Pada saat Indonesia baru merdeka, pemerintah Indonesia saat itu masih belum
mengatur sistem pemerintahan secara sempurna. Para founding fathers kita alias para
pendiri Indonesia masih terus berusaha mencari sistem pemerintahan yang tepat untuk
Indonesia. Dalam catatan sejarah politik Indonesia disebutkan Soekarno-Hatta dilantik
menjadi presiden dan wakil presiden pada tanggal 18 Agustus 1945. Saat itu sistem
pemerintahan yang diterapkan untuk Indonesia adalah sistem presidensial. Presiden
Soekarno kemudian membentuk Kabinet Presidensial untuk memenuhi alat kelengkapan
negara.
Gagasan tentang partai di Indonesia sudah muncul jauh sebelum kemerdekaan. Di era
pergerakan nasional, topik kepartaian telah memicu sejumlah diskusi dan perdebatan.
Kelahiran Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang diinisiasi Mohammad Hatta dan
Sutan Sjahrir, misalnya, bukan hanya sebagai jawaban atas Partai Nasional Indonesia
(dan kemudian Partindo), melainkan juga dapat diletakkan dalam konteks perdebatan
tentang model-model kepartaian. Perdebatan itu terus berlangsung dan memuncak
pada awal-awal kemerdekaan. Beberapa elite politik mulai memikirkan perlunya
Indonesia menjadi negara demokratis. Dan untuk itu, perlu dibangun pula infrastruktur
demokrasi agar aspirasi dan suara rakyat bisa tersalurkan lewat jalur yang demokratis. Di
sisi lain, beberapa elite tidak menghendaki adanya banyak partai. Mereka menginginkan
sistem partai tunggal yang diharapkan bisa mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Partai,
bagi mereka, hanyalah pemecah belah rakyat dan menjadi batu sandungan bagi
terbentuknya persatuan dan kesatuan bangsa. Sukarno, misalnya, masih merawat hasrat
keberadaan sebuah partai pelopor yang menjadi satu-satunya partai. Dalam bayangan
Sukarno, partai semacam itu akan menjadi wadah bagi seluruh spektrum politik yang
ada.
Isi Maklumat itu pendek, hanya satu paragraf, tanpa konsiderans, berisi anjuran
pemerintah,
“1. Pemerintah menjukai timbulnja partij-partij politik karena dengan adanja partij-partij
itulah dapat dipimpin kedjalan jang teratur segala aliran paham jang ada dalam
masjarakat. 2. Pemerintah berharap supaja partij-partij politik itu telah tersusun,
sebelumnja dilangsungkan pemilihan anggauta Badan-Badan Perwakilan Rakjat pada
bulan Djanuari 1946.”
Nada kalimat maklumat itu datar. Desakan untuk membentuk partai politik memang
menguat sejak Oktober tahun itu. Beberapa kelompok, terutama yang tak terakomodir
dalam pemerintahan yang baru seumur jagung itu, meminta diberi jalan mendirikan
wadah, dalam bentuk parpol, untuk berkumpul dan menyebarkan gagasan-gagasan.
Namun hanya dengan kalimat pendek itu terjadi revolusi sistem politik di Indonesia:
penggantian sistem kabinet presidensiil menjadi kabinet parlementer.
Setelah itu hingga Desember 1945 partai-partai politik bermunculan. Namun masa-masa
revolusi kemerdekaan itu bukan tempat untuk bermain politik, paling tidak secara
formal.
Pemenang perang dunia ke-2 datang. Inggris mewakili sekutu menduduki Indonesia
sejak Oktober 1945. Pemilu yang digagas pada 1946 taqk pernah terjadi.
Namun beberapa partai politik berkat Maklumat “tanda silang” itu. Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia), dipimpin oleh Dr. Soekiman Wirjosandjoyo, berdiri pada 7
November. PKI (Partai Komunis Indonesia), yang dipimpin oleh Mr. Moch. Yusuf, juga
berdiri pada tanggal itu.
PNI (Partai Nasional Indonesia), dipimpin Sidik Djojosukarto, berdiri 29 Januari 1946. PNI
didirikan sebagai hasil penggabungan antara PRI (Partai Rakyat Indonesia), Gerakan
Republik Indonesia, dan Serikat Rakyat Indonesia, yang masing-masing telah berdiri
antara November dan Desember 1945.
PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang dipimpin Amir Sjarifuddin berdiri 10 November 1945.
PRS (Partai Rakyat Sosialis), yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, berdiri 20 November 1945.
PSI dan PRS kemudian bergabung dengan nama Partai Sosialis pada Desember 1945.,
dan dipimpin Sutan Syahrir.
Syahrir inilah yang disebut-sebut di belakang gagasan Maklumat 3 November 1945 itu.
Dengan berbagai alasan dan latar belakang peristiwa diatas Pemerintah Indonesia pada
14 November 1945 akhirnya mengeluarakan maklumat yang berisi,
Selanjutnya KNIP dalam sidang ketiga tanggal 25-27 November 1945 menyetujui pula
adanya pertanggungjawaban menteri tersebut dengan kata-kata “… membenarkan
kebijakan presiden perihal mendudukkan perdana menteri dan menteri-menteri yang
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai suatu langkah
yang tidak dilarang oleh Undang-Undang Dasar dan perlu dalam keadaan sekarang.”
Maklumat ini menjadi titik balik perubahan sistem pemerintahan Indonesia, yang semula
presidensil (12 September – 14 Novmber 1945) menjadi parlementer. Yang membuat
nantinya pemerintahan (Perdana Menteri bersama Kabinet) bertanggung jawab kepada
parlemen (KNIP) yang berfungsi sebagai badan legislatif bukan pada Presiden lagi, hal ini
sesuai dengan isi maklumat No.X 16 Oktober 1945 yang menyebutkan KNIP sebagai
fungsi legislatif.