Anda di halaman 1dari 25

A.

Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai dasar pembangunan


Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas
pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah
dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak
berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu).
2. Menyusun dan merencanakan Repelita.
3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971.
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis
habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan
penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD
1945.
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh
aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur
komunisme.
Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif
bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966,
yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah Orde Baru
melakukan pelemahan atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara
historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong
kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap
pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan
kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan).
Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil
baru yang dalam pandangannya lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu
adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.

1
Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan
segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai
pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan
pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan
ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan
peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23
Mei 1970. Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol)
yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi,
PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai
Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar.
Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut:
Golkar(236 kursi, 62,82%),
NU (58 kursi,18,68%),
Parmusi (24 kursi (5,56%),
PNI (20 kursi,6,93%),
PSII (10 kursi,2,39%), dan
Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150).
Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan
penyederhanaan partai politik dengan alasanalasan tertentu, seperti kasus
pada masa demokrasi parlementer. Pada masa itu, banyaknya partai
dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah
permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol,
melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya
tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa
mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu
adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi
Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang
sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan

2
berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan
pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui
Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam
dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU,
Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam
PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen
Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung
dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang
semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal
berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. (Gonggong dan Asyarie, ed,
2005).
Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah
menetapkan pula konsep massa mengambang. Partai-partai dilarang
mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan sampai pedesaan.
Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya
ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar
(monoloyalitas).
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam
kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde
Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan
Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan
325 kursi di DPR dan PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.
[butuh rujukan]
Sedangkan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara dengan
hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan adanya konflik intern di
tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI
Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru

3
telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan
dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung,
umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan
untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar.
Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai
dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara
di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan
Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena
pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap
pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan
oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan
penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan
penyokong Golkar adalah aparat pemerintah (pegawai negeri sipil) dan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).Melalui kekuatan-
kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih
Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara
langsung, para anggota keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan)
banyak terlibat dan memberikan dukungan penuh kepada Golkar. Semua
pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan
pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar dengan leluasa menjangkau
masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan
masyarakat atas sampai bawah. Dari kota sampai pelosok desa.
Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan
bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-
pemilu tersebut berlangsung dengan slogan Luber (Langsung, Umum,
Bebas, dan Rahasia). Suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat terhadap
demokrasi dikesampingkan.
Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya mengenai
dibatasinya jumlah partai-partai politik dan pengerahan pegawai negeri sipil

4
dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar.Selain
melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai
politik) di tingkat kecamatan dan desa (dimana partai-partai politik dilarang
mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga
diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya peristiwa
malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974.Peristiwa itu diawali
oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup
diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Kritik-kritik
mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi sejak awal tahun
1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas Indonesia
(Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan
demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan
korupsi. Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali
strategi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum kaya. Pada akhir
Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program
pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah.
Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor
Jepang, dinilai merugikan rakyat.
Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri
Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa
memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi menyampaikan
tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa
berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-
boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani,
Asisten Pribadi (Aspri) Presiden.
Kemudian setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa
berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang
menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan
korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah
menjadi liar tidak terkendali yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara.
Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra

5
Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan
Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari
peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang diantaranya
dipenjara.Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974
tentang petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan
Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang, kegiatan
kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran, seperti diskusi dan
seminar.
Selain mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road
map idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen
bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi
Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada
pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan
pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.
Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat
memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira
makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu
terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek
kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.
Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa
Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan
negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat
melindungi segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.
Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan
politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat
terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua

6
Pancasila untuk terwujudnya Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari
kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu,
merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan
yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi.

B. Stabilisasi penyeragaman
Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional,
keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan
ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian
dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12
Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh
rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan
mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa
dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat,
konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu :
1. Takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan
agama/kepercayaan.
2. Mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak
sewenang-wenang.
3. Mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas
kepentingan pribadi.
4. Demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah.
5. Suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan
orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed,
2005: 159).

