Anda di halaman 1dari 15

Pemilu dari masa ke masa

Oleh Desca Lidya Natalia  Senin, 1 April 2019 15:18 WIB

Sejumlah simpatisan berparade dengan menggunakan atribut saat kampanye Partai Nasional Indonesia (PNI) di
Kemayoran Gempol, Jakarta Pusat, 22 Mei 1971. ANTARA FOTO/IPPHOS/asf/1971.
Jakarta (ANTARA) - Indonesia telah berpengalaman 11 kali menyelenggarakan
Pemilu Legislatif sejak 1955 dan tiga kali Pemilu Presiden sejak 2004.

Sementara Pemilu 17 April 2019 merupakan pengalaman pertama bagi bangsa


demokratis terbesar pertama di Asia dan terbesar ketiga di dunia ini.

Untuk pertama kalinya rakyat secara serentak dalam satu waktu memilih
pasangan presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat di pusat dan daerah.

Untuk lebih memaknai pesta demokrasi yang telah dijalankan itu, berikut ini
adalah sejarah singkat pelaksanaan pemilu dari masa ke masa.

Pemilu Orde Lama

Pemilu pertama yang dilakukan setelah Indonesia merdeka terjadi pada 29


September 1955. Kampanye terakhir adalah 24 September 1955 pukul 24.00.

Kebanyakan dilakukan menggunakan mobil dengan pengeras suara sehingga


keadaan di jalan raya sangat ramai. Ada juga kampanye dengan cara rapat
umum.

Suasana Jakarta pun mulai sepi terutama di kalangan pedangan kecil di pasar
seperti tukang sayur, daging dan sebagainya yang pulang mudik ke desanya
masing-masing karena mereka terdaftar di sana.

Banyak juga pembantu rumah tangga yang mudik karena sebab yang sama
sehingga menimbulkan kerepotan sementara rumah tangga baik keluarga
Indonesia dan orang asing.

Hal yang mencolok dan belum pernah terjadi di Jakarta adalah pasar menjadi
"sepi-sunyi" dari pedagang sayur-mayur dan lauk-pauk akibat gelombang mudik.
Kaum ibu yang ingin berbelanja untuk bekal dua hari mendapati pasar sudah
menjadi “kosong melompong” dan satu-dua pedagang yang masih ada langsung
diserbu secara habis-habisan sehingga si tukang dagang jual mahal alias
menaikkan harga semaunya sendiri.

Sehari sebelum pemilu 29 September 1955, Antara memberitakan bahwa masih


ada warga yang belum menerima surat pemberitahuan meski mereka sudah
terdaftar sebagai pemilih sehingga banyak yang membanjiri kantor-kantor
kelurahan, kecamatan, atau mendatangi petugas PPS guna meminta surat
suara.

Pemilu ketika itu mengisi 260 kursi DPR sesuai dengan UU Pemilihan Umum
bahwa setiap 300 ribu orang penduduk diwakili seorang anggota Parlemen dan
tiap 150 ribu orang diwakili seorang anggota Konstituante.

Ketua Panitia Pemilihan daerah Jakarta Raya Ny. S Pudjobuntoro


mencontohkan, DKI Jakarta yang memiliki 1.664.640 penduduk mendapat 6
kursi perwakilan DPR dan 11 orang anggota Konsituante.

Namun banyaknya suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu kursi


bergantung pada jumlah suara yang masuk dibagi enam. Misalnya, bila suara
Jakarta yang masuk sebanyak 600 ribu suara maka 600 ribu dibagi enam
sehingga partai harus dapat mengumpulkan 100 ribu suara.

Tapi bila jumlah suara kurang dari 600 ribu maka "harga" kursi perwakilan
diturunkan sesuai UU Pemilu pasal 82 ayat 2.

Pemilu perdana itu memang disambut antusiasme masyarakat.

