Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu karakter produk hukum sangat berkaitan dengan kondisi politik dan

dinamika yang terjadi dalam masyarakat pada waktu itu. Mengapa demikian?

Karena karakter produk hukum dalam suatu bangsa akan terbentuk sesuai dengan

keinginan dari masyarakat ataupun dari kepentingan politik. Dalam tatanan

hukum di Indonesia karakter produk hukum mengacu kepada tujuan suatu Negara

(tujuan bangsa dan tujuan Negara itu subtansinya sama, hanya saja tujuan Negara

sering kali dianggap bersifat konstitutif karena dirumuskan secara resmi di dalam

pembukaan UUD 1945) yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 secara

definitive tertuang di dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang meliputi:

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia

2. Memajukan kesejahteraan umum

3. Mecerdaskan kehidupan bangsa

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasaarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial.


Tujuan Negara harus diraih oleh Negara sebagai organisasi tertinggi yang

berdasarkan pancasila dan UUD 45. Dalam hal ini produk dan karaktek politik

hukum dipengaruhi politik. Karena alasan bahwa hukum itu adalah produk politik

yang pastinyatidak steril dari kepentingan-kepentingan politik anggota-anggota

lembaga pembuatnya. Oleh sebab itu tidak jauh beda dengan kondisi pada tahun

1945-1955 juga demikian kondisinya, karena pada saat itu masih banyak

kepentingan-kepentingan Colonial Belanda yang masih tertanam apalagi di

perkuat tidak siapnya Negara untuk merdeka dengan membuat produk hukum
sendiri, dan demi mengisi kekosongan yang ada setelah deklarasi kemerdekaan

1
Indonesia, dengan terpaksa produk hukum Colonial Belanda banyak diadopsi dan

digunakan oleh Negara Indonesia. Bahkan sampai detik ini, masih banyak produk

hukum zamam colonial belanda yang masih digunakan dalam hokum positif. Dan

bisa juga kita ketahui ada juga tarik ulur kepentingan yang lain berkaitan dengan

produk hukum yang mana akan dilaksanakan.

Perlu kita sadari semua hal ini juga tidak terlepas kondisi dan dinamika

masyarakat pada waktu itu, yang mempunyai perdedaan dari beberapa golongan

agama, ras, ideology, dan lain-lain.Dalam makalah ini penulis akan sedikit

mencoba membahas dari keadaan pada tahun 1945-1955, dimana dalam kajian ini

lebih focus pada kajian karakter produk hukum nasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan masalah bagaimana karakter

produk hukum orde lama 1945-1955.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana karakter produk hukum orde lama 1945-1955

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana konfigurasi politik orde lama


b. Untuk mengetahui karakteristik produk hukum orde lama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konfigurasi Politik Orde Lama

Dinamika hukum dan politik di Indonesia pada awalnya memang bermula

dari ketidak sepahaman, yakniperdebatan dari para founding fathers untuk

menggagas tujuan dan dasar dari negara.Hal ini tidak lepas dari perbedaan

pandangan politik dan konsep tentang ketatanegaraan untuk negeri ini. Proses

politik hukum pada saat itu melahirkan dasar negara Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini menjadi salah satu atau kemungkinan karakteristik bangsa Indonesia yang

murni dihasilkan dari para pendiri bangsa.

Pada periode 1945-1959, konfigurasi politik yang tampil adalah

konfigurasi politik yang demokratis.Kehidupan politik pada periode ini dicirikan

sebagai demokrasi liberal. Di dalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa

partai-partai memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan

kebijakan Negara melalui wadah konstitusinalnya, yakni parlemen.

Seiring dengan itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang "kalah kuat"

dibandingkan dengan partai - partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun

dan keadaan politik berjalan secara tidak stabil. Kebebasan pers bila
dibandingkan dengan periode-periode lainnya, dapat dikatakan berjalan secara

baik; bahkan pada periode Demokrasi Liberal inilah peraturan sensor dan

pembredelan yang berlaku sejak zaman hindia belanda dicabut secara resmi.