7
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya,
pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR
No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi
Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan
Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya
adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang
dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.Tujuan penataran P4 adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila,
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan
nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka
opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah
Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi
sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya,
dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun
militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai
dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi, juga diharuskan mengikuti
penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun
akademik.Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan
penekanan pada masalah suku, agama, ras, dan antargolongan,
(Sara). Menurut pemerintah Orde baru, sara merupakan masalah yang
sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbul konflik atau
kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh
mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak
langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang
lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh
membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah
sara. Meskipun demikian,akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap
dapat dihindari. Pada tahun1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum
muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula

8
halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari
berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di
lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap
P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4
ditinjau kembali.
Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol
yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-
satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan asas
tunggal. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto
dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di
Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada
acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung,
Jakarta 16 April 1980.
Gagasan Asas Tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang
cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa
purnawirawan militer ternama. Meskipun mendapat kritikan dari berbagai
kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan
membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR Asas Tunggal akhirnya
diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian
pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan
Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik
dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat
bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh
organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas
tunggal mereka. Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang berasaskan lain
selain Pancasila, semua sudah seragam.. Demokrasi Pancasila yang
mengakui hak hidup bhineka tunggal ika, dipergunakan oleh pemerintah
Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau
mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.

9
C. Dwi Fungsi ABRI
Adalah suatu alat pertahanan negara sebenarnya telah mempunyai
konsep yang baik dalam perannya menjaga stabilitas Politik dan keamanan
di dalam negeri, yaitu Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI merupakan
sebuah konsep dasar militer dalam menjalankan peran sosial politik mereka
di negeri ini. Dwi Fungsi ABRI yang diketahui masyarakat di luar
lingkungan ABRI adalah sebagai sebuah bentuk militerisme, campur tangan
militer dalam permasalahan politik, campur tangan militer dalam
permasalahan-permasalahan negara lainnya yang penting yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Dwi Fungsi ABRI dilihat sebagai sebuah
intervensi militer dan legitimasi militer untuk melakukan tindak kekerasan
terhadap rakyat. Dwi Fungsi berarti masuknya militer dalam posisi-
posisi/jabatan-jabatan penting dan mengurangi jatah orang-orang sipil.
Keadaan demikian membuat masyarakat sipil/civil society mengalami
kemandekan dalam pembinaan SDM, kaderisasi dan kepemimpinan. Sipil
dianggap masih bodoh dan belum mampu memimpin atau mengelola
negara.Konsep dwifungsi TNI pertama kali muncul dalam bentuk konsep
"Jalan Tengah" yang diusulkan oleh Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-
AD pada saat itu, kepada Presiden Soekarno dalam peringatan Ulang Tahun
Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah pada 13
November 1958 yang memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di
dalam pemerintahan sipil.
Posisi TNI bukanlah sekedar alat sipil seperti dinegara- negara
Barat, dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang
kekuasaan negara. Ia adalah sebagai suatu kekuatan sosial, kekuatan rakyat
yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya. Ia berbeda dengan
sifat individualistis disatu pihak dan totaliter dipihak lain, seperti yang
dikenal di dunia Barat dan Timur.
Kalau melihat kata Dwi-Fungsi, dwi dalam bahasan Sanskerta berarti
dua, secara konotatif berarti ganda. Dwi Fungsi adalah suatu doktrin di
lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa militer memiliki

10
dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan
kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini,
militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.ABRI
kemudian akan mengambil jalan tengah diantara kedua hal tersebut. ABRI
tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta, tetapi tidak pula
menjadi penonton dalam arena politik. Perwira ABRI harus diberi
kesempatan melakukan partisipasinya didalam pemerintahan atas dasar
individu, artinya tidak ditentukan oleh institusi ABRI. Yahya A. Muhaimin,
Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2002, hal. 116
Jalan tengah yang dimaksud, yaitu jalan tengah yang memadukan
antara perwira militer professional yang menolak keterlibatan militer dalam
politik dan perwira yang menginginkan militer mendominasi kehidupan
politik Stanley Ady Prasetyo dan Toriq Hadad, Jendral Tanpa Pasukan,
Politisi Tanpa Partai: Perjalanan HidupA.H Nasution, Jakarta: Pusat Data
Analisa Tempo, 1998, hal. 116. Dwi Fungsi merupakan kekuatan sosial,
kekuatan rakyat yang bahu membahu dengan kekuatan rakyat
lainnya. Mashudi Noorsalim, Tentang Militerisme di Indonesia:
Kampanye Anti-Remiliterisme di Indonesia,Wacana, 2004, hal. 180
Secara konseptual Dwi Fungsi ABRI hakikat sebenarnya
adalah merupakan suatu pemikiran yang wajar. Konsep Dwi Fungsi ABRI
pada hakikatnya pengabdian kepada bangsa dan negara secara total, baik di
bidang pertahanan dan keamanan (Hankam) maupun bidang non-
Hankam.Dalam implementasinya, konsep Dwi Fungsi ABRI khususnya
pengabdian di bidang Hankam hanya diaktualisasikan pada tataran
kebijakan (proses perumusan kebijakan nasional) yang diwujudkan melalui
sumbangsih pemikiran. Pemikiran (ide, gagasan, pendapat, dan pandangan)
yang diberikan ABRI tersebut terutama dari sudut pandang Hankam
terhadap berbagai kebijakan nasional, sehingga kebijakan tersebut akan
sempurna karena telah melalui pertimbangan yang komprehensif.

