,
thalassemia, dan hemofilia dengan mempertimbangkan kemampuan
fasilitas kesehatan dan kompetensi sumber daya manusia kesehatan.
(3) Tarif rawat jalan dan rawat inap yang mendapatkan pelayanan
kemoterapi meliputi tarif INA-CBG dan tarif obat kemoterapi.
(4) Obat kemoterapi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jenisnya sesuai
dengan Formularium Nasional dan besarannya sesuai dengan e-
Catalogue.
(5) Pengajuan klaim pada pelayanan thalassemia mayor baik rawat jalan
atau rawat inap yang menerima terapi kelasi besi dilakukan 1 kali dalam
1 bulan.
(6) Pada pelayanan rawat jalan dan rawat inap hemofilia A dan hemofilia B
yang menerima faktor pembekuan darah, terdapat tambahan
pembayaran (top up) yang termasuk dalam Special CMG untuk Special
Drugs seperti tersebut pada pasal 14 ayat (3).
Pasal 23
(1) Tarif pelayanan rawat inap untuk pencangkokan ginjal dimaksudkan
untuk resipien/penerima cangkok ginjal, tidak termasuk pendonor ginjal.
(2) Besaran tarif INA-CBG untuk pelayanan pencangkokan ginjal meliputi
komponen pelayanan medis, asuhan keperawatan, ruang perawatan,
pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama episode pencangkokan
ginjal.
(3) Pelayanan rawat inap yang diberikan terhadap pendonor ginjal untuk
pencangkokan ginjal dijamin sesuai Tarif INA-CBG untuk tindakan
Pengangkatan ginjal.
(4) Pemeriksaan penapisan (screening) yang dilakukan terhadap donor dan
resipien sebelum pencangkokan ginjal dijamin dan dibayar sebagai
paket pelayanan yang terpisah dari paket pencangkokan ginjal.
b. Kebijakan pembiayaan leukemia
Peraturan menteri kesehatan nomor 52 tahun 2016 tentang standar tarif
pelayanan kesehatan dalam penyelenggaran program jaminan kesehatan
standar tarif pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan
(INA-CBG's) Tarif INA-CBG 2016 Regional 1 Rumah Sakit A Pemerintah
Rawat Inap antara lain :
Kode I
Deskripsi Kode 
No NA‐ Tarif Kelas 3 Tarif Kelas 2 Tarif Kelas 1
INA‐CBG
CBG
1 C‐4‐10‐I Leukemia 12,391,300 14,869,600 17,347,800
akut (ringan)
2 C‐4‐10‐ Leukemia akut  19,928,600 23,914,300 27,900,100
II (sedang)
3 C‐4‐10‐ Leukemia akut  37,339,800 44,807,700 52,275,700
III (berat)
4 C‐4‐11‐ Limfoma 6,450,100 7,740,100 9,030,100
I & leukemia non
akut (ringan)
5 C‐4‐11‐ Limfoma & leuk 8,631,100 10,357,300 12,083,600
I emia non akut (
sedang)
6 C‐4‐11‐ Limfoma & leuk 13,270,500 15,924,600 18,578,700
I emia non akut (
berat)

Berikut tabel pembiayaan JKN untuk penyakit katastropik (leukimia) antara lain :
Tahun Pelayanan
Penyakit
2014 2015 2016 Total
katastropik
Kasus Biaya Kasus Biaya Kasus Biaya Kasus Biaya
Leukimia 41.446 Rp.159.844. 62.746 Rp.178. 55.68 Rp.152. 159.8 Rp.490.3
518.640 359.81 1 146.80 73 51.140.4
5.054 6.800 94

B. Hemofilia
1. Definisi
Hemofilia adalah diatesis hemoragik yang terjadi dalam 2 bentuk: hemofiia A,
defisiensi faktor koagulasi VIII, dan hemofilia B, defisiensi faktor koagulasi IX.
Kedua bentuk ditentukan oleh sebuah gen mutan dekat telomer lengan panjang
kromosom X (Xq), tetapi pada lokus yang berbeda, dan ditandai oleh
pendarahan intramuskular dan subkutis; perdarahan mulut, gusi, bibir, dan
lidah; hematuria; serta hemartrosis.
2. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis meliputi perdarahan  jaringan lunak, otot, sendi, terutama
sendi-sendi yang menopang berat badan, disebut hemartrosis (perubahan sendi).
