Anda di halaman 1dari 11

BAB 7 Diskusi Tentang Konfigurasi Politik danKarakter Produk Hukum

Studi ini berangkat dari asumsi bahwa hukum merupakan produk politik sehingga hukum
dipandang sebagai formalisasi yuridis dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
dan bersaingan. Dengan asumsi seperti ini, maka studi ini menggariskan hipotesisnya bahwa
konfigurasi politik tertentu akan melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu. Kedua
variabel tersebut masing-masing dipecah ke dalam konsep yang dikotomis yaitu: Pertama,
konfigurasi politik sebagai variabel bebas dipecah atas konfigurasi politik yang demokratis dan
konfigurasi politik yang otoriter. Kedua, karakter produk hukum sebagai variabel terpengaruh
dipecah atas produk hukum yang berkarakter responsif/ populistik dan produk hukum yang
berkarakter ortodoks/konservatif/ elitis. Selanjutnya untuk mempermudah mengidentifikasi
konsep-konsep pada variabel-variabel tersebut, maka studi ini menentukan juga indikator-
indikatornya yaitu: Pertama: untuk mengidentifikasi apakah suatu konfigurasi politik demokratis
atau otoriter,indicator-indikator yang dipergunakan adalah peranan parpol dan lembaga
perwakilan rakyat, kebebasan pers, dan peranan pemerintah (eksekutif). Kedua; untuk
mengidentifikasi apakah suatu produk hukum responsif atau ortodoks, maka indikator- indikator
yang dipergunakan adalah proses pembuatannya, sifat fungsinya, dan kemungkinan
penafsirannya.

