PENDAHULUAN
1
kemampuan meliputi praanestesi, intraanestesi, dan pascaanestesi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2020a).
Kasus ini diawali dengan informasi dari Badan Kesehatan Dunia/World
Health Organization (WHO) pada tanggal 31 Desember 2019 yang menyebutkan
adanya kasus kluster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di Kota Wuhan,
Provinsi Hubei, China. Kasus ini terus berkembang hingga adanya laporan
kematian dan terjadi importasi di luar China. Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO
menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC)/ Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia
(KKMMD). Pada tanggal 12 Februari 2020, WHO resmi menetapkan penyakit
novel coronavirus pada manusia ini dengan sebutan Coronavirus Disease
(COVID19). Pada tanggal 2 Maret 2020 Indonesia telah melaporkan 2 kasus
konfirmasi COVID-19. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan
COVID-19 sebagai pandemi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020b)
Pandemi COVID-19 di Indonesia merupakan bagian dari pandemi penyakit
koronavirus 2019 (COVID-19) yang sedang berlangsung di seluruh dunia.
Penyakit ini disebabkan oleh koronavirus sindrom pernapasan akut berat
2 (SARS-CoV-2). Kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali dideteksi
pada tanggal 2 Maret 2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang
warga negara Jepang. Pada tanggal 9 April, pandemi sudah menyebar ke 34
provinsi dengan DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai provinsi
paling terpapar virus corona di Indonesia (Wikipedia, 2020).
Salah satu aspek yang menerima dampak paling besar dari pandemi ini adalah
bidang kesehatan. Seiring dengan meluasnya penyakit ini, masalah-masalah di
bidang kesehatan semakin terlihat jelas. Beberapa permasalahan yang signifikan
adalah kurangnya sarana prasarana fasilitas kesehatan, dengan minimnya
ketersediaan ICU dan ventilator untuk pasien COVID-19, kurangnya kapasitas tes
COVID-19, ketersediaan Alat Pelindung Diri yang terbatas terutama bagi tenaga
kesehatan. Kapasitas test real time reverse-transcription polymerase chain
reaction (RT-PCR) per 1 juta penduduk hanya sekitar 5.616 orang, yang
2
merupakan angka yang rendah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Ketidaksiapan fasilitas kesehatan dalam menghadapi situasi COVID-19 tampak
dari belum optimalnya tata kelola SDM kesehatan, ketergantungan impor obat-
obatan dan alat kesehatan, rendahnya infrastruktur kesehatan, belum fokusnya
penguatan standar pelayanan kesehatan dasar dan jaminan kesehatan nasional
serta kinerja pelayanan kesehatan yang masih rendah. Semua hal tersebut tentunya
akan berdampak juga pada risiko tertular dan terpajan tenaga kesehatan akan
semakin tinggi (IDI, 2020).
Penyebaran utama COVID-19 adalah melalui droplet dan permukaan benda
yang terkena virus (fomite). Droplet merupakan partikel besar cairan tubuh yang
dipengaruhi oleh gravitasi dalam beberapa detik dan karenanya hanya bisa
menyebar dalam jarak dekat di udara sebelum mendarat pada permukaan benda.
Droplet yang mengandung virus dapat menyebabkan penularan langsung pada
kontak jarak dekat atau menyebabkan kontaminasi pada permukaan benda seperti
pakaian, peralatan dan perabotan, dimana virus aktif dari beberapa jam hingga
beberapa hari. Sebaliknya, aerosol merupakan partikel cairan tubuh yang lebih
kecil dan dapat bertahan di udara untuk waktu yang lama. Jika virus stabil pada
sekret jalan napas yang menjadi aerosol, hal ini meningkatkan risiko penyebaran
(Perdatin, 2020).
3
Kondisi saat ini tentunya menjadi kekhawatiran. Kematian tenaga medis dan
tenaga kesehatan akibat COVID-19 semakin bertambah. Berdasarkan data Indeks
Pengaruh Kematian Nakes (IPKN) sampai dengan 21 Juli 2020, rasio kematian
tenaga medis dan tenaga kesehatan dibanding dengan total kematian terkonfirmasi
COVID-19 di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi diantara di negara lain,
yaitu 2,4%. Hal ini disebabkan oleh minimnya APD, kurangnya skrining pasien
yang baik di fasilitas kesehatan, kelelahan para tenaga medis karena jumlah pasien
COVID-19 yang terus bertambah dan jam kerja yang panjang, serta tekanan
psikologis. Hal-hal ini menyebabkan tenaga medis sangat rentan terinfeksi
COVID-19. Kondisi tubuh dan mental yang kurang baik akibat hal tersebut pada
akhirnya juga dapat menyebabkan tenaga kesehatan jatuh sakit hingga meninggal.
Padahal, tenaga medis merupakan salah satu ujung tombak dari upaya penanganan
COVID-19 (IDI, 2020).
Dari paparan diatas maka perlu adanya koping stres yang harus dilakukan
agar seseorang tidak mudah mengalami stres ketika dihadapkan pada sebuah
stresor. Jika tidak ditangani dengan tepat, maka akan menimbulkan kondisi yang
menurunkan motivasi kerja dan berdampak pada penurunan kinerja individu
tersebut. Jika hal ini sampai terjadi, maka dipastikan perusahaan akan mengalami
kerugian akibat pegawainya kurang produktif dalam bekerja.
Sebagian besar para peneliti menggunakan definisi stres yang diusulkan
oleh Hans Selye. Definisinya dianggap paling baik hingga sekarang. Dalam
bukunya “The Stress of Life”. Hans Selye mendefinisikan stres sebagai :
“Respons yang tidak spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang diterimanya, suatu
fenomena universal dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap
orang mengalaminya”. Dari definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
komponen stres ada dua, yaitu tuntutan (bersifat eksternal) dan respons atau
tanggapan (bersifat internal) (Pedak, 2009).
