Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MEKANISME INFEKSI CACING ASCARIS LUMBRICOIDES

Disusun oleh :

Syarifudin Nur Prasetyo (2020132071)


Tazqia Ramadhanti (2020132072)
Theresia Putri Fernanda (2020132073)
Tri Suciati (2020132074)
Wahid Abraham (2020132075)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN FARMASI


POLITEKNIK KESEHATAN PERMATA INDONESIA YOGYAKARTA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
2.1 Cacing Gelang ( Ascaris Lumbriocoides).........................................................................3
2.1.1 Klasifikasi..................................................................................................................3
2.1.2 Epidemiologi Askariasis............................................................................................3
2.1.3 Morfologi dan Daur Hidup Ascaris lumbricoides.....................................................3
2.1.4 Patogenesis dan Gejala Askariasis.............................................................................6
2.1.5 Diagnosis...................................................................................................................7
2.1.6 Tatalaksana Askariasis...............................................................................................8
2.1.7 Faktor- faktor yang mempengaruhi kecacingan........................................................9
2.1.8 Pencegahan.............................................................................................................10
2.2 Metode Kato Katz...........................................................................................................10
2.2.1 Respon Imun Pada Infeksis Cacing Usus...............................................................12
2.2.2 Peran IgE Pada Infeksi Cacing Usus.......................................................................13
BAB III PENUTUP..................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16

i
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides.
Angka kejadian Ascariasis tertinggi ditemukan pada negara berkembang dengan
lingkungan yang buruk serta di daerah tropis seperti Indonesia. Penyakit kecacingan ini
dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas
penderita .

Prevalensi penyakit kecacingan ini sangat tinggi terutama di daerah tropis dan
subtropis. Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia ini masih sangat tinggi, terutama
pada golongan penduduk yang kurang mampu dari segi ekonomi. Pada kelompok
ekonomi lemah mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang
adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan. Faktor pendukung
tingginya prevalensi kecacingan di Indonesia meliputi sosiodemografi (pendidikan dan
pendapatan), rendahnya prilaku sanitasi pribadi maupun lingkungan di sekitar
masyarakat. Infeksi kecacingan sering dijumpai pada anak usia sekolah dasar dimana
pada usia ini anak-anak masih sering kontak dengan tanah. Salah satu cacing yang
penularannya melalui tanah adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 didapatkan
sekitar 800 juta sampai dengan 1 milyar 2 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
penduduk di dunia terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 700 juta sampai 900 juta
penduduk dunia terinfeksi cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale), 500 juta penduduk terinfeksi Trichuris trichiura, dan 300 juta penduduk dunia
terinfeksi Oxyuris vermicularis. Data WHO (2013) pada bulan Juni, didapatkan lebih dari
1,5 milyar atau 24% dari populasi penduduk di dunia terinfeksi Soil Transmitted
Helminths. Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan golongan cacing yang bentuk
penularan penyakit cacing itu sendiri membutuhkan tanah sebagai media
perkembangbiakannya dengan didukung oleh kondisi tertentu. Kondisi yang dapat
mendukung perkembangbiakan cacing tersebut tergantung dari jenis cacing itu sendiri.
Cacing yang masuk dalam golongan STH yakni Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, dan Strongyloides stercoralis.

1
Infeksi cacing A. lumbricoides merupakan kejadian terbanyak yang ditemukan di
dunia yaitu dengan prevalensi sekitar 807 juta jiwa dan populasi yang berisiko sekitar 4,2
milyar jiwa. Risiko tertinggi untuk terinfeksi cacing A. lumbricoides ialah di daerah
benua Asia, Sub Sahara, India, China, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cacing Gelang ( Ascaris Lumbriocoides)
2.1.1 Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Secernantea
Ordo : Ascaridida
Super famili : Ascaridoidea
Famili : Ascaridae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides (Lineus)
2.1.2 Epidemiologi Askariasis
Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di
seluruh area tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang
buruk. Telur cacing bisa didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu
infeksi askariasis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari
yang terkena tanah ke dalam mulut. Kurangnya pemakaian jamban menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat
mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur bisa hidup hingga bertahun-tahun
pada feses, selokan, tanah yang lembab, bahkan pada larutan formalin 10% yang
digunakan sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka infeksi askariasis pada tahun
2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80% pada tahun 2008.

