Anda di halaman 1dari 7

Nama: Sri Indriyati Rohyani

Kelas: 2B

NIM: 11221120000054

Partai Politik pada Masa Orde Baru


Setelah terjadinya peristiwa pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
tahun 1965, kondisi Indonesia mengalami pergolakan baik dalam bidang politik hingga ekonomi
yang berdampak luas pada kehidupan bangsa Indonesia. Banyak kegaduhan dan tuntutan yang
menuntut Presiden Soekarno untuk mengundurkan diri dari jabatannya karena dianggap memiliki
kedekatan dengan PKI. Untuk mengatasi kegaduhan di masyarakat, Soekarno menerbitkan Surat
Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal sebutan Supersemar yang intinya berisi perintah kepada
Mayor Jendral Soeharto untuk mengatasi masalah atau kegaduhan yang terjadi pasca peristiwa
pemberontakan PKI.

Lewat surat itu. Soeharto sebagai pengemban amanat menjalankan tugasnya dengan
menjalankan pemerintahan yang berarti beliau mendapatkan kekuasaan politik di masa itu.
Setahun setelah terbitnya Supersemar, Soekarno secara resmi menyerahkan kekuasaannya
kepada Soeharto.1 Soeharo bertekad untuk melaksanakn nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
secar murni Diangkatnya Soeharto menjadi presiden menggantikan Soekarno didasarkan pada
MPRS XXXIII/MPRS/1967.Salah satu perubahan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto
mengenai partai politik saat itu adalah membubarkan dan menumpas PKI, merombak PNI
dengan menyisihkan tokoh partai yang dianggap radikal, dan menyelenggarakan kembali pemilu.
yaitu pemilu tahun 1971 yang diikuti sembilan partai politik dan Golongan Karya (Golkar2

Kehidupan partai politik lainnya di Indonesia semasa Orde Baru juga mengalami
beberapa hambatan karena berbagai usaha penguasa rezim ini untuk mengurangi peran partai
politik di Indonesia yang dapat dilihat dari mengurangi jumlah dan peran partai politik di
parlemen, kabinet atau jabatan pemerintahan lainya. Contohnya seperti Soeharto membubarkan
Partindo yang dinilai ikut serta mendukung PKI di pemberontakan 1965, pengurangan jumlah
partai politik menjelang Pemilu 1971, para pegawai negeri yang selama ini dnilai mendukung
Partai Nasional Indonesia yang didirikan oleh Soekarno (PNI) dilarang menjadi anggota partai
1
Hartanto, Politik Parole; Dari Supersemar Hingga HTI dan Hal Kontemporer (Jakarta: Lembaga Pembangunan
Masyarakat Indonesia, 2020),h. 30.
2
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan
Isu Strategis (Jakarta: Rajawali Pres, 2015), h.97-98.
politik, dan usaha lainnya yang mungkin tidak tampak di permukaan. Partai politik pada masa
Orde Baru juga tidak dapat mengembangkan partaianya secara optimal karena berbagai rekayasa
dan kekangan pemerintah Soeharto. Alasan adanya beberapa kebijakan yang diterbitkan di masa
Orde Baru adalah untuk menjaga kestabilan ekonomi dan politik karena adanya anggapan
pemerintahan Soeharto bahwa pertarungan antara partai politik untuk menguasai bangku
pemerintahan pada masa pemerintahan Soekarno akan menggangu kestabilan kondisi di
Indonesia. Namun nyatanya hal ini bertujuan untuk mencapai kekuasaan.

Pemilihan umum pertama pada Orde Lama dilaksanakan pada 1971 yang diikuti oleh 9
partai politik dan Golkar. Sebelumnya partai politik telah dipangkas pada masa Orde Lama yang
didasari oleh Penpres Tahun 1959 yaitu hanya terdiri dari PNI, Partai Indonesia, IPKI, Partai
Murba, PSII, NU, Perti, Partai Katholik, Parkindo yang sebelumnya ada PKI yang pada masa
Orde Baru dilarang keberadaannya. Golkar adalah partai baru yang mendapat dukungan dari
pemerintah dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 BAB 1 Pasal 1, Golkar adalah organisasi
kekuataan sosial politik yang merupakan hasil pembaharuan dan penyederhanaan kehidupan
politik di Indonesia. Golongan Karya merupakan partai yang telah berdiri sejak Orde Lama dan
telah menghimpun hampir 300 organisasi yang dulunya tak berorientasi politik. Beberapa pihak
berpendapat Golkar yang hadir pada masa Orde Baru merupakan kaki kanan ABRI karena telah
memberikan peluang anggota ABRI maupun pensiunan ABRI untuk ikut dalam politik.3

