Anda di halaman 1dari 6

MATERI : B.

STABILISASI POLITIK DAN REHABILITAS EKONOMI


1. STABILISASI POLITIK DAN KEAMANAN SEBAGAI DASAR
PEMBANGUNAN
2. STABILISASI PENYERAGAMAN
3. PENERAPAN DWI FUNGSI ABRI
4. REHABILITAS EKONOMI ORDE BARU
5. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ORDE BARU

OLEH :
KELAS : XII MIPA 4
KELOMPOK : 7
KETUA KELOMPOK : HASNA RIDHA LUTHFIYANI
ANGGOTA : ARDIFA GAMAR ABABIL
: MUHAMMAD RAFLI
: RIZQA AMALIA SAFITRI

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 PELAIHARI


TAHUN AJARAN 2022/2023
B. Stabilisasi Politik dan Rehabilitas Ekonomi
Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan
Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tanggal
12 Maret 1967 yang menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden.
Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS
mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadian
indikator dimulainya kekuasaaan Orde Baru.
Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai
menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang telah ditetapkan
oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik
Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966) tentang Surat Perintah Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Agung
Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia, Stabilitas Ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/1966) tentang Ketetapan
Pembaharuan Kebijakan Landasan Eskonomi Keuangan dan Pembangunan, dan
Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966).
Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah
terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Diantara
penyimpangan tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, yaitu sebuah
sistem pemerintahan dimana segala kebijakan atau keputusan yang diambil dan
dijalankan berpusat kepada satu orang yaitu pemimpin pemerintah dan
pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunisme
(Blok Timur). Sesui dengan ketentuan yang digariskan oleh MPRS, maka
pemerintahan Orde Baru berupaya menjalankan UUD 1945 dan Pancasila
secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan
keamanan (polkam). Rehabilitasi adalah proses pemulihan atau perbaikan fisik
kembali, sedangkan stabilisasi adalah upaya untuk membuat stabil suatu
keadan. Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut adalah agar dilakukan
pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi Polkam, pemerintah
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang
dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach), termasuk di
dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi (penghapusan) kekuatan-kekuatan
organisasi sosial politik yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah.
Pendekatan keamanan adalah sebuah kebijakan yang mengedepankan aspek
keamanan yang melibatkan militer dan aparat negara lainnya dalam upaya
menciptakan suasanan sosial dan politik yang stabil dan aman. De-
Soekarnoisasi yaitu kebijakan yang diambil oleh pengelola negara Orde Baru
untuk memperkecil peranan dan kedatangan Soekarno dalam sejarah dan dari
akal bangsa Indonesia juga untuk mengurangi pengkultusan dirinya.
Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang,
pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos-
Oldefos dan “Poros Jakarta-Phom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang” ke politik
luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Nefos (New Emerging Forces)
adalah kelompok negara-negara terjajah/bekas dijajah sedangakan Oldefos (Old
Entblistment Forces) adalah kelompok negara-negara penjajah. “Poros Jakarta-
Phom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang” adalah hubungan kerjasama luar negeri
Indonesia dengan negara-negara Blok Timur yang terdiri dari Indoesia -
Tiongkok – Kamboja – Vietnam dan Korea Utara.
1. Stabilisasi Politik dan Keamanan Sebagai Dasar Pembangunan
Orde baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan
nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah
pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut dengan
membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968 sesuai dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.183/M tahun 1968. Kabinet
ini dibubarkan pada 28 Maret 1973 dan memiliki anggota sebanyak 25
menteri. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Panca
Krida yang ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1968,
yang berisi :
1) Menciptakan stabilisasi politik dan eknomi sebagai syarat mutlak
berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2) Menyusun dan merencakanan Repelita;
3) Melaksanakan pemilu selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli
1971;
4) Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan
mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI dan setiap bentuk rongrongan
penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD
1945, dan
5) Melanjutkan peyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh
aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur
komunisme.
Pada 1 April 1969, dimulailah pelaksanaan Pelita 1 (1969-1974).
Tujuan diselenggarakan Pelita 1 adalah untuk meningkatkan taraf
hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan
dalam tahap berikutnya.
Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif
bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS
No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umun (Pemilu),
pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi
kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi menggangu
stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintahan. Pelemahan itu
dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai
Sosialis Indonesia (PSI), dan kelompok Islam fundalismetalis (yang
sering disebut kaum ekstrim kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto
juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya
lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama
Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Golkar.
Berdasarkan TAP MPRS No.IX/MPRS/1966 pemerintah diharapkan
segera melaukan pemilihan umun pada tahun 1968. Namun karena
berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat
diselenggarakan pada 1971 dengan 9 partai politik yang diijinkan ikut
dalam pemilu, yaitu : NU (Nahdlatul Ulama), Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Perti (Persatuan
Tarbiyah Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Khatolik,
Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) dan Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Pada akhir tahun 1971, pemerintahan Orde Baru melemparkan
gagasan penyederhanaan partai politik dengan alasan banyaknya partai
pada saat itu dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru
sebaliknya menambah permasalahan. Pada awalnya banyak parpol yang
menolak gagasan tersebut yang sedikit banyak menilai telah menutupi
aspirasi kebebasan berkumpul dan beserikat yang dijamin oleh UUD
1945. Realisasi gagasan tersebut dilaksakan melalui Sidang Umum MPR
tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi dalam dua partai baru, yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri atas gabungan partai
NU, Parmusi, PSII, Perti dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang
terdiri atas gabungan partai non Islam yaitu Partai Kristen Indonesia,
Partai Khatolik, Partai Murba dan IPKI. Selain kedua kelompok tersebut
ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar.
Disamping hal tersebut, pemerintah Orde Baru menetapkan pula konsep
“masa mengambang” yaitu partai-partai ini dilarang mempunyai cabang
di tingkat kecamatan sampai pedesaan.
Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksankan pemilu sebanyak enam
kali yang diselenggarakan setiap lima sekali, yaitu tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997 yang mana selalu dimenangkan oleh partai
Golkar karena mendapatkan sokongan dari aparat pemerintah (Pegawai
Negeri Sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Penyelenggaraan pemilu selama masa Orde Baru menimbulakan kesan
bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi
pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” (Langsung,
Umum, Bebas, dan Rahasia). Namun tetap ada saja yang namanya
ketidakpuasaan masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-
partai politik, pengerahan anggota Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, serta
anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar.
Selain mengembailkan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road
map idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua
komponen bangsa ke dalam agenda bersama yang diformulasikan dalam
bentuk Trilogi Pembanguan, yaitu :
1) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis;
2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