11
Namun, dalam praktiknya di lapangan pada masa lalu, ternyata
terjadi penyimpangan terhadap konsepsi semula. Salah satu di antara peran
non- pertahanan yang dimainkan militer adalah peran sosial-politik. Melalui
konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan
banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan
pemerintahan. Perwira- perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari
menjadi kepala desa/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai
menjadi menteri. Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang
seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala
kantor departemen, inspektur jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris
jenderal.
Landasan Dwi Fungsi ABRI
Dwi Fungsi ABRI mempunyai landasanlandasan yang dapat
menguatkan posisinya dalam politik. Landasan tersebut diantaranya:
1. Tap MPR(S) No. II/MPRS/1960 dibuat sebelum masa orde baru dan
yang menyebutkan:
o tentara dan polisi diikutsertakan dalam proses produksi dengan
tidak mengurangi tugas utama msing-masing;
o golongan-golongan di dalam masyarakat wajib berusaha mencapai
tujuan nasional dan tak terkecuali juga tentara dan polisi turut
memikul tanggung jawab mereka terhadap negara;
o peran dan kegiatan tentara dan polisi dibidang produksi membuat
pendekatannya dengan rakyat menjadi lebih intensif dalam proses
pembangunan, terutama dalam industrialisasi.
Ketetapan MPRS diatas telah memberikan peluang bagi militer
untuk ikut serta dalam masalah-masalah ekonomi, produksi dan
industrialisasi. Itu jelas posisi dan peran yang sangat luas bagi militer,
yang memerlukan tenaga dan pikiran yang tidak ringan. Dan tentu saja
akan merugikan bagi usaha meningkatkan profesionalismenya kalau
militer melakukan tugas-tugas di luar profesinya.

12
2. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan
kemanan negara. Pada pasal 26 menyatakan: Angkatan Bersenjata
mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai
kekuatan sosial.
Dalam UU ini tidak disebutkan politik tetapi hanya sosial.
Namun dalam praktek, ABRI menjadi kekuatan pertahanan keamanan
dan kekuatan sosial politik.
3. UU No. QA20 tahun 1982 pasal 28, disebutkan:
..Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu
meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta
dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan
dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan
kehidupan konstitusional berdasarkan UUD1945 dalam segala kegiatan
dan usaha pembangunan nasional.
4. UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Pasal 3 ayat 2 menyatakan
bahwa Prajurit ABRI bersumpah setia kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Ini berarti tentara harus setia kepada pemerintah selama pemerintah
setia dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, membela,
melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, serta didukung
oleh rakyat.
5. UU No. 2 tahun 1988 Pasal 6 yang berbunyi Prajurit Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwi Fungsi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan
keamanan negara dan kekuatan sosial politik.
6. TAP MPR RI NO. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan
Kepolisian RI.
o Pasal 5 no (5) tentang keikutsertaan TNI dalam penyelenggaraan
negara, dinyatakan bahwa: Anggota TNI hanya dapat menduduki
jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas
ketentaraan.