Presiden Soekarno (tengah) berpidato di depan masyarakat saat mengadakan


kunjungan di Yogyakarta, 28 November 1955. ANTARA
FOTO/IPPHOS/Rei/1955.  

Banyak TPS yang hingga pukul 18.00 belum selesai menghitung hasil. Sejumlah
TPS lambat dalam melayani masyarakat sehingga banyak orang terlalu lama
menunggu.

TPS 64, di kantor Kementerian Penerangan, merupakan tempat Bung Karno


menggunakan hak pilihnya pada pukul 08.50 WIB. Seperti warga lain, Bung
Karno ikut antre, berdiri paling belakang.
Kemudian panitia bertanya kepada barisan di depan apakah keberatan jika Bung
Karno didahulukan memberikan suara. Jawaban atasnya "tidak" sehingga Bung
Karno menjadi yang pertama memberikan hak pilihnya di TPS itu. Sedangkan Ny
Fatmawati Sukarno baru memberikan suara pada 12.00 WIB.

Sesudah menggunakan hak pilihnya, Bung Karno mengatakan "Saya merasa


bahagia bahwa saja sebagai warga negara Indonesia sudah dapat melakuakn
hak dan kewajiban saya turut memberikan suara dalam pemilihan umum yang
pertama ini".

Pemilu di daerah lainnya seperti di Jawa Tengah yaitu Semarang, Wonosobo


dan Magelang hasilnya PKI atau PNI Unggul sesudah itu NU dan Masyumi.

Di Surabaya dilaporkan bahwa PKI memimpin disusul NU, PNI, dan Masyumi.
Ada 616 TPS di Surabaya dengan 367.797 pemilih. Mereka yang memberikan
suaranya rata-rata 70 persen dari daftar pemilih.

Dari Bukittinggi dilaporkan Masyumi dan PSI melakukan protes karena tanda-
tanda yang dipakai Panitia Keamanan Pemungutan Suara dan dibawa mondar-
mandir oleh alat negara mirip tanda gambar PNI. Masyumi Sumatera Tengah
juga menyesalkan disiarkannya pidato Bung Karno oleh RRI menjelang hari
pemungutan suara.

Tidak ada TPS di kapal-kapal karena kesulitan teknis seperti pengadaan


peralatan, petugas, ketidakpastian jumlah pemilih dan penentuan hasil
pemungutan suara untuk daerah pemilihan mana.

Tapi bila kapal itu berlabuh di pelabuhan dalam negeri maka pelaut/penumpang
kapal dapat memberikan hak pilih di TPS terdekat dengan pelabuhan
menggunakan formulir model A1+ atau bila di luar negeri dapat ke KBRI terdekat
dengan formulir model A4.

Para tahanan polisi di Sumatera Utara juga dibolehkan untuk menggunakan hak
pilihnya.

Hasilnya, Pemilu 1955 dimenangkan oleh PNI yang memperoleh 57 kursi di DPR
disusul Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), PKI (39 kursi), PSII (8 kursi), Pakindo
(8 kursi), Katolik (6 kursi), PSI (5 kursi), IPKI (4 kursi), Perti (4 kursi), Murba (2
kursi) dan partai lainnya (23 kursi).

Pemilu Orde Baru


 

Presiden Soeharto dengan gembira menunjukan kartu suaranya setelah selesai


melakukan penusukan tanda gambar pilihannya segera dimasukkan ke dalam
kotak suara di TPS II Jl. Cendana Jakarta pada Pemilu 1982. FOTO ANTARA /
PO2/ss/hp/82

Pemilu pertama pada rezim Orde Baru dilaksanakan pada Sabtu, 3 Juli 1971.

Pemilu itu akan menjaring 3.940 orang dari 9 partai dan 1 golongan karya untuk
mengisi lembaga perwakilan daerah maupun pusat, termasuk MPR yang akan
diduduki 920 orang wakil.