Perkembangan Konfigurasi Politik

1.Periode Demokrasi Liberal

Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerkonstitusional itu memerlukan keadaan dan situasi atau
prasyarat tertentu yang harus disiapkan lebih dulu. Tetapdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 gagasan
demokrasi dalam kehidupan politik mendapatkan tempat yang sangat menonjol. BPUPKI maupun PPKI
dapat dikatakan tidak memperdebatkan dengan berpanjang-panjang untuk bersepakat memilih
demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian dituangkan dalam Pembukaan maupun Batang
Tubuh UUD 1945. Pada awal perjalanan, melalui Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, presiden diberi
kekuasaan sementara untuk melakukan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum lem- baga-lembaga
konstitusional dibentuk sebagaimana mestinya. Pemberian kekuasaan sementara ini sebenarnya wajar
karena pembentukan lembaga- lembaga i sebelum proklamasi kemerdekaan lampau 3 bulan, muscul
gerakan "parlementerisme" yang menginginkan sistem pemerintahan negara diganti dari sistem yang
lebih cenderung pada presidensial menjadi parlementer. Gerakan yang menurut Kahin dipelopori
oleh kaum muda itu mempunyai beberapa alasan, yaitu adanya ketidaksetujuan terhadap
peletakan kekuasaan di tangan Soekarno yang pemerintahannya didominasi orang-orang yang
pada zaman pendu- dukan Jepang menduduki jabatan-jabatan penting, adanya pandangan
baliwa sistem presidensial memungkinkan dibuatnya produk darurat legis- lasi yang berarti
negara terlalu kuat dan tidak mencerminkan demokrasi, adanya keinginan untuk memberi kesan
kepada dunia internasional bahwa negara ini adalah negara demokrasi yang bukan boneka
Jepang, adanya keinginan untuk menghalau kegiatan politik Subardjo untuk menjadikan Partai
Persatuan Nasional sebagai partai tunggal. Gerakan ini pada tanggal 7 Oktober 1945 melahirkan
referendum yang ditandatangani oleh 50 orang anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang berisi desakan kepada presiden untuk segera membentuk MPR dan (sebelum MPR
itu terbentuk) supaya KNIP dianggap sebagai dan diberi fungsi dan kewenangan yang dimiliki
MPR. KNIP menindaklanjuti referendum itu pada tanggal 16 Oktober 1945 dengan mengusulkan
kepada pemerintah agar KNIP (yang menurut UUD 1945 itu sebenarnya merupakan pembantu
sementara presiden) diberi fungsi legislatif dan diberi kekuasaan menetapkan GBHN. Untuk itu
diusulkan pula dibentuk Badan Pekerja KNIP guna melakukan tugas sehari- hari KNIP menurut
fungsi dan kedudukannya yang baru itu. Pemerintah memenuhi usul itu dengan mengeluarkan
Maklumat No. X Tahun 1945 yang berisi pengalihan fungsi legislatif kepada KNIP dan
pembentukan BP KNIP. Dengan keluarnya Maklumat No. X Tahun 1945 maka terjadilah
perubahan ketatanegaraan tanpa perubahan UUD-nya sebab menurut UUD 1945 KNIP itu
adalah pembantu presiden, bukan pengganti MPR dan DPR."" Maklumat No. X Tahun 1945
diikuti dengan keluarnya Maklumat Peme- rintah tanggal 14 November 1945 tentang susunan
kabinet berdasarkan sistem parlementer atas usul BP-KNIP. Maklumat Pemerintah ini menggeser
konfigurasi politik Indonesia ke arah yang lebih liberal demokratis, sebab dengan sistem
parlementer ini pemerintah harus bertanggung jawab kepada parlemen yang ketika itu
dilakukan oleh KNIP. Watak pluralistik atau konfigurasi liberal-demokratis sebenarnya
mengemuka secara lebih jelas ketika pemerintah mengeluarkan Maklumat sebelum Maklumat
14 17 an idak alam nan, len berian bage asyart James yang November itu, yakni Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945. Maklumat 3 November 1945 pada pokoknya berisi
harapan pemerintah agar aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk parpolnya sebelum
dilangsungkan Pemilu yang akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946. Maklumat 3
November 1945 inilah yang menjadi dasar sistem banyak partai atau pluralisme. Pergeseran
konfigurasi politik dan sistem pemerintahan tersebut tidaklah diikuti dengan perubahan UUD
1945 sebagai konstitusi tertulis. Artinya perubahan itu terjadi dalam praktik ketatanegaraan saja.
Ketika Indonesia secara konstitusional berubah menjadi negara serikat (federasi) sesuai dengan
hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Konstitusi RIS yang berlaku memberikan dasar
konstitusional tertulis atas sistem parlementer seperti terlihat dari ketentuan Pasal 118 yang
berbunyi: (1) Presiden tidak dapat diganggu-gugat. (2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas
sebuah kebijaksanaan peme- rintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-
masing untuk bagiannya sendiri dalam hal itu. Konfigurasi politik demokratis berdasarkan
Konstitusi RIS 1949, selain dapat dilihat pada sistem pemerintahannya yang menganut
parlementer- isme dapat juga dipahami dari pengertian federalisme itu sendiri yang dalam
mekanisme hubungan antara pusat dan daerah (negara bagian) meletakkan pemerintah pusat
dan pemerintah negara-negara bagian dalam susunan yang sederajat.
Jika dilihat dari sudut bekerjanya pilar-pilar demokrasi, maka pada era demokrasi liberal
(mencakup periode 1945-1950) terlihat peranan partai- partai melalui parlemen sangat dominan.
Sebaliknya peranan eksekutif atau kabinet sangat lemah sehingga dapat dikatakan hampir tidak
berfungsi, sedangkan kehidupan pers relatif lebih bebas. Kehidupan kepartaian pada periode ini
tetap didasarkan pada Maklu- mat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang menganut sistem
banyak partai yang kemudian tercermin dari kekuatan-kekuatan yang ada di dalam parlemen
(DPR). Partai-partai melalui parlemen benar-benar mengatasi kedudukan pemerintah, sehingga
pola hubungan antara parlemen dengan pemerintah dapat dilihat sebagai bureau-nomia. Wilopo
menyebutnya sebagai "pemerintahan partai-partai" Terutama pada era berlakunya UUDS 1950,
partai-partai melalui parlemen sering kali menjatuhkan mosi tak percaya terhadap kabinet." Jika
dirata-ratakan, maka usia setiap kabinet pada kurun waktu 1950-1959 adalah 1½ tahun dengan
catatan bahwa ada kabinet yang tidak mampu bertahan sampai 1½ tahun. Kehidupan pers pada
periode ini mendapat kebebasan secara cukup proporsional. Meski- pun, seperti terlihat dari
laporan penelitian Edward C. Smith, pada periode ini senantiasa terjadi tindakan anti pers oleh
pemerintah, tetapi pada periode ini "pers Indonesia" dapat secara proporsional menikmati
kebebasannya. Adanya tindakan terhadap pers tidak mengurangi keberanian pers untuk tetap
melancarkan kritik pedas terhadap pemerintah. Ketika surat kabar tidak mau surut dalam
melontarkan kritik pedasnya, justru pada tahun 1954 pemerintah mencabut Ordonansi
Pemberedelan Pers yang telah diber- lakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1931-
1932.

