Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Partai Politik dari Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi

Sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan
posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai
ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan.
Keadaan dan perkembangan dari partai politik pada masa setelah Indonesia merdeka
dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada kurun waktu 1945- sekarang. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya sistem kepartaian yang berubah - ubah pada zaman orde lama, orde baru hingga
reformasi.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya
PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai
politik.

Partai Politik Pada Masa Orde Lama


Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang
menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah puluhan partai politik. Maklumat ini
ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk
mendirikan Partai Politik.
Partai Politik kemudian dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan
ketuhanan, kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang termasuk partai lain-lain
adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional. Partai-partai peserta
pemilu yang tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai “Partai Gurem”, partai yang tidak jelas
power base-nya. Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak terdengar lagi suaranya.
Sementara itu partai yang berhasil meraih kursi melakukan penggabungan-penggabungan dalam
pembentukan fraksi.
Sampai dengan tahap ini perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi. Jumlah
partai yang semula puluhan banyaknya, terseleksi sehingga hingga menjadi belasan saja. Jumlah
yang mengecil itu bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal
ke dalam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung terus-menerus. Pada
tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960
tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961
Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang
lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI.
Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti.
Jadi pada waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 11 partai saja, karena parpol
yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena tergolong
partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 11 buah itu berkurang satu pada tahun 1964.
Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan
alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang
seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).

Partai Politik Pada Masa Orde Baru


Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya
PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga
menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu
bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia.
Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial
politik baru.
Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha
menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha
menciptakan politik dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang lebih
sederhana dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Parpol Suara yang
terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak
sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan.
Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut.
Khawatir menghadapi perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam
meleburkan diri dalam partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah organisasi sosial
politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI.

Partai Politik Pada Masa Reformasi


Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah,
keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik,
dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan-kekuatan
masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu
tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU
No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai-partai baru dalam percaturan kepartaian
di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang
signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah
ruwetnya ystem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa
Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis, multidevresional yang
sudah berjalan.

Sistem Pemilu pada Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi

 Sistem Pemilu pada Masa Orde Lama

Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X
tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang
Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat
hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.

Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960
yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada
tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah,
antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI
MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.

Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak
berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat
terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”

Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan
suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam
terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan,
termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa
Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa
Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional
tak terjadi.

Berikut hasil Pemilu 1955:

 Partai Nasional Indonesia (PNI) – 8,4 juta suara (22,3%)


 Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%)
 Nahdlatul Ulama – 6,9 juta suara (18,4%)
 Partai Komunis Indonesia (PKI) – 6,1 juta suara (16%)
 Sistem Pemilu pada Masa Orde Baru

Pada Orde baru perlu diketahui untuk penyelenggarakan Pemilu sebanyak 6 kali yaitu pada 5
Juli 1971, 2 Mei 1977, 4 Mei 1982, 23 April 1987, 9 Juni 1992 dan 29 Mei 1997. Salah satu
instansi yang pada masa demokrasi pancasila adalah adalah Seskoad, Bandung. Lembaga yang
bertindak sebagai pusat pemikir untuk orde baru. Salah satu peristiwa yang penting adalah
diadakannya Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada tahun 1966. Beberapa perwira ABRI
dan beberapa tokoh sipil diundang untuk memberikan makalah dan partisipasi dalam diskusi.
Salah satu makalah yang berjudul Pemilihan Umum Orde baru membahas tentang dua sistem
pemilihan, yaitu :

1. Sistem Perwakilan Berimbang (Sistem Proporsional)


2. Sistem Distrik

Mengingat keadaan di Indonesia, seandainya sistem distrik diselenggarakan di Indonesia


sebagai pengganti sistem proporsional yang telah dipakai dalam Pemilihan Umum 1955, ada
kemungkinan terjadinya penyederhanaan partai secara alamiah (artinya tanpa paksaan) karena
jumlah partai kecil mungkin akan berkurang, sekurang-kurngnya mereka akan terdorong untuk
bekerja sama satu sama lain .Hal ini diharapkan dapat sedikit banyak meningkatkan stabilitas
politik yang kadarnya pada masa itu masih lemah .