Perdarahan berulang ke dalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago
artikularis disertai gejala-gejala artritis. Perdarahan retroperitoneal dan
intrakarnial merupakan keadaan yang mengancam jiwa. Derajat perdarahan
berkaitan dengan banyaknya aktivitas faktor dan beratnya cidera. Perdarahan
dapat terjadi segera atau berjam-jam setelah cedera. Perdarahan karena
pembedahan sering terjadi pada semua pasien hemofilia, dan segala prosedur
pembedahan yang diantisipasi memerlukan penggantian faktor secara agresif
sewaktu praoperasi dan pascaoperasi sebanyak lebih ari 50% tingkat aktivitas.
3. Ancaman terhadap kehidupan
Hemofilia adalah kelainan genetik pada darah di mana seseorang tidak
memiliki atau memiliki tingkat protein tertentu (faktor-faktor pembekuan) yang
menyebabkan darah tidak dapat membeku dengan baik. Saat penderita
hemofilia terluka, darahnya akan membeku dalam sekitar 50 menit hingga 2
jam. Hal ini akan mengakibatkan penderita hemofilia mengalami kehilangan
banyak darah dan dapat menimbulkan kematian. Ada 13 jenis faktor
pembekuan, dan zat ini bekerja dengan trombosit untuk membantu proses
pembekuan darah. Hemofilia ada tiga jenis, yaitu hemofilia A, B, serta C.
Hemofilia A timbul jika ada kelainan pada gen yang menyebabkan kurangnya
faktor pembekuan VIII (FVII). Hemofilia ini adalah hemofilia klasik dan
merupakan jenis hemofilia yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan
pada darah. Kebanyakan orang dengan hemofilia A memiliki penyakit yang
parah seperti pendarahan ke dalam sendi-sendi besar seperti lutut atau pinggul.
Menurut National Heart, Lung, dan Blood Institute (NHLBI), 8 dari 10
orang penderita hemofilia memiliki hemofilia tipe A. Hemofilia B, atau sering
disebut dengan Penyakit Natal, disebabkan oleh kurangnya faktor pembekuan
IX (FIX). Hemofilia B diderita sekitar 1 dari antara 50.000 orang. Hemofilia C,
atau biasa disebut defisiensi XI faktor disebabkan kurangnya faktor pembekuan
XI (FXI). Hemofilia tipe C diwariskan berbeda dari hemofilia A atau B,
akibatnya hemofilia C dapat diderita oleh anak laki-laki maupun perempuan.
Orang dengan tipe hemofilia ini jarang atau sering tidak mengalami pendarahan
spontan, pendarahan biasanya terjadi setelah trauma atau operasi.
Hemofilia A dan B tidak dapat dibedakan karena mempunyai tampilan
klinis yang mirip dan pola pewarisan gen yang serupa. Penderita hemofilia A
adalah yang terbanyak dibandingkan yang lain, totalnya 80 persen dari kasus
keseluruhan. Menurut Federasi Dunia Hemofilia (WFH), sekitar satu dari
10.000 orang dilahirkan dengan penyakit ini. Hemofilia adalah salah satu
penyakit genetik tertua yang pernah dicatat. Hemofilia adalah penyakit yang
diturunkan, yang berarti bahwa seseorang tidak dapat terinfeksi oleh penyakit
ini. Namun, ada beberapa kasus yang terjadi yang tidak memiliki riwayat
keluarga hemofilia. Kasus-kasus seperti ini disebut sebagai hemofilia sporadis.
Menurut Federasi Dunia Hemofilia (WFH), sekitar 30% dari hemofilia tidak
diwariskan dari orang tua mereka tetapi karena perubahan dalam gen mereka
sendiri. Hemofilia adalah penyakit genetik, karena mengandung gangguan
dalam kromosom.