Pada zaman periode Demokrasi Liberal, Konstitusi tertulis kita UUD 1945

menganut Demokrasi sebagai prinsip dan mekanisme kenegaraan. Namun pada

awal kemerdekaan prinsip demokrasi itu tidak dapat diwujudkan ke dalam

pembentukan lembaga-lembaga dengan demokrasi seperti adanya MPR dan DPR.

Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa negara yang baru merdeka ini kesulitan
membentuk lembaga-lembaga negara karena keadaan masih darurat dan suasana

3
revolusi sehingga bangsa kita sulit menentukan orang untuk menduduki lembaga-

lembaga formal demokrasi, apalagi lembaga demokrasi itu harus dibentuk oleh

rakyat melalui pemilu yang ketika itu belum mungkin dilakukan. Itulah sebabnya

pasal IV aturan peralihan UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dengan

dibantu sebuah komite nasional indonesia, memegang kekuasaan MPR, DPR, dan

DPA sebelum ketiga lembaga tersebut dapat dibentuk sesuai dengan ketentuan

UUD.

B. Karakteristik Produk Hukum Orde Lama

Karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan

perkembangan dengan konfigurasi politik.Meskipun kapasitasnya bervariasi,

konfigurasi politik dengan demokratis senantiasa diikuti oleh produk hukum yang

responsive atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter senantiasa

disertai oleh munculnya hukum-hukum yang berkarakter konservatif dan

ortodoks. Secara lebih rinci perkembangan karakter produk hukum yang

mengikuti perkembangan konfigurasi politik yang diuraikan di bawah ini :

1. Hukum tentang Pemilu

2. Hukum tentang Pemda

3. Hukum tentang Agraria


Praktek parlementarisme ini kemudian dianut lagi didalam negara

Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menggunakan Konstitusi RIS 1945

sebagai Konstitusinya. Meskipun sebenarnya sistem parlementer berdasar

konstitusi RIS ini tidaklah murni karena, misalnya DPR tidak dapat menjatuhkan

pemerintah dengan mosi berhubung keadaan masih darurat,tetapi lembaga-

lembaga demokrasi dapat bekerja relatif efektif. Sistem parlemen ini kemudian

dikuatkan lagi di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia yang kembali dianut

sejak 17 Agustus 1950 dengan menggunakan UUDS 1950. Berdasarkan UUDS


1950 inilah indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang sangat

4
demokratis yang didasarkan atas UUDS 1950, dan hal ini memang telah

melahirkanpemerintahan yang “mau tidak mau” harus bertanggung

jawab.Penegakan hukum relatif lebih berjalan baik bila dibandingkan periode-

periode sesudahnya.Pemerintah dapat menerima kontrol baik dari kekutan

masyarakat melalui pers yang relatif bebas. Inilah periode perjalanan negara

Republik Indonesia yang dinilai paling demokratis .

Meskipun bukan hasil akhir, ini menandai partai Islam tidak lagi dihitung

sebagai kekuatan yang menakutkan, seperti halnya pada tahun-tahun awal

Indonesia merdeka dan Pemilu 1955. Kalau merujuk hasil penelitian Herbert

Feith tahun 1945–1955, kekuatan politik sangat dipengaruhi lima aliran politik

yang kini hanya tersisa, Islam dan nasionalis.

Herbert Feith menyatakan bahwa sumber utama pemikiran politik di

Indonesia ada lima aliran politik, yaitu komunisme yang melahirkan Partai

Komunis Indonesia, sosialisme demokrat dengan memunculkan Partai Sosialis

Indonesia, Islam––dengan variannya melahirkan Partai Masyumi, Partai Syarikat

Islam, dan Partai Nahdlatul Ulama, nasionalisme radikal yang tercermin pada

Partai Nasionalis Indonesia (PNI), serta tradisionalisme Jawa meskipun tidak

muncul sebagai kekuatan politik formal yang konkrit.