2. Periode Demokrasi Terpimpin

Karena instabilitas politik dan pemerintahan yang ditimbulkannya maka sistem politik liberal
harus berakhir pada tahun 1959 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5
Juli. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di samping membubarkan konstituante yang dianggap gagal
melak- sanakan tugasaya "membentuk UUD" juga memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
pengganti UUDS 1950.21 Dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka berakhirlah
langgam sistem politik liberal dan digantikan oleh sistem demokrasi yang menurut Soekarno
lebih berwarna Indonesia, yakni "demokrasi terpimpin". Demokrasi terpimpin merupakan
pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh politik partai-
partai melalui pertarungan free fight." Lahirnya dekrit itu mendapat dukungan utama dari
Angkatan Darat maupun presiden karena keduanya sama-sama berkepentingan untuk
mengambil peranan yang lebih besar dalam politik nasional. Angkatan Darat sangat mendukung
pemberlakuan kembali UUD 1945 karena konstitusi tersebut memberikan kemungkinan bagi
masuknya perwakilan kepentingan dalam MPR sehingga Angkatan Darat dapat berperan di
dalamnya. Sedangkan Soekarno yang semula menolak usul pemberlakuan UUD 1945 (kemudian)
mendukungnya karena ia membuka peluang tampilnya kabinet presidensial yang kuat. Pada
awal pengundangannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu telah menimbulkan kontroversi pendapat
tentang keabsahannya. Mantan Wapres Mohan.mad Hatta dan Prawoto Mangkusasmito
mengatakan bahwa dekrit tersebut adalah produk inkonstitusional dan merupakan coup, tetapi
banyak juga ahli hukum yang memberikan pembenaran berdasarkan pandangan yuridis-
konstitusional.25 Tetapi terlepas dari kontroversi itu pada akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
secara politis diterima dan dijadikan dasar berlaku- nya kembali UUD 1945. Kemudian muncul
konfigurasi politik baru yang disebut demokrasi terpimpin. demokrasi terpimpin itu, seperti yang
dituangkan di dalam Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965, mengandung ketentuan tentang
mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan "musyawarah untuk mufakat" dengan
konsekuensi bahwa jika sampai tahap tertentu mufakat bulat tidak dapat dicapai, maka keputusan
tentang masalah yang dimusyawarahkan itu diserahkan kepada pimpinan untuk menentukannya.
Konsep itulah yang menurut Soekarno merupakan demokrasi kekeluargaan yang lebih sesuai
dengan budaya bangsa Indonesia. Tetapi sebenarnya mekanisme pengambilan keputusan yang
seperti itu merupakan jalan bagi leluasanya Soekarno mendominasi semua proses politik. Jika
dilihat dari kriteria bekerjanya pilar-pilar demo- krasi, maka akan tampak jelas bahwa kehidupan
kepartaian dan legislatif adalah lemah, sebaliknya presiden sebagai kepala eksekutif sangat kuat,
dan kebebasan pers dapat dikatakan tidak ada. Jauh sebelum demokrasi terpimpin itu diberi
jalan konstitusional melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno sudah menyatakan obsesinya secara
terang-terangan untuk menguburkan partai-partai politik yang dianggapnya menjadi penyakit
bagi bangsa Indonesia32 Tidaklah mengherankan, meskipun secara formal ketika itu partai-
partai masih ada, tetapi secara substansial tidak ada karena tidak berfungsi sebagaimana
lazimnya. Afan Gaffar menyebutkan, dengan kondisi kepartaian seperti itu, maka dapat dikatakan
pada masa demokrasi terpimpin itu di Indonesia sebenarnya tidak ada sistem kepartaian. Sejalan
dengan lemahnya partai-partai yang dapat dikualifikasi sebagai tiadanya sistem kepartaian itu,
DPR yang ada pada era demokrasi terpimpin juga sangat lemah.berbalikan dengan posisi DPR
dan partai-partai,posisi eksekutif di bawah presiden Soekarno pada era demokrasi terpimpin
sangat kuat. Dewan yang menurut UUD 1945 sebenarnya merupakan council of state ini telah
diberi peranan besar dalam bidang pemerintahan dan lembaga yang sebenarnya sederajat
dengan eksekutif ini ternyata dipimpin sendiri oleh Sockarno. DPA yang dipimpin oleh Soekarno,
bahkan diberi wewenang untuk secara mutlak memberikan pertimbangan lebih dulu bagi setiap
rencana UU yang akan disampaikan kepada DPR. Pada era ini pula kebebasan pers berada pada
kondisi sangat buruk. Edward C. Smith mencatat sebanyak 480 tindakan antipers sejak tahun
1957 (ketika Sockarno mulai secara terang-terangan melontarkan gagasan demokrasi terpimpin)
sampai tahun 1965.