Hemofilia adalah penyakit yang lazim ditemui pada anak laki-laki kendati
pembawa sifat atau carrier adalah para ibu. Bisa dibayangkan betapa repotnya
anak-anak laki-laki dengan takdir hemofilia. Lazimnya anak laki-laki adalah
anak-anak yang dekat dengan berbagai kegiatan yang bersifat fisik. Bahkan,
saling baku hantam, baik dalam guyonan atau pun serius, adalah pemandangan
yang sangat biasa. Lecet atau berdarah juga adalah hal yang biasa. Namun, pada
anak dengan takdir hemofilia, semua itu menjadi sangat tidak biasa, bahkan
bisa sangat fatal. Luka lecet tak berarti bagi anak-anak normal bisa jadi
malapetaka bagi penderita hemofilia. Artinya, perdarahan bisa terjadi pada
setiap organ tubuh. Perdarahan akibat benturan, pembedahan, atau bahkan
pendarahan tanpa sebab bisa terjadi. Perdarahan terjadi secara spontan. Bukan
lain, para penderita hemofilia terlahir dengan mimpi buruk ketidakmampuan
tubuh untuk memroduksi faktor-faktor yang dapat larut dalam darah yang
disebut clotting. Faktor-faktor pembekuan ini bertanggung jawab untuk
fenomena sehari-hari terkait aliran darah. Dua faktor pembekuan tersebut
adalah Faktor VIII atau faktor anti-haemophilia. Selain itu, Faktor IX atau
Faktor Christmas. Ketiadaan faktor-faktor ini disebabkan warisan gen yang
cacat yang diturunkan dari ibu-ibu pembawa kepada putra-putra mereka yang
mengakibatkan hemofilia.
4. Kebijakan pemerintah
a. Kebijakan pengobatan
Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia No :
423/Menkes/SK/IV/2007 tentang kebijakan peningkatan kualitas dan akses
pelayanan darah menimbang :
1) Bahwa dalam perkembangan dewasa ini kebutuhan akan pelayanan darah
semakin meningkat khususnya untuk menurunkan angka kematian ibu
(AKI), penanganan penyakit degenerative, cedera akibat kecelakaan,
penyakit darah (hemofilia, thalasemia), memerlukan transfuse darah
untuk tujuan pengobatan dan pemulihan kesehatan pasien.
2) Bahwa darah adalah materi biologis yang diproduksi oleh tubuh manusia
dalam jumlah yang terbatas dan belum dapat disintesis di luar tubuh
manusia. Pengadaannya hanya dari donasi secara sukarela yang dilakukan
oleh para donor darah. Dalam tubuh manusia, darah merupakan materi
biologis yang labil dan untuk mempertahankan viabilitasnya diperlukan
nutrient dan anti coagulan serta persyaratan suhu tertentu.
3) Bahwa transfusi darah dapat menjadi penularan terhadap penyakit infeksi
menular lewat transfuse darah (HIV/AIDS, Hepatitis B, Hepatitis C dan
sifilis)
4) Bahwa unit transfusi darah (UTD) yang ada saat ini (UTD PMI dan UTD
Rumah Sakit) dirasakan belum memadai untuk mencukupi kebutuhan
pelayanan darah di seluruh kabupaten/kota di Indonesia
5) Bahwa dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan darah yang dapat
menjangkau seluruh wilayah Indonesia perlu dibentuk unit Transfusi
darah (UTD) di kabupaten /kota yang belum memiliki Unit Transfusi
Darah (UTD) PMI
6) Bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan darah dan patients safety di
RS maka seluruh RS harus meiliki bank darah RS sebaagai penunjang
pelayanan darah dengan sistim distribusi tertutup
7) Bahwa sesuai dengan pertimbangan butir a,b,c,d,e dan f diatas pe rlu
adanya keputusan menteri kesehatan tentang kebijakan peningkatan
kualitas dan akses pelayanan darah.
b. Kebijakan pembiayaan
Berikut tabel pembiayaan JKN untuk penyakit katastropik (hemofilia) antara
lain :
Tahun Pelayanan
Penyakit
2014 2015 2016 Total
katastropik
Kasus Biaya Kasus Biaya Kasus Biaya Kasus Biaya
Hemofilia 18.611 Rp.63.871.3 30.330 110.94 31.56 Rp.125. 80.50 Rp.300.7
65.139 0.886.4 3 926.29 4 38.549.8
64 8.270 73
DAFTAR PUSTAKA

Handayani W., Hariwibowo A.S. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Idris, Fahmi. (2017). Pembiayaan JKN untuk penyakit katastropik. Jakarta : BPJS
Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 52 tahun 2016 tentang
Standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan
kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 423/Menkes/SK/IV/2007 tentang
kebijakan peningkatan kualitas dan akses pelayanan darah

Anda mungkin juga menyukai