2.1.3 Morfologi dan Daur Hidup Ascaris lumbricoides


Ascaris lumbricoides memiliki tiga bibir (prominent lips) yang masingmasing
memiliki dentigerous ridge (peninggian bergigi), tetapi tidak memiliki interlabia atau
alae. Ascaris lumbricoides jantan memiliki panjang 15-31 cm dan lebar 2-4 mm,
dengan ujung posterior yang melingkar ke arah ventral, dan ujung ekor yang tumpul.
Ascaris lumbricoides betina memiliki panjang 20-49 cm dan lebar 3-6 mm, dengan
vulva pada sepertiga panjang badan dari ujung anterior. Ascaris betina memiliki

3
ovarium yang luas dan dapat mengandung 27 juta telur pada satu waktu, dengan
200.000 telur dikeluarkan setiap harinya.

4
Gambar 1. Ascaris Lumbricoides

Telur yang sudah dibuahi berbentuk oval sampai bulat, dengan panjang 45-75
μm dan lebar 35-50 μm. Dinding uterina cacing menghasilkan lapisan luar yang tebal
dan bergumpal pada telur, sehingga saat telur dikeluarkan melalui feses, lapisan ini
terwarnai oleh cairan empedu sehingga menjadi berwarna cokelat keemasan. Embrio
biasanya belum membelah ketika masih berada di feses.

Telur yang dibuahi


Telur yang tidak dibuahi

Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides

Cacing betina yang belum mengalami inseminasi biasanya mengeluarkan telur


yang belum dibuahi. Telur yang belum dibuahi ini memiliki bentuk yang lebih
panjang dan ramping daripada telur yang telah dibuahi, yaitu sepanjang 88- 94 μm
dan lebarnya 44 μm. Lapisan vitelina, kitin, dan lipid pada telur baru terbentuk setelah
penetrasi sperma terhadap oosit, karena itu pada telur yang belum dibuahi, hanya
dapat terlihat lapisan proteinase. Embrio membutuhkan waktu 9 sampai 13 hari untuk
menjadi telur matang. Embrio resisten terhadap suhu rendah, kekeringan, dan zat
kimia yang kuat. Namun, embrio bisa mati dalam waktu singkat bila terpapar sinar
matahari dan suhu tinggi.

5
Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides.

Infeksi terjadi ketika telur infektif (telur berisi larva) yang belum menetas
tertelan bersama air dan makanan yang tercemar. Telur akan menetas di duodenum,
menembus mukosa dan submukosa, kemudian memasuki limfe. Setelah melewati
jantung kanan, cacing ini memasuki sirkulasi paru dan menembus kapiler menuju
daerah-daerah yang mengandung udara. Pada paru, cacing tumbuh hingga mencapai
panjang 1,4-1,8 mm dalam 10 hari. Selanjutnya cacing akan naik ke faring dan
tertelan. Cacing yang tahan terhadap asam lambung akan masuk ke usus halus dan
matang di sana. Dalam 60-65 hari setelah tertelan, cacing akan menjadi dewasa dan
mulai bertelur. Cacing dewasa memiliki panjang 20-40 cm dan hidup dalam usus
halus manusia hingga bertahun - tahun.

2.1.4 Patogenesis dan Gejala Askariasis


Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari beratnya infeksi,
keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi
cacing ini. Penderita Ascariasis tidak akan merasakan gejala dari infeksi ini
(asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20 ekor didalam tubuh manusia
sehingga baru dapat diketahui jika ada pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya
cacing dewasa bersama dengan tinja. Gejala klinis yang timbul bervariasi, bisa
dimulai dari gejala yang ringan seperti batuk sampai dengan yang berat seperti sesak
nafas dan perdarahan. Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan
migrasi larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:

a. Gejala akibat migrasi larva A. Lumbricoides

6
Selama fase migrasi, larva A. lumbricoides di paru penderita akan membuat
perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan batuk dan demam. Pada
foto thorak penderita Ascariasis akan tampak infiltrat yaitu tanda terjadi
pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer yang disebut sebagai sindrom
Loeffler. Gambaran tersebut akan menghilang dalam waktu 3 minggu

b. Gejala akibat cacing dewasa

Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya berasal dari dalam
usus atau migrasi ke dalam lumen usus yang lain atau perforasi ke dalam
peritoneum. Cacing dewasa yang tinggal dilipatan mukosa usus halus dapat
menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah, dan sakit perut.