Jumlah itu terdiri atas 460 anggota DPR, 112 orang anggota tambahan dari
golongan politik dan golongan karya berdasarkan imbangan suara yang
diperoleh dalam pemilu, 207 anggota tambahan yang merupakan utusan
golongan karya, angkatan bersenjata, dan bukan angkatan bersenjata yang
diangkat, 10 orang anggota tambahan dari golongan politik maupun karya
sebagai hasil pemilu yang tidak mendapat wakil dalam DPR serta 131 orang
anggota tambahan utusan daerah.

Ke-460 kursi yang tersedia di DPR terdiri atas 360 orang anggota terpilih di
pemilu ditambah 100 orang anggota yang diangkat.

Tercatat 57.535.752 warga negara yang berhak ikut serta.

Ketika itu, 400 ribu warga Indonesia untuk satu wakil dengan pembagian DKI
Jakarta 11 orang, Jawa Barat 43 orang, Jawa Tengah 57 orang, Daerah
Istimewa Yogyakarta 8 orang, Jawa Timur 64 orang, Lampung 6 orang,
Sumatera Selatan 10 orang, Riau 6 orang, Bengkulu 4 orang, Sumatera Barat 14
orang, Sumatera Utara 17 orang, Daerah Istimewa Aceh 9 orang, Bali 8 orang,
Nusa Tenggar Barat 6 orang, Nusa Tenggara Timur 12 orang, Kalimantan Timur
6 orang, Kalimantan Tengah 6 orang, Kalimantan Selatan 11 orang, Kalimantan
Barat 7 orang, Sulawesi Utara 6 orang, Sulawesi Tengah 4 orang, Sulawesi
Tenggara 4 orang, Sulawesi Selatan 23 orang, Maluku 4 orang, dan Irian Barat 9
orang.

Presiden Soeharto yang saat itu masih berstatus sebagai jenderal tidak
memberikan hak pilihnya. Ia hanya memberikan amanat bagi masyarakat pada 2
Juli 1971 juta dengan menyampaikan "Besok pagi Bangsa Indonesia akan
menancapkan satu tonggak sejarah baru, satu tonggak baru daripada perjalanan
Orde Baru yang harus berarti memperkuat pelaksanaan Pancasila dan UU 1945
serta memperhebat pelaksanaan pembangunan selanjutnya".

Soeharto pada pukul 08.00 mengantarkan istrinya Ny Tien Soeharto dan 3 orang
putra-putrinya Tutut, Sigit, dan Bambang ke TPS Jalan Cendana. Nyonya Tien
dan putra-putrinya lalu menyusul Soeharto dengan mobil yang dikemudikan
Bambang ke TPS kelurahan Kramat Pela, Kebayoran Baru.

Berbeda dengan suasana 1955, pemilu 1971 tampak tenang. Tidak tampak
sama sekali pasar-pasar yang biasa ramai pedagang dan ibu-ibu yang
berbelanja, bus-bus umum kekurangan penumpang sehingga penumpang
pengguna bus Sabtu pagi tidak perlu berdempet-dempet. Pemilu lancar sehingga
pada pukul 12.00 rata-rata TPS sudah selesai menerima para pemilih.

Tenangnya suasana pemilu itu mungkin juga disebabkan oleh Surat Keputusan
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib)
Jenderal TNI Maraden Panggabean (yang juga Wakil Panglima ABRI) tentang
Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Sesudah Pemungutan Suara tertanggal
1 Juli 1971.
Keputusannya adalah:

1. Dilarang menyiapkan atau mengadakan pawai-pawai, arak-arakan, barisan-


barisan, demonstrasi-demonstrasi atau yang dapat disamakan dengan itu baik
berjalan kaki maupun berkendaraan, rapat-rapat umum atau keramaian-
keramaian untuk menunjukkan, memperingati atau merayakan sesuatu
organisasi yang menang dalam pemilu.

