Anda di halaman 1dari 3

2.

Masa Demokrasi Terpimpin


Pada masa ini dimulailah rezim otoriter serta adanya beberapa pasal dari UUD 1945
yang diberi penafsiran khusus sehingga membuka peluang bagi berkembangnya sistem
non-demokrasi. Selain itu, partai politik tidak banyak memainkan peran bahkan dapat
dikatakan perannya dikooptasi oleh Presiden Soekarno. Masa ini ditandai oleh, pertama
dengan diperkuatnya kedudukan Presiden antara lain dengan ditetapkannya sebagai
Presiden seumur hidup melalui TAP MPR No.III/1963, kedua pengurangan peranan partai
politik kecuali PKI yang malahan mendapat kesempatan untuk berkembang, ketiga
peningkatan peranan militer sebagai kekuatan sosial politik. Oleh karena itu, masa ini
kadang-kadang dinamakan periode Segitiga Soekarno, TNI, dan PKI (dengan Presiden
Soekarno di sudut paling atas) karena merupakan perebutan kekuasaan antara tiga
kekuatan itu.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, ada upaya penyederhanaan sistem partai dengan
jalan mengurangi jumlah partai melalui Penpres No.7/1959, dalam rangka memperkuat
badan eksekutif
sementara Maklumat Pemerintah No.X /3 November 1945 yang
menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Dapat dikatakan sistem
kepartaian yang dianut pada masa itu adalah apa yang disebut dengan The No Party
System, karena sesungguhnya memang banyak partai politik tetapi tidak memiliki
kekuatan yang mampu menjalankan fungsinya akibat dari munculnya polarisasi yang
berbeda . Yang muncul dan menjalankan fungsi politik adalah Presiden Soekarno, ABRI,
dan PKI meskipun secara formal terdapat banyak partai yang diikat ke dalam Front
Nasional yang bernama Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Secara umum dianggap
bahwa Front Nasional ditujukan untuk melemahkan kedudukan partai-partai politik.
Dengan kata lain, pada masa ini peran partai cenderung mengalami kemerosotan yang
mana berawal dari adanya konflik yang berkepanjangan antar partai. Dalam hal ini,
partai-partai yang dikenal sebagai partai besar yang lagi memimpin pemerintahan
tidak mampu bekerja sama. Akibatnya kekuatan-kekuatan politik terpecah belah
menyebabkan pemerintahan dalam segala tingkatannya juga terpecah di bawah
pengaruh kekuatan-kekuatan politik yang ada. Pada tahun 1965 gerakan Gestapu-PKI
mengakhiri riwayat Demokrasi Terpimpin yang telah bertahan selama kira-kira enam
tahun.
a. Masa Orde Baru / Masa Demokrasi Pancasila ( 1965-1998 )
Pada masa Orde Baru diperkenalkan Sistem Demokrasi Pancasila, di mana
diberlakukan sebagai akibat dari krisis politik dan ekonomi yang tidak berkesudahan.
Ciri-ciri yang menonjol pada masa awal Orde Baru ini adalah sentralisasi politik untuk
mengawal pembangunan ekonomi. Intinya adalah sistem politik yang menekankan
kekuasaan politik tersentral pada pejabat tinggi birokrasi, sementara partai-partai
politik, ormas, dan kelompok-kelompok kepentingan berada pada posisi pinggir. Pada
masa ini, sekalipun secara formal menganut sistem politik yang demokratis namun jika
dilihat dari penerapan sistem kepartaian yang ada, cenderung terlihat adanya praktek
yang bersifat hegemonik dimana Golkar sebagai partainya pemerintah selalu berusaha
untuk mempertahankan kemenangannya. Hal ini terbukti dari pelaksanaan Pemilu
Pertama tahun 1971 sampai Pemilu Kelima tahun 1992 di mana Golkar selalu meraih
kemenangan mutlak. Dalam posisi yang demikian ini, sistem kepartaian yang
berlangsung dikategorikan sebagai sistem dominasi satu partai (one party dominance)
atau sistem hegemonik (hegemonic system) karena mayoritas mutlak di parlemen