3. Periode Orde Baru

G30S/PKI tahun 1965 merupakan kudeta yang gagal menyebabkan merosotnya kekuasaan
Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya secara tajam. Saling tarik tambang antara Soekarno,
PKI, Angkatan Darat (AD) menjadi terputus dan diakhiri dengan tampilnya AD sebagai
pemenang. Hancurnya PKI dan runtuhnya rezim Soekarno merupakan akibat dari peran-peran
yang dimainkan oleh keduanya pada era demokrasi terpimpin. Krisis politik yang terjadi
menyusul G30S/PKI membawa Soekarno untuk mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah
Sebelas Maret) pada tahun 1966 yang berisi pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk
mergambil segala tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan stabilitas
pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden. Supersemar inilah yang memberi jalan
lempang bagi tampilnya militer, terutama Ang- katan Darat, sebagai pemeran utama dalam
politik di Indonesia pada masa pasca G30S/PKI. Pemerintah Soeharto yang tampil menggantikan
Soekarno sejak tahun 1967 menamakan pemerintahannya sebagai pemerintahan Orde Baru.
Suatu nama bagi tatanan masyarakat Indonesia secara resmi dipakai sejak tanggal 12 Maret
1966 bersamaan dengan pembubaran PKI, sehari setelah keluarnya Supersemar. Pemerintah
Orde Baru bertekad untuk mengoreksi penyimpangan politik yang terjadi pada era Orde Lama
dengan memulihkan tertib politik berdasarkan Pancasila sekaligus meletakkan program
rehabilitasi dan konsolidasi ekonomi. Pada awal eksistensinya jelas sekali bahwa Orde Baru
memberi bobot yang lebih besar terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka
pembangunan nasionalnya." Seminar II Angkatan Darat di Bandung pada tahun 1967
memberikan penegasan bahwa pembangunan ekonomi menjadi sasaran utama, sedangkan
stabilitas politik harus dibangun sebagai prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi
itu." Keputusan Seminar II Angkatan Darat tersebut berkaitan dengan kerunyaman situasi
ekonomi pada periode menjelang kelahiran Orde Baru yang hanya memberi batas toleransi
sempit kepada pemerintah untuk membuat kesalahan dalam memilih strategi alternatif. Margin
of Error yang sempit tersebut telah membawa pemerintah Orde Baru untuk memberikan
prioritas utama kepada pembangunan ekonomi." Penegasan bahwa stabilitas politik menjadi
prasyarat bagi pemba- ngunan ekonomi secara tidak langsung dapat berimplikasi pada
pengurang- an pluralisme kehidupan politik atau pembatasan pada sistem politik yang
demokratis. Seperti dikemukakan oleh Pye tentang adanya asumsi, bahwa laju kecepatan
pembangunan ekonomi dapat diperlambat oleh sistem politik pluralistik. Sehingga ada
pendapat pokok bahwa demokrasi bagi negara- negara baru (dan sedang berkembang)
merupakan barang mewali karena negara-negara tersebut harus memberikan prioritas kepada
pertumbuhan ekonomi. Orde Baru, berdasarkan hasil Seminar II Angkatan Darat, mempunyai
tiga kata kunci yaitu konsolidasi ekonomi, pimpinan dan pemerintahan yang kuat, dan stabilitas
nasional. Ini berarti bahwa tekad Orde Baru untuk membangun ekonomi harus dibayar dengan
pengekangan terbatas pada kehidupan demokrasi. Pengalaman masa lampau yang terlalu
memberikan peluang kepada demokrasi liberal telah menyebabkan berlarut-larutnya instabilitas
politik sehingga negara tidak sempat memikirkan secara serius pembangunan ekonomi. Bagi
Orde Baru pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh meskipun harus
dibayar dengan pengekangan hak-hak politik rakyat atau demokrasi. Menurut Liddle pada awal