Tujuan dari adanya campur tangan ABRI pada pemerintahan Orde Baru adalah untuk
melindungi Indonesia dari adanya kemungkinan munculnya ancaman kepada negara yang sedang
berkembang pascakemerdekaan. Namun terlepas dari tujuan itu, justru pemerintah Orde Baru
membuka akses bagi militer untuk ikut berperan dalam politik Indonesia pada saat itu. Pada
akhirnya ABRI melakukan penetrasi ke segala aspek kehidupan dari tingkat nasional hingga ke
pedesaan dengan menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan dan birokrasi. Di masa
Orde Baru, para aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik sangatlah terbatas,
hanya di lingkaran kecil elit birokrasi dan militer saja

3
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan
Isu Strategis (Jakarta: Rajawali Pres, 2015), h.96-98.
Dominasi ABRI pada Orde Baru juga memunculkan bahwa pemerintah pada masa itu
mengebiri keberadaan partai politik lain yang dipandang dapat menjadi pesaing Golkar dan dapat
mengganggu stabilitas politik contohnya seperti elite-elite Golkar melarang unsur pendukung
Soekarno untuk masuk ke jajaran pengurus PNI dan menghambat diberdirikannya kembali
Masyumi lewat Parmusi.4

Kebijakan Orde Baru yang menjadikan Golkar sebagai alat kekuasaan, praktis membuat
Golkar mendominasi suara di Pemilu 1971 dengan perolehan 34.348.673 suara atau 62,82% dan
236 kursi. Diposisi kedua diduduki oleh Nahdatul Ulama dengan perolehan suara 10.213.650
atau 18,68% dan 58 kursi.5 Memasuki tahun 1973 pemerintah Soeharti menerbitkan kebijakan
fusi partai dimana partai-partai politik di Indonesia pada saat itu dikelompokkan menjadi tiga
golongan. Empat partai Islam yaitu Nahdatul Ulama (NU), partai Muslimin Indonesia, Partai
Sarekat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) digabung menjadi satu partai
yaitu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara lima partai lain seperti Partai
Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) digabung menjadi satu partai yaitu menjadi
partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian Pemilu 1977 hanya akan besertakan Golkar
dan dua partai politik yaitu PPP dan PDI.6

Kebijakan fusi partai membuat partai-partai politik yang digabungkan di PDI dan PPP
mengharuskan atau bahkan memaksa mereka untuk memakai satu asaz tunggal yang cukup sulit
untuk di satukan dan belum lagi kepentingan masing-masing partai dalam satu tubuh partai. Hal
ini dapat menimbulkan perpecahan di dalam tubuh PDI dan PPP dan tentu menguntungkan
Golkar. Dengan terbitnya kebijakan fusi partai juga menunjukkan peranan Presiden Soeharto
semakin mendominasi dari beberapa tahun sebelumnya. Kebijakan Orde Baru terhadap partai
politik menjadikan peran partai politik tidak mampu menjalankan fungsinya menuju
demokratisasi. Tidak hanya pergerakan partai politik yang dibatasi tetapi ruang gerak masyarakat
terutama kebebasan berpendapat dalam menyalurkan aspirasi pun dikekang oleh mereka.