Perforasi cacing dewasa A. lumbricoides ke dalam peritoneum biasanya


menuju ke umbilikus pada anak sedangkan pada dewasa mengarah ke inguinal.
Cacing dewasa A. lumbricoides juga dapat menyebabkan obstruksi diberbagai
tempat termasuk didaerah apendiks (terjadi apendisitis), di ampula vateri (terjadi
pancreatitis haemoragis), dan di duktus choleduchus terjadi cholesistitis. Anak
yang menderita Ascariasis akan mengalami gangguan gizi akibat malabsorpsi
yang disebabkan oleh cacing dewasa. A. lumbricoides perhari dapat menyerap 2,8
gram karbohidrat dan 0,7 gram protein, sehingga pada anak-anak dapat
memperlihatkan gejala berupa perut buncit, pucat, lesu, dan tumbuh rambut yang
jarang .

Penderita Ascariasis juga dapat mengalami alergi yang berhubungan dengan


pelepasan antigen oleh A. lumbricoides dalam darah dan kemudian merangsang
sistem imunologis tubuh sebagai defence mechanism dengan gejala berupa asma
bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler.

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis pasti askariasis adalah ditemukannya cacing dewasa pada atau
muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan empedu
penderita. Cacing pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan kolangiografi
intravena. Cara diagnosis Ascariasis biasanya melalui pemeriksaan laboratorium
karena gejala klinis dari penyakit ini tidak spesifik.

7
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat didapatkan
bila:

1. Cacing di usus belum menghasilkan telur.

2. Hanya ada cacing jantan.

3. Penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk larva.

Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, yaitu :

1. Telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40 x 60 μm dengan dinding


albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli, dengan lapisan hialin
tebal transparan pada bagian bawahnya.

2. telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40 x 90 μm, bentuknya lebih


panjang dan lebih langsing daripada telur yang dibuahi, dan tampak sejumlah
granula di dalamnya.

3. Telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol-benjol, Dibuahi


atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya terkadang ditemukan, dan sangat
mungkin merupakan artefak

2.1.6 Tatalaksana Askariasis


Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol,
mebendazol, dan piperazin.

1. Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg/kgBB menghasilkan angka penyembuhan


85-100%. Efek samping dapat berupa mual, muntah, diare, dan sakit kepala,
namun jarang terjadi.

2. Albendazol diberikan dalam dosis tunggal (400 mg) dan menghasilkan angka
penyembuhan lebih dari 95%, namun tidak boleh diberikan kepada ibu hamil.
Pada infeksi berat, dosis tunggal perlu diberikan selama 2-3 hari.

3. Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Pada
infeksi ringan, mebendazol dapat diberikan dalam dosis tunggal (200 mg).

4. Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting. Dosis


piperazin adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama 2 hari, sebelum
atau sesudah makan pagi. Efek samping adalah gejala gastrointestinal dan sakit

8
kepala. Piperazin tidak boleh diberikan pada penderita dengan insufisiensi hati
dan ginjal, kejang atau penyakit saraf menahun.

2.1.7 Faktor- faktor yang mempengaruhi kecacingan


Berbagai faktor yang mempengaruhi tingginya angka infeksi cacing di
indonesia adalah :

a. Tidak memotong kuku

Masih banyak yang membiarkan kukunya panjang sehingga kotoran


masih masih banyak yang menempel yang bisa mengakibatkan terinfeksi
parasit, untuk itu memotong kuku merupakan kegiatan dalam upaya
pencegahan penularan cacing dari tangan ke mulut.

b. Tidak mencuci tangan

Masih banyak yang kadang-kadang tidak pernah mencuci tangan


dalam kehidupan sehari-harinya padahal hal ini dapat mengi feksi cacing
pada anak,hal ini terjadi apabila anak tidak mencuci tangan dengan baik
maka tangan yang kotor atau yang terkontaminasi dapat memindahkan
bibit penyakit kedalam tubuh.