kelahirannya, pemerintah Orde Baru tidak pernah menjanjikan demokrasi dan kebebasan di
masa depan." Sesuatu yang berbeda dengan penguasa otoriter pasca Perang Dunia II yang
biasanya mempraktikkan diktatorial dan tindakan represif ini menjanjikan demokrasi dan
kebebasan di masa depan. Meskipun begitu dari sejarah perjalanan Orde Baru yang cukup pen-
ting dapat dicatat bahwa pada awalnya diterapkan juga langgam yang agak libertarian, sehingga
relatif masih ada kebebasan bagi parpol maupun media massa untuk melancarkan kritik dan
pengungkapan realita di dalam masyarakat." Bahkan menurut Lev gagasan liberal pada awal
Orde Baru telah meraih hasil dalam bentuk lahirnya dua panitia ad hoc di MPRS yaitu ad hoc II
(membidangi reorganisasi pemerintah) dan ad hoc IV (membi- dangi hak asasi manusia).
Laporan kedua panitia ad hoc itu merupakan puncak pengaruh liberal dalam Orde Baru awal.
Pemerintah Orde Baru bertekad untuk mengoreksi penyimpangan politik yang terjadi
pada era Orde Lama dengan memulihkan tertib politik berdasarkan Pancasila sekaligus
meletakkan program rehabilitasi dan konsolidasi ekonomi. Pada awal eksistensinya jelas
sekali bahwa Orde Baru memberi bobot yang lebih besar terhadap perkembangan
ekonomi dalam kerangka pembangunan nasionalnya." Seminar II Angkatan Darat di
Bandung pada tahun 1967 memberikan penegasan bahwa pembangunan ekonomi
menjadi sasaran utama, sedangkan stabilitas politik harus dibangun sebagai prasyarat
bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi itu." Keputusan Seminar II Angkatan Darat
tersebut berkaitan dengan kerunyaman situasi ekonomi pada periode menjelang
kelahiran Orde Baru yang hanya memberi batas toleransi sempit kepada pemerintah
untuk membuat kesalahan dalam memilih strategi alternatif. Margin of Error yang sempit
tersebut telah membawa pemerintah Orde Baru untuk memberikan prioritas utama
kepada pembangunan ekonomi." Penegasan bahwa stabilitas politik menjadi prasyarat
bagi pemba- ngunan ekonomi secara tidak langsung dapat berimplikasi pada
pengurang- an pluralisme kehidupan politik atau pembatasan pada sistem politik yang
demokratis. Seperti dikemukakan oleh Pye tentang adanya asumsi, bahwa laju kecepatan
pembangunan ekonomi dapat diperlambat oleh sistem politik pluralistik. Sehingga ada
pendapat pokok bahwa demokrasi bagi negara- negara baru (dan sedang berkembang)
merupakan barang mewali karena negara-negara tersebut harus memberikan prioritas
kepada pertumbuhan ekonomi.Orde Baru, berdasarkan hasil Seminar II Angkatan Darat,
mempunyai tiga kata kunci yaitu konsolidasi ekonomi, pimpinan dan pemerintahan yang
kuat, dan stabilitas nasional. Ini berarti bahwa tekad Orde Baru untuk membangun
ekonomi harus dibayar dengan pengekangan terbatas pada kehidupan demokrasi.
Pengalaman masa lampau yang terlalu memberikan peluang kepada demokrasi liberal
telah menyebabkan berlarut-larutnya instabilitas politik sehingga negara tidak sempat
memikirkan secara serius pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru pembangunan
ekonomi harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh meskipun harus dibayar dengan
pengekangan hak-hak politik rakyat atau demokrasi. Menurut Liddle pada awal
kelahirannya, pemerintah Orde Baru tidak pernah menjanjikan demokrasi dan kebebasan
di masa depan." Sesuatu yang berbeda dengan penguasa otoriter pasca Perang Dunia II
yang biasanya mempraktikkan diktatorial dan tindakan represif ini menjanjikan
demokrasi dan kebebasan di masa depan.