13
o Pasal 10 no. (3) tentang keikutsertaan kepolisian negara RI dalam
penyelenggaraan negara, dinyatakan bahwa: Angggota kepolisian
negara RI dapat menduduki jabatan diluar kepolisian setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
7. UU NO.34 tahun 2004 Pasal 47 tentang TNI, menyebutkan:
o Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah
mengundurkan diri dari dinas aktif keprajuritan.
o Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang
membidangi Koordinator bidang politik dan keamanan negara,
pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara,
sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan
nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional dan
mahakamah agung.
8. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
Pasal 28 nomor (3) dinyatakan bahwa anggota kepolisian negara RI
dapat menduduki jabatan diluar kepolisian setelah mengundurkan diri
atau pension dari dinas kepolisian.
Apabila rakyat sebagai pemilik ABRI dan pemilik kedaulatan di
negara ini menghendaki peran ABRI hanya sebagai alat pertahanan negara
saja, maka fungsi sosial politik ABRI harus ditiadakan, dan hal itu tidak
mesti berakibat musnahnya negara kesatuan Republik Indonesia. Landasan
tersebut diatas membawa kesan bahwa Dwi Fungsi ABRI khususnya
kesempatan bagi anggota ABRI untuk bekerja ditempat lain diluar institusi
ABRI. Dari sinilah awalnya timbul persepsi masyarakat bahwa Dwi Fungsi
ABRI hanya merupakan usaha memperebut jabatan diluar bidang
pertahanan oleh anggota ABRI.
Namun, setelah jatuhnya Orde Baru, ABRI kemudian melakukan
pembenahan diri untuk mendukung berlangsungnya proses reformasi.
Kemudian dikeluarkan undang-undang yang meletakkan posisi militer dan
Kepolisian pada posisi yang sebenarnya. Undang-undang tersebut
merupakan suatu pencerahan baru dikalangan masyarakat sehingga ABRI

14
dapat memulihkan kembali nama baiknya yang sempat buruk pada masa
Orde Baru. Setidaknya landasan tersebut memberikan kelegaan bahwa
militer tidak dapat lagi ikut berpolitik praktis. Jika individu militer ingin
ikut serta dalam proses politik, maka atribut kemiliterannya harus dicabut
sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa militer kembali ikut serta dalam
politik seperti yang terjadi pada masa Soeharto.

D. Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru


Dalam kegiatan dan kebijakan pemerintah mempengaruhi keadaan
ekonomi nasional karena dapat terkait langsung maupun tidak langsung .
campur tangan pemerintah di bidang ekonomi sangat diperlukan baik
kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Kebijakan fiskal adalah
kebijakan yang di gunakan pemerintah untuk mengatasi masalah masalah
ekonomi yang sedang di hadapi ,kebijakan fiskal diartikan sebagai langkah-
langkah pemerintah untuk mengubah pengeluarannya atau pemungutan
pajaknya dengan tujuan untuk mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatan
ekonomi dari waktu ke waktu ,menciptakan tingkat kegiatan ekonomi dengan
tingkat kesempatan kerja yang tinggi ,tidak menghadapi masalah inflansi, dan
selalu mengalami pertumbuhan yang memuaskan . Harus diakui bahwa orde
baru di kepemimpinan presiden soeharto telah berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam rentang waktu yang panjang .
pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan dampak positif dan negatif .
dampak positif tercatat dalam bentuk penurunan angka kemiskinan absolut
yang diikuti dengan perbaikan indikator kesejahteraan rakyat secara rata-
rata .adapun dampak negatif yang muncul adalah perbedaan ekonomi antar
daerah . Dalam rangka Rehabilitasi dan Stabilisasi Ekonomi ,pemerintah orde
baru menerbitkan beberapa kebijakan umum dan khusus ,baik yang bersifat
jangka pendek maupun jangka panjang . prioritas utama yang dilakukan
pemerintah adalah memerangi atau menanggulangi hiperinflasi yang

15
mencapai sekitar 650% . Kebijakan ekonomi pada masa orde baru yang
brsifat prioritas :
1. Penerbitan anggaran pendapatan belanja Negara (APBN)yang dinilai
sebagai salah satu sumber utama terjadinya hiperinflasi . intinya adalah
penertiban pengeluaran anggaran belanja negara di satu pihak dan
peningkatan penerimaan pajak,bea masuk,cukai,dan seterusnya di pihak
lainnya.
2. Penjadwalan kembali kewajiban membayar hutang-hutang luar negeri
(debt rescheduling)yang lewat batas waktunya dan mengusahakan
penundaan pembayarannya ,diikuti dengan pencarian kredit baru dengan
syarat-syarat lebih lunak untuk pembiayaan pembangunan .
3. Merangsang eksportir untuk meningkatkan ekspor nya dengan
mengurangi campur tangan pemerintah serta memberikan bonus ekspor
(BE)yang dapat diperjual belikan .
4. Menghentikan konfrontasi terhadap malaysia ,serta menjalin kembali
hubungan baik dengan negara negara tetangga dan kembali menjadi
anggota PBB.
5. Kembali menjadi anggota badan-badan keuangan internasional ,seperti
international monetary fund (IMF)dan international bank for
reconstruction and development (IBRD)yang dikenal dengan nama
World Bank.
1. Dikeluarkannya beberapa peraturan pada 3 oktober 1966 Kebijakan
ini antara lain :
a. Menerapkan anggaran belanja berimbang (balanced budget).
Fungsinya adalah untuk mengurangi salah satu penyebab
terjadinya inflasi.
b. Menerapakan kebijakan untuk mengekang proses ekspansi kredit
bagi usaha-usahasector produktif, seperti sector pangan, ekspor,
prasarana dan industri.
c. Menerapakan kebijakan peneundaan pembayaran utang luar
negeri (rescheduling), serta berusaha untuk mendapatkan
pembiayaan ataukredit luar negeri baru.