c. Tidak menggunakan alas kaki

Sering terjadi pada anaka-anak yang bermain di rimah tidak


menggunakan alas kaki hal ini juga dapat mengakibatkan terjadinya infeksi
parasite penularan cacingan melalui tanah sebetulnya bisa saja terjadi
karena cacing yang hidupnya didalam tanah dapat menembus kulit dan
akan mengikuti aliran darah dan masuk ke paru-paru dan kedalam usus dan
akan menjadi cacing dewasa.

d. Faktor lingkungan

Sanitasi lingkungan di tunjukkan dengan banyakknya responden yang


memiliki kebiasaan kadang-kadang dan bahkan tidak melakukan sanitasi
lingkungan dengan baik, penyebaran cacingan yangpaling banyak yang di
temukan didaerah dengan kelembapan tinggi.

e. Faktor sanitasi makanan

9
Bahwa perilaku makan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat
menularkan infeksi cacing misalnya, mengkonsumsi makanan secara
mentah atau setengah matang berupa ikan, daging, sayuran.Serta penyajian
makanan makanan harus memnuhi syarat sanitasi yaitu bebas dari
kontaminasi.

f. Faktor sumber air

Air sumur dalam kehidupan sehati-hari sanagat mempengaruhi


faktor terjadinya infeksi cacing,bahwa ada yang membuang tinjanya
sembarang tempat. Oleh karena itu air yang harus di konsumsi harus
memenuhi syarat seperti tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau .

2.1.8 Pencegahan
Upaya pencegahannya dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik dan tepat
guna, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti :

1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

2. Sebelum dan sesudah makan dibiasakan untuk mencuci tangan menggunakan


sabun dan air mengalir

3. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah


dicuci bersih dengan air mengalir.

4. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

5. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing
misalnya memakai jamban/WC.

6. Makan makanan yang dimasak.

7. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja
sebagai pupuk. Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama
bertahun-tahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.

2.2 Metode Kato Katz


World Health Organization (WHO) merekomendasikan dua jenis pemeriksaan
yang dapat mendeteksi adanya telur cacing dalam tinja yaitu Direct Thin Smear
(pemeriksaan langsung apus tipis ) dan Cellophan Thick Smear (pemeriksaan apus tebal

10
menggunakan slofan) atau yang lebih dikenal dengan metode Kato Katz. Metode Kato
Katz pertama kali diperkenalkan oleh Kato dan Miura pada tahun 1954. Metode ini
diyakini sangat berguna dan efisien untuk mendiagnosa adanya kasus infeksi cacing
usus. Metode ini relatif mudah dilakuakan tapi menuntut ketelitian karena pembuatan
sediaan apus tebal dari tinja ini sangat dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu setempat.

Prinsip dari metode ini sama dengan metode direct slide dengan penambahan
pemberian sellophane tapeyang sudah direndam dengan malachite green sbagai latar.
Metode Kato Katz menggunakan gliserin sebagai salah satu reagennya, oleh karena itu
sediaan harus segera mungkin diperiksa dengan mikriskop setelah pembuatan sediaan
apus tebal dengan cellophane tape. Sediaan yang belum diperiksa sebaiknya disimpan
pada suhu kamar dan disimpan dalam kotak tertutup. Keberadaan telur cacing gelang
pada sediaan di baca harus dalam waktu 30-60 menit.

Kelebihan metode Kato Katz sangat sensitif, memiliki variansi minimal antara
sampel, sederhan untuk dilakukan san sesuai untuk studi lapangan. Metode Kato Katz
kemudian diadopsi oleh WHO untuk melakukan diagnosis kuantitatif kaulitatif dari
infeksi intestinal yang disebabkan oleh cacing, seperti A.lumbricoides,T.trichiura,
A.deodenale, N.americanus dan S.mansoni, terutama dalam program pengendalian dan
studi kemoterapi. Metode Kato Katz kemudian dikonfirmasikan oleh banyak pekerja
laboratorium dari berbagai belahan dunia. Akan tetapi, metode Kato Katz tidak mampu
mendeteksi larva dan kista protozoa sehingga beberapa survei data yang menggunakan
metode Kato Katz biasanya tidak dapat mendeteksi adanya protozoa.