selama masa orde baru ini secara terus menerus hanya berada di tangan salah satu
orsospol saja yaitu Golkar. Atau dapat pula disebut sebagai sistem satu setengah partai
(one and half party system), dengan alasan bahwa Golkar di satu pihak dan PPP serta
PDI di pihak lain menjadi partai pelengkap.
Peranan golongan militer juga semakin bertambah kuat yang mana menimbulkan
sebuah rezim otoriter. Usaha penyederhanaan partai pun dilanjutkan dengan cara yang
sedikit banyak bersifat radikal. Pengelompokan partai yang mencakup tiga kelompok
yaitu Golongan Nasional, Golongan Spiritual, dan Golongan Karya yang ingin
dilaksanakan sebelum Pemilu 1971, ternyata tidak dapat dituntaskan pada waktunya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Presiden Soeharto demi mempermudah kampanye
pemilihan umum. Pengelompokan baru terjadi pada tahun 1973, yaitu empat partai
Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian lima partai
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian mulai Pemilu
1977 hanya ada orsospol, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.
Langkah selanjutnya untuk menata sistem kepartaian adalah konsep Pancasila
sebagai satu-satunya asas. Maksudnya adalah agar tidak terjadi lagi penyimpanganpenyimpangan sebagaimana yg terjadi pada masa sebelumnya, atau persaingan antara
partai karena tiap partai cenderung menonjolkan dan memperjuangkan asas mereka
masing-masing. Dengan demikian proses penyederhanaan partai yang telah dimulai
pada zaman Demokrasi Terpimpin, pada akhirnya terlaksana secara efektif.
b. Zaman Reformasi
Periode Reformasi bermula ketika Presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei
1998. Sejak itu hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan pembaharuan
kehidupan politik ke arah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa dalam usaha ini kita
dapat memanfaatkan pengalaman kolektif selama 3 periode (1945 1998). Dalam
konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapat kesempatan untuk
mendirikan partai. Atas dasar itu pemerintah yang dipimpin oleh B.J. Habibie dan
Parlemen mengeluarkan UU No.2/1999 tentang Partai Politik. Perubahan yang
didambakan ialah mendirikan suatu sistem dimana partai-partai politik tidak
mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi
peluang kepada eksekutif untuk menjadi terlalu kuat (executive heavy). Sebaliknya,
kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara sebagaimana diamanatkan
dalam UUD 1945. Adapun partai politik yang lolos seleksi dan dapat mengikuti Pemilu
1999 dari 141 yang mendaftarkan diri akhirnya hanya 48 saja. Pada akhirnya hasil
pemilihan umum 1999 menunjukkan bahwa tidak ada partai yang secara tunggal
mendominasi pemerintahan dan tidak ada partai yang memegang posisi mayoritas
mutlak yang dapat mengendalikan pemerintahan.
Menjelang pemilihan umum 2004, dari 237 partai yang mendaftarkan diri setelah
melalui proses/tahap seleksi akhirnya hanya 24 partai yang dapat mengikuti pemilihan
umum (separuh dari peserta pemilihan umum 1999). Jadi, selain kuantitas ada hal lain
lagi yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian di Indonesia pada masa ini yaitu :
pertama, berkenaan dengan konsolidasi internal dimana sudah menjadi gejala umum
bahwa kalangan elit partai-partai besar menjadi tidak solid setelah pemilu berlalu
dengan berbagai sebab yang melatarbelakangi. Bahkan tidak jarang friksi itu kemudian
berkembang menjadi perpecahan yang berujung pada munculnya pengurus tandingan

atau kepengurusan ganda, dan adapula yang memisahkan diri untuk mendirikan partai
baru. Kedua, berkenaan dengan kebebasan dalam hal asas dimana sebelumnya dalam
UU No.3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya ditegaskan bahwa
Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golkar tanpa embelembel lain. Adapun sebaliknya UU No.2/1999 memberikan kebebasan kepada partai
politik untuk menggunakan asas lain selain Pancasila. Oleh karena itu bermunculanlah
partai-partai politik yang berasas lain seperti nasionalisme ataupun keagamaan. Ketiga,
berkenaan dengan hubungan sipil-militer yang mana merupakan salah satu hal yang
membedakan periode reformasi dengan sebelumnya adalah adanya semangat untuk
menghapuskan peran militer dalam politik. Hal ini mempunyai pengaruh langsung
terhadap kehidupan kepartaian. Pada masa ini, banyak tokoh purnawirawan militer
menjadi fungsionaris ataupun pimpinan partai, dibandingkan pada masa Orba dimana
militer dan PNS tidak dibenarkan menjadi anggota partai politik (namun secara diamdiam merupakan pendukung setia Golkar sesuai prinsip monoloyalitas). Keempat,
berkenaan dengan masuknya orang-orang yang bukan berlatar belakang politik menjadi
elit politik di mana diantara mereka ada yang berasal dari kalangan pengusaha,
akademisi, ulama, ataupun seniman, dan lain-lain.
Dan seperti halnya dengan Pemilu 1999, hasil pemilihan umum 2004 juga
mengeliminasi sejumlah partai dan memunculkan beberapa partai besar. Ada 7 partai
yang sama sekali tidak memperoleh kursi, dan 7 partai yang memenuhi electoral
threshold (karena memperoleh sekurang-kurangnya untuk pemilihan legislatif 3% dari
jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah
kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah (suara nasional), dan 10 partai lainnya
memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi electoral threshold.

Anda mungkin juga menyukai