selama masa orde baru ini secara terus menerus hanya berada di tangan salah satu
orsospol saja yaitu Golkar. Atau dapat pula disebut sebagai sistem satu setengah partai
(one and half party system), dengan alasan bahwa Golkar di satu pihak dan PPP serta
PDI di pihak lain menjadi partai pelengkap.
Peranan golongan militer juga semakin bertambah kuat yang mana menimbulkan
sebuah rezim otoriter. Usaha penyederhanaan partai pun dilanjutkan dengan cara yang
sedikit banyak bersifat radikal. Pengelompokan partai yang mencakup tiga kelompok
yaitu Golongan Nasional, Golongan Spiritual, dan Golongan Karya yang ingin
dilaksanakan sebelum Pemilu 1971, ternyata tidak dapat dituntaskan pada waktunya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Presiden Soeharto demi mempermudah kampanye
pemilihan umum. Pengelompokan baru terjadi pada tahun 1973, yaitu empat partai
Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian lima partai
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian mulai Pemilu
1977 hanya ada orsospol, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.
Langkah selanjutnya untuk menata sistem kepartaian adalah konsep Pancasila
sebagai satu-satunya asas. Maksudnya adalah agar tidak terjadi lagi penyimpanganpenyimpangan sebagaimana yg terjadi pada masa sebelumnya, atau persaingan antara
partai karena tiap partai cenderung menonjolkan dan memperjuangkan asas mereka
masing-masing. Dengan demikian proses penyederhanaan partai yang telah dimulai
pada zaman Demokrasi Terpimpin, pada akhirnya terlaksana secara efektif.
b. Zaman Reformasi
Periode Reformasi bermula ketika Presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei
1998. Sejak itu hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan pembaharuan
kehidupan politik ke arah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa dalam usaha ini kita
dapat memanfaatkan pengalaman kolektif selama 3 periode (1945 1998). Dalam
konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapat kesempatan untuk
mendirikan partai. Atas dasar itu pemerintah yang dipimpin oleh B.J. Habibie dan
Parlemen mengeluarkan UU No.2/1999 tentang Partai Politik. Perubahan yang
didambakan ialah mendirikan suatu sistem dimana partai-partai politik tidak
mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi
peluang kepada eksekutif untuk menjadi terlalu kuat (executive heavy). Sebaliknya,
kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara sebagaimana diamanatkan
dalam UUD 1945. Adapun partai politik yang lolos seleksi dan dapat mengikuti Pemilu
1999 dari 141 yang mendaftarkan diri akhirnya hanya 48 saja. Pada akhirnya hasil
pemilihan umum 1999 menunjukkan bahwa tidak ada partai yang secara tunggal
mendominasi pemerintahan dan tidak ada partai yang memegang posisi mayoritas
mutlak yang dapat mengendalikan pemerintahan.
Menjelang pemilihan umum 2004, dari 237 partai yang mendaftarkan diri setelah
melalui proses/tahap seleksi akhirnya hanya 24 partai yang dapat mengikuti pemilihan
umum (separuh dari peserta pemilihan umum 1999). Jadi, selain kuantitas ada hal lain
lagi yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian di Indonesia pada masa ini yaitu :
pertama, berkenaan dengan konsolidasi internal dimana sudah menjadi gejala umum
bahwa kalangan elit partai-partai besar menjadi tidak solid setelah pemilu berlalu
dengan berbagai sebab yang melatarbelakangi. Bahkan tidak jarang friksi itu kemudian
berkembang menjadi perpecahan yang berujung pada munculnya pengurus tandingan
atau kepengurusan ganda, dan adapula yang memisahkan diri untuk mendirikan partai
baru. Kedua, berkenaan dengan kebebasan dalam hal asas dimana sebelumnya dalam
UU No.3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya ditegaskan bahwa
Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golkar tanpa embelembel lain. Adapun sebaliknya UU No.2/1999 memberikan kebebasan kepada partai
politik untuk menggunakan asas lain selain Pancasila. Oleh karena itu bermunculanlah
partai-partai politik yang berasas lain seperti nasionalisme ataupun keagamaan. Ketiga,
berkenaan dengan hubungan sipil-militer yang mana merupakan salah satu hal yang
membedakan periode reformasi dengan sebelumnya adalah adanya semangat untuk
menghapuskan peran militer dalam politik. Hal ini mempunyai pengaruh langsung
terhadap kehidupan kepartaian. Pada masa ini, banyak tokoh purnawirawan militer
menjadi fungsionaris ataupun pimpinan partai, dibandingkan pada masa Orba dimana
militer dan PNS tidak dibenarkan menjadi anggota partai politik (namun secara diamdiam merupakan pendukung setia Golkar sesuai prinsip monoloyalitas). Keempat,
berkenaan dengan masuknya orang-orang yang bukan berlatar belakang politik menjadi
elit politik di mana diantara mereka ada yang berasal dari kalangan pengusaha,
akademisi, ulama, ataupun seniman, dan lain-lain.
Dan seperti halnya dengan Pemilu 1999, hasil pemilihan umum 2004 juga
mengeliminasi sejumlah partai dan memunculkan beberapa partai besar. Ada 7 partai
yang sama sekali tidak memperoleh kursi, dan 7 partai yang memenuhi electoral
threshold (karena memperoleh sekurang-kurangnya untuk pemilihan legislatif 3% dari
jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah
kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah (suara nasional), dan 10 partai lainnya
memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi electoral threshold.