Metode kato katz adalah salah satu metode pemeriksaan kecacingan secara
kuantitatif, yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah telur cacing. Hasil
perhitungan telur cacing dapat menentukan intensitas infeksi (ringan, sedang, atau berat)
menurut jenis cacing yang menginfeksi dalam satuan EPG (Eggs Per Gram), sehingga
dapat menggambarkan keadaan infeksi kecacingan. Pemeriksaan kuantitatif kecacingan
menggunakan metode kato katz, menghasilkan lapang pandang berwarna hijau malachite
sehingga lebih efisien untuk pemeriksaan dengan jumlah sampel yang mudah untuk
dilihat, dan tidak membuat mata cepat lelah.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi metode Kato Katz antara lain
volume feses, lama waktu inkubasi, sediaan baca, suhu dan kelembapan. Volume feses
merupakan kuantifikasi intensitas telur cacing yang dapat diperoleh dalam pemeriksaan

11
berdasarkan volume feses, apabila volume feses berlebihan maka akan mempengaruhi
pemeriksaan. Lama inkubasi juga berpengaruh pada sediaan baca, semakin lama waktu
inkubasi akan diperoleh sediaan baca yang baik tetapi apabila telur cacing gelang sudah
terlihat pada sediaan baca maka harus dibaca dalam waktu kurun 30-60 menit. Apabila
melewati batas waktu tersebut lebih dari 60 menit maka telur cacing gelang akan
menghilang. Pada sediaan yang basah lapisan albuminoid, lapisan hialin dan lapisan
vitelin belum terlihat jelas karena sediaan belum menerap cat malachite green secara
sempurna sehingga akan mempengaruhi hasil pemeriksaan telur cacing pada
pemeriksaan metode Kato Katz. Suhu yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah suhu
kamar.

Lubang kato katz merupakan tempat untuk mengukur jumlah sampel feses yang
akan digunakan dalam pembacaan metode kato katz. Ukuran standar lubang aplikator
kato katz diketahui adalah 6 mm. Ukuran lubang kato katz besar kemungkinan dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan, hal ini disebabkan karena semakin besar ukuran
lubang kato katz, maka sampel feses yang digunakan menjadi semakin banyak. Sehingga
jumlah telur cacing yang diperoleh menjadi sedikit dalam pembacaan dikarenakan
tertutup oleh jumlah sampel yang banyak pada sediaan baca. Untuk mengetahui
perbedaan jumlah telur cacing yang akan diperoleh dengan variasi ukuran lubang kato
katz maka peneliti ingin melakukan penelitian untuk menghitung jumlah telur cacing
Ascaris lumbricoides dengan variasi ukran lubang Kato Katz 6,8,10 mm.

2.2.1 Respon Imun Pada Infeksis Cacing Usus


Patogenitas infeksi cacing disebabkan oleh efek parasit secara langsung dan oleh
interaksinya dengan sistem imun hospes. Cacing bisa juga menyebabkan penyakit ketika
hospes sebelumnya terpapar terhadap bagian yang infektif atau ketika hospes mengalami
imunosupresi atau kekurangan nutrisi. Dalam banyak kasus, anak-anak lebih mudah
terinfeksi cacing dibandingkan dengan dewasa. Efek modulasi infeksi cacing terhadap
sistem imun ini terjadi akibat perubahan keseimbangan T helper1/T helper2 (Th1/Th2)
ke arah sel Th2 (Th2 polarized. Pada infeksi cacing usus baik pada manusia maupun
secara eksperimen memperlihatkan bahwa infeksi cacing usus akan condong
menstimulasi respon imun hospes ke arah Th2. Pada saat terjadi infeksi cacing, Antigen
Presenting Cell (APC) berupa sel dendrit akan mempresen-tasikan molekul antigen
cacing bersama dengan molekul MHC kelas II pada sel T naive (Th0).

