Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN KRITIS TERHADAP SISTEM KETATANEGARAAN

INDONESIA PADA PEMILU 1955


Oleh :
Esa Susanti Putri
14407144006
Abstrak

Pemilu 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Patut

dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil

diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu

1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.

Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan

dan calon perorangan. Pelaksanaan pemilu ini berada dibawah kabinet Burhanudin

Harapap (tahun 1955-1956). Sebelumnya rencana pemilu akan dilaksanakan pada tahun

1946, karena masih kurang stabilnya politik Indonesia pada waktu itu, akhirnya pemilu

gagal untuk dilaksanakan. Tahun 1950 ketika Mohammad Natsir menjadi Perdana

Menteri, pemilu juga menjadi salah satu program kerjanya. Melalui UU No. 7 Tahun

1953 tentang Pemilu, akhirnya pemilu pertama berhasil dilaksanakan pada tahun 1955.

Kata kunci : Pemilu, Indonesia, 1955

A. PEMBAHASAN
Salah satu ciri dari negara modern yang menetapkan sistem demokrasi adalah
terselenggaranya pemilu. Hal ini berarti bahwa berlangsungnya pemilu di suatu
negara dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagi pelaksanaan sistem demokrasi,
bagi Indonesia, kehidupan politik demikian merupakan cita-cita nasional sejak
Proklamasi. Urgensi pemilu ini merupakan keharusan untuk memenuhi cita-cita
nasional, karena pemilu adalah alat untuk menyempurnakan demokrasi yang pada

1
akhirnya mengarah kepada tercapainya masyarakat adil dan makmur.1
Pemilihan umum yang diadakan pada September dan Desember 1955 sangat
menarik sebagai suatu eksperimen demokrasi. Kedua pemilihan umum itu adalah
yang pertama kali dilaksanakan secara nasional di Indonesia, menyusul sedikit
pengalaman dengan pemilihan umum propinsi dan kotapraja. Sekalipun baru
pertama kali, dalam pemilihan umum nasional ini hak pilih diberikan kepada
seluruh warga Indonesia yang berusia di atas 18 tahun atau sudah kawin. Karena
belum ada lembaga pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan
suara menjadi tanggungjawab bersama pemerintah dan panitia-panitia yang
beranggotakan wakil partai. Di tingkat desa dan yang lebih rendah lagi,
pemungutan suara dipercayakan juga kepada panitia-panitia yang sebagian
anggotanya masih buta huruf.2
Sejarah pemilihan umum di Indonesia mulai pada awal zaman revolusi.
Rencana untuk mengadakan pemilihan umum nasional sudah diumumkan pada 5
Oktober 1945, dan pada 1946 diadakan pemilihan umum di Karesidenan Kediri
dan Surakarta. Pada 1948 Badan Pekerja KNIP menyetujui undang-undang yang
menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan perwakilan
proporsional dan memberikan hak pilih kepada semua warga negara yang berusia
diatas 18 tahun.3
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua)
hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU
Pemilu
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar

1
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Indoensia Dalam Arus Sejarah,
(Jakarta : Ichtiar van Hoeve, 2012), hlm. 259
2
Herbert Feith, Pemilihan Umum, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 1999), hlm. 1
3
Ibid, hlm.2