2. Stabilisasi Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintah
Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melaui ideologi
Pancasila. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara
Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19
Desember 1974 dan kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan
Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976 di Jakarta, Presiden
Soeharto menyeruakan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri
sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetya bagi ikrar
tersebut. Presiden Soharto mengajukan nama Eka Prasetya Pancakarsa
dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat,
konsisten, dan tulus.
Presiden kemudian mengajukan draf P4 ini kepada MPR. Akhinya,
pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR
No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi
Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan
Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pendidikan
Pelaksana P4 (BP7). Tugasnya adalah mengkoordinasikan pelaksanaan
program penataran P4 yang dilaksnakan pada tingkat nasional dan
regional. Dengan tujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai
Demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbnetuk dan terpelihara.
Setelah P4 menjadi tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya
orsospol (organisasi sosial dan politik) yang diseragamkan dalam arti
harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan
organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”. Gagasan tersebut
disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat
Pimpinan ABRI, di Pekanbaru Riau, tanggal 27 Maret 1980.
Gagasan asas tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang
cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa
purnawirawan militer ternama, namun Presiden Soeharto tetap
meneruskan gagasannya ini dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang
MPR ‘Asas Tunggal’ akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu
Tap MPR No. II/1983. Kemudian pada 19 Januari 1985, pemerintah
dengan persetujuan DPR, mengelurakan UU No.3/1985 yang menetapkan
bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai
asas tunggal mereka. Pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah
mengelurakan UU No.6/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa
seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila
sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang
berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam. Demokrasi
Pancasila yang mengakui hak hidup “Bhineka Tunggal Ika”,
dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan.

Anda mungkin juga menyukai