Indonesia dibangun dengan basis lompatan yang luar biasa. Coba catat:

Dalam sepuluh tahun yaitu: 1945-1955 Indonesia bisa memimpin Bangsa-Bangsa

Asia Afrika menemukan identitas nasionalnya, dalam sepuluh tahun Indonesia

mampu menjadikan sebuah negara dengan sistem masyarakat yang saling

bergesek tapi menuju pada arah persatuan yang solid. Namun lompatan besar

sepuluh tahun itu terganggu oleh konstelasi politik Internasional yaitu: Tatanan

Dunia Berdasarkan Blok, yaitu“Blok Kanan dan Blok kiri”.Pada dasarnya kedua

blok ini adalah Imperialis, inilah yang mendasari Tan Malaka untuk mengucapkan
kalimat terkenalnya: “Kita tidak mau menjadi budak Imperialis Amerika pun tidak

5
mau menjadi Budak Moskow” lalu berdasarkan analisa ini maka Sukarno di tahun

1953, pada sebuah malam yang dingin ketika ia membaca buku-buku geopolitik

dan mendalami lagi Ernest Renan, maka ia berkesimpulan : “Langkah Pertama

adalah menyelamatkan wilayah modal Republik, langkah selanjutnya adalah

mendefinisikan pola Imperialisme baru sehingga kita bisa mendeteksinya

sekaligus menciptakan gerakan perlawanannya”.

1. Hukum Tentang Pemilu

Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk

memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.Pemilu ini seringkali disebut

dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana

Menteri Ali Sastroamidjojo.Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri

dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh

Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Pada masa setelah kemerdekaan, Indonesia menganut system multi partai

kurang lebih berjumlah 25 partai.Hal tersebut juga bisa dilihat dari

bermunculannya partai-partai baru baik yang minoritas maupun mayoritas

yang disinyalir sebagai jembatan aspirasi rakyat. Hal ini ditandai dengan

Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat


Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955

yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga

29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.

Dalam maklumat 3 November 1945 itu disebutkan bahwa atas usul BP-

KNIP kepada pemerintah maka pemerintah memberikan kesempatan seluas-

luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik.Dictum

Maklumat ditanda tangani Wapres Moh. Hatta berbunyi sebagai berikut :

6
a. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan

adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala

aliran paham yang ada dalam masyarakat.

b. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun,

sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan

Rakyat pada bulan Januari 1946. Menyusul maklumat tersebut berdirilah

secara resmi partai-partai politik yang sampai bulan Januari 1946

berjumlah 10 partai yaitu : Majelis Muslimin (Masyumi) 7 November

1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) 8 November 1945, Partai Rakyat

Jelata 8 November 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 10

November 1945, Partai Sosialis Indonesia (PSI) 10 November 1945, Partai

Rakyat Sosialis (PRS) 8 Desember 1945, Persatuan Rakyat Marhaen

Indonesia (Permai) 17 Desember 1945, dan Partai Nasional Indonesia

(PNI) 17 Desember 1945. Sumber lain menyebutkan jumlah partai yang

berdiri menyambut maklumat 3 November 1945 bukan hanya 10 partai,

melainkan jauh lebih banyak, sebab selain muncul partai-partai kecil,

partai-partai yang telah dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit

lagi.
Jumlah partai yang berdiri pada November-Desember 1945 mencapai 35

partai berdasarkan asas kedaerahan, agama, ideology, dan lain-lain. Di antara

partai tersebut terdapat partai-partai yang berdasarkan basis ideology dan

dalam daerah yang sama. Tetapi pada umumnya mereka tidak saling

menggabungkan diri.Kenyataan tersebut menyebabkan banyak partai sulit

menggalang kekuatan organisasi untuk menyerap aspirasi

masyarakat.Soedjatmoko menyebutkan keadaan itu sebagai ‘gambaran’

gejolak mental dan psikologis, ketimbang penegasan diri yang didasarkan


pada pandangan dan sikap politik tertentu.

7
Jumlah partai yang banyak dengan system proporsional pada keanggotaan

KNIP menyebabkan membengkaknya jumlah anggota KNIP yang pada

gilirannya menyebabkan pula timbulnya pengaruh lembaga legislative yang

semakin kuat kepada pemerintah.Mula-mula timbul pendapat dikalangan

partai-partai bahwa KNIP maupun kabinet tidak representatif karena tidak

mencerminkan aliran-aliran yang ada di dalam masyarakat.Dengan

berkurangnya jumlah parpol, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi

dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.