2
kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama
gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin
lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.4
Setelah pengakuan kedaulatan (Desember 1949) pemilu untuk membentuk
DPR dan Konstituante menjadi bagian penting dari program kerja setiap kabinet.
Kabinet Hatta (1949-1950) pada masa RIS ingin menyelenggarakan pemilu untuk
membentuk konstituante terpilih yang berhak menentukan bentuk negara, yaitu
memilih antara bentuk negara federasi atau bentuk negara kesatuan. Tetapi
rencana ini di dahului oleh perkembangan politik yang mengarah kepada
pembentukan negara kesatuan.5
Sejak 1950 janji-janji mengenai pemilihan umum nasional sudah sering
dikemukakan oleh berbagai kabinet, akan tetapi langkah-langkah nyata itu selalu
terhambat oleh gabungan berbagai faktor . Termasuk ke dalam hambatan itu,
timbulnya urusan pemerintahan yang lebih mendesak dan gerakan menentang
pemilihan umum yang dilancarkan oleh sejumlah partai serta kelompok-kelompok
anggota Parlemen sementara.6
Pada 17 Oktober 1952 terjadilah peristiwa yang membuat pemilihan umum
menjadi persoalan politik yang penting. Pada hari itu sekelompok besar perwira
tinggi angkatan darat, yang didukung oleh demonstrasi politik hasil rekayasa
tentara, gagal mendesak Presdiden untuk membubarkan Parlemen Sementara.
Krisii tersebut meningkatkan penentangan terhadap Parlemen Sementara yang
sudah beberapa lama menjadi sasaran utama kekcewaan umum yang samar-samar
terhadap hasil kemerdekaan yang baru dicapai.7
Kabinet menjalankan kebijakan ganda untuk menghadapi situasi itu. Pertama,

4
http://www.eduspensa.com/2015/12/pemilu-pertama-di-indonesia-1955-dan-tujuannya.html
(PDF) diakses pada 12 April 2016 pukul 11.21 WIB
5
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Indoensia Dalam Arus Sejarah,
(Jakarta : Ichtiar van Hoeve, 2012), hlm. 263
6
Herbert Feith, Pemilihan Umum, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 1999), hlm. 3
7
Ibid, hlm.4

3
segala upaya ditempuh untuk menemukan kompromi dalam penyelesaian masalah
angkatan darat. Kedua, terus mendesak untuk mengadakan pemilihan umum
secepat mungkin sebagai penyelesaian jangka panjang. Pada November 1952
kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilhan umum yang
baru.
Undang-undang baru itu menetapkan pemilihan umum yang langsung.
Belajar dari pengalaman pemilihan umum Yogyakarta dan pemilihan umum di
India pada 1951-1952, kabinet Wilopo memutuskan mengubah kebijakan
pemilihan umum kabinet-kabinet sebelumnya yang memilih sistem tidak
langsung. Selian itu akan diadakan bukan satu tetapi dua pemilihan umum.8
Sistem pemilihan umum yang ditetapkan dengan undang-undang 1953 itu
banyak dikritik sebagai perfeksionis dalam hal demokrasi, terlalu rumit dan
karena itu lamban dan mahal. Upaya kabinet Wilopo untuk membentuk sebuah
Panitia Pemilihan Umum Pusat gagal, karena tidak tercapai kata sepakat antara
rekan-rekannya dalam koalisi mengenani susunan panitia itu. Baru pada
Desember 1953 terbentuk Panitia Pemilihan Indonesia.
Pada 1955, seperti pada 1952, pemilihan umum dianggap masyarakat
pembaca surat kabar sebagai salah satu jalan keluar dari situasi politik yang sangat
memuaskan. Situasi politik ini tercermin pada krisis kabinet yang berulang-ulang,
wewenang pemerintah yang mendapat tentangan terus-menerus dari pihak
angkatan darat, korupsi, nepotisme politik, cekcok politik, diatas segalanya,
pemerintah yang lumpuh menghadapi tugas-tugas berat hampir di semua bidang.
Itulah sebabnya maka pemilihan umum menjadi tumpuan harapan.9
Pemilu untuk membentuk DPR berlangsung pada tanggal 29 September 1955
dan untuk membentuk Konstituante berlangsung pada tanggal 15 Desember 1955

8
Ibid, hlm.5
9
Ibid, hlm.8

4
di bawah pemerintahan Kabinet Burhanudin Harapap dan Masyumi.10 Hasil
pemilu untuk parlemen (DPR) yang berlangsung paad tanggal 29 September 1955
baru diumumkan pada tanggal 1 Maret 1956, tetapi hampir semua partai sudah
mengetahui gambaran hasilnya sebelum pengumuman itu disiarkan secara resmi.
Ini disebabkan anggota Panitia Pemilihan Indonesia tidak berasal dari unsur
pemerintah saja melainkan juga unsur partai-partai politik peserta pemilu,
organisasi pemilih dan utusan perorangan yang maju sebagai calon legislatif yang
melihat langsung proses perhitungan. Dengan demikian, para peserta pemilu dapat
pula secara langsung mengevaluasi cara-cara kampanye mereka untuk kemudian
mengubah atau memperbaikinya pada pemilihan umum Konstituante.11
Hasil pemilu parlemen 29 September 1955 :