16
d. Menerapakan kebijakan penanaman modal asing untuk membuka
kesempatan bagi investor luarnegeri untuk turut serta dalam pasar
dan perekonomian Indonesia.
2. Dikeluarkannya peratuaran 10 februari 1976 tentang persoalan harga
dan tarif.
3. Dikeluarkannya peraturan 28 juli 1967. Kebijakan ini dikeluarkan
untuk memberikan stimulasi kepada para pengusaha agar mau
menyerahkan sebagian dari hasil usahanya untuk sektor pajak dan
ekspor Indonesia..
4. Menerapkan UU no.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing.
5. Mengesahkan dan menerapkan RUU APBN melalui UU no. 13 tahun
1967.
Kebijakan perekonomian pada masa Orde Baru sebenarnya
telah dirumuskan pada sidang MPRS tahun 1966. Pada sidang tersebut telah
dikeluarkan Tap .MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaruan
Kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.Tujuan dikeluarka
n keterapan tersebut adalah untuk mengatasi krisis dan kemerosotan ekonomi
yang melanda negara Indonesia sejak tahun 1955
Sturktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950-1965 dalam
keadaan kritis yang ditandai oleh hal-hal sebagai berikut. 1) Sebagian besar
penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga stuktur
perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian. 2) Komoditas
ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanaian) menghadapi
persaingan dipasaran internasional, misalnya karet alam mendapat saingan
dari Malaysia, gula tebu mendapat saingan dari Meksiko, dan kopi mendapat
saingan dari Brasil. 3) Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di
bidang industri menyebabkan industri dalam negeri kurang berkembang. 4)
Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. 5) Produksi
Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. 6) Indonesia sebagai
pengimpor beras terbesar di dunia. Struktur perekonomian pada akhirr
tahun1965 berada dalam keadaan yang sangat merosot. Kabineta Ampera
berusaha memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia dengan melaksanakan

17
pembangunan ekonomi. Demi terealisasinya stabilitas ekonomi maka Kabinet
Ampera pada tanggal 11 Agustus 1966 membentuk Dewan Stabilitas
Ekonomi Nasional (DSEN). Kedudukan DSEN sebagai pembantu pemerintah
yang bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara itu, tugas-tugasnya
adalah merumuskan kebijakan dibidang ekonomi, menyusun program, dan
mengendalikan pelaksanaan dengan tujuan mewujudkan stabilitas ekonomi
nasional secepatnya. Kebijakan perbaikan ekonomi yang dilakukan oleh
Kabinet Ampera meliputi bidang keuangan/moneter, produksi, dan distribusi.
Melaui pemikiran Prof. Dr. WijoyoNitisastro, Prof. Dr.Ali Wardana, Prof.Dr.
Sumitri Joyohadikusumo, Drs. Radius Prawiro, Prof. Dr. Ir. Moh. Sadli, Prof.
Dr. Email Salim, Drs. Frans Seda, dan Prof. Dr. Subroto hasil pendidikan dari
Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat berhasil menata kembali
struktur ekonomi Indonesia yang morat-marit. Karena orientasi pemikiran
ekonomi Indonesia yang selalu bertumpu pada para alumnus Berkeley
tersebut menyebabkan mereka dijuluki Mafia Berkeley. Berdasarkan hasil
pemikiran para ekonomi lulusan Berkeley tersebut, Indonesia pada awal
pemerintahan Orde Baru berhasil mengatasi krisis ekonomi yang diderita.
Banyak modal asing datang, industri berkenbang peat, dan muncul
kesempatan kerja. Indonesia juga menjalin kerja sama dengan lembaga
keuangan dunia, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia
(World Bank). Pada15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli
Eoknomi Presiden yang terdiriatas Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali
Wardhana, Prof. Dr. Moh. Sadli, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof.
Dr. Subroto, Dr. Email Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs.Radius Prawiro. Tim
tersebut menetapkan langkah-langkah yang ditetapkan untuk mencapai
kemakmuran Indonesia. Jenderal Soeharto melanjutakan pembanguna yang
telah dilakukan Kabinet Ampera dengan membentuk Kabinet Pembangunan
pada tanggal 6 Juni 1968. Tugas pokok Kabinet Pembangunan disebut
Pancakrida. Dalam upaya melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi,
pemerintahan Jenderal Soeharto yang dikenal juga sebagai pemerintahan
Orde Baru melaksanakannya melalui Rapelita (rencana pembangunan lima