4
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.76.
5
Katimin, Politik Islam. Studi Tentang Azas, Pemikiran, Dan Praktik Dalam Sejarah Politik Umat Islam (Medan:
Perdana Publishing, 2017),h.239.
6
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.446.
Setelah Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, Golkar selalu mendominasi suara di atas 50%
sementara PPP dan PDI tidak banyak memperoleh suara secara nasional maupun lokal. PDI dan
PPP dinilai hanya menjadi sebagai aksesoris demokrasi semata. Untuk menjamin kemenangan
dan reafirmasi Golkar dan Orde Baru, pemerintahan Soeharto memberlakukan sejumlah
perangkat dan praktek yang diterapkan secara luas, cara-cara tersebut sebagai berikut:7

1) Seluruh pegawai negeri pada masa itu digalang bahkan diancam atau dituduh tidak loyal
dengan pemerintahan jika tidak memilih Golkar dalam pemilu.
2) Seluruh karyawan sektor swasta selalu diingatkan betapa pentingnya stabilitas negeri ini
demi keberlangsungan sektor swasta mereka maka mereka ditunjuk untuk mendukung
Golkar demi keberlangsungan stabilitas sektor swasta.
3) Pemilihan umum pada Orde Baru sengaja diadakan pada hari kerja sehingga masyarakat
memberi hak suara mereka di tempat kerja yang mana dengan begitu pegawai negeri dan
karyawan swasta dapat dengan mudah diimgatkan untuk mendukung Golkar.
4) Media massa selain memberikan liputan terkini mengenai partai PDI dan PPP, juga
dianjurkan untuk untuk memberikan ruang dan waktu untuk apapun yang berkenan
dengan Presiden Soeharto beserta jajarannya seperti acara peresmian proyek
pembangunan selama masa kampanye pemilu.
5) Tidak ada upaya serius yang dilakukan untuk menunjukka bahwa pemungutan suara
memang betul rahasia sehingga memberi peluang kepada masyarakat untuk percaya
bahwa pemerintah tahu partai mana yang mereka pilih.
6) Perhitungan suara pertama di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) sepenuhnya
terbuka bagi umum dan dapat disaksikan secara langsung tetapi perhitungan suara-suara
di tingkat lebih tinggi di luar pengawasan para pemberi suara bahkan tim sukses PDI dan
PPP. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi hasil suara meskipun tidak bisa
dibuktikan, tetapi hasil suara Golkar tetap tinggi dengan bukti anecdotal tentang adanya
pengaturan hasil perhitungan suara yang menguntungkan pemerintah.
7) Tidak adanya penandaan efektif terhadap pemberi suara yang telah memberikan
suaranya, ditambah pula lemahnya sistem kartu identitas nasional atau Kartu Tanda
Penduduk (KTP) pada masa itu membuat memungkinkannya sejumlah orang memberi
suaranya lebih dari beberapa kali.
7
Kevin R. Evans, Sejarah Pemilu dan Parpol di Indonesia (Jakarta: PT Arise Consultancies, 2003),h.22-23.
8) Seluruh calon anggota parlemen di setiap tingkatan harus diseleksi oleh pemerintah yang
tujuannya untuk memastikan bahwa mereka secara ideologis tidak memiliki latar
belakang yang meragukan seperti berideologi komunis yang tentu saja dilarang.
9) Mengancam memberhentikan atau mencabut jabatan individu yang duduk di parlemen
jika mereka terlibat dan terlalu vocal mengkritisi pemerintahan Soeharto.
Jika cara atau mekanisme tersebut masih belum cukup untuk menjamin kemenangan
Golkar bagi pemerintahan Soeharto, jaminan lainnya akan dilaksanakan seperti partisipasi politik
akan dibatasi contohnya kelompok yang ingin mendirikan partai politik baru tentu akan
dihadapkan oleh hukum. Kemenangan Golkar memang sejak awal sudah direncakan secaraa
terstruktur dan sistematis untuk dijadikan sebagai alat kekuasaan pemerintahan Soeharto.
Berikut beberapa urain mengenai Partai Persatuan Pembangunan (PPP):8
 Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai ini didirikan pada 1973 dan berasaskan islam. partai ini merupakan hasil fusi dari empat
partai yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Alasan penggabungan partai ini menurut pemerintah
Orde Lama untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Awalnya jabatan ketua
umum berbrntuk presidium dan KH. Idham Chalid sebagai presiden partai dan Mintardja,
Thayeb Gobel, Rusli Halil, dan Masykur sebagai wakil presiden partai. Setelah
dideklarasikannya partai ini, ketua pertama partai ini adalah HM Syafaat Mintardja SH lalu
dilanjutkan oleh H. Djailani Naro, Ismail hassan Metareum.
Basis pendukung PPP berasal dari kalangan umat islam yang sebelumnya bergabung
dalam partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Dalam menjalankan Khidmah politiknya, PPP
didasarkan pada prinsip-prinsip perjuangan yang sekaligus sebagai kerangka nilai yang akan
ditegalkkan yaitu ibadah; kebenaran, kejujuran, dan keadilan; musyawarah; persamaan,
persatuan dan kebersamaan;istiqomah dan Amar Makruf Nahi Munkar.
Dalam perkembangannya selama Orde Baru, partai ini telah mengalami perubahan dua
kali. Pada fase perubahan pertama merupakan fase ideologis yang berlangsung sejak 1973
hingga 1985 dan fase kedua merupakan fase di mana perilaku politik PPP cenderung bersifat
korporatis kepada pemerintahan Orde Baru. Pada fase pertama, PPP menjalankan tugasnya
sebagai partai penyambung generasi partai politik islam terdahulu yang dapat dilihat melalui
lambing ka’bah dan berasas islam. yang menjadi inspirasi kekuataan fundamental tersendiri bagi