Peringkat Partai Jumlah Suara %


1. PNI 8.434.653 22,3
2. Masyumi 7.903.886 20,9
3. NU 6.955.141 18,4
4. PKI 6.176.914 16,3
5. PSII 1.091.160 2,9
6. Parkindo 1.003.325 2,7
7. Partai Katholik 770.740 2,0
8. PSI 753.191 2,0
9. IPKI 541.306 1,4
10. Perti 483.014 1,3
Kontestan Lain 3.762.969 10,0
Jumlah 37.785.299 100,0

Pemilihan umum tersebut menimbulkan bebrapa kekecewaan dan kejutan.


Jumlah partai lebih bertambah banyak daripada berkurang, dengan dua puluh
delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai yang
mendapat kursi. Akan tetapi, hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan

10
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Indoensia Dalam Arus Sejarah,
(Jakarta : Ichtiar van Hoeve, 2012), hlm. 263
11
Ibid, hlm.264

5
kursi yaitu, Masyumi, PNI, NU dan PKI.12 Pemilihan umum itu tidak
mengahasilkan penyelesaian untuk kesulitan-kesulitan sistem parlementer dan
oleh karenanya merupakan langkah lebih lanjut dalam mendiskreditkan
keseluruhan sistem itu.13
Pemilihan umum 1955 memperlihatkan Indonesia menghadapi sejumlah
persoalan khusus dalam upayanya menyesuaikan teknik pemilihan umum sesuai
kebutuhannya. Hal penting berikutnya yang membuat pemilihan umum Indonesia
1955 berbeda dari pemilihan umum di kebanyakan negara barat ialah, besarnya
perbedaan antara soal-soal nasional di satu sisi dengan dengan seruan-seruan
kampanye tingkat desa di sisi lainnya, dan rendahnya tingkat kepekaan pemilih
terhadap perkembangan politik tingkat nasional.14
Berbeda dengan pembentukan kabinet pada masa-masa sebelumnya, Presiden
Soekarno tidak menunjuk perseorangan menjadi formatur, tetapi menunjuk partai
pemenang pemilu dan partai itulah yang akan mengajukan calonnya kepada
Presiden. Partai yang ditunjuk ialah PNI sebab partai ini memperoleh suara
terbanyak dalam pemilu. PNI mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo sebagai
formatur, tetapi Presiden Soekarno pada tanggal 8 Maret 1956 memilih Ali
Sastroamidjojo.
Personalia kabinet diumumkan tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini disebut
kabinet Ali II. Ini kbinet adalah koalisi PNI, Masyumi, dan NU. Pada mulanya
Presiden Soekarno tidak setuju dengan susunan kabinet sebab tidak memasukkan
anggota PKI ke dalam kabinet. Presiden mencoba mendesakkan keinginannya
kepada tokoh Masyumi (Sukiman) dan tokoh NU K.H Idham Chalid serta tokoh
PNI dan PSII. Akan tetapi, semua tokoh itu mempunyai pendapat yang sama,
menolak mengikutsertakan PKI dalam kabinet. Kabinet Ali Sastroamidjojo

12
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta : UGM Press, 2011), hlm.377
13
Ibid, hlm.378
14
Herbert Feith, Pemilihan Umum, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 1999), hlm.132