Berikut hasil Pemilu 1955:

a. Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)

b. Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)

c. Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)

d. Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)

2. Hukum Tentang Pemerintahan (Otonomi) Daerah

Pada era pemerintahan rezim Soekarno yang kemudian disebut orde lama

(1945-1966), ditandai sebagai era yang penuh gejolak, baik pemberontakan di

daerah-daerah yang menuntut pemisahan diri seperti RMS (Republik Maluku

Selatan), Permesta, pemerintahan karena ideologi Republik Indonesia (PRRI)


maupun yang memberontak karena ideologi seperti PKI di Madiun, DI/TII

Kartusuwiryo di Jawa Barat, yang kemudian meluas ke Aceh, Sulawesi, dan

Kalimantan.

Di lain pihak, era pemeritahan orde lama diwarnai dengan perubahan

konstitusi yang dengan sendirinya akan mempengaruhi sistem pemerintahan

yang ditetapkan di daerah-daerah. Sebagaimana telah diketahui, bahwa era

1945-1949 bangsa Indonesia masih bergelut melawan Belanda dengan

sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia. Dilahirkan dua UU yang


mengatur pemerintahan daerah, yang pertama yaitu UU No. 1 Tahun 1945

8
tentang kedudukan peraturan mengenai komite nasional daerah UU ini sangat

singkat, yang hanya memuat enam pasal yang ditetapkan ada tanggal 23

November 1945. UU No. 1 Tahun 1945 mengatur pembentukan KND

(Komite Nasional Daerah), sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa awal

kemerdekaan setelah proklamasi, bangsa Indonesia belum memiliki perangkat

kenegaraan yang memadai, sehingga diaturlah bahwa pada masa awal

kemerdekaan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menyelenggarakan

semua tugas-tugas lembaga kenegaraan, sampai terbentuknya lembaga negara

seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Ketentuan ini dapat dibaca dalam

Pasal III aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi:

“Sebelum majelis permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan

dewan pertimbangan agung dibentuk menurut undang-undang dasar ini,

segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan komite

nasional”.

Yang pertama, UU No. 1 Tahun 1945 sukar diterima oleh daerah-daerah

di luar jawa dan Madura, mengingat situasi saat itu, Daerah Kesultanan

Yogyakarta dan Kasunan Surakarta di Solo pun juga tidak diatur secara jelas,

mengingat pemerintah pusat pada saat itu masih menghargai keberadaan


kedua daerah tersebut, yang tetap diakui oleh pemerintah Hindia Belanda,

walaupun dengan berbagai pembatasan dan intervensi.

Kemudian yang kedua, pada saat pemerintahan republik Indonesia

dipindahkan ke Yogyakarta, pada tanggal 10 Juli tahun 1948, dikeluarkanlah

UU No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini

langsung dinyatakan berlaku oleh pemerintah Indonesia pada hari itu juga.UU

ini tidak mendapatkan pengesahan dari DPR sebagai yang diatur dalam UUD

1945, tetapi oleh BP-KNIP. UU No. 22 Tahun 1948 memuat hal-hal sebagai
berikut :

9
a. Pemerintah daerah dinyatakan terdiri atas DPRD dan DPD (Pasal 2:1)

b. Kepala daerah menjabat ketua DPD (Pasal 2:3)

c. Anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota DPRD. Apabila anggota DPD

berhenti dari keanggotaannya sebagai DPRD, maka dengan sendirinya

yang bersangkutan juga berhenti dari keanggotaan DPD atau sebaliknya.

d. DPRD yang membuat pedoman untuk DPD guna mengatur cara

menjalankan kekuasaan dan kewajibannya, yang sebelum diberlakukan

harus mendapatkan persetujuan Presiden (pasal 15)

e. DPRD mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU

Pembentukan bagi tiap-tiap daerah (Pasal 23)

f. Sekretaris Daerah tidak dikenal, yang ada adalah sekretaris DPRD, yang

merangkap sekretaris DPD, yang diangkat dan diberhentikan oleh DPRD,

atas usul DPD (pasal 20).

Dari enam poin tersebut di atas, dapat dicermati bahwa dalam UU No. 22

tahun 1948 tentang pemerintahan daerah, kewenangan DPRD sangat besar,

dan dengan mudah dapat kita tarik kesimpulan, bahwa UU No. 22 tahun 1948

dibuat dengan sistem parlementer. Sebab kewenangan kepala daerah sangat

minimal, bila dibandingkan dengan kewenangan kepala daerah dalam UU No.