Meskipun begitu dari sejarah perjalanan Orde Baru yang cukup pen- ting dapat dicatat
bahwa pada awalnya diterapkan juga langgam yang agak libertarian, sehingga relatif
masih ada kebebasan bagi parpol maupun media massa untuk melancarkan kritik dan
pengungkapan realita di dalam masyarakat." Bahkan menurut Lev gagasan liberal pada
awal Orde Baru telah meraih hasil dalam bentuk lahirnya dua panitia ad hoc di MPRS
yaitu ad hoc II (membidangi reorganisasi pemerintah) dan ad hoc IV (membi- dangi hak
asasi manusia). Laporan kedua panitia ad hoc itu merupakan puncak pengaruh liberal
dalam Orde Baru awal.

Toleransi pemerintah pada gagasan liberalisme pada awal Orde Baru dapat dilihat
sebagai langkah sementara atau strategi awal yang menyertai rekayasa untuk
membentuk format politik baru. Memang sebuah rezim atau figur penguasa baru yang
belum mampu membentuk format politik baru sebagai landasan kekuasaannya akan
cukup toleran terhadap demokrasi. Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, pada
kurun waktu 1966- 1969 pemerintah telah melakukan penggarapan secara sistematis
untuk membentuk format politik baru, dan Orde Baru sebagai negara kuat yang mampu
mengontrol semua proses politik di Indonesia. Penggarapan siste- matis itu dilakukan
dalam bentuk emaskulasi terhadap partai-partai besar warisan Orde Lama sambil
membentuk partainya sendiri, Golkar, serta penggarapan terhadap UU No. 15 dan 16
Tahun 1969 agar kedua UU tersebut memberikan jaminan bagi pemerintah untuk
mendominasi lembaga permusyaratan/perwakilan. Jadi sebenarnya pada masa awal
Orde Baru terjadi pergulatan atau kericuhan antara pemerintah dan partai-partai
berkenaan dengan upaya pemerintah untuk membentuk format politik baru. Dhakidae
menulis bahwa kericuhan dalam pembicaraan tentang dua UU (Susduk MPR/DPR/DPRD
dan Pemilu) berjalan seiring dengan penggarapan secara sistematis terhadap partai-
partai besar dan pengesahan atas RUU itu berjalan seiring dengan selesainya
penggarapan partai-partai besar dan diperolehnya jaminan bagi pemerintah untuk
mengangkat orang- orangnya menduduki kursi DPR. Setelah format baru politik
Indonesia dikristalisasikan melalui UU No. 15 dan No. 16 Tahun 1969 yang memberi
landasan bagi pemerintah untuk mengangkat 1/3 anggota MPR dan lebih dari 1/5
anggota DPR, langgam sistem politik mulai bergeser lagi ke arah yang otoritarian.
Betapapun Orde Baru dicirikan sebagai sistem yang non demokratis, jika dipandang dari
perspektif demokrasi politik dan bukan dari perspektif demokrasi sosial dan ekonomi yang
berorientasi pada kesejahteraan masyarakatnya. Liddle dengan tegas menyebut Orde Baru
adalah sistem otoriter yang dikembangkan melalui koersi yang mendefinisikan batas-batas
rezim, meningkatkan dukungan dari dalam sambil membuat kalangan luar tetap tersudut.57
Alxdurrahman Wahid juga menyebut Indonesia sebagai sistem otoriter yang tidak sampai pada
tingkat tirani.58 Banyak identifikasi lain yang mencirikan realita kepolitikan Orde Baru
berdasarkan berbagai pendekatan, seperti, beamtenstaat, bureaucratic polity, negara pasca
kolonial, patri- monialisme Jawa, negara organis, bureaucratic authoritarian regime,
korporatisme, dan integralistik.

4. Pasang Surut dan Pasang Naik Konfigurasi Politik

Diskusi di atas menunjukkan bahwa dalam sepanjang sejarah Indonesia, zaman kolonialisme
telah terjadi pasang surut dan pasang naik sejak perkembangan dari konfigurasi politik otoriter
ke konfigurasi demokratis atau sebaliknya. Juga dapat disimpulkan bahwa performance
konfigurasi politik tidak selalu sama dengan ketentuan konstitusinya.65 Semua konstitusi yang
berlaku sejak Indonesia merdeka secara eksplisit menyebut "demokrasi" sebagai salah satu
prinsip yang fundamental,66 tetapi di dalam praktiknya yang tampil tidaklah selalu demokratis.
Jika konfigurasi politik itu dikualifikasi menurut periodisasi, maka dapat diperoleh kesimpulan-
kesimpulan sebagai berikut:

a. Periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi politik demokratis yang didasarkan pada


demokrasi liberal.
b. Periode 1959-1966 menampilkan konfigurasi politik otoriter yang didasarkan pada paham
demokrasi terpimpin.
c. Periode Orde Baru 1996-1998 menampilkan konfigurasi politik non demokratis. Dengan
catatan, pada awal perjalanannya ada toleransi bagi penampilan konfigurasi politik yang
demokratis.
Karakter Produk Hukum

1.Hukum Pemilu

a. Periode 1945-1959 (Demokrasi Liberal)

Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa semangat demokrasi dan
menjanjikan diselenggarakannya Pemilu dengan landasan hukum yang responsif. Seperti telah
diuraikan secara panjang lebar dalam bab III, sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia
sudah menjanjikan diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi yang
representatif.67 Namun berbagai kendala politis, baik yang bersifat eksternal maupun internal
menyebabkan Pemilu baru benar-benar dapat dilaksanakan pada tahun 1955. Sebelum tahun
1955 ada produk hukum tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan, tetapi tidak pernah
dapat diimplementasikan karena pergolakan revolusi. Pada tingkat lokal telah dicoba
dilaksanakan pemilihan anggota-anggota DPRD, seperti yang terjadi di Kediri pada tahun 1946
yang menggunakan sistem bertingkat, di Minahasa pada tahun 1951, di Sangir-Talaud pada
tahun 1951, di Yogyakarta pada tahun 1951, dan di Kotamadya Makassar pada tahun 1952.
Pemilihan yang berlangsung di Makassar pada tahun 1952 menggunakan sistem langsung-
terbatas karena yang dapat memilih hanya mereka yang dapat membaca dan menulis.