6
merupakan kabinet koalisi di mana tiga partai besar, yaitu PNI, Masyumi dan NU
memegang peran selain beberapa partai lainnya.15
Parlemen ini bertahan selama empat tahun sebelum dibubarkan. Akan tetapi,
baik DPR yang baru maupun pemerintahan yang baru tidak menunjukkan banyak
wewenang, dan pada waktu itu hanya sedikit rakyat Indonesia yang berpikir
bahwa parlemen atau pemerintah akan berhasil. Dalam pidato pembukaannya di
depan DPR, Soekarno mengutarakan harapannya akan suatu bentuk demokrasi
yang benar-benar bersifat Indonesia, demokrasi yang lebih di dasarkan atas
mufakat daripada atas demokrasi secara barat yang bersifat memecah belah
dengan persaingan antara pemerintah dan pihak oposisi di dalam parlemen.16
Sukses paling mengesankan dari Kabinet Ali adalah konferensi Asia Afrika
pada bulan april. Tak pernah sebelumnya perhatian kaum nasionalis Indonesia
terhadap anti kolonialisme, persatuan revolusioner dan tujuan moral yang besar
diperlihatkan dengan cara yang lebih atraktif. Keberhasilan Konferensi Asia
Afrika tidak mengahasilkan suatu program aksi yang pasti, tapi mereka memang
tidak berniat untuk mengemban misi itu. Apa yang mereka susun adalah
pernyataan sederhana dan dipertimbangkan matang mengenai sentimen-sentimen
bersama.17
Masalah yang dihadapi Ali pada kabinetnya yang pertama agak berbeda
dengan suasana kabinetnya yang kedua. Hal itu karena Ali bukan hanya
menghadapi persoalan daerah, masalah kepartaian, juga munculnya Bung Karno
sebagai kekuatan politim baru yang mencerca banyaknya partai-partai. Seperti
juga pada kabinet Ali I, Kabinet Ali II juga tidak dijatuhkan DPR, tetapi makin
menghebatnya pergolakan daerah memaksa pemerintah menyatakan SOB dan
tidak lama kemudian Ali menyerahkan mandatnya.18
15
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia : Zaman
Jepang dan Zaman Republik, (Jakarta : Balai Pustaka, 2011), hlm.321
16
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta : UGM Press, 2011), hlm.379
17
Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal, (Jakarta : LP3ES, 1993), hlm.304
18
Zulfikar Gazali, dkk, Sejarah Politik Indonesia, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan

7
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa
dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak
berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958
Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan
Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan
Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri
rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang
sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi
democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4
Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan
legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno
secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong
Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya
diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan,
memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat
klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi
pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden.
Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi,
sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang
Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya
krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin

Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1989), hlm.24

8
luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak
pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang
anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai
presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang
mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.19
B. KAJIAN KRITIS
Pemilu pertama yang dilaksanakan di Indonesia tahun 1955 merupakan awal
dari demokrasi yang ada di Indonesia. Melalui pemilu masyarakat dapat memilih
calon wakil rakyat yang sesuai dengan keinginan mereka. Tujuan pemilu pada
tahun 1955 adalah untuk memilih anggota DPR dan juga Parlementer.
Pemilu tahun 1955 dianggap sebagai sistem pemilihan umum dengan
kompetisi yang sehat antar partai. Ada lebih dari 30 partai politik yang ikut
berkompetisi dalam pemilu ini. Kesadaran masyarakat kita dalam mengikuti
pemili ini juga sangat tinggi. Terbukti dengan keikutsertaan 37 juta lebih rakyat
Indonesia dalam pemilu.
Dewasa ini, sistem pemilu sedikit berubah di Indonesia. Pemilu pada masa
modern ini diawasi dan dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum. Lembaga ini
bertugas mengawasi dan mengatur jalannya pemilu. Namun, dari segi kompetisi
antar partai, masih banyak terdapat pelanggaran yang terjadi. Sekarang pun
Presiden sudah dapat dipilih oleh rakyat dan demokrasi berada ditangan rakyat.
Saya setuju dengan sikap-sikap yang diambil pemerintah pada pemilu 1955.
Dalam hal ini, pemerintah sangat netral dalam penentuan partai pemenang.
Walaupun partai pemenang pada saat itu adalah PNI (dimana partai tersebut
merupakan partai didirikan oleh Soekarno) namun, kemenangan PNI ini bukanlah
karena pengaruh Soekarni sebagai presiden. Kemenangan PNI mutlak karena