2. Dilarang menyiapkan atau mengadakan pawai-pawai, arak-arakan, barisan-


barisan, demonstrasi-demonstrasi atau yang dapat disamakan dengan itu baik
berjalan kaki maupun berkendaran, rapat-rapat umum karena kekalahan sesuatu
organisasi dalam pemilu.
3. Terhadap pelanggaran larangan tersebut di atas diambil tindakan tegas
menurut hukum yang berlaku
4. Keputusan ini berlaku pada 3 Juli 1971.

Selanjutnya pada 5 Juli 1971, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud selaku
Ketua Lembaga Pemilu sudah melaporkan kepada Presiden Soeharto hasil
sementara pemilu di beberapa daerah.

Warga yang merupakan bekas tahanan G30S/PKI dilarang ikut mencoblos dan
bila ketahuan langsung ditangkap dan dijatuhi hukuman. Hal ini misalnya terjadi
di Medan, yaitu 200 orang lebih bekas anggota ormas PKI daerah Sumatera
Utara berusaha menyusup ikut pemilu tapi digagalkan petugas setempat.

Orang-orang itu lalu diproses di pengadilan kilat khusus pemilu.

Pemilu 1971 pun dimenangkan oleh Golkar. Golkar merupakan gabungan dari
puluhan organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan yang
awalnya tergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber
Golkar.

Golkar meraih 236 kursi di DPR, disusul NU (58 kursi), Parmusi (24 kursi), PNI
(20 kursi), PSII (10 kursi), Parkin (7 kursi), Katolik (3 kursi) dan Perti (2 kursi).
Partai Murba dan IPKI tidak memperoleh kursi.

Pemilu kedua pada pemerintahan Orba terjadi pada 2 Mei 1977 yang hanya
diikuti oleh 3 kontestan: Golkar; Partai Demokrasi Indonesia (leburan dari PNI,
IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik); dan Partai Persatuan Pembangunan
(fusi dari empat partai keagamaan yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan
Parmusi).
Presiden Soeharto menjamin perhitungan suara berjalan sesuai aturan sekalipun
formulir CA-1 tak ditandatangani saksi seperti yang diminta oleh Partai
Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.

Pemilu 1977 menurut Soeharto tidak banyak berbeda dengan pemilu 1971.

Soeharto datang ke TPS di Cendana pada sekitar pukul 9.45 dan baru mendapat
diliran setelah menunggu sekitar 20 menit.

Bagi Soeharto, pemilu 1977 merupakan kedua kalinya ia memberikan suara.


Kesempatan pertama adalah pemilu 1955, sedangkan pemilu 1971 ia tidak
berhak memilih karena masih menjadi anggota ABRI.

Ada sekitar 70 juta rakyat Indonesia yang memberikan suaranya di 280 ribu TPS.

Salah satu yang menarik adalah penerbangan pesawat dari Jakarta ke Surabaya
dan Bangka hanya memuat seorang penumpang pada pagi 2 Mei 1977.

Napi dan tahanan juga ikut nyoblos di TPS dalam lapas bersama karyawan yang
kena tugas di dalam meski tidak pernah mendengar kampanye secara langsung
dari 3 kontenstan pemilu.

Hasil pemilu 1977 adalah Golkar mendapat 36.666.575 suara (61,55 persen),
PPP mendapat 17.543.606 suara (29,5) persen) dan Partai Demokrasi Indonesia
5.253.876 suara (8,84 persen) dari jumlah pemilih terdaftar 70.664.155 orang.
Ketika ditanya tanggapan Presiden mengenai hasil sementara itu, Mendagri Amir
Machmud selaku Ketua Panitia Pemilihan Indonesia menjawab "Kalau Pak Harto
smiling (tersenyum) terus kan".

Hingga 1992, belum ada debat politik antar Organisasi Peserta Pemilu dalam
masa kampanye di televisi.