Pandangan bahwa stres adalah respons ini memfokuskan pada reaksi
individu terhadap stresor. Respons mempunyai beberapa komponen, yaitu
komponen psikologis seperti: perilaku, pola pikir, emosi, dan komponen
4
fisiologis, seperti jantung berdebar, mulut kering, mules, dan berkeringat. Respons
ini juga disebut strain atau ketegangan (Pedak, 2009).
Stres bersifat universality, yaitu semua orang dapat merasakannya tetapi
cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan karakteristik
individu maka respons terhadap stres berbeda-beda untuk setiap orang. Respons
yang berbeda tersebut dikarenakan mekanisme koping yang digunakan oleh
individu dengan sumber dan kemampuan yang berbeda, dan kemampuan individu
dalam mengatasi stres berbeda pula, sehingga bisa jadi stres yang sama akan
mempunyai dampak dan reaksi yang berbeda (Pedak, 2009).
Secara umum Lazarus dan Folkman dalam (Rice, 1992) membedakan 2
(dua) strategi koping stres, yaitu: Problem focused coping dan Emotion focused
coping dan emotion focused coping. Coping yang berfokus pada masalah
(problem-focused coping) adalah strategi untuk penanganan stress atau coping
yang berpusat pada sumber masalah, individu berusaha langsung menghadapi
sumber masalah, mencari sumber masalah, mengubah lingkungan yang
menyebabkan stress dan berusaha menyelesaikannya sehingga pada akhirnya
stress berkurang atau hilang (Smet, 1994).
Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) adalah strategi
penanganan stress dimana individu memberi respon terhadap situasi stress dengan
cara emosional. Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress.
Pengaturan ini melalui perilaku individu bagaimana meniadakan fakta- fakta yang
tidak menyenangkan (Smet, 1994).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Covid-19 Sumatera Utara, per tanggal 10 Agustus 2020, pasien konfirmasi positif
corona sudah mencapai 4.948 orang atau bertambah 129 orang dari hari kemarin.
Kemudian suspek sebanyak 564 orang, meninggal 226 orang dan sembuh 2.097
orang. Jumlah dokter dan tenaga medis di Sumut terinfeksi virus corona mencapai
348 orang. Tenaga kesehatan yang terpapar covid terdiri dari 42 dokter spesialis,
13 orang peserta pendidikan dokter spesialis, 29 dokter umum, 207 orang perawat
(termasuk 6 orang penata anestesi) (Sumatera Utara, 2020).
5
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti melalui
media sosial (Whats App Group dan Zoom Meeting) dengan Penata Anestesi yang
termasuk Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) daerah Sumatera
Utara, didapatkan bahwa stressor pada masing- masing penata anestesi berbeda-
beda tergantung daerah, tipe Rumah Sakit dan penyiapan Alat Pelindung Diri
yang diberikan. Akan tetapi pastinya, tidak ada pelayanan asuhan kepenataan
anestesi yang tidak memiliki stressor. Hal ini juga terkait jenis keperibadian
masing- masing individu mengartikan dan menghadapi stressor tersebut. Ada
beberapa Penata Anestesi yang walaupun terpapar dengan kondisi yang stressfull
masih bisa tersenyum saat melayani pasien, tapi sebagian besar diantara yang
langsung berubah mimik mukanya dan berkeluh kesah.
Dari banyaknya stressor yang dihadapi oleh Penata Anestesi selama masa
pandemi antar lainnya adalah ketakutan akan risiko terpapar, terinfeksi dan
kemungkinan menginfeksi orang yang mereka cintai, kurangnya persediaan alat
pelindung diri (APD), penggunaan APD juga masih terdapat risiko penularan
virus corona melalui droplet atau aerosol dari pasien yang terdapat di udara dan
masuk dari celah yang teruat tanpa sengaja ketika membenarkan posisi ataupun
ketika membuka baju pelindung, bekerja di tengah-tengah tekanan dan perhatian
masyarakat, durasi kerja yang panjang serta stigmatisasi yang diterima dan
menjadikan para petugas kesehatan dalam hal ini Penata Anestesi seakan-akan
pembawa virus merupakan beberapa stressor yang disampaikan oleh Penata
Anestesi saat berbincang melalui saluran komunikasi Media Sosial.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
Strategi Koping Stres Penata Anestesi dalam Memberikan Asuhan Kepenataan
Intra Anestesi selama Masa Pandemi Covid-19 di Propinsi Sumatera Utara tahun
2021.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Strategi Koping Stres Penata
6
Anestesi dalam memberikan Asuhan Kepenataan Intra Anestesi selama Masa
Pandemi Covid-19 di Propinsi Sumatera Utara tahun 2021.
7
a. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman tentang Strategi Koping Stres pada Penata Anestesi
dalam memberikan Asuhan Kepenataan Intra Anestesi selama Masa
Pandemi Covid-19 di Propinsi Sumatera Utara tahun 2021.
b. Sebagai dasar atau kajian awal bagi peneliti lain yang ingin meneliti
permasalahan yang sama sehingga mereka memiliki landasan dan alur
yang jelas.
1.4.3. Bagi Pendidikan Kesehatan
Sebagai bahan informasi dan referensi perpustakaan ilmu keperawatan
anestesiologi tentang Strategi Koping Stres.
8
DAFTAR PUSTAKA
Perdatin, I. (2020). Buku Pedoman Penangan Paisen Kritis COVID-19 (1st ed.,
Issue April). Perdatin. https://covid19.idionline.org/panduan/perdatin/
Rice, P. L. (1992). Stress and health, 2nd ed. In Stress and health, 2nd ed.