19
http://www.eduspensa.com/2015/12/pemilu-pertama-di-indonesia-1955-dan-tujuannya.html
(PDF) diakses pada 12 April 2016 pukul 11.21 WIB

9
pilihan dari rakyat yang mengikuti pemilu.
Pada masa itu belum ada istilah untuk serangan fajar sehingga pemilihan
berlangsung tertib. Berbeda dengan saat ini yang setiap diadakanya pemilu selalu
diiringi dengan serangan fajar yang dilakukan oleh salah satu pendukung
kandidat. Dengan tidak adanya serangan fajar ini menunjukkan bahwa
masyarakat dan juga pendukung dari masing-masing calon maupun partai politik
pada waktu itu melakukan hal yang jujur.
Pemilu pada masa 1955 juga belum ada azas pemilu Luber Jurdil atau
Langsung, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Namun, pada masa itu masyarakat
telah memilih secara langsung dan juga bebas. Untuk pilihan secara rahasia, jujur
dan adil masih belum bisa dipastikan. Tetapi untuk adil sendiri mungkin dapat
dikategorikan dalam adil.
Pemilu pertama ini dapat menjadi contoh untuk terselenggaranya pemilu yang
demokratis, jujur, adil dan juga bebas serta rahasia, kejujuran inilah yang
seharusnya ditekankan. Pemilihan didasarkan atas keyakinan seseorang terhadap
suatu partai, bukan erupakan paksaan suatu pihak yang memberikan imbalan. Dan
juga hendaknya tidak ada lagi politik uang dalam terselenggaranya pemilu saat
ini.
Apresiasi yang besar saya tunukkan untuk penyelenggaraan pemilu 1955.
Dimana pada pemilu ini merupakan ajang demokrasi bagi seluruh rakyat
Indonesia pertama kalinya setelah terlebas dari pendudukan Pemerintah Kolonial.
Dan juga, hak warga negara untuk memilih dapat digunakan sebaik-baiknya.
C. KESIMPULAN
Dalam pemilu pertama ini merupakan pesta demokyrasi pertama Indonesia
setelah Indonesia merdeka. Pemilu ini dinilai sebagai pemilu yang sangat bersih
diantara pemilu-pemilu yang terselenggara di Indonesia sampai saat ini. Pemilihan
yang langsung, jujur, adil dan juga bebas tercermin dari pemilu 1955 ini.
Perlu dicatat bahwa pemilu ini para calon wakil rakyat yang berasal dari

10
pemerintahan tidak menggunakan fasilitas dari negara untuk mereka gunakan saat
kampanye. Mereka melakukan kampanye dari desa ke desa dengan fasilitas
pribadi mereka. Oleh karena itu, sosok pejabat negara dianggap bukan pesaing
yang menakutkan bagi para calon yang bukan berasal dari pejabat atau anggota
pemerintahan.
Tingkat partisipasi rakyat sangat besar, tercatat sekitar 90% dari semua warga
yang mempunyai hak pilih ikut berpartisipasi. Ada lebih dari 37 juta aorang
Indonesia mengikui pemilu 1955. Pemilu tahun 1955 ini berjalan lancar, aman,
tertib dan juga disiplin, sangat jauh dari unsur kekerasan dan juga kecurangan.

Sumber :
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Indoensia
Dalam Arus Sejarah, (Jakarta : Ichtiar van Hoeve, 2012)

Herbert Feith, Pemilihan Umum, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia,


1999)

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional


Indonesia : Zaman Jepang dan Zaman Republik, (Jakarta : Balai Pustaka, 2011)

M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta : UGM Press, 2011)

11
Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal, (Jakarta : LP3ES, 1993)

Zulfikar Gazali, dkk, Sejarah Politik Indonesia, (Jakarta : Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989)

http://www.eduspensa.com/2015/12/pemilu-pertama-di-indonesia-1955-dan-
tujuannya.html (PDF) diakses pada 12 April 2016 pukul 11.21 WIB

12

Anda mungkin juga menyukai