18
tahun).[2] Orde Baru yang mewujudkan tatanan seluruh kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara melaksanakan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, tentu format politik dan kehidupan
ekonominya dibentuk sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945.
Apabila kita simak dengan sungguh-sungguh, maka akan jelas tampak bahwa
tema utama Undang Undang Dasar 1945 adalah kesejahteraan rakyat. Halini
mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa dimasa penjajahan kesejahteraan
masyarakat Indonesia sangat rendah. Dan para pendiri negara kita, menyadari
benar bahwa dialam indonesia merdeka itulah bangsa Indonesia akan dapat
membangun dirinya untuk meningkatkan kesejahteraan. Tatkala Orde Baru
yang dibangun oleh Jenderal Soeharto mulai memegang tampuk pimpinan
Negara, Indonesia berada dalam situasi ekonomi yang sangat
memprihatinkan. Produksi macet, di bidang pertanian kekurangan sarana
produksi sehingga produktivitas pertanian rendah, di bidang industri sangat
kekurangan bahanbaku, di bidang distribusi infrastruktur sangat tidak
memadai, ekspor yang sangat tergantung pada bahan tambang dan hasil-hasil
perkebunan terus merosot, Anggaran Belanja Negara terus mengalami defisit
dan ditutup dengan mencetak uang, inflasi terus hingga mencapai lebih dari
600 perden. Selain itu, Situasi keamanan juga sangat buruk akibat dari belum
terselesaikannya masalah yang berkaitan dengan pemberontakan G-30-S/PKI.
Kebijakan deregulasi dan liberalisasi tahun 1982,dilancarkan oleh pemerintah
sebagai konsekuensi dari jatuh nya harga minyak dipasaran dunia.harga
minyak dunia pada tahun 1982 secara tiba-tiba jatuh .akibat langsung
dirasakan pemerintah bagi berlangsungnya pembangunan adalah
berkurangnya penerimaan dana pembangunan .seperti yang di ketahui pada
APBN 1980-1981 ketika masih terjadi Oil Boom,tidak kurang 70%
penerimaan APBN di peroleh dari penjualan minyak .
Upaya pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi
dengan menggali dan mengembangkan ekspor non-migas tidaklah secara
mudah dapat direalisasikan , mengingat upaya ekspor non-migas telah lama
terabaikan sebelumnya .pemerintah terlena dengan masa oil Boom .begitu

19
terjadi oil crisis ,pemerintah baru mencari sumber aktivitas ekonomi yang
diharapkan dapat mengisi dan menggantikan peran minyak . Perkembangan
perekonomian yang cenderung menurun harus dicegah secepatnya .
pemerintah yang semula menempuh kebijakan proteksionisme ,kini
mengarahkan kebijakan ekonominya ke arah liberal .

E. Kebijakan pembangunan orde baru


Sistem politik Orde Baru disokong oleh lima Undang-Undang Politik
yaitu : Undang-Undang No.1/1975 (Pemilu), Undang-Undang No.2/1975
(Susunan dan Kedudukan MRP, DPR dan DPRD), Undang-Undang
No.3/1975 (Partai Politik dan Golkar), Undang-Undang No.5/1985
(Referendum), dan Undang-UndangNo,8/1985(Ormas)
Ciri-ciri pokok kebijakan pemerintah orde baru :
Kebijakan Bidang politik Dalam Negeri
1. Membuat consensus nasional untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekwen serta konsesus mengenai cara-cara
melaksanakan consensus utama dengan tujuan untuk meraih stabilitas
nasional.
2. Penyederhanaan partai politik, selama orde baru hanya ada dua partai yaitu
: Partai Persatuan Pembangunan (fusi dari NU, Parmusi, PSII dan Perti)
dan Partai Demokrasi Indonesia (fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI dan Parkindo) serta Golongan Karya (Golkar).
3. Keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR guna menciptakan
stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI,
yaitu sebagai peran Hankam dan Sosial, peran ABRI dikenal dengan
dwifungsi ABRI.
4. Pemasyarakatan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Presiden Soeharto mengemukakan gagasan Ekaprasetia Pancakarsa pada