Menko Polkam Sudomo dengan alasan "kalau hal itu dilaksanakan juga
dikhawatirkan membuat masyrakat semakin bertambah bingung".
Debat baru dapat dilakukan 10-20 tahun mendatang kalau kesadaran bangsa
Indonesia telah mencapai derajat tertentu tanpa menjelaskan situasi yang
bagaimana debat boleh dilaksanakan.

Pada Pemilu 1992, perolehan Golkar merosot karena hanya menggondol 282
dari 400 kursi yang diperebutkan, sedangkan PPP mendapatkan 62 kursi dan
PDI meraih 56 kursi.
Dalam Pemilu tersebut, Golkar yang saat itu dibawah kepemimpinan Wahono
mendapatkan 66.599.331 (68,10 persen) suara, PPP 16.624.647 (17,00 persen)
suara, dan PDI 14.565.556 (14,89 persen) suara.

Sementera pemilu terakhir era Orba yaitu pada 29 Mei 1997 juga menghasilkan
kemenangan dengan persentase tinggi untuk Golkar.

Hasil sementara penghitungan suara yang dilakukan Panitia Pemilihan Indonesia


(PPI) di Jakarta menyebutkan bahwa sampai dengan Jumat 30 Mei 1997 pukul
07.56 WIB, dari 86.296.132 suara yang sudah masuk, Golkar meraih 63.751.579
suara, sedangkan PPP 20.102.765 suara dan PDI 2.441.788 suara.

Jumlah pemilih dalam Pemilu 1997 tercatat 124.740.987 orang dari total
penduduk Indonesia sebanyak 196.286.613 jiwa. Oleh karena itu, apapun hasil
penghitungan suara yang masih tersisa tidak akan mengubah kepastian Golkar
sebagai pemenang dalam Pemilu kali ini.

Pemilu orde reformasi

 
Presiden Megawati Soekaroputri memperlihatkan surat suara kepada
masyarakat sebelum dimasukkan kedalam kotak suara di TPS 46, Kelurahan.
Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, (5/7/2004). Megawati
dengan Hasyim Muzadi, merupakan salah satu pasangan capres/cawapres yang
ikut dalam pemilihan presiden 2004. FOTO ANTARA/Ali Anwar/Koz/hp/04.

Menjelang masuk orde reformasi, dilakukan pemilu pada 1999, pada pemilu itu
diputuskan untuk melarang lima menteri -- Menkowasbang/PAN, Mendagri,
Menkeh, Menhankam/Pangab, dan Jakgung-- ikut dalam kampanye Pemilu
karena mereka berkaitan langsung dengan masalah politik dalam negeri.

Pemilu 7 Juni 1999 berada di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie yang


diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memilih 462 anggota
DPR dan DPRD Kabuptan/kota.

Pemilu kali ini diikuti 48 parpol namun tiga parpol besar yaitu PDI (ditambah kata
Perjuangan) yang meraih 153 kursi DPR (33,74 persen), Golkar meraih 120 kursi
(22,44 persen) dan PPP meraih 58 kursi (12,55 persen)
Pada 20 September 2004, masyarakat Indonesia melakukan pemungutan suara
untuk memilih presiden secara langsung yang pertama kali terjadi dalam sejarah
Republik Indonesia.

Menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,
untuk dapat terpilih menjadi presiden, kandidat harus memperoleh minimal 50
persen dari jumlah suara sah dan mendapatkan minimal 20 persen suara di
sepertiga propinsi yang ada di Indonesia pada putaran pertama.

Apabila tidak ada kandidat yang memenuhi persyaratan tersebut, maka diadakan
pemilihan putaran kedua, di mana kandidat yang memperoleh suara terbanyak
akan menjadi presiden.

