Sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan
posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai
ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan.
Keadaan dan perkembangan dari partai politik pada masa setelah Indonesia merdeka
dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada kurun waktu 1945- sekarang. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya sistem kepartaian yang berubah - ubah pada zaman orde lama, orde baru hingga
reformasi.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya
PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai
politik.
Sistem Pemilu pada Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X
tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang
Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat
hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960
yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada
tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah,
antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI
MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak
berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat
terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan
suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam
terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan,
termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa
Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa
Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional
tak terjadi.
Pada Orde baru perlu diketahui untuk penyelenggarakan Pemilu sebanyak 6 kali yaitu pada 5
Juli 1971, 2 Mei 1977, 4 Mei 1982, 23 April 1987, 9 Juni 1992 dan 29 Mei 1997. Salah satu
instansi yang pada masa demokrasi pancasila adalah adalah Seskoad, Bandung. Lembaga yang
bertindak sebagai pusat pemikir untuk orde baru. Salah satu peristiwa yang penting adalah
diadakannya Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada tahun 1966. Beberapa perwira ABRI
dan beberapa tokoh sipil diundang untuk memberikan makalah dan partisipasi dalam diskusi.
Salah satu makalah yang berjudul Pemilihan Umum Orde baru membahas tentang dua sistem
pemilihan, yaitu :
Sebagai hasil perdebatan, akhirnya sistem distrik dituang dalam rancangan UU pemilihan
umum yang diajukan kepada parlemen pada awal tahun 1967 bersama dua RUU lainnya. Akan
tetapi ternyata RUU ini sangat dikecam oleh partai –partai politik, tidak hanya karena dianggap
merugikan mereka, tetapi juga mencakup beberapa ide baru seperti duduknya wakil ABRI sebagi
anggota parlemen. Akhirnya pada tanggal 27 Julli 1967 pemerintah dan partai-partai mencapai
suatu kompromi di mana kedua belah pihak memberi konsesi. Pemerintah mengalah dengan
menyetujui sistem pemilihan umum proporsional, tetapi dengan bebrapa modifikasi antara lain
tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehinga perwakilan dari daerah luar
jawa akan seimbang dengan perwakilan Jawa .Dipihak lain ,partai –partai mengalah dengan
diterimanya ketentuan bahwa 100 anggota parlemen dari jumlah total 460 akan diangkat dari
golongan ABRI (75) dan non ABRI (25).
Pada Pemilu 1971 Pemilu pertama era Orde Baru yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor
15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Untuk pemilu berikutnya, landasan hukumnya mengacu pada UU
Nomor 15 tahun 1969 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 4 tahun 1975, UU Nomor 2
Tahun 1980 dan UU Nomor 1 Tahun 1985. Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan
Pemilu pada era Orde Baru yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang
Pemilu. Keempat hal tersebut adalah :
1) Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan atau
perwakilan
2) Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
3) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4) Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan tata
kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.
Pada pemilu yang kedua tepatnya tanggal 5 Juli 1971 peserta pemilu terdiri dari 10
Sementara itu peranan golongan militer bertambah kuat yang menimbulakan sebuah rezim
otoriter .Usaha penyederhanaan partai dilanjutkan dengan cara yang sedikit radikal.Dimuka
sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengemukakan sarannya agar partai
mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanyenya pemilihan umum tanpa partai
kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. Pengelompokan ini mencakup
tiga kelompok, yaitu Golongan nasional, Golongan Spiritual dan Golongan Karya Usaha ini yang
sebenarnya ingin dilaksanakan sebelum pemilihan umum 1971, ternyata tidak dapat dituntaskan
pada waktu itu .Kemudian pemilu yang ke-3 sampai ke -7 pesertanya hanya 3 yakni Golongan
Karya (Golkar), Partai persatuan pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI).Selama pemerintahan orde baru dipakai asas Luber (langsung ,umum,bebas dan rahasia).
Setelah cukup lama (selama masa orde baru hingga pemilu 1999) menggunakan sistem
proporsional dengan daftar tertutup, penentuan calon yang diajukan untuk duduk di lembaga-
lembaga lefislatif, sepenuhnya berada di tangan elite partai di tingkatnya masing-masing.
Apabila dalam praktik sistem proporsional yang berlaku selama orde baru masyarakat hanya
memilih atau mencoblos tanda gambar partai, sedangkan para calon telah disusun dan
dipersiapkan sebelumnya oleh elite partai tanpa keterlibatan masyarakat. Dalam konteks sistem
otoriter yang berlaku pada era pemerintahan Soeharto tersebut hal itu bisa dipahami karena
pemilu didesain untuk mempertahankan struktur politik yang berlaku. Tak mengherankan jika
institusi penyelenggaraan pemilu, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal, hampir
keseluruhannya adalah para aparatur pemerintah itu sendiri.
1) Rendahnya kualitas keterwakilan para calon dan para wakil rakyat yang duduk dalam
lembaga-lembaga legislatif di tingkat nasional dan lokal.
2) Rendahnya kualitas akuntabilitas wakil-wkil terhadap rakyat yang diwakilinya.
3) Rendahnya kualitas lembaga-lembaga legislatif itu sendiri sehingga tidak
mengherankan jika muncul penilaian bahwa DPRdan DPRD tidak lebih sebagai
lembaga “stempel” yang melestarikan kekuasaan rezim otoriter orde baru.
Sistem Pemilu pada Masa Reformasi
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi
menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur
politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik,
telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai
dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara
siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI
P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan
kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada
pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi
partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta
adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang
menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini
menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap
berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota
legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya
kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang
signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan
presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri,
Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan
pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.
Pemilu 2009, diikuti oleh 38 partai ditambah 2 partai lokal aceh. pada pemilu kali ini muncul
kejutan yaitu nunculnya prabowo subianto sebagai tokoh pendatang baru. pemilu ini
dimenangkan oleh SBY bersama Boediono.
Sumber :
http://dingklikkelas.blogspot.co.id/2014/03/sistem-pemilu-di-indonesia.html
https://taukcuearekjatigedhe.wordpress.com/2014/01/15/pemilu-orde-lama/
http://m2mexacta.blogspot.co.id/2013/07/perjalan-partai-politik-dari-mas-ke.html