b. Periode 1959-1966 (Demokrasi Terpimpin)

Pada periode demokrasi terpimpin (1959-1966) tidak pernah diadakan Pemilu maupun UU
Pemilu. Seperti telah diuraikan di atas pada periode ini, konfigurasi politik sangat otoriter,
eksekutif di bawah Presiden Soekarno sangat dominan atas lembaga-lembaga konstitusional
yang seharusnya otonom di samping presiden. Ketika membubarkan DPR dengan Penpres No.3
Tahun 1960 Presiden Soekarno menyiratkan janji untuk membentuk DPR baru melalui Pemilu
(sebelum itu terwujud, untuk sementara, DPR dibentuk dan diangkat oleh presiden), tetapi janji
itu ditunda sampai dua kali oleh pemerintah untuk pada akhirnya tidak diwujudkan juga.Dengan
demikian, pada periode ini tidak terdapat satu pun UU Pemilu yang dapat dianalisis karakternya,
tetapi jika sebuah kualifikasi dapat diberikan dengan melihat fungsi dan peranan lembaga
perwakilan, maka produk hukum dalam bidang ini sangatlah konservatif. Sebab sering kali
produk hukum dikeluarkan dari lembaga di luar DPR, yakni presiden bersama Dewan Nasional
(yang kemudian menjadi Dewan Pertimbangan Agung) yang produknya berbentuk Penpres.

c. Periode 1966-1998 (Orde Baru)

Pemilu adalah tuntutan konstitusi. Oleh karena itu, rezim Orde Baru juga menjadikan Pemilu
sebagai bagian dari program-program nasionalnya. Seperti telah disinggung di depan, jalan
yang ditempuh oleh Orde Baru untuk menjadikan dirinya sebagai negara kuat yang kemudian
menjadi otoriter-birokratis adalah jalan konstitusional. Oleh karena prinsipnya yang demikian,
maka meskipun ada upaya kuat untuk membangun konfigurasi politik yang sentralistik, namun
upaya itu dilakukan menurut jalur-jalur yang dimungkinkan oleh konstitusi. Obsesi Orde Baru
untuk membangun pemerintahan kuat yang dapat menjamin stabilitas nasional guna
melaksanakan pembangunan yang ber- titik berat pada ekonomi, membawa rezim ini pada sikap
tertentu dalam penyelenggaraan Pemilu. Sikap tersebut ialah Pemilu harus diadakan sesuai
dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah (dengan sebutan kekuatan Orde Baru)
harus mendapat jaminan untuk memenangkan Pemilu tersebut. Dengan kemenangan dan
dominasi tangan pemerintah di lem- baga permusyawaratan/perwakilan diharapkan pemerintah
dapat bekerja membangun negara dalam suasana politik yang stabil. UU Pemilu pada Orde Baru
dapat dikualifikasi sebagai produk hu- kum yang berkarakter ortodoks/elitis/konservatif. UU No.
15 Tahun 1969 hanya memuat 37 pasal, jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan UU No.7
Tahun 1953 yang memuat 139 pasal. Menurut UU No. 15 Tahun 1969, Pemilu diselenggarakan
untuk memilih anggota-anggota DPR, DPRD (Pasal 1 ayat (1)) dan mengisi MPR (Pasal 1 ayat
(2)). Warga negara yang telah berumur 17 tahun atau sudah kawin mempunyai hak untuk
memilih, kecuali mereka yang terlibat anggota organisasi terlarang menurut per- aturan
perundang-undangan. Tidak diberikannya hak pilih bagi mereka yang menjadi anggota organisasi
terlarang itu dibatasi dengan adanya perke- cualian, yakni jika yang bersangkutan telah
mendapatkan amnesti, abolisi, atau grasi.

2. Hukum Pemda

a. Periode 1945-1959 (Demokrasi Liberal)

Indonesia lahir sebagai negara merdeka dengan membawa semangat demokrasi. Oleh karena
itu, tercakup dalam semangat tersebut pelemba- gaan secara mantap asas desentralisasi dalam
sistem ketatanegaraan. Asas desentralisasi merupakan bagian yang sangat penting di dalam
negara demokrasi. UUD 1945 sendiri mengatur mengenai hubungan antara pusat dengan
daerah dalam Pasal 18 yang dalam penjelasannya memungkinkan pemberian status otonom
atau sebagai daerah administratif kepada daerah- daerah.