8
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.77-79.
gerakan politik PPP. Atas dasar itu PPP bertekad untuk tetap konstisten memperjuangkan
kepentingan umat muslim dan syariat islam dalam membangun Indonesia.
Fase kedua terjadi setelah adanya kebijakan dari pemerintah Soeharto terhadap
pemberlakukan asas tunggal Pancasila yang harus diterapkan oleh organisasi masyarakat maupun
partai politik. Asas ini tertuang pada UU Nomor 5 Tahun 1985 yang menjadian UU ini sebagai
puncak strategi Orde Baru dalam menyamakan seluruh makna dan potensi partai politik di
Indonesia pada masa itu. Menurut pemerintah Orde Lama, heteroginitas masyarakat terutama
berbasis agama dipandang akan menimbulkan konflik berbahaya sehingga harus dilindungi oleh
penyeragaman ideologi yaitu Pancasila.
Runtuhnya Orde Baru ditandai dengan munculnya beberapa tuntutan dan demontrasi
massif yang dilakukan oleh mahasiswa. Tipe pemerintahan Orde Baru yang sentralistik dan
semua hal akan pemerintahan berpusat di tangan Presiden Soeharto, adanya krisis moneter yaitu
hutang luar negeri yang melonjak, lalu kebebasan berpendapat dan berpartisipasi politik yang
dikekang membuat masyarakat luas marah dan meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri
dari jabatannya. Dan pada akhirnya 20 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya
setelah 32 tahun memimpin Indonesia.
Memasuki Era Reformasi dengan ditandai lengsernya Soeharto pada tahun 1998 dan
digantikan dengan Presiden B.J. Habibie membawa banyak harapan baru termasuk jaminan
keberadaan partai politik di Indonesia dengan menerapkan kembali sistem multipartai.
Antuasisme masyarakat pada saat itu sangat bergelora dengan tercatatnya 141 partai politik
dengan 48 diantaranya lulus syarat untuk mengikuti pemilu selanjutnya. Pada masa reformasi,
masyarakat diberi kebebasan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beragam,
sehingga masyarakat umum lebih merasabebas dalam menyalurkan aspirasinya. Selain itu
beberapa keorganisasian yang tumbuh dalam masyarakat pun semakin beragam dan terlihat
semakin aktif dalam mempengaruhi kebijakan publik yang berkenaan dengan bidang yang
mereka tekuni.

Daftar Pustaka

Al-Hamdi, Ridho. Partai Politik Islam Teori Dan Praktik Di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Hartanto, Politik Parole; Dari Supersemar Hingga HTI dan Hal Kontemporer Jakarta: Lembaga
Pembangunan Masyarakat Indonesia, 2020.

Katimin, Politik Islam Study Tentang Azas, Pemikiran, Dan Praktik Dalam Sejarah Politik Umat
Islam. Medan: Perdana Publishing, 2017.
Kevin R. Evans, Sejarah Pemilu dan Parpol di Indonesia, Jakarta: PT Arise Consultancies,
2003.
Labolo, Muhammad dan Teguh Ilham Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indoensia.
Jakarta: Rajawali Pers,2015.

Anda mungkin juga menyukai