Pada putaran pertama pemilihan presiden 2004 yang diselenggarakan 5 Juli


2004, ada lima kandidat yang bertarung. Mereka adalah Wiranto, Presiden
Megawati, Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wakil Presiden
Hamzah Haz. Dari lima kandidat tersebut, Megawati dan Yudhoyono berhasil
masuk dalam putaran kedua pemilihan presiden. Megawati memperoleh 26.6
persen dan Yudhoyono memperoleh 33.6 persen suara sah.

Dalam putaran kedua pada 20 September 2004, Megawati yang berpasangan


dengan Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden, mendapatkan dukungan
dari partai-partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan yang
dipimpinnya, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Damai
Sejahtera, dan partai-partai kecil lainnya.

Sementara itu, Yudhoyono mendapat dukungan penuh dari Partai Demokrat


yang mencalonkannya dan Partai Keadilan Sejahtera serta beberapa partai kecil
lainnya. Selain itu, Yudhoyono juga mendapatkan dukungan tidak resmi dari
Partai Amanat Nasional yang dipimpin Amien Rais dan Partai Kebangkitan
Bangsa.

Masyarakat tampaknya tidak begitu antusias untuk mengikutinya lagi. Mungkin


masyarakat sudah bosan dengan pemilihan umum, karena pada tahun ini
diadakan tiga kali pemilihan umum. Yang pertama kali adalah untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah pada tanggal
5 April, dan kemudian putaran pertama pemilihan presiden, serta terakhir
putaran penentuan pemilihan presiden.

Namun pemilu tetap berjalan dengan aman dan tanpa ada masalah yang berarti.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama Jusuf Kalla (JK) menjadi presiden
dan wakil presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat dengan meraih
69.266.350 suara dibanding raihan suara untuk pasangan Megawati
Soekarnoputri-Hasiyim Muzadi yang hanya mendapat 44.990.704 suara.

Pemilu 2009
 

Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperlihatkan


surat suara sebelum melakukan penjoblosan pada pemilihan calon presiden di
Cikeas, Cileungsi, Bogor, Jabar, (5/7/2004). Pemilihan presiden yang
dilaksanakan serentak itu akan memilih presiden mendatang secara langsung
dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia. FOTO
ANTARA/Saptono/Koz/hp/04 .

Pemilu 2009 dilaksanakan pada 9 April 2009 untuk memilih 560 anggota DPR,
132 Anggota DPD serta DPRD se-Indonesia periode 2009-2014 sedangkan
pemilhan presiden dan wapres dilaksanakan pada 8 Juli 2009. Para peserta
pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 diikuti oleh 44 parpol yang
terdiri dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh.
Sedangkan untuk pemilihan presiden dan wapres terdiri dari 3 pasangan calon,
yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, SBY-Boediono, serta Jusuf
Kalla-Wiranto. Hasilnya, SBY-Boediono menang satu putaran langsung dengan
memperoleh suara 60,8 persen yang didukung Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP
dan PKB.

Pada pemillu ini mulai muncul banyak konsultan politik yang mengeluarkan
survei dan hitung cepat hasil pemilu seperti Lembaga Survei Indonesia, Pusat
Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Jaringan Suara
Indonesia, Cirus Surveyors Group, Pusat Studi Nusantara, Lingkaran Survei
Indonesia, Jaringan Isu Publik (JIP), Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP),
LP3ES, dan Lembaga Survei Nasional (LSN).

Tercatat dalam pemilu saat itu sebanyak 171 juta penduduk Indonesia
menggunakan hak suaranya. Namun hanya sekitar 121 juta pemilih saja yang
menggunakan suaranya. Partai Demokrat mendapatkan 150 kursi, disusul Partai
Golkar sebanyak 107 kursi dan PDI Perjuangan dengan 95 kursi.