20
tanggal 12 April 1976 dan gagasan tersebut ditetapkan sebagai ketetapan
MPR dalam sidang umum tahun 1978 dan sejak itu secara menyeluruh
pada semua lapisan masyarakat melaksanakan penataran P4.
5. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan
disaksikan oleh Wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
6. Timor Timur secara resmi menjadi bagian Indonesia pada bulan Juli 1976
dan dijadikan Propinsi ke 27

Kebijakan Bidang Politik Luar Negeri


1. Secara resmi Indonesia kembali menjadi Anggota PBB pada tanggal 28
Desember 1966.
2. Pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan terhadap Republik
Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 kepada Perdana Menteri Lee Kuan
Yew.
3. Persemian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh
Adam Malik dan Tun Abdul Razak di Jakarta pada tanggal 11 Agustus
1966.
4. Indonesia menjadi pemprakarsa organisasi ASEAN pada tanggal 8
Agustus 1967.
Kebijakan Bidang Ekonomi
Ketika Presiden Soeharto memerintah keadaan ekonomi dengan
inflasi sangat tinggi 650 % setahun, langkah pertama adalah mengendalikan
inflasi dari 650 % menjadi 15 % dalam waktu hanya dua tahun dan untuk
menekan inflasi Soeharto membuat kebijakan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi dalam pasar,
memperhatikan sektor ekonomi dan merangkul Negara-negara barat untuk
menarik modal.
Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam bidang ekonomi
adalah :

21
1. Menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi dengan
mencanangkan sasaran yang tegas, pelaksanaan pembangunan dilakukan
secara bertahap yaitu jangka panjang 25 30 tahun dan jangka pendek 5
tahun atau disebut pelita/pembangunan lima tahun. Pedoman
pembangunan adalah Trilogi pembangunan yang meliputi :
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menujuh pada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Delapan jalur pemerataan meliputi hal-hal sebagai berikut :


Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang,
pangan dan perumahan.
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan.
Pemerataan pembagian pendapatan.
Pemerataan kesempatan kerja.
Pemerataan kesempatan berusaha.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya
bagi generasi muda dan kaum perempuan.
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruhwilayah tanah air.
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
2. 2. Memperoleh pinjaman dari Negara-negara Barat dan lembaga keuangan
seperti IGGI IMF dan Bank Dunia.
3. 3. Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebar-
lebarnya. Inilah yang membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal
asing.
4. Untuk menggerakan pembangunan tahun 1970 juga menggenjot
penambangan minyak dan pertambangan, pemasukan di migas meningkat
dari US$6 miliar pada tahun 1973 menjadi US$10,6 miliar tahun 1980.

22
5. Keberhasilan Presiden Soeharto membenahi bidang ekonomi
menyebabkan Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980.
Kebijakan Bidang Pertanian
Modernisasi pada masa orde baru dikenal dengan nama Revolusi
Hijau. Dan revolusi ini mengubah cara bercocok tanam dari tradisional ke
modern. Pemerintah menggalakkan revolusi produksi biji-bijian dari hasil
penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varitas,
gandum, padi dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen
komoditas tersebut.

23
24
DAFTAR PUSTAKA

http://wartasejarah.blogspot.co.id/2014/12/kebijakan-ekonomi-orde-baru.html
http://sejarahindonesiasaja.blogspot.co.id/2015/04/kebijakan-pemerintah-orde-
baru.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru
http://kbbi.web.id/
http://www.seputarpengetahuan.com/2016/01/12-pengertian-rehabilitasi-menurut-
para-ahli-terlengkap.html
http://www.pendidikanmu.com/2015/03/sejarah-masa-orde-baru-terlengkap.html
http://www.landasanteori.com/2015/10/dwi-fungsi-abri-demokrasi-masa-
orde.html

25

Anda mungkin juga menyukai