Watak responsif/populistik tersebut dari sudut materi dapat dilihat dari adanya muatan tentang
keleluasaan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri di bawah asas otonomi yang
seluas-luasnya, penekanan DPRD sebagai pelaksana medebewind, serta mekanisme penentuan
kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat meskipun sebelum adanya UU pemilihan, kepala
daerah dipilih oleh DPRD. Menurut UU No. 1 Tahun 1957, kepala daerah bukan alat pusat dan
kedudukannya tidak tergantung pada pusat. Di sini tampak bahwa unsur sentralistik sangat
diminimalkan. b. Periode 1959-1966 (Demokrasi Terpimpin) Memasuki era demokrasi terpimpin
(1959-1966) muncul pemikiran pemerintah untuk memperbarui UU Pemda. Alasannya karena
sistem politik yang sangat liberal dan hukum Pemda yang memberi otonomi terlalu luas telah
menimbulkan bibit-bibit disintegrasi. Pada masa peralihan dari demokrasi liberal ke demokrasi
terpimpin, yakni pada 1957/1959,99 ada gejala pertentangan antara pusat dan daerah dan
bahkan muncul kasus-kasus penentangan daerah terhadap pusat secara terbuka.100 Upaya
mengatasi ancaman disintegrasi atau menjamin keutuhan bangsa itulah yang menjadi alasan
Soekarno untuk menawarkan konsep demokrasi terpimpin yang kemudian memberi jalan
baginya untuk tampil sebagai pemimpin yang otoriter. Dengan demikian, keinginan untuk
mengubah UU No.1 Tahun 1957 menjadi konsekuensi logis dari gagasan demokrasi terpimpin
yang ingin memusatkan kekuasaan di tangan pemerintah pusat dengan kontrol yang sangat
ketat. Alasan ini mendapat dukungan sangat kuat dari sudut formal-konstitusional, sebab UU
No.1 Tahun 1957 didasarkan pada UUDS 1950. Dengan adanya penggantian konstitusi dengan
UUD 1945, maka UU No.1 Tahun 1957 kehilangan dasar konstitusional karena memuat dan
mengembangkan asas yang tidak sesuai dengan ideo-politis Indonesia.101 Pemerintahan di
daerah (ada kepala daerah otonom di samping kepala wilayah administratif sebagai alat pusat)
dapat dihapuskan dan digabungkan dalam satu organ dengan fungsi ganda. Ini berarti bahwa
Penpres No. 6 Tahun 1959 menghapuskan dualisme aparat, tetapi sekaligus menciptakan
dualisme fungsi.

C. Periode 1966-1998 (Orde Baru)

Setelah diundangkannya UUPA tahun 1960, tidak ada lagi produk hukum agraria nasional baru
yang komprehensif sebab UUPA sudah me- nampung gagasan unifikasi yang mempunyai
jangkauan untuk masa yang panjang. Oleh sebab itu, pada zaman Orde Baru, produk hukum
agraria lebih banyak berupa produk yang lebih bersifat parsial dalam rangka melaksanakan
UUPA itu. Pemerintah Orde Baru tidak lagi dihadapkan pada tuntutan untuk membuat hukum
agraria nasional, tetapi dihadapkan pada masalah bagai- mana melaksanakan hukum agraria
nasional yang telah ada yakni UUPA. Ada tiga masalah pokok yang dihadapi pemerintah Orde
Baru dalam rangka pelaksanaan UUPA, yaitu, pembuatan peraturan pelaksanaan, penyesu- aian
kembali beberapa materi peraturan perundangan tertentu di bidang agraria, dan pelaksanaan
proses pembebasan tanah. Ada keluhan bahwa proses industrialisasi pada era Orde Baru ini
semakin lama semakin dalam, sementara land policy sebagai bagian dari politik agraria belum
dijabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan seperti dikehendaki UUPA. Sebenarnya
Pasal 14 ayat (1) UUPA telah menggariskan agar pemerintah segera membuat rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa, serta tata
guna kekayaan alam, tetapi UU itu sampai sekarang belum juga dibuat padahal kehadirannya
dalam menghadapi era industrialisasi sangatlah penting. 119 Berbagai peraturan pelaksanaan
yang diperlukan sangat lambat pembuatannya, "ibaratnya keluar setetes demi setetes saja",120
sedangkan Industrialisasi yang berimplikasi pada penggunaan tanah, ibarat arus air yang
mengalir deras.

Anda mungkin juga menyukai