Sebagai hasil perdebatan, akhirnya sistem distrik dituang dalam rancangan UU pemilihan
umum yang diajukan kepada parlemen pada awal tahun 1967 bersama dua RUU lainnya. Akan
tetapi ternyata RUU ini sangat dikecam oleh partai –partai politik, tidak hanya karena dianggap
merugikan mereka, tetapi juga mencakup beberapa ide baru seperti duduknya wakil ABRI sebagi
anggota parlemen. Akhirnya pada tanggal 27 Julli 1967 pemerintah dan partai-partai mencapai
suatu kompromi di mana kedua belah pihak memberi konsesi. Pemerintah mengalah dengan
menyetujui sistem pemilihan umum proporsional, tetapi dengan bebrapa modifikasi antara lain
tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehinga perwakilan dari daerah luar
jawa akan seimbang dengan perwakilan Jawa .Dipihak lain ,partai –partai mengalah dengan
diterimanya ketentuan bahwa 100 anggota parlemen dari jumlah total 460 akan diangkat dari
golongan ABRI (75) dan non ABRI (25).

Pada Pemilu 1971 Pemilu pertama era Orde Baru yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor
15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Untuk pemilu berikutnya, landasan hukumnya mengacu pada UU
Nomor 15 tahun 1969 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 4 tahun 1975, UU Nomor 2
Tahun 1980 dan UU Nomor 1 Tahun 1985. Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan
Pemilu pada era Orde Baru yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang
Pemilu. Keempat hal tersebut adalah :
1) Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan atau
perwakilan
2) Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
3) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4) Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan tata
kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.

Pada pemilu yang kedua tepatnya tanggal 5 Juli 1971 peserta pemilu terdiri dari 10
Sementara itu peranan golongan militer bertambah kuat yang menimbulakan sebuah rezim
otoriter .Usaha penyederhanaan partai dilanjutkan dengan cara yang sedikit radikal.Dimuka
sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengemukakan sarannya agar partai
mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanyenya pemilihan umum tanpa partai
kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. Pengelompokan ini mencakup
tiga kelompok, yaitu Golongan nasional, Golongan Spiritual dan Golongan Karya Usaha ini yang
sebenarnya ingin dilaksanakan sebelum pemilihan umum 1971, ternyata tidak dapat dituntaskan
pada waktu itu .Kemudian pemilu yang ke-3 sampai ke -7 pesertanya hanya 3 yakni Golongan
Karya (Golkar), Partai persatuan pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI).Selama pemerintahan orde baru dipakai asas Luber (langsung ,umum,bebas dan rahasia).

Setelah cukup lama (selama masa orde baru hingga pemilu 1999) menggunakan sistem
proporsional dengan daftar tertutup, penentuan calon yang diajukan untuk duduk di lembaga-
lembaga lefislatif, sepenuhnya berada di tangan elite partai di tingkatnya masing-masing.
Apabila dalam praktik sistem proporsional yang berlaku selama orde baru masyarakat hanya
memilih atau mencoblos tanda gambar partai, sedangkan para calon telah disusun dan
dipersiapkan sebelumnya oleh elite partai tanpa keterlibatan masyarakat. Dalam konteks sistem
otoriter yang berlaku pada era pemerintahan Soeharto tersebut hal itu bisa dipahami karena
pemilu didesain untuk mempertahankan struktur politik yang berlaku. Tak mengherankan jika
institusi penyelenggaraan pemilu, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal, hampir
keseluruhannya adalah para aparatur pemerintah itu sendiri.

Kecenderungan sistem pemilu orde baru membawa dampak pada :

1) Rendahnya kualitas keterwakilan para calon dan para wakil rakyat yang duduk dalam
lembaga-lembaga legislatif di tingkat nasional dan lokal.
2) Rendahnya kualitas akuntabilitas wakil-wkil terhadap rakyat yang diwakilinya.
3) Rendahnya kualitas lembaga-lembaga legislatif itu sendiri sehingga tidak
mengherankan jika muncul penilaian bahwa DPRdan DPRD tidak lebih sebagai
lembaga “stempel” yang melestarikan kekuasaan rezim otoriter orde baru.
 Sistem Pemilu pada Masa Reformasi

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi
menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur
politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik,
telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.

Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai
dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara
siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI
P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan
kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada
pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.

Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi
partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta
adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang
menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini
menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap
berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.

Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota
legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya
kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang
signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan
presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri,
Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan
pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.

Pemilu 2009, diikuti oleh 38 partai ditambah 2 partai lokal aceh. pada pemilu kali ini muncul
kejutan yaitu nunculnya prabowo subianto sebagai tokoh pendatang baru. pemilu ini
dimenangkan oleh SBY bersama Boediono.

Sumber :

http://dingklikkelas.blogspot.co.id/2014/03/sistem-pemilu-di-indonesia.html

https://taukcuearekjatigedhe.wordpress.com/2014/01/15/pemilu-orde-lama/

http://m2mexacta.blogspot.co.id/2013/07/perjalan-partai-politik-dari-mas-ke.html

Anda mungkin juga menyukai