Anda di halaman 1dari 4

PEMILIHAN UMUM 1955

Pemilu adalah proses formal pengambilan keputusan kelompok di mana anggota masyarakat yang
memenuhi persyaratan memilih seseorang untuk memegang jabatan Administrasi publik.

Sejarah (latar belakang): Setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah
Indonesia ternyata sempat merencanakan diadakannya Pemilihan Umum (Pemilu) pertama. Kendala
yang dihadapi dari dalam maupun luar negeri pasca proklamasi kemerdekaan membuat Pemilu tak
bisa segera dilaksanakan. Sebenarnya tiga bulan pasca proklamasi kemerdekaan pemerintah sudah
menyatakan keinginan untuk menyelenggarakan Pemilu di awal tahun 1946. Hal itu tercantum dalam
Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945. Dalam
maklumat itu disebut bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan
bulan Januari 1946.Dari banyak faktor bisa disimpulkan dua penyebab Pemilu tidak bisa segera
diselenggarakan. Pertama, belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur
penyelenggaraan Pemilu. Kedua, rendahnya stabilitas keamanan negara karena serbuan kekuatan
asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Walau begitu bukan berarti tidak ada yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mempersiapkannya. Melansir laman kpud-medankota.go.id,
pemerintah sempat mengeluarkan UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian
diperbarui dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan
bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung) dengan alasan bahwa
mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf agar tidak terjadi distorsi.

A. Pemilihan umum 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia yang diadakan pada tahun
1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis. Pemilu 1955
dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih wakil wakil rakyat yang akan duduk dalam Parlemen dan
dewan Konstituante, mewujudkan peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai,
mewujudkan pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan,
memobilisasi dan menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan ikut serta
dalam proses politik, melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat di lembaga perwakilan, melaksanakan
prinsip hak hal asasi warga negara. Sistem yang digunakan pada Pemilu 1955 adalah sistem
perwakilan proporsional. Berdasarkan sistem ini, wilayah Indonesia dibagi menjadi 16 daerah
pemilihan. Tapi, pada akhirnya, daerah ke-16 Indonesia yaitu Irian Barat gagal melaksanakan pemilu
karena pada saat itu, daerah tersebut masih dikuasai oleh Belanda. Sistem perwakilan proporsional
merupakan sistem yang mengatur bahwa setiap daerah pemilihan nantinya akan mendapatkan
sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya, dengan ketentuan setiap daerah berhak mendapat
jatah minimum 6 kursi untuk Konstituante dan 3 kursi untuk Parlemen.
B. Pelaksanaan

a. Panitia pelaksanaan

Untuk menyelenggarakan Pemilu dibentuk badan penyelenggara pemilihan, dengan berpedoman


pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan
5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu :

Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) : mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan Anggota


Konstituante dan Anggota DPR. Keanggotaan PPI minimal-kurangnya 5 orang dan sebanyak-
banyaknya 9 orang, dengan masa kerja 4 tahun.

Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persiapan dan
menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Susunan keanggotaan
minimal 5 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 7 orang anggota, dengan masa kerja 4 tahun.

Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada setiap Kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri
yang membantu Panitia Pemilihan mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota
konstitusnte dan anggota DPR.

Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap Kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan
tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota Konstitusnte dan
anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara. Keanggotaan PPS minimal 5 orang
anggota dan camat karena jabatannya menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil Ketua dan
anggota diangkat dan diberhentikan oleh Panitia Pemilihan Kabupaten atas nama Menteri Dalam
Negeri.

b. Hari pelaksanaan

pelaksanaan Pemilu 1955 sendiri dibagi menjadi dua tahap. Pembagian ini dilakukan berdasarkan
tujuannya, yaitu:

1. Tahap pertama merupakan pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 29 September 1955 dengan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
Berikut adalah partai partai yang mendapatkan hasil suara terbanyak
 Partai Nasional Indonesia (PNI) Suara: 8.434.653 (22,32 persen)
 Masyumi Suara: 7.903.886 (20,92 persen) Kursi: 57
 Nahdlatul Ulama (NU) Suara: 6.955.141 (18,41 persen) Kursi: 45
 Partai Komunis Indonesia (PKI) Suara: 6.179.914 (16,36 persen) Kursi: 39

Pemilihan umum 1955 menghasilkan susunan anggota DPR dengan jumlah anggota
sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno.
Acara pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama dan menteri-menteri kabinet
Burhanuddin Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru Maka berakhirnya masa
tugas DPR yang lama dan penunjukan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah suara
terbanyak di DPR.

2. Tahap kedua merupakan pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Berikut adalah 4 besar pemenang

1. Partai Nasional Indonesia (PNI), Suara: 9.070.218, Kursi: 119

2. Masyumi, Suara: 7.789.619 Kursi: 112

3. Nahdlatul Ulama (NU), Suara: 6.989.333, Kursi: 91

4. Partai Komunis Indonesia (PKI), Suara: 6.232.512, Kursi: 80

Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat
dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan
suaranya merosot 114.267 dibandingkan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota
DPR. Pemerintah mengangkat anggota konstituante jika ada golongan penduduk
minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah kursi sejumlah
yang ditetapkan dalam UUDS 1950. Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi
minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi, dan
golongan Arab 6 kursi.

Pasca pelaksanaan Pemilu

Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956 hingga Dekrit Presiden 5
Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUDS 1950. Dewa memang berhasil
menyelesaikan bagian-bagian dari rencana UUD, namun terkait dengan masalah dasar negara, dewan
konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan yang mendasar diantara usulan dasar negara yang
ada.

Pembahasan mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena adanya konflik ideologis
antarpartai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul tiga usulan dasar negara yang diusung oleh
partai-partai; pertama, dasar negara Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI, permai, partindo, dan
Baperki; kedua, dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII; ketiga, dasar negara
sosial ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai Buruh. Ketiga usulan dasar negara ini
kemudian mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan Islam karena sosial ekonomi tidak memperoleh
dukungan suara yang mencukupi, hanya sembilan suara.
Dalam upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar negara,
kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang kemungkinan dimasukkannya nilai-
nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan
undang-undang dasar yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua upaya
untuk mencapai kesepakatan di antara dua kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua kelompok
ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan
pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno dalam amanatnya di
depan sidang Dewan Konstituante mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante harus
menerima UUD 1945 apa adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya tanpa perubahan.

Menyikapi usulan presiden, Dewan Konstituante mengadakan musyawarah dalam bentuk pemandangan
umum. Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante pun tidak berhasil mencapai
kourum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota yang hadir. Tiga kali diadakan pemungutan suara 3
kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua sidang menetapkan tidak akan mengadakan pemungutan
suara lagi dan disusul dengan masa reses ( Masa tidak bersidang). Ketika memasuki masa sidang
berikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri sidang lagi. Kondisi inilah mendorong suasana politik
dan psikologis masyarakat menjadi sangat genting dan peka. Kondisi ini mendorong KSAD, Jenderal
Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dengan persetujuan dari Menteri Pertahanan
sekaligus Perdana Menteri Ir Djuanda, melarang sementara semua kegiatan politik dan menunda semua
sidang Dewan Konstituante. Presiden Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintahan, anggota
dewan nasional Mahkamah Agung dan pimpinan Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. Hasil
dari pembicaraan itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden
1959 di Istana Merdeka. Isi pokok dari Dekrit Presiden tersebut adalah membubarkan Dewan
Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dan menyatakan tidak berlakunya UUD
sementara 1950. Dekrit juga menyebutkan akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat
sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan agung sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-
singkatnya.

Anda mungkin juga menyukai