12
Setelah terpapar dengan antigen cacing, sel NeMac akan melakukan berbagai
aktifitas. Sel NeMac akan bekerja menghambat proliferasi sel T melalui contact
dependent mechanism. Proses perkenalan antigen oleh Antigen Presenting Cell kepada
sistem imun spesifik ini terjadi pada mesenterik limfonodus atau pada limfonodus
terdekat. Sel Th0 yang telah teraktivasi akan mengalami proliferasi dan diferensiasi
menjadi sel Th1 dan Th2. Pada infeksi cacing respon ini terpolarisasi ke arah sel Th2 dan
produknya terutama interleukin-4 (IL-4) akan menekan perkembangan sel Th1. Secara
umum, respon imun sejak awal infeksi hingga terjadi proses eliminasi pada infeksi
cacing dapat dibedakan atas respon imun non spesifik dan spesifik.

2.2.2 Peran IgE Pada Infeksi Cacing Usus


Peradangan dikendalikan oleh protein pengatur komplemen PGE2, TGF β,
glukokortikoid, dan IL-10. LPS ditangkap oleh reseptor spesifik, IL-1, IL-8 dan TNF-α
terlibat dalam proses terjadinya peradangan. Sementara itu, ketidakmampuan
menyingkirkan penyebab terjadinya reaksi radang menahun yang biasanya dilakukan
oleh makrofag, seringkali membentk granuloma.

Berbagai mekanisme pertahanan dilancarkan oleh pejamu, pada dasarnya dapat


digambarkan bahwa reaksi humoral terbentuk pada organisme yang masuk peredaran
darah. Sedangkan parasit yang hidup di jaringan biasanya merangsang imunitas seluler.
Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang ditularkan melalui
darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan
masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid.

Infeksi cacing yang kronik akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun.
Antigenantigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B
yang T independen. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi
sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan
permukaan cacing diikat eosinofil.

Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang non-spesifik.
Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing
pada mukosa saluran cerna. Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis.
Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang
menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing

13
melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, dan neurotoksin. PMN dan makrofag
menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang
membunuh cacing.

14
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan di beberapa negara
berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan ini masih cukup tinggi
terutama pada kelompok masyarakat dengan higienisitas dan sanitasi yang rendah.
Penyakit kecacingan ini disebabkan oleh organisme multi seluler yang mempunyai masa
hidup panjang dan siklus hidup yang kompleks. Prevalensi terbanyak infeksi cacing usus
disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Sepanjang siklus hidupnya, cacing
usus mengalami perkembangan stadium yang yang dapat berpindah, melewati atau
memasuki organ tertentu serta mampu memodulasi respon imun yang kuat dan khas pada
hospes.

Efek modulasi infeksi cacing terhadap sistem imun ini terjadi akibat perubahan
keseimbangan T helper1/T helper2 (Th1/Th2) ke arah sel Th2 (Th2 palarized). Pada
infeksi akut cacing usus terjadi stimulasi respon imun hospes yang terpolarisasi ke arah
sel Th2 yang dikenal dengan Th2 response. Polarisasi respon imun ke arah sel Th2 ini
ditandai dengan peningkatan Th2 specific cyokines seperti interleukin-4 (IL-4),
interleukin-5 (IL-5), interleukin-13 (IL-13) dan peningkatan imunoglobulin E (IgE).
Pada infeksi cacing kronis terjadi modified Th2 response yang menekan produksi
interleukin-5 (IL-5), mengaktivasi peranan sel Treg. Sel Treg ini menghasilkan
interleukin-10 (IL-10) dan Transforming Growth Factor – β (TGF-β). IL-10 berperan
dalam class switching antibody response dimana sel B yang sebelumnya memproduksi
IgE menjadi memproduksi IgG4. TGF-β berperan dalam menekan respon seluler baik sel
Th1 maupun Th2.

15
DAFTAR PUSTAKA
Roitt I, 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8, Penerbit Widya Medika, Jakarta.

Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI, Jakarta.

Soedarto.2009. Penyakit Menular di Indonesia.Jakarta:SagungSeto

Hadidjaja, Margono. 2011. Dasar Parasitologi Klinik. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks, Kedalaman Kemiskinan
(P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, Maret 2009.
[homepageontheinternet]. Jakarta : Badan Pusat Statistik 2009.[cited2016September 28].
Available from:http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23

&notab=3.

16

Anda mungkin juga menyukai