Pemilu 2014

Pemilu 2014 adalah pemilihan presiden langsung ketiga kalinya pada 9 April
2014. Pemilu ini diikuti oleh dua pasang capres dan cawapres yaitu Prabowo
Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa,
mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014 yang diusung
Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) serta Joko Widodo,
Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan wapres
periode 2004-2009 yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (PDI-P, PKB, NasDem,
Hanura)

Pemilu diikuti oleh 12 parpol nasional dan 3 parpol lokal Aceh. Sebanyak 12
parpol nasional itu yakni Partai NasDem, PKB, PKS, PDIP, Partai Golkar, Partai
Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PPP, Partai Hanura, PBB, PKPI. Adapun, 3
parpol lokal Aceh yakni Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh, dan Partai
Aceh.

Pileg dan Pilpres diselenggarakan secara terpisah. Saat itu, Pileg digelar lebih
dahulu pada 9 April 2014 untuk memperebutkan 560 kursi DPR sedangkan
Pilpres diselenggarakan 3 bulan setelahnya atau pada 9 Juli 2014.

Presidential Threshold (batas syarat parpol bisa mengusung capres-cawapres)


menggunakan hasil Pileg tiga bulan sebelumnya. Ketentuannya parpol atau
koalisi parpol bisa mengusung capres-cawapres apabila memiliki 20 persen kursi
di DPR atau 25 persen suara sah nasional sedangkan parlementary threshold
atau ambang batas parlemen untuk menempatkan kadernya di DPR sebesar 3,5
persen.

Pemilu 2014 memakai metode BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) atau Quote
Harre dalam menentukan jumlah kursi,

Pada pemilu 2014, sumbangan dari perseorangan maksimal Rp 1 miliar,


sementara sumbangan dari badan hukum atau korporasi paling banyak Rp 7,5
miliar.

Hasil resmi KPU, pasangan Jokowi - Jusuf Kalla menang. Hasil tersebut
mengkonfirmasi beberapa lembaga yang mengadakan survei, exit poll, dan quick
count dengan angka kemenangan 53,15 persen dan Prabowo - Hatta Rajasa
sebesar 46,85 persen. Selain itu angka golput tercatat sebesar 30,42 persen.

Pemilu 2019

Pada Pemilu 2019, Pileg dan Pilpres akan digelar secara serentak dalam satu
hari pada Rabu, 17 April 2019. Pemilu secara serentak ini dampak dari putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan nomor 14/PUU-XI/2013 yang diputus
pada 23 Januari 2014.

Artinya para pemilih harus membawa 5 surat suara sekaligus ke bilik suara untuk
dicoblos. Lima surat suara itu untuk memilih anggota DPRD tingkat
kabupaten/kota, anggota DPRD tingkat provinsi, anggota DPR, anggota DPD,
serta calon presiden dan wakil presiden.

Peserta pemilu 2019 adalah 16 partai politik nasional ditambah 4 partai politik
lokal di Aceh. Presidential treshold pada pemilu kali ini karena
penyelenggaraannya serentak, disepakati Presidential Threshold yang
digunakan berasal dari hasil Pileg 2014 sementara parlementary treshold 2019
naik menjadi 4 persen.

Tujuannya adalah untuk menyederhanakan sistem multipartai sehingga partai-


partai terseleksi sendiri. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan adalah 575 kursi.

Penghitungan suara dilakukan dengan teknik Sainte Lague. Parpol yang


memenuhi ambang batas parlemen empat persen suaranya akan dibagi dengan
bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3,5, 7
dan seterusnya.

Hal itu diatur dalam Pasal 415 ayat (2) UU Pemilu yang berbunyi "Dalam hal
penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang
memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berunrtan oleh
bilangan ganjil 3, 5, 7, dan seterusnya.

Pada pemilu 2019, sumbangan dari perseorangan maksimal Rp2,5 miliar,


sementara sumbangan dari badan hukum atau korporasi paling banyak Rp25
miliar berdasarkan Pasal 327 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Oleh Desca Lidya Natalia


Editor: Sapto HP
COPYRIGHT © ANTARA 2019

https://www.antaranews.com/berita/818593/pemilu-dari-masa-ke-masa

Anda mungkin juga menyukai