5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.

Selain itu, dalam UU No. 22 tahun 1948, juga diatur dengan tegas dalam

pasal 26, bahwa DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya

dihadapan pemerintah dan DPR. Dengan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa

pemerintah pusat saat itu sangat menghargai keberadaan daerah.Padahal

anggota-anggota DPR juga merupakan wakil rakyat yang juga dipilih dari

daerah-daerah.Selain itu dalam pasal 27 UU No. 22 tahun 1948, juga

mengatur bahwa daerah-daerah dapat mengadakan kerjasama.

10
Dengan demikian yang dapat ditarik dari UU otonomi daerah ini adalah:

a. Sangat menghargai keberadaan daerah-daerah sebagai satu kesatuan

masyarakat yang berbudaya dan memiliki karakteristik sendiri-sendiri

b. Kekuasaan kepala daerah diminimalkan yang dikedepankan adalah

kekuasaan DPRD

c. Memiliki nuansa parlementer. Dengan demikian sebenarnya tidak sejalan

dengan UUD 1945 yang mengantu asas Presidensil. Walaupun demikian

penyimpangan ini mungkin karena masih dalam masa awal kemerdekaan.

Walaupun demikian UU No. 22 tahun 1948 tetap berlaku sampai

keluarnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan di

daerah, meskipun pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda dengan pihak

Indonesia yang diwakili oleh Drs. Moh. Hatta telah mengambil kesepakatan

tentang pembentukan negara Indonesia serikat (RIS) dengan pemerintahan

Belanda. Dan Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RIS kecuali Irian

Jaya yang akan diserahkan kemudian, sikap mempertahankan Irian dan sikap

mengalahnya pemerintah Indonesia atas kesepakatan menyangkut Irian Jaya

inilah yang kemudian menjadi kemelut yang hingga kini tetap menjadi

problem diantara sebagian masyarakat Irian Jaya dengan pemerintah


Indonesia.

Sejak tanggal 27 Desember 1949 dengan sendirinya Indonesia berbentuk

negara serikat, walaupun baru diumumkan lembaran negara oleh pemerintah

RI pada tanggal 6 Februari 1950. Pengaturan tentang pemerintahan daerah,

diatur berdasarkan keberadaan negara-negara bagian yang untuk lebih

jelasnya dapat dicermati dalam pasal 2 Konsultasi Republik Indonesia Serikat.

Menyangkut pemerintahan daerah, dalam kurun waktu 1950-1959,

pemerintah tidak mengeluarkan satu UU yang mengatur tentang pemerintahan

11
daerah, hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 131, 132 dan pasal

133 UUDS 1950. Dalam ketiga pasal tersebut ditegaskan antara lain:

a. Peraturan perundangan yang ada di daerah-daerah sebelumnya tetap

berlaku sampai ada penggantinya

b. Pemerintah akan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada

pemerintah daerah

c. Mempertegas kedudukan daerah-daerah Swapraja (bekas kerajaan yang

pemerintahannya memiliki kekhususan).

Dengan demikian UU No. 22 Tahun 1948 yang hanya berlaku di wilayah

republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku, demikian pula UU No. 44 tahun

1950 yang berlaku di wilayah Indonesia timur juga tetap berlaku serta

peraturan-peraturan peninggalan Belanda yang ada di daerah-daerah lainnya.

UU No. 32 tahun 1956 tentang pertimbangan keuangan antara negara dengan

daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang

diundangkan pada tanggal 31 Desember 1956.Dalam dictum mengingatnya

UU No. 32 tahun 1956 ini, tercantum antara lain UU No. 22 tahun 1948, dan

UU No. 44 tahun 1950.Dengan demikian sampai tahun 1956, pengaturan

pemerintahan daerah masih berjalan sendiri-sendiri sesuai keadaan


sebelumnya.Sampai dengan keluarnya UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-

pokok pemerintah daerah.

Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan daerah dalam rangka

pelaksanaan otonomi daerah orde lama, dapat disimpulkan bahwa utamanya

pada saat UU No. 1 tahun 1945, dan UU No. 22 tahun 1948 dan UU No. 1

tahun 1957 daerah-daerah masih diberi keleluasaan yang besar untuk

berotonomi, akan tetapi pasca Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 pemerintahan

daerah telah bernuansa sangat sentralisasi.

12
3. Hukum Tentang Agraria\

Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya.Bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga ruang

angkasa.Kaidah-kaidah Hukum agraria yang berlaku sebelum tahun 1960

bersumber pada dua dua hokum, yaitu hukum adat dan kitab undang-undang

hokum sipil (hukum barat).

Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar –

dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria

warisan pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang

berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk

dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor

16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian

Dalam Negeri) dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementerian

dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang mewakili organisasi-

organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari serikat buruh

perkebunan. Ada beberapa panitia yang dilibatkan, yaitu panitia Yogyakarta,

panitia Jakarta, panitia Soewahjo, rancangan soenarjo, dan rancangan

Sadjarwo.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang

dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan

para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah. Kepentingan

dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana

terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian

tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar

menggarapnya”.Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah

melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya.Golongan ini terdiri dari


PKI, PNI dan Partai Murba.

13
Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-

partai Islam dan sebagian PNI.Inti dari pendapat golongan ini adalah

penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan

pemilikan tanah luas sebagai penghisapan.Sedangkan golongan ketiga adalah

golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya.Mereka

menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang

bertahap.Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria)

sebagai dua tokoh penting dalam perumusan Undang-Undang Pokok Agararia

menjadi anggotaanya.

Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah

berdasar Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana

dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna

yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari

rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia

landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya aksi sepihak,

baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah.1[10]Sehingga dapat

dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan

tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan.2[11]Perombakan aturan


tentang agrarian berhasil setelah disyahkannya undang-undang nomor 5 tahun

1960 yang mengatur tentang agrarian.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum

tertentu.Variabel ”konfigurasi politik” ditempatkan sebagai variabel bebas

(independent), dan variabel ”karakter produk hukum” sebagai variabel

terpengaruh (dependent). Variabel konfigurasi politik menunjuk pada bentuk

konfigurasi sistem politik yang demokratis dan/atau konfigurasi sistem politik

yang tidak demokratis (otoriter).Sedangkan variabel karakter produk hukum,

mengacu pada konsepsi Nonet dan Selznick yang merujuk pada produk hukum

yang berkarakter responsive atau otonom, dan karakter produk hukum yang

represif, ortodoks, konservatif atau menindas.

Menurut Mahfud MD dalam buku disertasinya yang berjudul “"Politik

Hukum di Indonesia", berkesimpulan bahwa Pada periode 1945-1959 (demokrasi

liberal), konfigurasi politik Indonesia adalah demokratis, dan kecenderungan

karakter semua produk hukum (pemilu, pemda, agraria) adalah responsif.


Dengan kata lain, sebagaimanapun keadaan suatu negara, hukum yang

mampu diciptakan akan terus dan selalu berkaitan dengan situasi perpolitikan

Negara tersebut. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum

merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi

dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi.Pada

periode 1945-1959, meskipun pernah berlaku sampai tiga macam UUD (UUD

1945 dan UUDS 1950), kehidupan politik berjalan secara demokratis meskipun

jika dilihat dari sudut UUD 1945 (Aturan Peralihan Pasal IV) pada awal
perjalanannya kehidupan politik Negara sangat memusat ditangan Presiden. Dan

15
kemudian seiring perkembangannya, kekuasaan tidak lagi terpusat di tangan

presiden.Sehingga dapat dikatakan, pada orde lama, tahun 1945-1955 penerapan

hukum di Indonesia dalam kaitan karakter produk hukumnya adalah responsive.

16
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Noer, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di


Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai pustaka,
Jakarta 1986.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta,
1998 Forum Keadilan, No. 2, 14 Mei 1992.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1997
Mahfud M.D. 1993. Perkembangan Politik Hukum di Indonesia, disertasi doctor
di UGM, Yogyakarta.1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta, Liberty.

17

Anda mungkin juga menyukai